Minggu, 30 Maret 2014

Broken Hearted 5

GLAD

"Aku mencintaimu Candice." 

Tubuhku langsung menegang kaku mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Jake di sela-sela ciuman kami. Dan... dan kedua mataku langsung terasa panas. Tidak. Aku tidak boleh menangis, ayolah bekerja sama denganku kali ini mata, bisikku dalam hati.

Tiba-tiba Jake menarik diri dan memandangiku dengan kening yang berkerut, "Ada apa sayang, mengapa kau tiba-tiba jadi diam?" Tanyanya sambil membelai wajahku.

"Aku tidak apa-apa Jake, hanya merasa lelah saja." Jawabku dengan suara yang di buat setenang mungkin. Tak lupa aku menyunggingkan senyumku senatural mungkin.

Jake menghembuskan nafasnya penuh dengan kelegaan, "Aku pikir aku telah menyakitimu, sayang." Sahutnya sambil menarik tubuhku ke dalam pelukannya.

"Tidak, Jake." Tapi kau sudah menorehkan luka di hatiku semakin dalam, aku seperti pelampiasanmu saja, sambungku dalam hati.

Jangan seperti ini kepadaku Jake, jangan. Kau hanya semakin membuatku terluka. Perlakuanmu membuatku semakin mencintaimu meskipun aku tahu bahwa kau tidak mencintaiku, Jake. Saat ini aku bingung harus bersikap seperti apa kepadamu, Jake. Haruskah aku berpura-pura tak mendengar kata-katamu tadi?

"Jake, aku ingin pulang. Aku lelah." Gumamku yang masih berada di dalam dekapannya.

"Iya, kita akan pulang. Tapi biarkan aku seperti ini dulu sebentar lagi, kumohon." Pintanya sambil memepererat pelukannya di tubuhku.

Aku hanya terdiam, membiarkannya memeluk tubuhku. Ya Tuhan, hatiku benar-benar sakit rasanya seperti di remas-remas dan di tusuk oleh ribuan pisau. Jantungku seperti di iris dengan perlahan membuat rasa sakitnya semakin menjadi. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya namun entah mengapa air mataku tak mau keluar.

"Bantu aku keluar dari bayang-bayang masa lalu. Aku mohon, Glad."

Kata-katanya yang begitu tulus itu terus menerus terngiang-ngiang di telingaku seperti kaset yang sengaja di putar berulang-ulang dengan lagu yang sama.

"Aku ingin melupakan masa laluku dan mulai mencintaimu."

Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku akan sanggup bertahan jika nanti Jake menyebutkan kembali nama seseorang di masa lalunya itu. Lalu apa yang harus aku lakukan jika masa lalu Jake tiba-tiba kembali dan mengusik kami berdua? Mungkin jika  harus memilih aku hanya memiliki dua pilihan saja. Bertahan atau mengalah, melepaskan Jake kembali kepada masa lalunya itu.

"Hei sayang, ada apa? Aku perhatikan kau seperti sedang memikirkan sesuatu?" Lagi-lagi Jake mengejutkanku.

"Ah, maafkan aku Jake. Aku hanya sedang memikirkan pekerjaan di kantor dan skripsiku saja." Dustaku.

"Fokuslah pada skripsimu sayang, biar aku dan Leon yang akan mengambil alih semua pekerjaanmu. Sekarang ini kau kekasihku." Hiburnya sambil mencubit hidungku dengan gemas.

"Tapi itu tanggung jawabku, Jake." Aku bersikeras untuk tetap menjalankan tugas-tugasku di kantor dan di kampus.

"Aku tidak suka di bantah, sayang." Tegasnya lagi kemudian mencium bibirku kilat dan membawaku menuju mobil.

Aku akan bertahan Jake, tak peduli akan seperti apa kita nanti. Hanya itulah yang bisa aku lakukan.

***

Tidak terasa sudah empat bulan aku dan Jake berpacaran. Pertengkaran sering terjadi di antara kami, tapi aku menganggap bahwa itu adalah hal yang biasa. Karena selebihnya hubungan kami baik-baik saja. Jake lebih sering tersenyum, tidak seperti duku yang selalu bersikap bagaikan patung es yang tak bisa mencair dan tersentuh.

Hingga pada suatu hari, saat yang paling aku takutkan sejak pertama kali menerima pengakuan cinta Jake tiba. Perasaan takut kembali menyerangku, perasaan yang selama ini aku kubur dalam-dalam. Candice kembali, masa lalu Jake kembali. Kami tidak sengaja bertemu dengannya di bandara saat kami baru saja pulang menghadiri sebuah pertemuan di kota lain.

Sejak saat itu Jake lebih banyak diam. Ia kembali menjadi patung es dan tak tersentuh. Hanya pertemuan singkat dengan masa lalunya sudah memberikan imbas yang buruk kepada hubungan kami. Bagaimana jika mereka sering bertemu dan saling berbicara? Sabar Glad sabar, setidaknya Jake masih berada di sisimu. Ia bahkan menolak mentah-mentah saat Candice mengajaknya bertemu dan lebih memilih bersamamu, tegur kata hatiku.

Tapi semuanya tak sama, rasanya ada yang hilang. Aku seperti memiliki raganya tidak dengan hatinya. Seperti pungguk merindukan bulan, seperti itulah yang aku rasakan seperti ini. Cintaku bertepuk sebelah tangan dan rasanya sangat sakit.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Jake?" Setelah beberapa hari membiarkan Jake tenggelam dalam pikirannya. Sekaranglah saatnya aku bertanya padanya.

"Aku tidak apa-apa, sayang." Timpalnya dengan datar. Hatiku langsung terasa sakit mendengarnya.

"Jangan berbohong kepadaku, Jake." Entah mengapa suaraku naik satu oktaf dan penuh emosi.

Jake terperanjat mendengarku, "Sayang, ada apa denganmu?" Tanyanya dengan kening yang berkerut.

"Seharusnya aku yang bertanya, Jake. Ada apa denganmu sebenarnya? Kau tahu, beberapa hati belakangan ini kau seolah yang menganggapku ada,Jake. Kau mengacuhkanku, seperti aku ini hantu yang tak terlihat." Pekikku dengan air mata yang kini telah berkumpul dan siap membanjiri pipiku.

"Sayang, jangan menangis kumohon." Jake langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Air mataku akhirnga tumpah di dadanya, "Aku tidak bermaksud untuk mengacuhkanmu seperti ini, sayang. Maafkan aku." Ungkapnya tulus.

Dan itu semakin membuat tangisku semakin kencang. Bagaimana bisa aku melepaskanmu begitu saja, Jake. Karena separuh hatiku telah kau miliki Jake. Tapi aku tak mau menjadi seseorang yang egois. Aku tak ingin memaksamu untuk mencintaiku meskipun aku berharap kau bisa mencintaiku dengan sepenuh hatimu.

Tuhan, aku benar-benar bingung dengan semua ini. Kepalaku rasanya mau meledak. Bahkan saat ini aku berharap bahwa aku tak pernah bertemu dengan Jake sama sekali.

"Jake, aku da...." sebuah suara yang asing tiba-tiba terdengar.

Otomatis aku langsung mendorong Jake menjauh namun ia semakin mengetatkan pelukannya di tubuhku, "Jake lepaskan aku." Aku panik karena ternyata pemilik suara itu adalah Candice.

"Aku tidak akan melepaskanmu, sayang." Bisiknya tepat di telingaku.

"Jadi... jadi ini alasanmu menghindariku dan mengacuhkanku, Jake?" Pekik Candice tertahan.

"Tung-tunggu dulu ini tidak seperti yang kau pikirkan." Dengan tergugup aku berusaha menjelaskan yang sebenarnya terjadi.

"Aku tak menyangka kau tega berbuat seperti ini kepadaku, Jake dan kau lebih memilih wanita jalang ini daripada aku?" Cecar Candice dengan tatapan yang terluka.

Ya, kau memang wanita jalang Glad. Kau sudah merebut Jake dari kekasihnya. Kau sudah mencintai orang yang salah dan tak seharusnya kau jatuh cinta kepada Jake, salah satu sisi diriku mencibir sambil memberikanku tatapan sinisnya. Tidak. Tidak, demi Tuhan aku tidak pernah berniat untuk merebut Jake dari Candice.

"Jaga kata-katamu, Candice. Glad bukan wanita seperti yang kau tuduhkan itu." Suara Jake yang sedingin es langsung menyadarkanku dari pertempuran yang terjadi di dalam kepalaku.

"Jelas-jelas wanita ini yang telah menggodamu dan membuatmu berpaling dariku, Jake. Sebutan jalang sangat cocok untuknya." Teriak Candice yang kini pipinya telah di basahi oleh air mata.

"Kau juga bersalah Candice, semua ini terjadi karena kau!" desis Jake sambil menunjuk Candice tepat di wajahnya.

"Apa? Kau menyalahkanku, Jake? Kau benar-benar kejam." Candice berteriak kepada kami berdua kemudian pergi ke meninggalkan ruangan Jake.

"Jake, cepat kejar Candice. Kita harus menyelesaikan semuanya." ucapku panik.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, sayang." timpal Jake sambil mengecup puncak kepalaku dengan sayang.

"Tidak Jake tidak, kau harus menyelesaikan masalah ini. Aku takkan pernah bisa tenang, Jake." pintaku dengan mata yang memanas.

"Apakah kau menyuruhku pergi?" tanya Jake.

"Tidak Jake, bukan seperti itu. Hanya saja aku tidak bisa seperti ini. Aku tak ingin di anggap menari di atas penderitaan orang lain. Aku tahu bahwa kau masih mencintainya, jauh di dasar hatimu. Kau tidak bisa membohongiku, Jake." Aku bisa merasakan tubuh Jake menegang.

Jake membalik tubuhku menghadap dirinya, "Apakah kau yakin dengan kata-katamu, sayang?" tanyanya hati-hati.

"Aku yakin, Jake." Jawabku mantap.

"Dengar, aku tak ingin menyakitimu sayang. Hanya saja aku tak yakin akan kembali jika aku pergi menemui Candice." Tuturnya dengan ekspresi kesakitan di wajahnya.

Aku menghela nafas dalam-dalam kemudian menghembuskan nafasku, "Pergilah Jake, aku yakin kau akan kembali kepadaku. Meskipun aku tak tahu kapan waktunya akan tiba."

Jake kembali memelukku, "Maafkan aku Glad, maafkan aku." Jake terus mengucapkan kata maaf  sambil terus menciumi puncak kepalaku.

Jangan menangis Glad, jangan menangis, gumamku dalam hati "Pergilah Jake." Ucapku dengan suara datar yang di paksakan.

Akhirnya pelukan Jake melonggar. Kami saling berpandangan, bisa kulihat dengan jelas pergulatan batin lewat ekspresi di wajahnya. Dengan menguatkan hati dan perasaanku, aku memberanikan diri untuk menciumnya. Menciumnya dengan sepenuh hatiku. Aku hanya ingin Jake tahu perasaanku yang sebenarnya. Aku takkan pernah berubah sedikitpun.

Jake menangkup wajahku, ciuman kami begitu dalam. Begitu tergesa-gesa. Seolah kami tidak memiliki lagi waktu untuk bersama. Mungkin saja ini akam menjadi ciuman terakhirku dengan Jake. Ketika nafasku mulai terengah aku langsung menarik diri.

"Pergilah Jake." Ucapku.

"Aku menyayangimu Glad, sangat." Ungkapnya tulus.

"Aku tahu, Jake." Timpalku sambil memaksakan untuk tersenyum, "Pergilah dan hati-hati, aku harus kembali ke kantor." Lanjutku sambil bergerak ke arah pintu keluar.

Jake mengikuti dari belakang. Selama perjalanan menuju ke tempat parkir kami berdua hanya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku mengumpat dalam hati karena lift yang melaju begitu lambat. Semakin lama bersama Jake hanya semakin membuatku semakin tak ingin melepaskannya. Aku takut berubah pikiran.

Sesampai di tempat parkir Jake tidak langsung masuk ke dalam mobilnya. Ia malah kembali memelukku, sangat erat.

"Aku harus pergi, Jake." Aku menginterupsi kegiatannya.

"Aku akan merindukanmu." Ucapnya sambil memebelai rambutku, namun aku hanya tersenyum. Kemudian Jake kembali menciumku. Sepertinya ini benar-benar akan menjadi ciuman perpisahan kami.

***

Saat ini aku sudah berada di dalam mobilku dalam perjalan kembali ke kantor. Air mataku langsung turun dengan derasnya. Pertahanku akhirnya runtuh. Hatiku hancur berkeping-keping. Tuhan, rasanya begitu menyakitkan. Aku tak bisa sekuat batu karang yang tetap berdiri kokoh meskipun di terjanga oleh obak di lautan.

Yang aku bisa lakukan hanya menunggu. Kembali menata hatiku yang kini menjadi serpihan dan berserakan. Entah sampai kapan perasaan cintaku kepada Jake akan tetap bertahan. Hanya waktulah yang bisa menjawab semuanya dan kembali menyatukanku dengan kepingan jiwaku yang telah di bawa oleh Jake.

You're everything I thought you never were
And nothing like I thought you could
have been
But still you live inside of me,
So tell me how is that?
You're the only one I wish I could
forget
The only one I love to not forgive
And though you break my heart,
You're the only one

And though there are times when I
hate you
'Cause I can't erase
The times that you hurt me and put
tears on my face
And even now, while I hate you,
It pains me to say
I know I'll be there at the end of the day

I don't wanna be without you, babe
I don't want a broken heart
Don't wanna take a breath without you, babe
I don't wanna play that part
I know that I love you, but let me just say
I don't wanna love you in no kind of
way, no no
I don't want a broken heart
I don't wanna play the broken-hearted girl
No, no, no broken-hearted girl
I'm no broken-hearted girl

There's something that I feel I need
to say
But up til' now I've always been afraid
That you would never come around
And still I wanna put this out
You say you've got the most respect
for me
But, sometimes I feel you're not
deserving of me

And still, you're in my heart
But you're the only one
And yes, there are times when I hate
you,
But I don't complain
'Cause I've been afraid that you would walk away
Oh, but now I don't hate you
I'm happy to say
That I will be there at the end of the day

Now I'm at a place I thought I'd
never be, ooh
I'm living in a world that's all about
you and me, yeah
Ain't gotta be afraid, my broken heart is free
To spread my wings and fly away, away with you..., yeah, yeah, yeah

I don't wanna be without my baby
I don't want a broken heart
Don't wanna take a breath without my baby
I don't wanna play that part
I know that I love you, but let me just say
I don't wanna love you in no kind of
way, no no
I don't want a broken heart
I don't wanna play the broken-hearted girl
No, no, no broken-hearted girl
Broken-hearted girl
No, no, no broken-hearted girl

No broken-hearted girl

(Beyonce - Broken Hearted Girl)

Love Under The Rain 8

VANNO

Jadi seperti inilah rasanya patah hati. Sakit karena tak bisa memiliki orang yang kita cintai dan kita sayangi. Rasanya seperti kelihangan arah dalam hidup, menjadi seseorang yang tanpa jiwa. Karena separuh jiwamu telah pergi bersama orang yang kau cintai itu.

Mungkin seperti itulah keadaanku saat ini. Aku yang menyuruh Clariss menjauh, aku pula yang mengatakan bahwa kami tidak akan pernah bersatu. Namun aku pula yang merasakan kesakitan ini. Terlebih lagi ketika aku melihat Clariss sedang berciuman dengan pria lain.

Pada saat melihatnya ingin sekali rasanya aku menerjang dan memukul pria itu. Namun aku tak bisa melakukannya. Tindakan gegabah yang aku lakukan hanya akan membahayakan nyawa Clariss. Karena aku sangat tahu bahwa ayah dan kakak angkatku pasti menempat beberapa orang untuk memata-mataiku.

Mereka sedang mencari saat yang tepat untuk menyerang titik kelemahanku. Meraka juga sedang mencari celah dimana aku akan melakukan kesalahan dan tindakan bodoh. Tapi aku tak akan melakukannya, aku sudah cukup tahu apa yang akan dilakukan oleh ayah dan kakak angkatku itu. Maka yang bisa aku lakukan saat ini hanyalah bersikap waspada dan hati-hati.

Saat ini aku tengah berada di lokasi yang dekat dengan rumah salah satu pejabat negara. Ya, ternyata ada salah satu pesaingnya yang meminta bantuan ayahku untuk menyingkirkan pejabat ini. Sayangnya ayah tidak nempercayakan pekerjaan ini kepada Ray. Ia malah memaksaku untuk melakukannya.

Demi Tuhan aku sudah tak ingin melakukan pekerjaam keji seperti ini lagi. Tapi aku bisa apa? Ayah dan kakak angkatku mengancam akan menyakiti Clariss jika aku tidak mau melakukan pekerjaan ini. Dengan berat hati dan sangat terpaksa akhirnya aku menyanggupi untuk melakukan tugas ini.

Dengan pakaian serba hitam yang menutupi seluruh tubuhku dari kepala hingga ujung kaki. Tak ada bagian kulitku yang terbuka sedikitpun. Memang seperti inilah penampilanku saat bekerja menjadi seorang pembunuh bayaran. Dan jika telah selesai melakukan pekerjaan keji seperti ini aku akan langsung membakar semua atribut yang aku pakai hingga menjadi abu. Itulah mengapa tak ada petugas keamanan yang bisa mecium jejakku. Bahkan kendaraan yang aku gunakan pun tak segan-segan akan aku musnahkan.

Aku terus mengintai, berusaha untuk fokus meskipun pikiranku saat ini sedang sangat kacau. Hanya Clariss yang sanggup membuatku merasa terombang ambing dan meporak porandakan hidupku dalam waktu singkat. Ya, aku mengakui bahwa aku sangat mencintainya. Namun aku tidak ingin membahayakan nyawanya.

Mengesampingkan urusan hatiku, karena kini targetku sudah terlihat. Ia tengah berjalan menuju ke mobilnya. Dengan keamanan yang tidak begitu berarti yang seharusnya ini akan mempermudah pekerjaanku. Aku ingin segera menyelesaikan pekerjaan keji ini.

Dengan hati-hati aku membidik targetku. Setelah target itu terkunci aku langsung menekan pelatuk snipper dan dalam seperkian detik langsung mengenai target tepat menembus samping kiri kepalanya. Senjata yang aku gunakan tak mengeluarkan suara sedikitpun. Beberapa keamanan yang ada bersama targetku tidak menyadarinya. Mereka baru menyadari setelah orang yang mereka kawal jatuh tersunggung meregang nyawa.

Pekerjaanku kini sudah selesai dan berhasil. Aku segera bergegas meninggalkan lokasi itu. Mengganti pakaianku di tempat yang telah aku siapkan, tentu saja aku sudah memastikan tidak ada orang yang mencurigaiku. Kemudian aku meninggalkan penginapan itu, melemparkan barang-barang yang tadi kugunakan ke dalam pembakaran sampah-sampah terdekat. Setelah memastikan barang-barang itu melebur barulah aku pergi meninggalkan tempat itu.

Aku melempar barang-barang yang ada di dalam kamarku. Beberapa hari setelah melakukan pekerjaan keji itu aku merasa semakin terpuruk. Lagi-lagi aku mengotori kedua tanganku dengan darah. Aku kembali terperosok ke dalam lingkaran hitan yang sangat ingin aku lepaskan.

Clariss. Aku sangat membutuhkanmu, hanya kau yang bisa menolongku keluar dari lingkaran setan yang membelengguku selama ini. Namun kini apa yang bisa aku lakukan? Karena satu-satunya orang yang berhasil menerangi gelapnya hati dan kehidupanku telah bersama orang lain. Clariss telah melupakanku dan lebih memilih pria lain.

Aku memang tidak tahu bagaimana caranya mencintai dan mengungkapkan perasaan yang aku rasakan kepada Clariss. Bersikap romantis pun aku tak tahu bagaimana caranya. Yang aku tahu hanya bagaimana caranya membunuh targetku dengan cepat, mengelola bisnis dan kini melindungi Clariss dari ayah dan Ray.

Bahkan kini yang terjadi adalah aku kembali melakukan pekerjaan keji ini. Membuatku semakin kotor dengan dosa. Aku kembali menjadi Vanno sang pembunuh bayaran berdarah dingin. Kini aku tidak pandang bulu dalam nelakukan pekerjaanku. Bahkan aku mulai merasakan kembali sebuah kepuasan saat berhasil membunuh targetku.

Tak ada sedikitpun perasaan iba. Hatiku kini telah kembali membeku dan mengeras. Bahkan lebih keras daripada dulu, akupun tak sungkan untuk melakukan tindakan yang sangat kejam daripada biasanya. Aku pun tak bisa menjamin bahwa Clariss bisa mencairkan kembali hatiku yang sudah membeku ini.

Jika dengan kembali ke dunia hitam yang dulu aku geluti bisa membuat Clariss aman dan terjauh dari ayah dan Ray. Maka dengan senang akan aku lakukan. Maafkan aku Clariss, karena mulai detik ini aku akan membekukkan seluruh hatiku.

***

CLARISS

Setelah insiden Kak Leon yang menciumku tepat di depan gedung apartemen tempat tinggalku. Aku memutuskan untuk menjauh dan menjaga jarak dari Kak Leon. Mengapa aku menjauhinya? Karena alasanku sudah sangat jelas. Aku masih belum bisa membuka pintu hatiku untuk Kak Leon ataupun pria yang lainnya.

Vanno. Hanya satu nama itulah yang kini terpatri di dalam hatiku. Namanya begitu kuat di dalam sana, sebesar apapun usahaku untuk menghilangkannya tetap tak pernah berhasil. Kembali teringat kejadian saat ia tiba-tiba muncul di tempatku, hatiku benar-benar senang melihatnya. Namun saat itu Vanno terlihat begitu berbeda, entah apa yang terjadi padanya.

Aku terlonjak kaget saat Vanno mengatakan sesuatu tentang pria yang baru saja mengantarku pulang. Sedangkan pada saat itu hanya Kak Leon yang mengantarkanku pulang. Aku berasumsi bahwa Vanno melihat Kak Leon saat mengantarkanku dan salah paham. Ingin rasanya aku menjelaskan semuanya tapi Vanno tak mau mendengarnya. Ia tak memberikanku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.

Hingga akhirnya kata-kata yang menyakitkan itu terlontar dari bibirnya. Kata-katanya yang menyayat hatiku serta meninggalkan luka di sana. Luka yang hingga saat ini masih terasa sakit. Dan sejak saat itu aku berusaha keras untuk melupakannya. Mematikan perasaan cinta yang tumbuh di hatiku.

Kenyataannya hingga detik ini aku masih tak bisa melupakan Vanno. Aku malah merasakam kerinduan yang teramat dalam dan besar kepadanya. Hingga rasanya dadaku begitu sesak terhimpit oleh kerinduanku terhadap Vanno.

Sosoknya kini menghilang entah berada di mana. Terkadang aku selalu meradakan kehadiran Vanno berada di sekitarku. Tapi setiap kali aku menyelidikinya tak ada jejak atau tanda-tanda keberadaan Vanno di sekitarku. Aku hanya menghembuskan nafas dengan frustasi jika sudah seperti itu.

Aku sangat merindunmu Vanno. Rindu hingga rasanya begitu menyesakkan. Bahkan saking sesaknya dadaku kini terasa begitu sakit. Tak peduli bahwa kau telah menyakitiku, karena satu yang pasti aku akan selalu mencintaimu Vanno. Tak apa jika sikapmu berubah kepadaku, karena aku takkan berubah sedikitpun. Dan akan aku pastikan itu.

Siang itu sudah tak ada kegiatan lagi di kampus. Maka aku memutuskan untuk pergi berjalan-jalan saja. Tak ada tempat spesifik yang aku datangi, hanya megikuti kemana kakiku melangkah. Sebenarnya aku ingin menemui Glad dan menceritakan semuanya. Namun aku tak mau menambah bebannya, karena saat ini Glad sedang memiliki banyak permasalahan terutama dengan Jake.

Setelah lelah berjalan-jalan akhirnya aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku di kafe kesukaanku seperti biasanya. Baru saja aku masuk melewati pintu masuk, langkah kakiku langsung terhenti secara spontan.

Vanno. Aku melihat sosoknya yang sedang duduk di meja yang aja di pojok ruangan dengan sebelah tangannya yang menopang dagu. Jantungku langsung bedebar dengan hebatnya. Ia ada disini, Vanno-ku. Akhirnya aku bisa melihat kembali wajah tampannya yang amay kurindukan itu.

Namun ada yang aneh dan berbeda dengannya. Aku tak tahu apa yang berbeda hanya saja aura yang melingkupi dirinya begitu gelap dan kelam. Lebih kelam saat pertama kali aku bertemu dengannya. Membuatku merasa ketakutan, entahlah tapi seperti itulah yang aku rasakan saa melihatnya kini.

Vanno terlihat begitu jauh, sangat jauh dan sangat tak tersentuh. Ia begitu dingin dengan tatapan yang sangat kosong. Wajahnya terlihat lebih tirus, sepertinya Vannp tidak mendapatkan banyak waktu untuk tidur. Vanno apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa kau terlihat begitu menyedihkan seperti ini Vanno?

Entah berapa lama aku berdiri sambil terus memperhatikannya. Ketika matanya menatapku, dengan tergesa-gesa aku langsung membalik tubuhku dan keluar dari kafe itu. Ya Tuhan, semoga saja ia tidak melihatku. Jantungku berhentilah berdebar seperti itu, lama-lama aku bisa mati karena terkena serangam jantung, rutukku dalam hati sambil terus berjalan menuju ke sebuah taman yang tak jauh dari kafe.

Aku harus menjauh dari Vanno, entah sampai kapan. Tapi yang jelas untuk saat ini aku belum siap untuk bertatap muka dengannya. Tadi saja aku hampir pingsan saat matanya beradu pandang denganku. Itulah kenapa aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu.

Sesampainya di taman aku langsung menuju ke bangku yang berada di bawah sebuah pohon. Tempat itu selalu menjadi tempatku jika aku merasa bosan menghabiskam waktu di kafe. Tempatnya sangat teduh dengan udaranya yang cukup bersih.

Setelah menghirup udara beberapa kali aku mengeluarkan sebuah novel yang baru saja aku beli beberapa hari yang lalu. Beberapa menit kemudian aku mulai tenggelam dalam kumpulan kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat-kalimat yang indah.

Setidaknya aku bisa sedikit melupakan kegelisahan yang sedang aku rasakan saat ini karena Vanno. Oh Tuhan, mengapa aku tidak bisa melupakannya? Mengapa aku jatuh cinta pada seorang pria yang memiliki begitu banyak misteri sepertinya. Mengapa kau tidak membuatku jatuh cinta kepada pria lain atau Kak Leon saja,  batinku.

Berhenti memikirkan Vanno, Clariss. Kalu lihat saja tadi bahkan wajah Vanno terlihat sangat datar saat melihatmu. Itu sudah cukup bagimu untuk melupakannya. Vanno sudah melupakanmu, jadi sebaiknya kau mulai membuka hatimu untuk Leon, cibir kata hatiku dengan panjang lebar.

"Argh..." aku mengerang frustasi karena aku kembali memikirkan Vanno. Vanno dan Vanno. Dengan sedikit kesal aku memasukan novel yang tadi kubaca ke dalam tas.

Setelah itu barulah aku menyadari bahwa taman telah sepi. Sepertinya aku akan terlambat lagi sampai di apartemen, karena hari sudah gelap. Selesai membereskan barang-barang aku bangun dari dudukku. Merapikan pakaianku kemudian mulai berjalan menuju keluar taman.

Entah perasaanku saja atau bukan petang ini suasana sekitar begitu sepi. Tidak banyak orang dan kendaraan yang berlalu lalang. Mengeratkan jaket di tubuhku, aku mulai berjalan menjauhi taman dan menuju ke sebuah pemberhentian bis yang jaraknya cukup jauh dari taman.

Aku melangkahkan kakiku dengan cepat. Karena lagi-lagi perasaan ceman dan takut kembali menghampiriku. Rasanya ada seseorang yang tengah mengawasi dan mengikutiku. Namun setiap kali aku berhenti dan melirik ke belakang tak ada seorang pun di sana.

Aku semakin memepercepat langkahku menuju ke tempat pemberhentian bis. Tinggal beberapa langkah lagi menuju kesana tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang menyergapku dari belakang. Ia menutup mulut dan hidungku dengam kain. Tak lama kemudian sekitarku berubah menjadi buram dan menjadi gelap.

Minggu, 23 Maret 2014

Night Passion Of A Grey Eyed Man 3

Malam itu Max memutuskan untuk pergi ke club langgananya. Ia membutuhkan hiburan, pikiranku benar-benar sangat penat. Masih dengan menggunakan stelan kerjanya, akhirnya Max sampai di tempat itu. Tempat yang memiliki sejuta kesenangan dan sejuta dosa dalam satu tempat.

Hingar bingar musik di dalam sebuah klub tidak menyurutkan langkah dari seorang pria yang memiliki penampilan bak adonis. Tubuhnya yang sempurna terbalut oleh setelan jas mahal dengan kain yang terbaik. Dia adalah Max. Seorang taipan muda bertangan dingin.

Sepasang matanya yang berwarna abu-abu mengawasi setiap sudut klub yang di datanginya itu dengan tajam. Ia sedang mencari objek yang bisa menjadi tempat pelampiasannya.

Matanya menangkap sesosok wanita yang sedang asyik bergoyang mengikuti alunan musik ditengah lantai dansa. Tubuhnya terbungkus oleh pakaian yang sangat minim dan ketat sekali. Bahan pakaiannya yang tipis membuat sesuatu yang berada di balik pakaian itu bisa dengan jelas terlihat. Banyak pula pria yang berusaha mendekati dan menyentuh wanita itu. Namun si wanita terlihat tak peduli dan tertarik dengam sekitarnya.

Dengan langkah mantap Max langsung berjalan menuju si wanita berada. Aura yang menguar dari tubuh Max membuat beberapa orang menyingkir dan menjauh. Tanpa banyak kata Max  langsung menarik lengan si wanita yang ternyata sedang dalam keadaan setengah mabuk itu keluar dari area lantai dansa.

Langkah kaki mereka menuju ke arah sebuah private room yang memang disediakan oleh pihak club. Max langsung saja menyerbu wanita itu dengan ciuman-ciuman yang panas dan liar. Tanpa ampun dan tanpa jeda sedetikpun, seperti dikejar oleh sesuatu yang sangat mendesak dan memaksanya untuk melakukannya dengan cepat.

Si wanita yang semula kaget kini terlihat lebih rileks dan sangat menikmati cumbuan yang diberikan oleh si pria. Tanpa basa basi Max langsung mendorong turun gaun si wanita dan menangkup kedua payudaranya, meremas dan memilin bagian putingnya dengan keras, membuat si wanita melenguh keras karena nikmat.

Kini bibirnya menggantikan tangannya yang sejak tadi bermain-main di kedua gundukan kenyal itu, karena kini tangannya telah menyusup masuk ke dalam thonk si wanita dan merobeknya. Mencari titik paling sensitif yang akan membuat wanita itu berteriak-teriak.

Saat ia menemukan apa yang dicarinya, tanpa ampun Max memainkan jari-jarinya di sana, membuatnya semakin membengkak dan cairan kenikmatan tak henti-hentinya keluar dari lubang vagina si wanita. Kini jari-jarinya yang panjang dan besar tengah bersarang dan mulai mengaduk-aduk dinding vagina si wanita.

Dua jari kini telah bersarang di dalam vaginanya. Max menggerakkan kedua jari-jarinya itu dengan cepat. Membuat si wanita mengerang dan menggerakkan pinggulnya untuk mendapatkan kenikmatannya. Tapi Max tak begitu saja memberikannya, karena dengan cepat ia mengeluarkan jarinya dari dalam sana.

Dengan cepat ia membuka restleting dan ikat pinggangnya, membebaskan penisnya yang sudah mengacung tegak dan keras. Ia meraih kepala si wanita dan mengarahkan penisnya masuk ke dalam mulut mungil si wanita. Awalnya si wanita merasa kesulitan karena ukuran penis Max yang memiliki ukuran yang cukup besar. Susah payah ia mengulum dan menjilat penis besar itu. Memasukannya hingga mengenai dinding tenggorokannya dan hampir tersedak.

Max mencengkram kuat rambut si wanita sambil menggerakkan badannya. Geraman terdengar dari Max ketika ia hampir mencapai pelepasannya. Akhirnya ia memuntahkan semua benihnya di dalam mulut si wanita dan menahannya. Sehingga mau tak mau si wanita menelan habis cairan sperma milik Max. Saking banyaknya sperma itu meleleh keluar dari mulutnya.

Si wanita terlihat terkulai lemah di atas sofa, namun itu tak menyurutkan Max untuk terus melampiaskan nafsunya. Terlebih lagi penisnya masih dalam keadaan keras dan siap untuk kembali bertempur. Ia mengeluarkan seutas tali yang sudah terpotong menjadi dua bagian dari dalam saku jasnya.

Ia memutar tubuh si wanita dalam posisi menungging dan menumpu tubuh bagian atasnya di atas meja. Membuka lebar-lebar kedua kakinya, lalu dengan terampil mengikat masing-masing kaki dan tangannya menjadi satu dengan tali yang ia bawa. Itu memungkinkan untuk memperkecil gerakan si wanita.

Tanpa peringatan Max langsung menyerang vagina si wanita dengan mulutnya. Ia menjilat lipatan vagina itu dengan rakus, lidahnya yang kasar mencecap setiap inchi vagina itu. Lidahnya dengan cepat menusuk liangnya membuat tubuh si wanita bergetar dengan erangan yang tertahan. Ia terus melakukan itu dan dengan cepat menghentikannya ketika si wanita hampir mendapatkan pelepasannya.

Erangan frustasi pun keluar dari mulut si wanita namun itu tak membuat Max bergeming. Dengan gerakan tiba-tiba ia memukul pantat si wanita dan membuatnya menjerit. Begitu seterusnya hingga pantat si wanita berwarna merah dan terasa panas. Liang vagina si wanita kini sudah basah kuyup oleh cairannya.

Dengan sekali hentakan ia menghujamkan penisnya ke dalam vagina si wanita. Lalu memompanya dengan begitu keras sambil sesekali memberikan tamparan di pantatnya. Suara erangan, tamparan dan gesekan tubuh mereka berdua memenuhi semua sudut ruangan yang sengaja dibuat kedap suara.

Max mencengkram pinggang si wanita dengan keras, seirama dengan gerakannya yang semakin cepat menusuk vagina si wanita. Otot-otot vagina si wanita mulai bereaksi dan mulai meremas penisnya tanpa ampun. Beberapa tusukan dalam dan keras ia hujamkan, dan merasakan cairan hangat yang menyembur di dalam sana. Dua kali tusukan Max membalik tubuh si wanita dan memuntahkan semua spermanya di atas payudara si wanita dengan lenguhan panjang.

Setelah penisnya mengecil ia mengeluarkan tissue basah untuk membersihkan penisnya dan merapikan kembali pakaiannya. Kemudian ia melepaskan ikatan wanita itu lalu mengeluarkan segepok uang dan menyimpannya di atas meja. Max pergi meninggalkan si wanita yang terbaring lemas di sofa.

"Dasar wanita jalang." Gumam Max saat mencapai pintu keluar.

***

Keesokkan harinya aku datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Aku ingin melihay sekretaris baru yang telah di pilihkan oleh Alan. Semoga saja sekretarisku itu cantik dan seksi. Astaga, singkirkan pikiran kotormu itu Max. Ingat dengan prinsipmu untuk tidak memakai karyawanmu sebagai pelampiasan nafsu binatangmu Max, cibir kata hatiku.

Tepat pukul delapan aku sudah sampai di depan ruanganku. Aku melihat Alan sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku berasumsi bahwa wanita yang sedang di ajak bicara oleh Alan itu adalah sekretarisku.

Tapi apa benar wanita itu sekretarisku? Astaga, apa Alan tidak salah pilih? Wanita itu penampilannya tidak menarik sedikitpun, yah setidaknya wanita yang menjadi sekretarisku tidak berpenampilan kuno seperti itu. Sekretarisku harus berpenampilan menarik agar indah di pandang, tapi ini... Ya Tuhan, lahir di jaman apa wanita itu? Mengapa penampilannya benar-bengar sangat mengerikan?

Aku langsung bersikap dingin seperti biasa setelah semakin dekat dengan mereka, "Selamat pagi." Sapaku dengan datar.

"Ah, kebetulan sekali kau sudah datang. Ini sekretaris barumu Max, namanya Annabella Devine, dan Anna ini adalah Maximilliano atasanmu." Alan memperkenalkan.

"Selamat pagi Mr Alderman, senang bisa bekerja dan bergabung di perusahaan anda." Sapa Anna dengan bersemangat. Sepertinya dia cukup supel meskipun penampilannya terlihat err mengerikan.

"Ya, selamat datang di perusahaan kami." Jawabku datar. "Alan, bisakah kita berbicara di ruanganku?" Pintaku.

"Tentu saja." Timpal Alan singkat. Kemudian aku dan Alan masuk ke dalam ruanganku.

"Jadi bagaimana pendapatmu tentang sekretaris barumu itu?" Tanta Alan dengan seringaian yang menjadi khasnya.

"Alan, apa kau gila? Kau tahu bukan salah satu syarat untuk menjadi sekretarisku seperti apa! Tapi..." aku menggantung kata-kataku.

"Ya ya ya, aku tak melupakan syaratmu itu, Max. Tapi apakah kau tidak melihat penampilannya seperti apa? Oke aku akui bahwa ia memiliki nama yang cantik dan indah, tapi tidak dengan penampilannya. Astaga, Alan." Dengusku kesal, namun Alan hanya tertawa terbahak-bahak. "Tidak ada yang lucu, Alan." Aku melemparkan pena yang kupegang ke arah Alan.

"Aku hanya bercanda, Max. Kau ini seperti anak kecil saja." Kekeh Alan sambil berusaha menghentikan tawanya.

Aku tak menggubrisnya yang kembali tertawa. Bahkan kini tawanya jauh lebih keras daripada sebelumnya. Kakakku benar-benar menyebalkan. Hanya di depan Mom dan Alan aku bisa bersikap kekanak-kanakan.

"Dengar Max, alasanku memilih Annabella karena ia memiliki potensi yang ada di atas rata-rata dan kemampuan yanh di milikinya melebihi kandidat yang lain." Jelas Alan dengan nada suara yang berubah menjadi serius, "Setidaknya dengan kehadiran Annabella pekerjaanmu akan sedikit terbantu dan berkurang. Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu." Ucap Alan sambil menepuk bahuku kemudian ia pergi meninggalkan ruanganku.

"Terima kasih, Kak." Gumamku lirih.

Setelah Alan pergi aku langsung memanggil Anna ke ruanganku. Setidaknya aku harus membuktikan perkataan Alan tentang kemampuannya.

"Aku ingin kau menyelesaikannya tepat saat jam makan siang nanti, Anna. Sekalian siapkan materi yang akan aku bawa saat pertemuan jam dua nanti. Apa kau mengerti?" Perintahku dengan tegas kepada Anna.

"Saya mengerti Sir, apa ada lagi yang harus saya kerjakan?" Tanyanya dengan mantap, tak terlihat kegugupan sedikitpun di wajahnya. Ini tak pernah terjadi, biasanya orang-orang yang baru bergabung di perusahaanku dan bertemu denganku akan gugup, hingga melakukan kesalahan saat mengerjakan tugas yang di berikan olehku.

"Aku tidak ingin ada kesalahan sedikitpun, mengerti?" Tegasku.

"Mengerti, akan saya pastikan tak ada kesalahan sedikitpun. Kalau begitu saya permisi, Sir." Pamitnya, kemudian keluar dari ruanganku.

Baiklah jika kau sudah membuktikan bahwa kau tidak gugup berhadapan denganku. Sekarang kita lihat apakah kau sanggup menyelesaikan semua tugas yang aku berikan tanpa kesalahan sedikitpun seperti janjimu, Annabella.

Entah mengapa darahku berdesir saat menyebut namanya. Namanya terdengar begitu seksi saat kuucapkan. Hentikan pikiran kotormu itu Max, bukankah dia bukan tipemu, lagi-lagi kata hatiku mencibir.

Suara deringan ponselku langsung menyadarkanku kembali ke dunia nyata. Ternyata yang menelepon adalah salah satu informanku.

"Ya, bagaimana?"

"..."

"Kau masih belum juga menemukan anak dari wanita itu?"

"..."

"Dengar aku tak menerima kata-kata gagal. Kau harus menemukannya dengan cara apapun. Kau mengerti."

"..."

Dengan kasar aku meletakkan ponselku di atas meja kerja. Anak wanita iblis itu masih belum juga bisa di temukan. Orang kepercayaanku saja hampir putus asa mencarinya. Tapi aku tak mau tahu, bagaimana pun juga anak itu harus bisa di temukan.

Aku tak tahu mengapa aku begitu ngotot dan terobsesi untuk menemukan anak dari wanita iblis itu. Aku hanya merasa tidak tenang dan selalu gelisah jika teringat tentang hal itu. Sepertinya hidupku akan kembali tenang jika ia sudah di temukan.

Jodoh Pasti Bertemu (Diary1)

Aku hanya ingin menceritakan kisahku, ya meskipun aku tahu bahwa kisahku ini sangat klise. Tapi hey aku punya hak untuk mengungkapkan apa yang sedang aku rasakan, bukan? Oh ayolah, jangan mencibirku seperti itu. Toh kisahku ini takkan merugikan kalian, bahkan akupun tak mengharapkan rasa simpati atau belas kasihan dari kalian.

Ah aku hampir lupa memperkenalkan namaku, perkenalkan aku Andini Khairunisa Putri Pratama. Umurku? Tak usah kalian tahu umurku berapa yang jelas umurku tidak tua dan tidak juga muda. Ya ya ya, aku tahu bahwa kata-kataku membingungkan baiklah aku akan mengatakan pada kalian. Umurku baru menginjak angka 24 tahun tiga hari yang lalu. Umur yang pas dan siap untuk berumah tangga, bukan.

Tapi sepertinya pernikahan indah yang aku impikan hanya akan terjadi di dalam khayalanku saja. Impian yang akan tetap menjadi sebuah mimpi. Entah kapan keinginan itu akan terwujud. Tidak. Tidak. Kalian salah jika mengatakan aku tidak memiliki kekasih, yang terjadi malah kebalikannya. Aku memiliki seorang kekasih yang tampan dan memiliki pekerjaan yang mapan. Dua hal itu adalah bonus yang aku dapatkan karena yang terpenting bagiku adalah akhlaq dan agamanya.

Jadi, apakah kalian benar-benar ingin mendengarkan kisahku secara lengkap? Ayolah aku tahu kalian sebenarnya tergelitik dan penasaran dengan kisahku, bukan. Meskipun sekali lagi aku tegaskan bahwa kisahku ini sangat klise. Ah ya, baiklah kalau begitu aku akan menceritakannya, duduk manis dan siapkan telinga kalian untuk mendengarkan kisah kliseku ini. Oke oke tahu aku banyak bicara, maafkan. Jangan tertawa oke!

***

Semuanya terjadi dua tahun yang lalu. Dua tahun yang benar-benar menjadi tahun yang aku benci dalam hidupku. Karena kejadian-kejadian yang terjadi saat dua tahun yang lalu itulah membuatku jadi takut untuk berkomitmen. Aku benci pria, tak percaya dengan kata cinta dan sangat menbenci kata ataupun hal-hal yang berhubungan dengan "pernikahan".

Semua ini karena ulah seseorang. Seseorang yang menempati tempat istimewa di hatiku, pada saat itu. Abimana Irwansyach Saputra, dia adalah kekasihku sejak masih SMA. Tapi saat ini ia bukan lagi kekasihku, dia hanya mantan kekasih yang sekaligus jadi orang yang paling aku benci.

Tadinya aku pikir Abi akan menjadi masa depanku. Menjadi imamku dan ayah untuk anak-anakku kelak. Dengannya pula aku memiliki impian tentang pernikahan yang manis. Aku sangat ingin memiliki pernikahan yang indah nanti.

Abi memiliki wajah yang tampan, perangainya pun baik. Ia adalah pria idaman para wanita, tak sedikit wanita yang terang-terangan mengejarnya. Namun Abi tetap tak bergeming, jika sudah seperti itu Abi akan bersikap posesif kepadaku. Menunjukkan kepada semua orang bahwa ia adalah milikku dan aku adalah miliknya.

Senang? Bahagia? Tentu saja aku merasa senang dan bahagia mendapatkan perlakuan seperti itu dari Abi. Namun semua itu berubah, tepatnya dua tahun yang lalu. Tiba-tiba saja aku merasa sikap Abi tak seperti biasanya. Entahlah mungkin hanya perasaanku saja, meskipun teman-temanku mengatakan bahwa sikap Abi tidak berubah namun tidak dengan hatiku.

Rasa-rasanya Abi menyembunyikan sesuatu dariku. Sesuatu yang entahlah aku tak ingin menebak atau menerka-nerka. Sebisa mungkin aku menyingkirkan semua pikiran-pikiran negatif dari kepalaku. Aku tak ingin berpikiran buruk terhadap kekasihku sendiri. Apalagi kamu sudah bersama dalam waktu yang lama.

Kebersamaan kami yang sudah terjalin selama enam tahun rasanya cukup untuk membangun kepercayaan terhadap satu sama lain. Ya, aku mempercayai Abi, sangat bahkan. Meskipun aku tak memungkiri terkadang aku selalu memiliki prasangka buruk terhadap Abi.

Jika ada yang bilang cinta itu buta dan tak ada logika. Maka aku akan membenarkan pendapat itu. Seperti itulah aku terhadap Abi. Mencintainya dengan mata tertutup, tak memeperhatikan lingkungan sekitarku. Yang ada di mataku hanya Abi, Abi, dan Abi. Bahkan kesalah yang di buat Abi pun aku seakan menutup mata, tak melihatnya sama sekali.

Hari ini aku sedang sibuk berkeliling di salah satu mall terbesar di Jakarta. Aku sedang mencari hadiah untuk ulangtahun Abi. Hari ini Abi ulangtahun dan nanti malam akan ada perayaan ulangtahunnya yang ke 22 tahun. Sebuah pesta yang sengaja di adakan, Abi bilang ia ingin mengundang semua teman-teman kami saat masih SMA dalam pesta tersebut.

Setelah dua jam berkeliling akhirnya aku mendapatkan hadiah yang tepat. Tak lupa pula aku membeli sebuah gaun yang baru untuk di kenakan nanti malam. Sesampainya di rumah aku langsung membersihkan diri dan bersiap-siap. Aku tak ingin tampil biasa-biasa saja di pesta ulangtahun kekasihku. Maka dari itu sejak sore aku sudah sibuk mempersiapkan penampilanku untuk malam ini.

Dan saat ini aku sudah berada di hotel tempat pesta ulangtahum Abi di selenggarakan. Ternyata banyak sekali tamu-tamu yang datang dan aku tidak mengenalnya. Aku berasumsi bahwa Abi juga mengundang rekan-rekan bisnisnya. Saat mencari keberadaan Abi di dalam ballroom aku berpapasan dengan beberapa teman baikku saat di SMA dulu. Kami jarang sekali bertemu karena kesibukkan masing.

"Andin, senang sekali akhirnya bisa bertemu lagi." Sapa Ghisya sahabatku.

"Ghisya, senang sekali bisa bertemu denganmu." Timpalku sambil memeluknya.

"Aku lebih banyak mengurus butikku yang ada di Singapura, kebetulan kemarin aku sedang berada di Jakarta untuk pembukaan cabang baru." Jelas Ghisya, "Kita harus pergi keluar berdua nanti. Banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan kepadamu." Lanjutnya bersemangat.

"Tentu saja, Ghisya." Jawabku singkat. "Ah, itu Abi aku akan menemuinya dulu. Kau tidak apa-apa, kan?

"Tidak apa-apa, temuilah pangeranmu." Gumam Ghisya sambi terkikik geli.

Aku hanya tertawa sambil berlalu meninggalkan Ghisya. Sahabatku itu ternyata masih belum berubah. Di perjalanan menuju ke tempat Abi berada aku bertemu dengan dia. Pria menyebalkan, entah kenapa ia selalu saja menggangguku. Dia adalah Rifky Nugraha, teman sekelasku.

Entah apa yang membuat Rifky begitu benci kepada Abi. Rifky selalu menampilkan wajah tak suka sejak tahu aku dan Abi berpacaran. Tapi aku tak ambil pusing.

"Andin..." panggil Rifky.

Otomatis langkahku terhenti, "Hai Rifky, apa kabar?" Sapaku.

"Aku ingin bicara denganmu Andin, ada hal yang ingin aku sampaikan kepadamu." Cecar Rifky tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku hanya menghela nafas, "Aku tak mau mendengarmu." Jawabku datar.

"Andin, please. Kali ini kau harus mau mendengarku, sebelum semuanya terlambat." Rifky terus berusaha untuk meyakinkanku agar mau berbicara dengannya.

"Tidak, aku harap kau mau mengerti dan tidak menggangguku lagi, Rifky. Aku hargai semua yang telah kau lakukan untukku. Tapi tetap aku tidak bisa." Jelasku panjang lebar. Kemudian aku pergi meninggalkan Rifky yang mematung dengan ekspresi wajah yang sedih? Entahlah, aku tak ingin peduli.

Aku bergegas mendekati Abi, namun langkahku kembali terhenti karena Abi terlihat tengah berbincang dengan beberapa orang. Mungkin dengan rekan bisnisnya, karena mereka terlihat serius. Hingga akhirnya aku mendengar suara Abi dari atas panggung.

"Pada kesempatan kali ini selain untuk merayakan ulahtahun saya juga akan mengenalkan seseorang. Karena dialah yang akan menjadi pendamping hidup saya." Mendengar kata-kata yang terluncur dari Abi membuat tubuhku gemetaran, rasa panas menghinggapi wajahku. "Hari ini pula saya akan mengumunkan pertunangan kami. Wanita cantik yang akan menjadi pendamping hidupku adalah..." Abi menggantuk kata-katanya, membuat kerja jantungku semakin kencang. "Ia adalah Putri Sonya Permana." Lanjutnya mantap sambil memandang ke arah seorang wanita cantik yang mengenakan gaun berwarna merah.

Air mata mulai berkumpul di pelupuk mataku. Tidak. Tidak. Aku tidak boleh menangis, setidaknya tidak di tempat ini. Ya Tuhan, hatiku benar-benar terasa sangat sakit. Ribuan pisau kini bersarang di jantungku. Mengapa semua menjadi seperti ini? Mengapa Abi bertunangan denga wanita itu? Lalu apa artinya kebersamaan kami selama bertahun-tahun ini?

Tak ada gunanya lagi aku berlama-lama disini. Aku harus pergi secepatnya dari tempat ini. Harus. Dengan tergesa-gesa aku berusaha untuk keluar dari kerumunan para tamu yang akan memberikan selamat kepada Abi dan pasangannya atas pertunangan mereka.

Namun di tengah perjalanan seseorang mencengkram lenganku. Membawaku keluar dari pesta itu, kemudian menuju ke taman yang letaknya tak jauh dari hotel. Barulah aku sadari bahwa orang yang menarikku adalah Rifky.

Ya, Rifky dia adalah salah satu pria tampan lainnya di sekolah dulu. Rifky sebenarnya baik hanya saja ia sering sekali mengerjaiku, membuatku marah dan kesal. Tapi yang membuatku tak menyukainya karena ia adalah seorang playboy. Membuatku jadi tidak menyukainya. Ia juga merupakan salah satu sahabat Abi.

"Lepaskan tanganku, aku mau pulang." Tukasku setelah kami sampai di taman.

"Tidak akan. Setelah aku yakin bahwa kau baik-baik saja, Andin." Timpal Rifky.

Aku mengalihkan pandangnku menatapnya, "Aku baik-baik saja. Kau pikir aku kenapa, huh? Akan menangis meraung-raung di dalam sana dan menuntut penjelasan kepada Abi?" Sentakku dengan sengit.

"Tidak, bukan begitu." Sanggah Rifky lembut.

"Aku tidak selemah itu, Rifky. Tidak." Namun entah mengapa tiba-tiba saja suaraku bergetar.

Rifky menarik tubuhku ke dalam pelukannya, "Menangislah Andin, menangislah sepuasnya." Gumamnya sambil memelukku erat.

Pertahananku langsung runtuh, aku menangis terisak di dada Rifky. Menumpahkan semua emosi yang sedari tadi aku tahan dan aku pendam.

Andai engkau tahu betapa ku
mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam
doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang
kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan
menjawabnya

Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu

Andai engkau tahu betapa ku mencinta
Selalu menjadikanmu isi dalam doaku
Ku tahu tak mudah menjadi yang kau pinta
Ku pasrahkan hatiku, takdir kan
menjawabnya

Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu

Jika aku bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu
Ku kan memilikimu, jodoh pasti bertemu

(Afgan - Jodoh Pasti Bertemu)

Entah sudah berapa lama aku menangis di pelukan Rifky. Hatiku merasa tenang dan nyaman berada di pelukannya. Kini hanya terdengar isakan kecil dari mulutku. Kau tidak boleh menangis Andin, kau harus kuat. Pria seperti Abi tidak pantas kau tangisi, bisikku dalam hati.

Tangisku telah mereda namun Rifky masih enggan melepaskan pelukannya di tubuhku. Dengan pelahan aku melepaskan diri dari pelukannya, "Maaf sudah membuat bajumu basah. Terima kasih, aku sudah merasa lebih baik sekarang." Ucapku sambil menundukkan kepala.

Rifky meraih daguku, aku wajahku menatapnya, "Apakah kau yakin sudah baik-baik saja?" Tanyanya dengan suara yang khawatir.

"Aku sudah tidak apa-apa, menangis takkan bisa memperbaiki semua yang telah terjadi." Sahutku sambil tersenyum tulus kepadanya, "Sebaiknya aku pulang saja."

"Aku akan mengantarmu." Pintanya.

"Tidak usah terima kasih." Jawabku singkat, kemudian bergegas pergi meninggalkannya.

Sejak hari itu aku tak pernah bertemu lagi dengan Rifky. Sebenarnya aku yang menghindar, karena dia terus menerus saja menghubungiku dan terkadang mendatangi rumahku. Sayangnya aku tak berada di Jakarta setelah kejadian itu.

Jumat, 14 Maret 2014

Love Doesn't Have To Hurt 12

DHEE

Di sinilah aku saat ini, di sebuah kafe yang bernuansa romantis dengan alunan musik-musik yang romantis pula. Senyuman tak kunjung hilang dari bibirku, karena kini ada Gale yang sedang duduk tepat di hadapanku sambil menggenggam erat kedua tanganku.

Kami tengah meluruskan semua kesalah pahaman yang terjadi di antara kami selama ini. Kesalah pahaman dan keegoisanku yang menjadi bumerang untuk diriku. Ya, aku menderita karena keegoisanku sendiri. Membiarkan kesalah pahaman itu menyulut emosiku dan menghancurkan hubunganku dengan lelaki yang sangat aku cintai. Gale.

"Aku tak menyangka bahwa Daniel sampai berbuat sejauh itu. Maafkan sepupuku, Gale." Gumamku setelah mendengarkan penuturan Gale, dengan ekspresi terkejut. Ia mengatakan bahwa selama hampir satu bulan lamanya ia pernah berkeliling mendatangi setiap rumah sakit yang ada di California hanya untuk mencari keberadaanku yang tiba-tiba saja menghilang bagai di telan bumi. Dan dengan seenaknya Daniel sepupuku tersayang mengatakan kepada suster bahwa aku di pindahkan ke salah satu rumah sakit yang berada di California.

Daniel, aku akan membuat perhitungan denganmu. Aku tak menyangka bahwa kau berani sejauh itu mencampuri hubunganku dengan Gale, geramku dalam hati. Mom, Dad ataupun kamu tak memiliki hak untuk memisahkanku dengan Gale.

Kebaikan menurut mereka belum tentu juga baik untukku. Begitu pula dengan jalan yang aku pilih untuk mendapatkan kebahagiaanku. Dan jalan yang kupilih adalah Gale. Aku percaya dan yakin bahwa Gale akan memberikan kebahagiaan kepadaku. Meskipun tak sedikit rintangan yang datang menghadang hubungan kami.

Gale tetap bertahan, di saat aku dengan semua keegoisan dan kekeras kepalaanku membenarkan semua yang aku lihat tanpa mau mendengarkan sedikitpun penjelasan darinya. Berkali-kali aku menyalahkan Gale, namun ia tetap sabar dan menerima semua tuduhanku. Bahkan Gale tidak pergi ketika aku meninggalkannya. Yang terparah Lila menjadi korban pelampiasan kemarahanku. Aku benar-bener merasa sangat bersalah kepadanya.

"Angel, apa yang sedang kau pikirkan?" Suara Gale langsung membuyarkan lamunanku.

"Ah, tidak ada apa-apa Gale. Hanya saja aku sedang memikirkan Lila. Apakah ia mau memaafkanku dan menjadi sahabatku lagi." Ungkapku dengan sedih.

Gale meraih tanganku, kemudian menciumi jemariku dengan lembut, "Lila sudah memaafkanmu sejak lama, Angel. Jadi kau tak perlu khawatir." Jawab Gale sambil merapikan rambutku yang menempel di pipi.

"Aku benar-benar merasa bersalah kepada Lila, Gale." Keluhku sambil menundukkan kepalaku.

"Angel, sudah ku bilang bahwa Lila tidak marah. Jadi jangan bersedih lagi, kita nikmati malam yang indah ini. Kau tahu aku sangat merindukanmu." Hibur Gale sambil memberikan senyuman andalannya yang selalu memabukanku.

"Jangan lari lagi, Angel. Karena ketika kau pergi dan tak bisa aku temukan itu sama saja dengan membunuhku secara perlahan." Tutur Gale sambil memandangku dengan lekat.

"Tidak akan Gale, aku takkan melakukan hal bodoh yang kekanakan seperti itu lagi. Aku mencintaimu, Gale." Kemudian aku mencium bibirnya.

Ciuman kami semakin lama semakin dalam dan begitu intens. Aku menjalankan jari-jariku di antara helaian rambut coklat Gale dan menekan tengkuknya sesekali untuk memperdalam ciumannya. Sampai tiba-tiba Gale menarik diri membuatku merasa kehilangan dan kecewa.

"Sebaiknya kita pulang, Angel. Malam sudah semakin larut." Suara Gale yang serak terdengar begitu seksi di telingaku.

Setelah membayar tagihan, Gale menggandeng mesra tanganku saat keluar dari kafe itu. Sedangkan aku tetap menekuk wajah karena kesal. Ya, aku kesal karena momen romantis tadi tiba-tiba hentikan oleh Gale begitu saja. Apa dia tidak merindukanku? Sepanjang perjalanan menuju ke mansion tempatku tinggal aku terus menerus menggerutu.

Tak ku hiraukan celotehan Gale selama perjalanan. Aku kesal pada Gale dan kepada diriku sendiri. Karena entah sejak akan aku berunah menjadi manja dan senang merajuk seperti ini. Argh, ini benar-benar menyebalkan.

"Angel, kau kenapa? Sejak tadi aku perhatikan kau diam saja sambil memasang wajah yang cemberut." Celetuk Gale memecah keheningan karena sedari tadi aku mengacuhkannya.

"Kau pikir saja sendiri." Aku memutar kedua bola mataku kesal sambil menjawab pertanyaan Gale.

"Ayolah sayang, jangan merajuk seperti ini. Aku bukan peramal atau pun Tuhan yang bisa mengetahui isi dari kepala cantikmu itu." Celoteh Gale.

"Kau menyebalkan Gale sangat menyebalkan. Kau... ah sudahlah aku malas membahasnya." Dengusku kesal, menepis dengan kasae genggaman tangannya, kemudian aku berjalan mendahuluinya sambil menghentak-hentakan kaki.

"Angel, tunggu..." teriak Gale sambil mengejarku.

Astaga Dhee, otakmu sudah fix mengalami kerusakan fatal. Lihat saja kelakuan bodohmu itu, seperti bocah yang tidak di belikan mainan kesukaannya saja. Merajuk tanpa sebab, ah aku tidak merajuk tanpa sebab. Seharusnya Gale tahu kenapa aku sampai merajuk seperti ini.

Mustahil jika Gale tidak mengetahui alasanku merajuk. Tapi sedari tadi Gale terus saja bertanya apa yang terjadi kepadaku. Yang Gale lakukan kebanyakan membisu sambil memandangi keadaan sekitar. Entah apa yang sedang di pikirkannya, haruskah aku bertanya apa yang sedang di pikirkan oleh kepalanya yang tampan itu. Oh tentu saja tidak, aku tidak akan menanyakannya.

Akhirnya kami sampai di mansion tempatku tinggal. Ketika di dalam Gale masih diam, aku juga malas untuk menyapanya terlebih dahulu. Namun ketika aku baru selesai mengunci pintu dan berbalik, tiba-tiba saja Gale langsung menyergapku.

Ia menyudutkanku di dinding samping pintu. Tubuhnya yang kekar memerangkap tubuhku, sebelah tangannya mencengkram kedua tanganku dan menepatkannya tepat di atas kepalaku. Sedangkan tangannya yang bebas mulai menelusuri wajahku dan berakhir di bibirku. Ia berlama-lama menyentuh dan menelusuri bibirku.

Kemudian bibirnya mengunci bibirku dan mulai melumatnya dengan lembut. Mulutku terbuka, membiarkannya menjelajahi seluruh rongga mulutku. Ritme ciuman yang tadinya sangat lembut mulai berubah menjadi agak kasar dan menuntut tanpa mengurangi kadar intensitasnya.

Dadaku mulai terasa sesak karena kekurangan udara. Tarikan nafasku mulai tersengal ingin rasanya aku menarik diri kemudian menghirup udara sebanyak-banyaknya. Namun itu tak kulakukan, aku malah semakin memperdalam ciumanku. Aku tak ingin kehilangan momen ini walaupun hanya sedetik.

Akhirnya Gale membebaskan kedua tanganku dari cengkramannya. Buru-buru aku melingkarkan tanganku di lehernya yang kokoh itu. Gale mengelus tengkukku kemudiann tangannya turun membelei kedua lenganku dengan lembut. Sentuhannya menimbulkan gelenyar-gelenyar aneh di tubuhku. Rasanya panas namun sangat nikmat.

Pola-pola lingkaran kecil yang di buatnya di lenganku semakin membuat tubuhku memanas. Otot-otot perutku mengencang, rasanya seperti ada jutaan kupu-kupu yang berkumpul di sana. Gale menarik diri, ia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan aku melakukan hal yang sama.

Aku memandangi wajah Gale yang ada di hadapanku. Ekspresi wajahnya tak bisa kubaca. Sepertinya sedang terjadi pergulatan emosi di sana. Namun mata coklat susunya menunjukan gairah yang teramat besar. Matanya yang berkabut itu tak bisa di tutupi atau di sembunyikan. Meskipun aku tahu ia sedang berusaha keras untuk menekan gairahnya.

Gale menarik tubuhku dan membawanya ke arah kamar. Ia langsung melepaskan jaket dan sepatu yang kupakai. Kemudian ia membaringkanku di tempat tidur, tak lama kemudian ia menyusul setelah melepaskan pakaiannya yang hanya menyisakan celana boxernya saja. Jantungku langsung berdetak tak beraturan, pikiranku mulai melayang-layang memikirkan hal-hal yang di inginkan. Astaga Dhee, hentikan pikiran tak senonohmu itu.

Ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya, "Tidurlah Angel, atau aku takkan bisa menahan diriku sama sekali. Karena aku tidak ingin mengklaimmu sebelum kau resmi menjadi istriku." Bisiknya tepat di telingaku. "Selamat malam, tidur yang nyenyak Angel."

Mendengar kata-katanya mataku terpejam. Hatiku di lingkupi oleh perasaan hangat yang sangat nyaman. Bersama Gale selalu membuatku merasa aman dan di lindungi karena ia benar-benar menjaga diriku. "Selamat malam Gale, aku mencintaimu." Gumamku. Kemudian aku terlelap ke alam mimpi.

***

GALE

Berbulan-bulan sudah berlalu sejak kepulanganku dari Paris ke New York bersama Dhee. Lila girang bukan main melihat kami akhirnya bersama-sama kembali. Sekarang aku sedang berusaha keras untuk membangun kerajaan bisnisku sendiri. Tanpa ada campur tangan sedikitpun dari Dad.

Karena itulah syarat yang di ajukan oleh ayah Dhee. Mereka benar-benar akan memberikan restunya dan menyerahkan putri semata wayang mereka kepadaku jika aku mampu dan berhasil menjalani tantangan yang mereka berikan.

Itu tak masalah, dengan senang hati aku menerima tantangan yang di berikan oleh ayah Dhee, apapun akan aku lakukan untuk menjadikan Dhee milikku seutuhnya. Berjalan di tengah padang pasir selama seminggu pun akan aku lakukan demi dirinya. Kini seluruh waktuku tersita hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Untung saja Dhee mengerti, apalagi saat ini ia juga sedang sibuk dengan kuliahnya yang sudah memasuki semester akhir.

Setelah sekian lama tidak bertemu akhirnya hari itu aku bisa bertemu dengan belahan jiwaku. Saat ini kami sedang makan siang bersama di sebuah restoran Perancis yang letaknya tak jauh dari universitas tempat Dhee menimba ilmu.

"Bagaimana kuliahmu?" Aku bertanya di sela-sela waktu saat menikmati makan siang kami.

"Baik, hanya saja tugas-tugas kuliahku sangat banyak. Aku tak memiliki waktu untuk pergi berjalan-jalan dengan Andara dan Lila lagi." Jawabnya dengan sedikit gemas.

"Ngomong-ngomong tentang Lila, apakah dia baik-baik saja?" Sudah lama sekali aku tidak menghubungi adik kecilku itu.

"Lila baik hanya saja sekarang ia jarang menghabiskan waktu bersamaku dan Andara jika di kampus. Lila lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Zac." Jelasnya sambil mengunyah makanan. Wajahnya terlihat sangat lucu, aku ingin sekali mencubit kedua pipinya yang menggembung karena di penuhi oleh makanan.

"Apakah dia kekasih Lila?" Berita yang cukup mengejutkanku, mendengar Lila sedang dekat bersama seorang prja. Semoga Lila bisa benar-benar keluar dari bayang-banyang masa lalunya saat Dave masih hidup.

"Entahlah Gale, aku tidak tahu apakah Lila memang berpacaran dengam pria itu atau hanya berteman saja." Jawabnya sambil mengedikkan bahu.

Setelah selesai makan siang aku mengajak Dhee berjalan-jalan. Aku ingin menikmati sore di sebuah pantai, sedetik pun aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku bersama Dhee. Aku tak ingin kesempatan yang berharga ini berakhir begitu saja. Karena besok pagi aku harus segera kembali ke Swiss, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan di sana.

Kami berjalan menyusuri pasir putih di sepanjang bibir pantai sambil bertelanjang kaki dan bergandengan tangan. Hal yang sangat aku rindukan, biasanya aku dan Dhee biasa mendatangi pantai sebanyak tiga kali dalam seminggu. Lelah berjalan-jalan kami memilih untuk menghabiskan waktu sambil menunggu matahari tenggelam untuk bebincang di sebuah kafe yang ada di sana. Dari sini kami tetap bisa melihat keindahan momen saat matahari tenggelam.

"Terima kasih untuk hari ini, Angel. Aku benar-benar bahagia bisa menghabiskan waktuku bersamamu." Ucapanku membuatnya langsung menegakann kepalanya yang sedang bersandar di bahuku.

"Aku yang harusnya berterima kasih Gale, karena di waktumu yang sangat padat kau masih bisa menyempatkan diri untuk menemaniku. Aku mengerti dengan kesibukanmu, ini semua untuk kebaikan kita, bukan." Tangannya yang halus membelai wajahku dengan begitu lembut, "Karena aku yakin dan percaya kepadamu, Gale." Kata-kata terakhir yang terucap dari bibir mungilnya yang menggemaskan itu langsung membuat semangatku jadi berkali-kali lipat besarnya.

"Ah ya, ada hal penting yang ingin aku sampaikan kepadamu, Angel." Keningnga langsung berkerut ketika mendengar ucapanku.

Broken Hearted 4

GLAD

Aku benar-benar terkejut dengan pernyataan yang di ungkapkan oleh Jake semalam. Kepalaku berdenyut, mengingat semua perkataannya. Ia memintaku untuk menjadi kekasihnya, seharusnya aku senang karena pada akhirnya perasaanku bersambut. Tapi pada kenyataannya aku tidak langsung menjawab permintaannya itu.

Aku butuh waktu untuk berpikir, semua ini cukup mengejutkanku dan begitu tiba-tiba. Tapi seharusnya aku tak perlu berpikir lama karena sudah jelas Jake meminta bantuanku untuk melepaskan diri dari masa lalunya. Bukankah itu artinya Jake mau belajar untuk mencintaiku? Tak menutup kemungkinan aku bisa memiliki hati Jake sepenuhnya, bukan.

Baiklah, sepertinya aku tahu jawaban apa yang harus aku berikan kepada Jake. Ya, karena siang ini Jake berjanji akan menjemputku dan mengajaku untuk makan malam dan berjalan-jalan di akhir pekan. Jadi lebih baik aku segera mempersiapkan diriku untuk nanti siang.

Setengah jam kemudian aku sudah selesai bersiap-siap. Dan kini aku tengah mematut diriku di depan cermin. Dress berwarna salem selutut dan berbahan lembut membungkus setiap lekuk tubuhku dengan pas. Aku tidak sadar bahwa akhir-akhir ini aku jadi lebih sering berpakaian "normal" karena biasanya pakaian yang aku pakai tidak karuan. Ketukan di pintu kamar membuat kegiatanku di depan cermin terpaksa harus kuhentikan. Dengan sedikit tergesa aku menyambar tas tangan berwarna senada dengan pakaianku. Kemudian menyampirkannya di bahu sebelah kiriku, lalu membuka pintu.

"Woooo, adikku benar-bener sangat cantik. Kalian mau kencan kemana?" Goda Kak Leon.

"Kami tidak pergi kencan Kak, hanya makan malam saja." Jawabku sambil berjalan meninggalkan Kak Leon.

Sesampainya di bawah aku melihat Jake sedang duduk di ruang tamu. Malam ini penampilan Jake sangat kasual, tidak seperti biasanya yang selalu tampil dengan pakaian resminya. Namun meskipun begitu Jake tetap terlihat tampan, aku sangat yakin bahwa para wanita akan memandanginya dengan tatapan kelaparan. Dan aku tidak suka dengan hal itu, oke mungkin aku harus membiasakan diri untuk sabar jika sedang bersamanya nanti.

"Glad, kau cantik sekali." Ucap Jake menginterupsi pikiran-pikiran tidak penting yang mondar mandir di dalam kepalaku.

"Hai Jake, sudah lama menunggu?" Tanyaku sambil tersenyum untuk menutupi sikap gugup yang entah mengapa tiba-tiba datang menyerang.

"Tidak Glad, aku baru sampai. Apakah kau sudah siap untuk berangkat?" Tanyanya dengan lembut. Berbeda dengan Jake yang biasa aku temui selama ini.

Aku menggangguk. Setelah berpamitan, kami berdua langsung pergi menuju ke sebuah restoran yang menurut Jake telah ia pesan khusus untuk malam ini. Selain itu ia juga berharap bahwa malam ini aku akan memberikan sebuah jawaban yang akan membuatnya bahagia. Yang bisa kulakukan saat mendengar kata-katanya hanya tersenyum dan tersipu.

Selama dalam perjalan Jake tak henti-hentinya menggodaku. Dan sudah bisa di pastikan bahwa wajahku kini seperti kepiting rebus. Jake seperti menunjukkan sisi lain dari dalam dirinya, karena Jake yang kini ada di sampingku adalah Jake yang banyak bicara dan senang sekali menggodaku. Sepertinya Jake mulai menyukai kebiasaan barunya, apalagi jika bukan menggodaku?

"Jake, berhenti menggodaku seperti itu. Kau benar-benar membuatku kesal." Aku merajuk sambil mengerucutkan bibirku seperti bebek.

"Aku suka melihatmu marah, Glad. Karena ketika marah kau terlihat amat menggemaskan dan sangat cantik." Godanya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan genit.

"Ya ya ya. Terserah kau sajalah, Jake." Gerutuku kesal sambil memalingkan wajahku menatap pemandangan di luar melalui kaca jendela mobil.

Jake terlihat berbeda sejak malam itu. Malam ketika ia mengungkapkan perasaannya kepadaku dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Perubahannya ini merupakan perubahan yang baik, karena senyuman kini tak pernah sirna dari wajah tampannya. Tentu saja hal itu membuatku merasa senang dan semakin jatuh cinta kepadanya. Terlebih lagi dengan sikapnya yang selalu menggodaku, terkadang godaannya sedikit mengesalkan tapi aku dengan senang menanggapi semua godaannya itu.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Akhirnya kami sampai di sebuah restoran yang berada di dekat pantai. Restoran ini memiliki pemandangan yang langsung mengarah ke laut lepas. Dan kami mendapatkan tempat yang sangat pas untuk menikmati pemandangan laut yang terhampar luas di depan kami. Setelah memesan makanan kami kembali melakukan percakapan kami.

"Jadi Glad, apakah kau sudah memiliki jawaban untuk permintaanku kemarin malam?" Ekspresi wajah Jake tiba-tiba berubah menjadi serius.

"Ah, ya aku sudah memiliki jawabannya." Timpalku sambil berusaha untuk menenangkan debaran jantungku yang sedang melompat-lompat ini.

"Lalu apa jawabanmu?" Tanya Jake sambil mengenggam kedua tanganku dengan begitu erat.

"Jake, aku..." kata-kataku terpotong karena para pelayan datang membawakan makanan pesanan kami.

"Jangan dulu di jawab Glad, sebaiknya kita makan dulu. Biarkan aku memiliki tenaga untuk mendengarkan kemungkinan yang terburuk." Ucapnya dengan suara di buat terdengar putus asa. Aku membalas candaannya dengan mencubit lengannya. Tapi Jake malah tertawa lepas.

Setelah selesai kami kembali berbincang sambil menyesap wine dan menikmati pemandangan malam hari yang tersaji di depan kami. Kami memilih berbincang-bincang di sebuah sofa yang berada di teras yang langsung menghadap lautan. Bintang-bintang bertaburan menghiasi pekatnya langit di malam hari. Malam terasa semakin indah karena bulan pun muncul menampakkan keindahannya.

"Jadi, bolehkah aku mendapatkan jawabanku?" Suara Jake memecah keheningan di antara kami.

Aku mengalihkan pandanganku menatapnya kemudian tersenyum, "Baiklah Mr. Alderman, aku akan memberikan jawabannya kepadamu sekarang juga." Dengan gerakan yang tiba-tiba aku langsung mengecup bibirnya kilat. "Itu jawabanku, Jake." Lanjutku sambil tersenyum.

"Apakah, apakah yang barusan itu artinya, ya?" Tanya Jake dengan ekspresi wajahnya yang masih terkejut.

Dengan pasti aku menganggukkan kepalaku. Jake tersenyum lebar kemudian merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Mendekapku begiru erat, sepertinya aku betah berada di pelukannya selama berjam-jam. Ternyata dadanya begitu hangat membuatku merasa nyaman dan terlindungi. Aku akan membuatmu mencintaiku dan menyerahkan seluruh hatimu kepadaku, Jake. Tak peduli rintangan apa yang akan aku hadapi nanti, karena aku pasti akan memepertahankanmu agar tetap di sisiku.

"Aku mencintaimu, Jake. Sangat mencintaimu." Gumamku, masih di dalam pelukannya. Jake hanya menghembuskan nafasnya dan mempererat pelukannya.

Suatu hari kau akan mengatakan kata-kata cinta kepadaku Jake. Aku tahu bahwa saat ini kau masih sulit untuk mengatakan hal itu. Namun akan ku pastikan bahwa kau akan mengatakannya kepadaku seiring dengan berjalannya waktu dan kebersamaan kita.

"Bagaimana jika kita berjalan-jalan?" Ajak Jake yang asyik memainkan anak-anak rambutku yang berterbangan di terpa angin laut. "Kau mau kita pergi kemana?"

"Kemana pun kau membawaku, Jake. Aku akan ikut tanpa protes sedikit pun." Jawabku sambil menatap wajahnya.

"Berarti jika aku membawamu pergi ke toilet kau juga akan itu?" Celetuknya sambil menghenyitkan keningnya.

"Tidak. Tidak, bukan seperti itu maksudku, Jake." Aku mendengus kesal sambil mengerucutkan bibirku. Jake tertawa begitu lepas dan tanpa beban mendengar ucapanku. Tentu saja itu membuatku semakin memberengut kesal.

"Hei hei, jangan marah. Aku hanya bercanda." Ucapnya kemudian. Tapi aku tetap saja memasang wajah kesalku.

"Rupanya benar-benar marah, ya. Hmmm..." celetuknya sambil menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku mengerti. Dan ketika lengah tiba-tiba saja Jake menciumku.

Tubuhku langsung menegang, rasanya seperti tersengat oleh listrik berkekuatan jutaan volt yang langsung melumpuhkan seluruh sistem syaraf tubuhku. Hangat dan lembut. Itu yang aku rasakan ketika bibirnya menyentuh bibirku. Bibirnya dengan lembut terus menggodaku agar aku membalas setiap ciuman yang di lancarkannya.

Setelah berhasil mendapatkan kembali kendali atas tubuhku dari keterkejutan. Aku mulai membalas ciumannya, kedua tanganku melingkar di lehernya yang kokoh. Sedangkan Jake membelai tengkukku sambil sesekali menekannya dan membuat ciumanan kami semakin dalam.

Sepertinya salah satu dari kami tak ada yang berniat untuk mengakhiri kegiatan kami ini. Entah berapa lama bibir kami saling berpagutan, Jake baru menarik diri ketika nafasku mulai tersengal karena kekurangan pasokan oksigen. Jake menyentuh bibir bawahku yang agak bengkak akibat ciumannya. Ia tersenyum penuh arti.

"Maaf membuatmu kehabisan nafas dan membuat bibirmu menjadi bengkak." Ucapnya sambil terus mengusap bibirku.

"Tak perlu meminta maaf, Jake. Karena kau tidak melakukan kesalahan ataupun menyakitiku." Timpalku sambil meraih tangannya yang tengah mengusap bibirku. Kemudian menempatkan tangannya itu di salah satu pipiku.

"Ayo kita pergi." Ajaknya.

Kami meninggalkan restoran itu dengan tangan yang saling bertautan. Wajah Jake terlihat lebih santai dan berseri-seri. Jangan tanya apa yang terjadi dengan wajahku, karena Jake tak henti-hentinya membuat wajahku memanas.

Kami berkendara meninggalkan daerah pantai. Sepama perjalanan aku terus menerka-nerka tempat apa yang akan di datangi oleh Jake kali ini. Kerutan di keningku mulai muncul ketika mobil memasuki jalur jalan bebas hambatan. Setelah cukup jauh dari keramaian Jake membelokan mobilnya ke sebuah jalan setapak. Kemudian ia  membukakan pintu dan membantuku turun dari mobil.

Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang mengarah ke sebuah padang rumput berwarna hijau yang terhampar luas. Banyak pohon pinus yang tumbuh di sekitar padang rumput ini. Tempat ini pasti akan terliat jauh lebih indah jika di lihat siang hari, gumamku dalam hati.

Kami terus berjalan melintasi padang rumput itu. Jake membawaku kesebuah kursi kayu yang berada di sana. Dan ketika sampai pemandangan di depan kami tak kalah indahnya dari pemandangan di pantai tadi.

Di bawah sana ada ribuan bola lampu yang berasal dari gedung-gedung. Cahaya yang di hasilkan oleh lampu-lampu itu begitu indah dan beraneka warna. Jake sudah melepas jaketnya dan memakaikannya kepadaku. Kami duduk dan menikmati pemandangan kota pada malah hari dari ketinggian sambil berpegangan tangan. Menikmati keheningan yang menenangkan ini.

Kepalaku menyandar di bahu kokoh milik Jake. Aroma tubuhnya langsung memenuhi indera penciumanku. Ku hirup dalam-dalam aroma musk yang bercampur dengan aroma teh yang menenangkan sekaligus memabukkan. Oke, aku harus bisa mengontrol diriku agar tidak tergoda oleh aroma tubuhnya yang berbahaya.

Diam-diam aku menengadahkan kepalaku menatapnya, kemuduan mulai memperhatikan Jake yang sedang menatap lurus pemandangan di depannya. Wajahnya memang tampan, rahangnya yang kuat seperti sengaja di pahat dengan sempurna. Sorot matanya yang setajam elang, berkali-kali membuatku tersesat ketika menatapnya. Sungguh indah dan sempurnanya ciptaanmu ini Tuhan.

Tiba-tiba Jake mengalihkan pandangannya, keningnya berkerut penuh tanya ketika memergokiku yang sedang asyik memandangi wajahnya sambil sesekali tersenyum seperti orang bodoh. Kau memang bodoh Glad, rutukku dalam hati dengan geram.

"Sedang memandangi apa?" Tanyanya masih dengan ekspresi wajah penuh tanya.

"Ah, ti-tidak. Tidak ada." Jawabku tergesa-gesa kemudian mengubah posisi dudukku dan mengalihkan pandanganku ke arah lain.

Namun tak di sangka-sangka Jake meraih daguku agar menghadapnya. Kemudian ia mendekatkan wajahnya, mendaratkan kembali bibirnya di bibirku. Ia menciumku dengan ritme yang sedikit tergesa-gesa kemudian ritmenya berubah menjadi lembut. Ciumannya sangat lembut bahkan dan begitu intens. Membuat kepalaku pening karena sensasi yang di akibatkan oleh ciumannya.

Membuat seluruh tubuhku meremang karena gelenyar-gelenyar panas yang mendera tubuhku. Bisa kurasakan kedua kakiku yang mulai terasa lemas. Apa yang sudah kau lakukan kepadaku Jake? Teriakku di dalam hati.

"Aku mencintaimu Candice."

Selasa, 11 Maret 2014

Try With Me (Epilog)

Kehidupan pernikahanku dan James kini semakin baik. James semakin menunjukan seluruh perhatian, cinta dan kasih sayangnya kepadaku. Namun sikap posesif dan overpritektifnya semakin menjadi. Apalagi setelah kejadian Alex menculikku beberapa waktu lalu.

Jika mengingat kembali kejadian yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya itu perubahan sikap James menjadi semakin waspada aku rasa itu hal yang sangat wajar. Pria mana yang mau istri dan calon bayinya mengalami hal-hal yang tidak di inginkan dan bisa mengancam nyawanya. Aku rasa tidak ada yang mau.

Saat ini kehamilanku sudah memasuki usia sembilan bulan dan menurut perkiraan dokter beberapa hari lagi bayiku akan terlahir kedunia. Perasaan gugup menanti kedua malaikatku terlahir kedunia ini sering sekali kurasakan.

Ah, aku hampir saja lupa memberitahu bahwa James sangat bahagia ketika mengetahui bahwa aku akan melahirkan sepasang anak kembar. Yup, bayiku berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jangan tanya betapa bahagianya kami berdua ketika mengetahuinya.

Lucunya aku dan James terkadang terlibat perdebatan kecil saat menentukan nama untuk bayi kembar kami. Setelah telah melalui perdebatan yang cukup panjang dan cukup alot akhirnya kami sepakat dengan nama Kenzo Adrianno Arthur dan Kimberly Adrianna Arthur. Ken dan Kim bukankah nama panggilan mereka sangat menggemaskan, bukan.

Siang itu tepatnya hari Minggu aku tengah menikmati waktu santai siangku. Semenjak kehamilanku semakin membesar James memindahkan kamar kami ke lantai bawah, alasannya klise karena perutnya yang semakin besar. Ia tidak mau aku harus bolak balik naik turun tangga.

Saat itu aku sedang duduk bersantai di salah satu kursi di dekat kolam renang yang di naungi oleh sebuah payung berukuran sangat besar. Sebuah kacamata hitam bertengger dengan kokoh di wajahku. Merebahkan tubuh sambil membelai perutku yang besar, terkadang juga aku bisa merasakan gerakan-gerakan yang di lakukan oleh bayiku di dalam sana adalah hal yang sangat menyenangkan.

Rasa syukur tak henti-hentinya aku ucapkan. Karena anugerah Tuhan yang tak ternilai harganya ini. Tuhan telah mengirim James untukku, meskipun di awal aku tidak yakin bisa menjalani sebuah hubungan yang normal dengannya. Tapi ternyata aku dan James akhirnya bisa saling mencintai, menyayangi dan saling menjaga satu sama lain.

James benar-benar tipe suami idaman para wanita. Ketampanan yang di milikinya tak perlu di ragukan lagi, meskipun James masih saja menunjukan ekspresi wajah datar dan dinginnya di depan banyak orang, para wanita yang melihatnya masih saja memandangingan dengan tatapan kelaparan. Itu membuatku terkadang di landa oleh perasaan cemburu.

Ketika aku menceritakannya kepada Lila sahabatku, ia hanya tertawa. Lila bercerita bahwa sejak menikah dengan Zac ia berubah menjadi singa betina yang siap bertarung jika ada betina lain yang berusaha untuk mendekati pasangannya.

***

Tiba-tiba saja perutku terasa sakit. Rasanya seperti di peras-peras dengan kekuatan penuh. Semakin lama rasa sakit di perutku semakin menjadi. Ya Tuhan, sepertinya aku akan segera melahirkan. Sambil mengerang kesakitan aku terus berteriak memanggil James.

Meskipun aku tak yakin bahwa James akan mendengar teriakanku, karena saat ini James sedang berada di dalam ruang kerjanya. James sedang melakukan beberapa permbicaraan dengan kliennya via Skype.

Sambil menahan rasa sakit yang luar biasa, aku meraih ponsel yang ada di atas meja. Dengan gemetaran aku menekan tombol speed dial nomor James. Sudah enam kali berdering namun James tak kunjung mengangkatnya. Barulah pada deringan ke tujuh James menjawab panggilannya.

Dan aku langsung berteriak, "JAMES... CEPAT KEMARI...." teriakku dengan nafas yang putus-putus.

"Ada apa sayang, mengapa kau berteriak seperti itu?" Tanyanya di seberang sana.

"POKOKNYA KAU CEPAT KEMARI, JAMES..." teriakku lagi.

"Aku masih melakukan pembicaraan dengan klienku, sayang." Tolak James halus.

"AKU TAK PEDULI.... ARGH..." aku mengerang kesakitan dengan begitu keras. Demi Tuhan, aku benar-benar sudah tidak tahan lagi.

Kepanikanku semakin menjadi ketika aku merasakan air ketubanku yang terus menerus keluar tanpa bisa kuhentikan.

"Sayang, kau baik-baik saja, kan?" Suara James kini terdengar panik.

"Breng-sek k-au Jam-es, argh..." dengan suara yang terputus-putus aku memaki suamiku. Dan selanjutnya yang terjadi adalah ponselku terjatuh ke lantai.

***

Di tengah-tengah tele-confrence tiba-tiba saja Hanna menghubungiku. Namun baru saja aku hendak mengatakan halo Hanna langsung berteriak-teriak menyuruhku menemuinya. Karena sedang melakukan pertemuan dengan klien aku menolaknya dengan halus.

Tapi yang terjadi Hanna malah semakin marah. Setelah mengeluarkan beberapa makian kepadau tiba-tiba saja sambungan telepon terputus. Ketakutan langsung kurasakan, akhirnya aku menghentikan pertemuan yang sedang kulakukan dan berjanji akan menghubungi lagi mereka.

Setelah mematikan laptop, aku langsung keluar dari ruang kerjaku. Aku berlari menuju ke halaman belakang, karena biasanya Hanna selalu berada di sana. Tepat seperti dugaanku, Hanna memang berada di sana.

Namun aku mendapatinya sedang mengerang kesakitan di atas kursi. Wajahnya pucat, keringat sudah membasahi wajahnya yang cantik. Tanpa banyak kata aku langsung menggendonh tubuh Hanna dan bergegas membawanya ke rumah sakit.

Hanna dan bayiku harus segera di tangani oleh medis. Mereka bertiga harus selamat, aku tak akan membiarkan salah satu dari mereka mengalami sesuatu yang tidak di inginkan. Meskipun aku tengah panik namun sebisa mungkin aku tetap bersikap tenang.

Setidaknya aku bisa menyetir dengan kepala dingin dan menenangkan Hanna yang kesakitan di sampingku. Ku injak pedal gas dengan kuat, memaksimalkan kecepatan mobilku. Aku harus cepat sampai rumah sakit. Harus. Tidak boleh terlambat sedikit pun.

"Argh... J-J-James... Ak-ku.. Argh..." Hanna kesulitan berbicaea karena raaa sakit yang tengah di rasakannya.

"Sabar sayang, sebentar lagi kita akan segera sampain di rumah sakit." Ucapku sambil menggenggam erat tangannya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup menegangkan akhirnya aku berhasil sampai di rumah sakit dengan selamat. Sesampainya di sana Hanna langsung di tangani oleh paramedis, aku tetap setia mendampinginya sambil terus memberikan semangat.

"Sudah saatnya bayinya terlahir, namun..." dokter menggantung kata-katanya.

"Namun apa, dok?" Tanyaku tanpa bisa menyembunyikan rasa takut yang kurasakan.

"Namun jalan satu-satunya adalah melalui jalan operasi. Karena air ketuban yang membantu proses istri anda selama melahirkan telah habis." Jelas dokter.

"Lakukan apapun yang terbaik, dok. Selamatkan istri dan anak-anak saya." Jawabku.

"Baiklah kalau begitu saya akan segera menyiapkan ruang operasi. Permisi." Dokter pun pamit.

Dan disinilah aku sekarang. Berdiri di depan ruang operasi dengan perasaan yang tak menentu. Seharusnya operasi sudah selesai sejak setengah jam yang lalu. Namun kenyataannya dokter masih belum keluar padahal Hanna sudah hampir satu jam lebih berada di dalam.

Tuhan, aku mohon selamatkan istri dan kedua malaikatku Tuhan. Biarkan aku melihat mereka bertiga. Aku berjanji akan merawat dan melingdungi Ken dan Kim dengan nyawaku. Aku tak hent-hentinya memanjatkan doa kepada Tuhan untuk keselamatan istri dan anakku.

"Dokter, bagaimana keadaan istri dan anak saya?" Tanyaku ketika melihat seorang dokter keluar dari ruang operasi.

"Bersyukurlah Tuan, istri dan anak-anak anda selamat. Kami sempat kesulitan mengeluarkan putri anda karena lehernya terbelit tali pusat. Selain itu istri anda mengapalami pendarahan yang cukup hebat. Untung saja sekarang semuanya sudah lewat." Jelas dokter panjang lebar.

"Apakah saya boleh melihat keadaan mereka berdua, dok?"

"Sebentar lagi anda bisa melihat keadaan istri dan anak-anak anda. Permisi." Dokter itu pun akhirnya pergi setelah menyalamiku memberikan selamat.

***

Sekarang Hanna sudah berada di ruangan perawatan, karena Hanna akhirnya sadar pada keesokkan harinya. Kebetulan sekali kedua bayi kami sedang berada bersama kami. Hanna terlihat begitu bahagia melihat kedua malaikat kami. Air matanya tak henti-hentinya menetes membasahi kedua pipinya.

"Aku benar-benar tidak percaya telah melahirkan kedua bayi yang tampan dan cantik ini, James." Gumamnya sambil memandangi Kim yang tengah terlelap di pangkuannya.

"Terima kasih untuk semuanya, sayang. Bahkan sebanyak apapun ucapan terima kasih yang kuucapkan takkan pernah cukup. I love you." Ucapku sambil mengecup bibirnya lembut.

"I love you too, James." Jawabnya sambil tersenyum kepadaku dengan penuh cinta.

Tuhan, terima kasih engkau telah mendengarkan doaku. Terima kasih telah menyelamatkan mereka bertiga. Karena aku takkan sanggup jika harus hidup tanpa salah satu dari mereka bertiga. Aku berjanji akan menjaga mereka bertiga. Hartaku yang paling berharga.

♡THE END♡

Night Passion Of A Grey Eyed Man 2

Setelah pertemuan itu aku mulai menjalankan satu persatu rencana balas dendam yang telah sekian lama aku rencanakan. Melacak semua aset-aset yang dimiliki oleh wanita itu. Yang wanita itu ambil lebih tepatnya, karena wanita itu telah mengambil semua kekayaan milik keluargaku.

Wanita itu ternyata memiliki saham di beberapa perusahaan yang bonafid. Itu mempermudahku untuk mengambil alih semua saham milik wanita itu. Atau aku akan membuat perusahan-perusahaan yang menjadi tempat wanita itu menyimpan sahamnya mengalami kerugian dan gulung tikar.

"Bagaimana, Andy?" Tanyaku kepada salah satu kaki tanganku.

"..."

"Ambil alih semua sahamnya. Ya, aku mengerti tapi jika mereka tetap menunjukkan sikap yang sulit lakukan saja akuisisi saham-saham yang di tanam di perusahaan mereka."

"..."

"Baiklah, aku serahkan semuanya kepadamu." Aku mengakhiri pembicaraanku dengan Andy. Sebentar lagi aku akan kembali mendapatkan seluruh aset-aset milik keluargaku.

Namun kini yang tengah menjadi fokus utamaku adalah mencari anak dari wanita itu. Menurut informasi yang di berikan oleh salah satu kaki tanganku, wanita itu memiliki seorang anak yang kini tinggal dan bersekolah di luar negeri. Namun masalahnya adalah jenis kelamin, nama dan keberadaannya tidak bisa ditemukan.

Sepertinya wanita itu telah menghilangkan semua data-data yang berhubungan dengan anaknya. Mungkin anaknya itu kini sedang hidup bebas dengan identitas barunya. Hal itu benar-benar membuatku kesal. Apapun yang terjadi aku harus menemukannya. Siang itu aku kembali mendatangi rumah wanita iblis itu.

Ingin rasanya aku mencekik leher wanita iblis yang ada di hadapanku ini. Namun yang kulakukan adalah langsung menendang sebuah vas bunga yang ada di atas meja. Amarahku selalu memuncak ketika berhadapan atau berurusan dengan wanita iblis itu.

"Ternyata kau masih saja tak bergeming. Padahal seluruh kekayaanmu sudah aku ambil alih." Desisku dengan mata yang berkilat marah, "Akan aku pastikan mulai detik ini kau takkan pernah bisa lagi tersenyum atau mungkin kau akan menutup mata selamanya, Claudia." Ancaman pun kembali terlontar dari bibirku.

"Bunuh saja aku sekarang, agar kau merasa puas." Pekik Claudia menahan amarahnya.

"Tidak semudah itu jalang. Aku tidak sudi mengotori kedua tanganku dengan darahmu yang kotor dan menjijikan itu." Cibirku sambil memberikan tatapan membunuhnya.

"Kau pengecut. Jika kau tak berani membunuhku mengapa kau harus jauh-jauh datang kemari?" Teriak Claudia tak kalah sengit.

"Katakan, di mana kau menyembunyikan anakmu? Karena aku akan membunuhmu dengan cara menyiksa anak kesayanganmu." Timpalku dingin, dengan ekspresi wajah yang sangat datar.

"Tidak. Aku tidak akan mengatakan di mana keberadaan anakku. Karena aku lebih memilih mati daripada harus menyerahkan anakku kepadamu." Lagi-lagi Claudia memekik.

"Permintaan dikabulkan." Aku menjentikkan jariku, tak lama kemudian beberapa orang yang berpakaian hitam dan bertubuh kekar masuk ke dalam. Raut wajah orang-orang yang baru saja masuk itu terlihat datar, sangat datar bahkan. Mereka seperti tidak memiliki emosi.

"Bereskan dengan rapi, karena aku tak menerima kata gagal." Perintahku dengan suara sedingin es. Setelah itu aku melenggang keluar dari rumah wanita itu.

"Kau akan menyesal. Aku bersumpah suati hari nanti kau akan menyesalinya." Teriakan wanita itu terdengar ketika aku sedang berjalan menuju ke arah pintu keluar. Aku tidak peduli dengan teriakannya, karena itu takkan pernah mengubah niat awalku. Balas dendam.

Benar-benar wanita yang menyulitkan. Semua wanita benar-benar merepotkan. Mereka tak lebih hanya sebagai alat pelampiasan dan pemuas nafsu saja. Karena pada dasarnya aku membenci makhluk yang bernama wanita. Ibu kandungku dan ibu angkatku tentu saja tidak termasuk ke dalam wanita-wanita menyebalkan itu.

Dari sana aku memutuskan untuk pergi menuju ke sebuah restoran yang sudah sering aku datangi. Mereka selalu tahu apa yang aku inginkan dan menyiapkannya dengan begitu baik. Terkadang aku selalu berpikir sampai kapan aku akan menghabiskan waktu luangku di tempat seperti ini. Hanya sekedar informasi restoran ini memiliki sebuah club tersembunyi yang bisa kau datangi kapanpun atau jam berapapun.

Mom sudah sering kali mendesakku untuk segera menikah. Entah sudah berapa banyak wanita yang Mom kenalkan kepadaku. Namun tak ada satupun yang menarik perhatian dan minatku sedikitpun.

Alasannya hanya satu, aku membenci wanita, aku benci berkomitmen. Saat di perjalanan ponsel berdering.

"Bagaimana?"

"..."

"Bagus, hilangkan jejak kalian dan buat semuanya seperti kecelakaan."

"..."

"Buatlah seperti biasanya, kau mengerti?"

"..."

"Musnahkan juga semua benda yang kira-kira akan menyulitkan kita di lain hari."

"..."

"Atau kalian bakar saja rumah itu." Desisku dengan suara datar.

"..."

"Sempurna. Kalian memang tak pernah mengecewakanku." Setelahnya aku langsung memutus sambungan teleponnya.

Senyum kemenangan tersungging jelas dibibirku. Dendammu sudah terbalas Maa, kau bisa beristirahat dengan tenang di sana, bisikku dalam hati. Wanita iblis itu sudah mati, mati, aku tertawa penuh kepuasan di dalam hati. Meskipun aku tak memungkiri ada hal yang masih mengganjal di hatiku. Anak dari wanita iblis itu masih belum aku ketahui.

Di tengah perjalanan aku mengubah pikiranku, rasa-rasanya hari ini aku malas menghabiskan waktuku di club yang dipenuhi oleh para penjilat. Aku memerintahkan supir pribadiku untuk mengubah arah ke pemakaman saja.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mengunjungi makam kedua orang tuaku. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama akhirnya aku sampai di sana. Tak lupa aku membawa dua buah karangan bunga lily yang aku beli di tengah perjalanan tadi. Maa pasti senang sekali aku bawakan bunga kesukaannya.

Dan disinilah aku, berdiri di depan pusara kedua orang tuaku. Orang-orang yang dulu sangat menyayangiku, melimpahiku dengan cinta dan kasih sayang yang tak berbatas. Hingga akhirnya semua itu tak lagi kurasa sejak Paa berselingkuh dengan wanita iblis itu.

Kedua orang tuaku mengacuhkanku. Tak ada lagi perhatian yang ditujukan untukku. Bahkan Maa pun seolah tak pernah menganggap ada keberadaanku. Paa dan Maa hanya bertengkar setiap hari, saling melempar dan menghancurkan benda-benda yang ada di sekitarnya.

"Dendammu sudah terbalaskan, Maa. Jadi beristirahatlah dengan tenang di sana. Orang yang menghancurkan kebahagiaan keluarga kita sudah mendapatkan balasannya." Gumamku di depan pusara Maa, sambil membersihkan pusaranya dari debu-debu yang menempel.

"Paa, aku sudah berhasil mendapatkan kembali aset-aset milik kita. Jadi kau juga bisa tenang disana." Ucapku sambil memandangi pusara Paa. Kemudian aku meletakkan kedua karangan bunga lily di atas pusara kedua orang tuaku. "Maa, Paa aku pulang. Aku pasti akan mengunjungi kalian lagi." Pamitku kemudian berjalan keluar dari area pemakaman.

Hari sudah berubah senja ketika aku meninggalkan area pemakaman. Ingin sekali rasanya aku pergi merayakan kematian wanita iblis itu. Namun aku mengurungkan niatku untuk pergi mendatangi salah satu club ternama di kota ini. Sebaiknya aku pulang saja ke mansionku dan beristirahat. Kejadian yang terjadi hari ini cukup membuatku merasa lelah, tapi semua ini sebanding dengan apa yang aku harapkan.

***

Seminggu setelah kejadian itu seharusnya aku merasa lega. Karena Claudia si wanita iblis itu telah berhasil aku singkirkan. Namun entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku. Bahkan kegelisahan itu semakin menjadi ketika malam tiba. Membuat tidurku tidak tenang.

Aku merasa masih ada beban yang menghimpit dadaku, meskipun beban yang kurasakan kini tak seberat sebelumnya. Shit. Aku tak bisa seperti ini. Gelisah terus menerus, tidak merasa tenang. Secepatnya aku harus menemukan anak wanita itu. Harus. Ketika sedang termenung di meja kerja, tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk ke ruanganku tanpa permisi.

"Apa yang sedang kau lakukan, Max? Melamun?" Tanyanya sambil duduk di kursi yang tepat berada di depanku.

"Bukan urusanmu, Alan. Apa yang kau inginkan?" Aku balik bertanya.

"Bersantailah sedikit, Max." Jawab Alan dengan santai. "Bagaimana? Apakah semua rencanamu itu berjalan dengan lancar?" Tanyanya sambil menatapku dengan penuh minat.

Ya, Alan memang mengetahui semua rencana balas dendamku. Ia juga tahu alasanku ingin melakukan pembalasan. Selama ini Alan-lah yang selalu mengingatkanku jika aku mulai lepas kendali. Hubunganku dan Alan adalah sahabat dan saudara, karena ia adalah anak semata wayang Mom dan Dad.

Aku sangat bersyukur karena Alan menerimaku dengan tangan terbuka ketika Mom dan Dad membawaku ke rumah mereka. Alan mengajarkanku banyak hal, ia adalah sosok kakak yang tak pernah aku miliki selama ini.

"Semuanya berjalan sesuai rencana, hanya saja..." aku menggantung kata-kataku, "... hanya saja entah mengapa aku masih merasa gelisah." Lanjutku di akhiri oleh hembusan nafasku yang frustasi.

"Gelisah, eh?" Tanya Alan sambil menaikan sebelah alisnya.

"Aku juga tidak tahu dan tidak begitu mengerti, Alan. Setiap malam kegelisahan itu semakin menjadi, rasanya masih ada beban yang menghimpit dadaku." Jelasku sambil mengerang frustasi.

"Hmmm, apa kau masih belum menemukan anak dari wanita itu?" Tanya Alan sambil menggosok-gosok dagunya. Aku hanya membalasnya dengan gelengan kepala.

"Saranku, sebaiknya kau melupakan niatmu untuk membalas dendam kepada anak wanita itu. Bukankah yang bersalah itu ibunya? Jadi biarkan saja anak itu menjalani kehidupannya." Jelas Alan sambil beranjak dari kursi, "Pikirkanlah perkataanku baik-baik, dik." Lanjutnya sambil menepuk bahuku, kemudian ia berbalik bergegas meninggalkan ruanganku.

Namun saat langakahnya baru mencapai pintu Alan memutar tubuhnya menghadapku, "Ah, aku sampai lupa dengan tujuan awalku kemari. Sekretaris barumu akan mulai bekerja mulai besok." Setelah mengucapkan itu Alan langsung keluar dari ruanganku.

Sepeninggalan Alan aku kembali tenggelam dalam pikiranku. Kata-kata Alan terus menerus berputar di dalam kepalaku. Jujur saja perkataannya tadi cukup menohokku. Haruskah aku mengikuti dan menjalankan apa yang telah Alan katakan? Atau aku tetap dengan pendirianku, membuat anak dari wanita itu menderita!!!

"Argh..." aku menjambak rambutku dengan frustasi. Mengapa semuanya jadi seperti ini? Seharusnya saat ini aku bisa menjalani kehidupanku dengan tenang, bukan? Tapi... tapi...

Dengan perasaan yang kacau aku memutuskan untuk pergi dari kantor. Berada di sini hanya akan membuatku semakin merasa tertekan. Biarkan saja Alan yang mengambil alih seluruh pekerjaanku hari ini. Salah siapa ia malah membuat kepalaku semakin pusing.

Aku membutuhkan sesuatu yang dapat mengalihkan seluruh pikiranku hari. Sebuah pelepasan dan pengalih pikiran. Dan aku tahu di mana bisa mendapatkan keduanya sekaligus.