Senin, 21 Oktober 2013

Love Under The Rain Chapter 2

VANNO

Aku melumat bibirnya dengan lembut, mencecap rasanya yang begitu manis dan begitu hangat. Semakin lama aku tak bisa menahan diriku lagi. Namun gerakan tubuhnya langsung membuatku tersadar. Astaga, apa yang sudah kau lakukan Vanno?

Sisa perjalanan menuju ke penthouse aku memutuskan untuk menyibukkan diri dengan mengotak atik I-Pad.  Saat ini aku butuh pengalihan pikiran. Jika aku tidak bisa mengalihkan pikiranku aku tak bisa menjamin bisa menjaga perilakuku.

Setelah mobil terparkir di basement. Aku langsung membawa tubuh wanita yang tengah tertidur damai itu ke dalam pangkuanku. Sesampainya di penthouse aku langsung menuju ke kamar utama lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Setelah memandangi wajahnya yang terlihat damai aku memutuskan untuk membersihkan tubuhku.

Setelah selesai membersihkan tubuh aku langsung mengambil tas milik wanita itu dan mencari dompetnya. Setidaknya aku harus tahu nama wanita itu. Satu persatu barang-barang dari dalam tasnya. Tak butuh waktu lama untuk mencari tanda pengenalnya. Dengan teliti aku membaca kartu identitas miliknya.

"Jadi wanita itu bernama Clarissa Ramadhana Smith. Nama yang indah dan cocok bagi pemiliknya." Gumamku sambil menyunggingkan senyum. Menarik juga.

Dan tanpa berpikir panjang, aku langsung naik ke tempat tidur. Lalu membaringkan tubuhku di samping Clarissa yang masih tertidur dengan pulasnya. Aku masih tak habis pikir bahwa ada wanita seceroboh Clarissa.

Sebelum memejamkan mata aku kembali memandangi wajahnya untuk yang terakhir kali. Aku tidak boleh tertarik kepadanya. Karena berada di sampingku akan sangat berbahaya sekali. Sedangkan aku tak mau Clarissa berada dalam bahaya, maka dari itu setelah hari ini aku harus menjauhinya. Setelah itu mataku langsung terpejam. Tenggelam dalam tidur yang damai.

***

CLARISS

Seberkar cahaya yang hangat menerpa lembut wajahku. Mau tak mau aku langsung membuka mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku sambil melihat keadaan sekeliling ruangan yang aku tempati saat ini. Rasa-rasanya cat kamarku tidak berwarna abu-abu, semua furniturenya pun benar-benar berbeda. Dengan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya aku merasa bahwa ini bukan kamarku.

Sampai akhirnya aku merasakan sesuatu yang menekan tubuhku dengan begitu kuat. Membuatku kesulitan bernafas. Keningku langsung berkerut, dengan perlahan aku meraba sesuatu yang menimpa tubuhku itu. Sebuah lengan. Kini sebuah lengan yang besar sedang memeluk tubuhku.

Kesadaranku setika itu langsung pulih. Aku langsung berteriak dengan kencang karena ketika membalikkan tubuhku ke samping aku melihat seorang pria yang sedang tertidur dengan begitu pulasnya.

"Argh..." aku berteriak dengan kencang ketika mendapati sebuah lengan yang besar menindih tubuhku. Dengan sepenuh tenaga aku langsung mendorong tubuh si pemilik lengan yang tengah memelukku itu.

"Apa yang sedang kau lakukan, huh?" Pria tersebut membentakku dengan mata yang masih mengantuk.

"Kau... Apa yang kau lakukan kepadaku?" Cecarku sambil menutupi tubuhku dengan selimut dan memegangnya dengan erat. "Mengapa... Mengapa aku ada di sini?"

Pria itu mendekatiku dan bebaring di sampingku. Dan tak ayal membuatku langsung beringsut menjauhinya. Tunggu dulu pria ini kan pria yang berdiri di tengah hujan itu. Bagaimana aku bisa tidur bersamanya? Astaga.

"Kau tertidur ketika aku akan mengantarkanmu pulang. Jadi aku memutuskan untuk membawamu pulang ke penthouse milikku." Jelasnya sambil memejamkan mata. "Tenang saja aku tidak melakukan apapun kepadamu. Kau bukan tipeku, dengan tubuh sekurus itu." Lanjutnya masih tetap memejamkan mata.

Ap... Apa tadi dia bilang? Tubuhku kurus dan tidak menarik? Enak saja dia berkata seperti itu. Argh, benar-benar pria yang menyebalkan. Rasanya aku ingin sekali mencakar wajahnya itu, tapi dia memiliki wajah yang tampan. Ah, otakmu benar-benar kacau Clariss.

Aku langsung melompat turun dari tempat tidur dan langsung mencari tas dan sepatuku. Karena aku ingin segera pergi dari tempat ini. Ya, aku harus pergi dari sini. Ketika sedang mencari-cari, tanpa sengaja mataku melirik jam yang ada di atas nakas.

"Jam delapan pagi?" Pekikku, astaga aku bisa terlambat masuk di jam pertama kuliah. Ini semua pasti gara-gara kecerobohanku yang bisa-bisa tertidur saat bersama seorang pria asing. Kau benar-benar bodoh Clariss, bodoh. Dan... dimana tasku? Mengapa aku tak menemukannya? Jeritku dalam hati.

"Sebenarnya apa yang sedang kau cari, huh?" Suara dingin yang berasal dari pria yang saat ini sedang menopang kedua pipinya dengan kedua tangannya dari atas tempat tidur.

"Aku mencari tasku, aku harus segera pergi atau aku akan benar-benar terlambat masuk kuliah. Ya Tuhan, di mana sebenarnya tasku berada?" Aku mengerang frustasi.

"Oh, kau mencari tasmu." Jawabnya dengan ketus. Pria itu bangun dari tempat tidurnya dan berjalan dengan anggun menuju ke sebuah meja. Aku terpana melihatnya, bagaimana ia bisa begitu terlihat seksi padahal baru bangun tidur. Clariss berhenti berpikiran ngaco seperti itu.

Ketika saat itulah tiba-tiba ponsel yang berada di dalam saku celanaku berbunyi. Sebuah pesan singkat dari teman kuliahku. Ia memberitahu bahwa hari ini dosennya tidak datang jadi tak perlu datang ke kampus. Aku menghembuskan nafas dengan penuh kelegaan. Meskipun begitu aku tetap harus pulang. Aku tidak nyaman dengan kondisi tubuhku yang seperti ini.

Ketika sudah membalas pesan itu aku langsung memasukan kembali ponselku ke dalam saku. Aku berteriak kaget karena melihat wajah pria itu begitu dekat dengan wajahku. "Aaaaaaaa... berhentilah mengangetkanku. Kau mau aku mati karena terkena serangan jantung di usiaku yang masih muda ini, huh." Cecarku dengan kesal.

"Aku tidak pernah mengangetkanmu." Jawabnya dengan santai.

"Apa kau tidak sadar bahwa apa yang kau lakukan selalu membuatku kaget. Sekarang di mana tasku." Cecarku sambil berkacak pinggang, "Aku mau pulang dan membersihkan tubuhku."

"Kau bisa mandi di sini sebelum pergi." Katanya sambil memberikan tas milikku.

Aku langsung mengambil tas itu dan menyampirkannya di salah satu bahuku. "Terima kasih untuk semuanya, permisi." Ucapku sambil beranjak meninggalkan pria itu.

"Kau mau pergi kemana? Hei tunggu..." aku bisa mendengar teriakkannya yang memanggilku dari dalam kamar. Namun aku tetap melangkahkan kakiku menjauhi kamarnya. Berteriaklah sesukamu, karena aku takkan berpaling lagi ke belakang.

Ternyata penthouse miliknya ini memiliki dua lantai dan sangat luas sekali. Dan ketika menuruni tangga aku baru ingat bahwa aku belum mengetahui nama pria itu. Tidak mungkin aku kembali ke atas dan menanyakan namanya, bukan? Sudahlah, lagi pula apa untungnya bagiku untuk mengetahui nama pria asing yang aneh seperti itu.

Tiba-tiba ada sebuah suara yang membuyarkan lamunanku, "Nona, Mr. Reindhart memerintahkan saya untuk mengantarkan anda pulang."

Di depanku saat ini tengah berdiri seorang pria paruh baya. Dari penampilannya aku bisa menebak bahwa pria ini adalah orang kepercayaan pria itu. "Nona, apakah anda baik-baik saja?" Tanya lagi.

"Ah, saya baik-baik saja." Jawabku sambil tersenyum kikuk.

"Apakah anda mau sarapan dulu sebelum pulang, nona." Tawarnya lagi.

"Ah, tidak tidak usah. Saya mau langsung pulang saja." Timpalku.

Lalu aku mengikuti pria itu keluar dari penthouse milik pria itu. Selama perjalanan menuju ke apartemen milikku, pikiranku kembali di penuhi oleh pria itu. Ada aura kegelapan yang sangat pekat melingkupi dirinya yang entah mengapa menarikku untuk mendekat. Seolah sanga kegelapan sedang menungguku untuk masuk ke dalam kegelapan itu. Meskipun aku tidak tahu apa yang sedang menantiku di dalam kegelapan itu.

Tapi aku merasa aman ketika berada di dekat pria yang akhirnya aku ketahui namanya adalah Vanno. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menarikku dengan begitu kuatnya. Akankah sang waktu kembali mempertemukan kami kembali setelah hari ini berakhir? Entahlah aku sendiri tak tahu, yang jelas aku berharap akan segera bertemu dengannya lagi suatu hari nanti.

Aku tahu sepertinya dia menyebalkan, dan aku tidak mau mengakui ketertarikanku kepadanya. Habislah aku jika Vanno melihat bahwa aku tertarik kepadanya, bisa-bisa dia semakin seenaknya memperlakukanku. Aku harus melupakannya, ya itulah yang akan aku lakukan. Melupakan Vanno dan mengenyahkannya dari dalam pikiranku.

Namun sudah seminggu berlalu sejak hari itu aku masih tetap saja teringat Vanno. Sosoknya terus saja membayangi hari-hariku. Membuatku tidak bisa fokus dengan apa yang sedang aku kerjakan.

Seperti hari-har biasanya, aku menghabiskan hari-hariku setelah pulang kuliah di cafe kesukaanku. Berharap hujan akan turun dan aku kembali menemukan sosokmu. Dan sore ini hujan turun, namun sayang sekali aku tak menemukan sosokmu di seberang jalan sana. Vanno... Aku merindukanmu, sangat rindu. Aku tak tahu mengapa aku memeliki perasaan seperti ini. Padahal kita baru sekali bertemu.

Asal kau tahu bahwa sejak hari itu perasaan di hatiku mulai tumbuh. Perasaan yang semakin hari semakin tumbuh besar. Yang semakin membuatku yakin untuk mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu Vanno. Meskipun aku tahu bahwa perasaan yang aku rasakan ini hanya bertepuk sebelah tangan, aku tak peduli.

Dan kali ini entah apa yang terjadi dengan tubuhku. Karena tiba-tiba saja aku berjalan keluar cafe. Hujan deras yang sedang mengguyur kota tak kuhiraukan. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju ke tempat Vanno berdiri dan berdiam diri waktu itu.

Di sinilah aku saat ini, di bawah sebuah pohon namun hujan tetap membasahi tubuhku yang sekarang ini sudah basah kuyup. Dalam hati aku terus berharap bahwa sosok Vanno akan muncul. Tubuhku mulai menggigil karena kedinginan, gigiku bergemeletuk menahan dingin. Tuhan, aku mohon pertemukan aku kembali dengan Vanno, kumohon Tuhan pertemukanlah kami, doaku dalam hati.

Tubuhku semakin bergetar hebat di bawah terpaan air hujan yang terus-menerus turun mengguyur kota dan entah kapan akan reda. Kepalaku mulai terasa sakit, pandangan mataku mulai berkunang-kunang dan tidak fokus. Hingga akhirnya aku merasakan tubuhku oleng dan kegelapan langsung menyergapku.

Kamis, 17 Oktober 2013

Past Time Memories

"Aku tak menunggumu malam ini
Karena di matamu bulan bersinar lungguh
Membawaku pada kenangan pahit
beberapa waktu yg lalu
Kupu-kupu liar menyiksaku di sudut kamar yang terbuka
Namun pertemuan kita lebih
Harus dari datangnya malam
Maka kau t'lah menjadi bijaksana
Bagi kematian sekalipun
Karena perpisahan yg kelam dan
menyakitkan
Kau tawarkan tak lebih asin dari air laut
Karena kau pergi untuk meninggalkanku selamanya
Dan meninggalkan luka dan kepedihan yang mendalam di lubuk hatiku"

Namaku Melvinna Anindita Nugraha. Saat ini aku bekerja di salah satu perusahaan yang paling bonafid di kota Bandung. Aku menjabat sebagai Manager HRD di perusahaan itu, meskipun saat ini usiaku baru menginjak dua puluh empat tahun.

Aku merupakan anak tunggal di keluargaku. Meskipun begitu kedua orang tuaku tidak pernah mendidikku untuk menjadi anak yang manja. Apalagi kami tidak berasal dari keluarga menengah ke atas.

Hari Minggu yang hangat kali ini aku menghabiskan waktu bermalas-malasan saja di rumah. Aku sedang tidak ingin pergi kemana-mana. Jadi aku memutuskan untuk membenahi kamar tidurku. Perhatianku tiba-tiba tertuju pada sebuah kotak kayu yang di hiasi oleh ukiran kayu yang terletak di dalam sebuah kotak besar yang di simpan di bawah tempat tidurku.

Dengan perlahan aku membuka kotak yang telah tertutupi oleh debu yang tebal itu. Di dalamnya aku menemukan berbagai barang dan beberapa benda mirip sebuah amplop. Lalu aku mengeluarkannya satu persatu dan meletakkannya di atas lantai. Setelah semua benda-benda itu berada di atas lantai, aku langsung tercenung memandangi benda-benda itu.

Berusaha mengingat-ingat satu persatu benda-benda itu. Namun belum ada yang berhasil aku ingin. "Astaga, sejak kapan benda-benda ini ada di dalam kamarku?" Gumamku sambil mengambil salah satu benda yang berbentuk liontin. Liontin? Sejak kapan aku memiliki liontin seperti ini? Seruku dalam hati sambil terus menatap lekat liontin yang berada dalam genggamanku.

Mataku langsung beralih menatap sebuah amplop yang aku keluarkan tadi bersama liontin. Dengan perlahan aku membuka amplop tersebut. Ada beberapa lembar foto yang terlihat usang di dalamnya. Aku memperhatikannya dengan seksama.

Secara spontan aku langsung menutup mulutku, foto serta liontin yang sedari tadi aku pegang jatuh begitu saja. Air mataku langsung jatuh tanpa terbendung lagi. Memori di masa lalu yang selama ini sudah berhasil aku lupakan langsung terputar begitu saja.

Benda-benda yang aku temukan hari ini adalah benda-benda yang menghubungkanku dengan seseorang di masa laluku. Seseorang yang sebenarnya masih betah bersemayam di dasar hatiku yang paling dalam. Namun selama bertahun-tahun aku berusaha keras untuk mengabaikan keberadaannya.

Karena mengingat dirinya hanya akan membuatku kembali terperosok dan terperangkap kembali di dalam masa lalu. Tanpa tahu bagaimana lagi caranya untuk melepaskan diri.  Pikiranku melayang dan kembali teringat dengan kejadian yang menyakitkan itu.

"Vinna, kita putus." Kata-kata menyakitkan itu tiba-tiba saja terlontar dari mulut kekasihku Ryan. Ia mengeluarkan kata-kata itu tepat di hari pernikahan kami.

Setelah mendengar kata-kata itu ponsel dalam genggamanku langsung terjatuh ke lantai. Tubuhku limbung, rasanya jantungku seperti di paksa untuk berhenti berdetak. Bulir-bulir air mata langsung membasahi kedua pipiku.

Bagaimana ini? Mengapa Ryan tega berbuat seperti ini? Jika ia belum siap untuk menikah mengapa ia tak mengatakannya sejak awal? Mengapa ia harus membatalkan pernikahan kami tepat di hari pernikahan kami di laksanakan? Ya Tuhan...

Sejak kejadian itu aku hanya bisa mengurung diriku di dalam kamar. Sekeras apapun usaha keluargaku untuk menghiburku tetap tak berpengaruh. Aku benar-benar terpukul. Ryan... Mengapa kau tega melakukan ini kepadaku? Membuat aku dan keluarga besarku menanggung malu.

Kau tahu luka yang kau torehkan saat ini takkan pernah bisa hilang. Dan entah kapan bisa sembuh. Ryan, mengapa kau tak memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepadaku. Kau menghilang begitu saja. Membuatku tenggelam dalam lautan kesedihan yang rasanya tak bertepi. Meskipun seperti itu aku tetap mencintaimu. Berharap suatu hari nanti kita akan bertemu dan kembali bersatu.

Tak bisa aku melupakanmu
Walau kau bukan milikku lagi
Tak biasa aku hidup tanpamu
Terbiasa kau perhatikan aku
Aku dan kamu, itu dia doaku
Aku dan kamu, itulah mimpi besarku
Bagaimana nasib cintaku
Hatiku masih hidup di ragamu
Masih saja ku menganggapmu
Aku pasanganmu seperti dahulu
Tak bisa aku melupakanmu
Walau kau bukan milikku lagi
Aku dan kamu, itu dia doaku
Aku dan kamu, itulah mimpi besarku
Bagaimana nasib cintaku
Hatiku masih hidup di ragamu
Masih saja ku menganggapmu
Aku pasanganmu seperti dahulu
Bagaimana nasib cintaku
Hatiku masih ooo
Bagaimana nasib cintaku
Hatiku masih hidup di ragamu
Masih saja ku menganggapmu
Aku pasanganmu seperti dahulu

(Rinni - Mimpi Besarku)

Mengingat semua itu lagi-lagi membuatku menangis. Semua kenangan manis dan pahit yang aku lewati selama bersama Ryan terputar ulang di dalam kepalaku. Membuat kepalaku berdenyut-denyut dan sakit. Hingga tiba-tiba sekelilingku berubah menjadi gelap.

***

Mataku terbuka perlahan-lahan, cahaya yang menerangi ruangan ini menyakitkan mataku. Setelah terbiasa aku langsung mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Ya, aku melihat Mama, Papa dan Alva adik laki-lakiku. Wajah mereka terlihat sangat khawatir sekali.

"Syukurlah, akhirnya kau sadar juga, sayang." Ucap Mama dengan penuh kelegaan.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanyaku dengan suara lemah.

"Alva tadi menemukanmu tidak sadarkan diri, Vinn." Jawab Papa.

"Ah, aku pasti kelelahan." Timpalku singkat. Tapi ada yang aneh dengan mereka semua. Mereka menunjukan ekspresi yang sulit aku baca, "Kalian kenapa?" Akhirnya kata-kata itulah yang keluar dari mulutku.

"Ada yang ingin menemuimu, sayang. Dan mereka sudah menunggu di ruang tamu." Jelas Mama dengan suara yang di buat setenang mungkin.

"Siapa?" Keningku berkerut saat kembali melemparkan pertanyaan lagi.

"Kakak lihat saja sendiri nanti. Ayo, biar aku bantu kakak untuk ke bawah." Ucap Alva sambil membantuku untuk bangun.

Dengan di papah oleh Alva adikku, aku berjalan menuju ke ruang tamu yang berada di lantai satu. Sedangkan Mama dan Papa berjalan di depan kami. Sebenarnya ada apa? Mengapa semua orang terlihat sangat aneh sekali. Sepertinya mereka terlalu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Semakin mendekati ruang tamu, jantungku semakin cepat berdetak. Entah mengapa perasaanku mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang akan kembali membuka luka di hatiku dan kembali membuatku terluka semakin dalam.

Dan ternyata benar saja. Di ruang tamu ternyata ada kedua orang tua Ryan. Ya Tuhan, mau apalagi mereka sekarang? Setelah menghilang begitu lama tanpa memberikan penjelasan apapun kepadaku dan keluargaku atas perbuatan anak mereka yang membatalkan pernikahan seenaknya. Dan sekarang tiba-tiba mereka muncul kembali di hadapanku. Meskipun aku berharap bisa bertemu dan melihat wajah Ryan kembali.

Sayangnya aku tak melihat sosoknya di ruangan itu. Tidak Vinna, berhentilah mengharapkan pria tidak bertanggung jawab seperti dia. Pria seperti itu tidak pantas untuk di tangisi.

Tante Rhena langsung memelukku ketika aku sudah berada di hadapannya. Aku hanya diam ketika dia melakukan hal itu. Setelah beberapa saat ia melepaskan pelukannya.

"Vinna, apa kabar? Sudah lama sekali Tante tidak melihatmu." Ucapnya sambil tersenyum lembut kepadaku. Aku tak merespon. Lalu Mama menyuruh kami semua untuk duduk.

"Maafkan Tante dan Om karena baru bisa menemuimu setelah sekian lama, Vinna." Tante Rhena membuka suara, "Sebenarnya kami ingin sekali menemuimu dengan segera. Tapi Ryan melarang kami..." lanjutnya, namun aku tetap tak merespon perkataannya.

"Dan apa yang membuat Om dan Tante berada disini sekarang?" Tanyaku dengan datar.

"Karena Ryan sudah tidak ada." Jawab Tante Rhena. Aku mengernyitkan kening mendengarkan jawaban yang menurutku ambigu itu. "Kami datang kemari untuk menjelaskan mengapa Ryan tiba-tiba saja membatalkan pernikahan kalian tepat di hari pernikahan."

"Semua sudah terlambat, Tante. Percuma saja Tante menjelaskannya kepadaku saat ini." Cecarku dengan emosi yang mulai meluap. Mama meremas kuat tanganku sambil menggelengkan kepalanya.

"Tante tahu bahwa semuanya sudah terlambat. Tapi kami tidak akan pernah tenang sebelum bertemu denganmu..." Tante Rhena kembali terdiam, ia menghela nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya "Di hari pernikahan kalian, ketika kami akan pergi menuju rumahmu tiba-tiba saja Ryan jatuh pingsan. Karena panik, Om dan Tante langsung membawa Ryan ke rumah sakit. Dokter langsung menangani Ryan sampai akhirnya dokter memberitahukan bahwa ada tumor yang bersarang di otaknya dengan ukuran yang cukup besar. Jika di lakukan operasipun dokter tidak menjamin bahwa Ryan akan bisa bertahan hidup lebih lama lagi..." Tante Rhena mulai terisak. Ryan, tidak. Mengapa kau melakukan ini kepadaku, "... dan ternyata ketika dokter menjelaskan Ryan sudah sadar dan mendengarkan semua penjelasan dokter. Ryan langsung meminta ponselnya lalu menghubungimu dan membatalkan pernikahannya denganmu, Vinn. Lalu ia meminta kami untuk merahasiakan semuanya darimu." Tidak. Tidak. Aku benar-benar tak sanggup untuk mendengarkannya lagi lebih lanjut. Kepalaku berdentam-dentam, rasanya benar-benar sakit. Hingga akhirnya aku kembali menemui kegelapan di sekelilingku.

Di dalam kegelapan itu aku melihat seberkas cahaya yang tidak terlalu menyilaukan. Dengan perasaan ragu aku mendekati cahaya itu. Aku tersentak kaget ketika melihat sosok Ryan yang berdiri di tengah-tengah cahaya itu. Wajah tampannya terlihat pucat. Meskipun sebuah senyuman tersimpul di wajahnya namun aku bisa melihat kesedihan yang begitu dalam terlukis jelas.

"Ryan..." panggilku dengan lirih. Namun dia hanya memberikan tatapan yang seolah-olah berkata "maafkan aku". Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. "Aku merindukanmu, Ryan. Jangan pergi lagi, kumohon." Isakku sambil terus berjalan mendekatinya. Semakin dekat semakin kuat juga Ryan menggelengkan kepalanya seperti memintaku untuk diam dan tak mendekat.

Aku tak menghiraukannya, kali ini aku tak mau kehilangan Ryan lagi. Tuhan, aku sangat merindukannya, ingin kupeluk tubuhnya. Namun aku harus kembali menelan kekecewaan, karena ketika aku sudah mendekat dan hendak menjangkau tubuhnya dengan tanganku. Tiba-tiba sosok Ryan hilang dan lenyap begitu saja. Aku berteriak memanggil namanya namun sosoknya tetap tidak muncul. Aku berteriak hingga akhirnya aku merasa lelah dan menangis sejadi-jadinya sambil memeluk kedua lututku.

Dan ketika aku membuka mataku, aku kembali berada di dalam kamarku. Mama bilang kedua orang tua Ryan sudah pamit beberapa menit yang lalu. Lalu Mama mengatakan kepadaku bahwa Ryan sudah meninggal sebulan yang lalu. Akhirnya Ryan menyerah pada penyakitnya. Ia melakukan hal ini karena tak sanggup untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya kepadaku. Terlebih lagi Ryan tak ingin membuatku sedih.

Tangisku kembali pecah. Selama ini aku selalu menuduh Ryan macam-macam. Ya Tuhan, tolong katakan bahwa ini hanya mimpi, ini tidak nyata. Aku menangis sambil menjambak rambutku dengan frustasi. Maafkan aku Ryan, maafkan aku.

"Sudah sayang sudah. Berhentilah menangis. Relakan Ryan, ikhlaskan ia pergi." Ucap Mama sambil memelukku.

"Mengapa Ryan tidak jujur, Ma? Mengapa harus membatalkan pernikahan kami dengan cara yang seperti itu." Cecarku.

Yang aku lakukan setelah mendapatkan kabar itu adalah pergi. Pergi ke tempat-tempat yang dulu sering sekali aku datangi bersama Ryan. Tempat yang penuh dengan kenangan akan dirinya. Tuhan... ternyata aku masih begitu mencintai Ryan meskipun selama ini aku mengelak untuk mengakui perasaanku yang sebenarnya. Rasa sakit yang ia torehkan tak sebanding dengan rasa sakit yang ia timbulkan karena kepergiannya yang takkan pernah kembali.

Seminggu setelah kejadian itu barulah aku memberanikan diri untuk mendatangi makam Ryan. Aku terlalu takut untuk mendatangi makamnya. Aku takkan sanggup, tapi aku akan terus-terusan di hantui perasaan bersalah karena sikapku yang selama ini selalu menuduhnya macam-macam.

Dan sekarang di sinilah aku. Berdiri tepat di depan pusara kekasihku. Aku meletakkan sebuket bunga tepat di depan pusaranya. Dengan perlahan aku mulai membelai pusara yang dingin itu.

"Maaf aku baru bisa menemui hari ini, Ryan. Kau tahu semua ini benar-benar membuatku merasa begitu tertekan..." aku terisak di tengah-tengah ucapanku, "... mengapa harus seperti ini, Ryan? Mengapa? Mengapa kau tidak jujur kepadaku? Kau tahu aku mencintainya apa adanya. Aku terima semua kekuranganmu, tapi... Percuma terus mennyesalinya, karena semuanya sudah terjadi dan takkan mungkin bisa di ulang lagi, bukan. Aku tak akan pernah bisa melupakanmu, Ryan. Aku berharap kita berjodoh akhirat nanti. Tidur yang tenang, aku janji akan baik-baik saja disini. I love you." Ucapku sambil mencium pusara yang dingin itu. Setelah beberapa saat aku beranjak meninggalkan tempat itu.

¤♡ THE END ♡¤

Senin, 07 Oktober 2013

Try With Me Chapter 5

"Terserah kau saja, James. Aku mau tidur saja." Jawabnya malas sambil mengatur kursi penumpang agar lebih nyaman di pakai untuk beristirahat. Lalu ia mengambil sebuah penutup mata dan selembar selimut yang tebal. Setelah menggunakan kedua benda itu, Hanna langsung berbaring sambil mengangkat kedua kakinya. Dan beberapa menit kemudian aku bisa mendengar nafasnya yang mulai teratur.

Aku hanya terkikik geli melihatnya yang merajuk seperti anak kecil itu. Benar-benar sangat menggemaskan sekali. Rasanya aku ingin sekali mencubit pipinya dan mencium bibirnya yang selalu menggodaku setiap saat.

Keinginan untuk menyentuh tubuh mungil Hanna begitu besar. Karena saat ini jari-jari tanganku sedang sibuk menari-nari menyusuri bentuk wajahnya yang cantik itu. "Semakin hari kau semakin cantik, Hanna. Entah sampai kapan aku bisa menahan diriku untuk tidak menyentuh dan menuntut hakku sebagai seorang suami darimu. Kau membuatku gila." Bisikku sambil terus membelai wajahnya.

Setelah menempuh perjalanan cukup yang panjang akhirnya kami mendarat di Aspen. Keluar dari bandara sebuah mobil Audi R8 berwarna putih telah menunggu. Aku mengambil alih kemudi dan langsung mengarahkan mobil memasuki kawasan pusat kota Aspen.

"Kita berada di mana?" Tanya Hanna yang masih mengantuk.

"Kita ada di Aspen, sayang." Jawabku dengan pandangan yang tetap terfokus lurus ke depan.

"Aspen?" Tanyanya sambil terlonjak dari kursi penumpang. Kedua matanya yang indah membulat sempurna dan terlihat lucu. Sangat menggemaskan.

"Ya, kita sedang berada di Aspen. Kau tidak suka?" Tanyaku sambil meliriknya kilat.

"Bukan, aku hanya terkejut saja. Aku senang sekali kau mengajakku ke Aspen, karena tempat ini adalah tempat kesukaanku. Terima kasih." Ungkapnya dengan mata yang berbinar-binar.

"Syukurlah jika kau menyukai kejutan yang aku berikan. Akan ada banyak kejutan yang sudah aku siapkan untukmu, sayang."  Aku kembali menatapnya lalu fokus kembali menatap jalanan.

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan keliling kota?" Tanyanya lagi masih dengan antusias.

"Aku punya tempat yang lebih menyenangkan daripada berkeliling kota ini." Jawabku sambil membelokkan mobil ke jalanan yang menanjak dan menuju ke kaki bukit pegunungan Aspen.

Jalanan mulai berliku-liku dan berbatu dengan pemandangan yang cukup memanjakan mata dengan jurang yang berada di sisi kanan jalan dan pohon-pohon besar di samping kiri jalan. Setengah jam kemudian aku membawa mobil memasuki ke sebuah halaman villa yang sudah kubeli sejak setahun yang lalu.

Bangunan villa bergaya klasik dengan cat berwarna coklat kayu yang di dominasi dengan warna putih membuat villa ini terlihat lebih hangat. Dengan halaman depan yang luas di tumbuhi oleh berbagai pohon, bunga dan rumput hijau di sekelilingnya. Dan ada sebuah air mancur berbentuk lingkaran di tengah-tengah halaman depan. Tepatnya di depan pintu masuk utama. Yang semakin menambah indah halaman depan villa ini.

"Ini... ini milikmu?" Tanya Hanna sambil berdecak kagum.

"Milik kita tepatnya." Jawabku sambil mematikan mesin mobil tepat di depan pintu masuk utama villa. Setelah melewati gerbang otomatis dengan pagar tinggi yang mengelilingi villa.

"Milik kita? Ini berlebihan, James." Sanggahnya tak percaya.

"Aku tak bercanda, sayang. Karena semua milikku akan menjadi milikmu juga. Ayo kita turun." Ucapku sambil mematikan mesin mobil. Aku turun lalu jalan memutar untuk membukakan pintu mobil untuk Hanna.

Setelah pintu mobil terbuka, Hanna langsung melompat turun dengan bersemangat. Sepertinya Hanna benar-benar menyukai tempat ini. Yeah, tentu saja aku tahu bahwa Hanna sangat ingin sekali pergi ke Aspen. Meskipun sebenarnya aku lebih senang membawanya pergi ke Maldives atau berkeliling Eropa.

Tapi setelah melakukan sedikit penyelidikan dan hasilnya menyatakan bahwa Hanna menyukai Aspen. Akhirnya aku memutuskan untuk mengajaknya ke Aspen saja. Lagipula aku memiliki sebuah villa di Aspen.

"Sangat bersemangat sekali Mrs. Arthur." Tegurku sambil sedikit menggodanya. Entah sejak kapan aku jadi senang menggoda Hanna. Semua orang tahu aku seperti apa jika menghadapi seorang wanita.

"Teramat sangat bersemangat. Ayo, aku ingin berkeliling tempat ini. Sepertinya tempat ini sangat menyenangkan sekali." Tukasnya dengan mata yang berbinar-binar bahagia. Ah, rasanya benar-benar bahagia bisa melihat Hanna bisa tersenyum lebar seperti ini.

Kami berjalan beriringan menuju ke pintu masuk utama. Sedangkan barang-barang milik kami telah di bawa oleh Mr. Trent yang merupakan pengurus dan penjaga villa ini bersama istrinya. Ah, sudah lama sekali aku tidak berkunjung dan menghabiskan waktuku di villa ini.

Hanna pasti akan terkagum-kagum melihat pemandangan yang akan di dapatnya tepat di belakang villa ini. Aku pastikan ia tak akan berhenti berdecak kagum. Dengan perlahan aku membukakan pintu untuk kami. Mrs. Trent langsung menyambut kami dengan hangat.

"Selamat datang kembali Mr. dan Mrs. Arthur. Senang sekali melihat anda bisa berkunjung kemari." Sapa Mrs. Trent.

"Tolong panggil saja aku Hanna, Mrs. Trent." Timpal Hanna sambil menjabat tangan Mrs. Trent.

"Terima kasih sudah menjaga tempat ini Mrs. Trent." Jawabku singkat.

"Sudah tugas saya dan suami Mr. Arthur. Ah, sebaiknya anda berdua beristirahat saja. Karena satu jam lagi makan malam akan segera siap." Ungkap Mrs. Trent.

Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan aku langsung mengajak Hanna bergegas menuju ke kamar utama yang berada di lantai dua. Kami memasuki sebuah kamar yang berukuran besar. Dengan sebuah tempat tidur king sizes yang terletak di tengah-tengah ruangan, ada sebuah pintu kaca berukuran besar tepat di depan tempat tidur.

"Kamar yang sangat luas dan sangat indah sekali." Gumamnya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kamar, "James, bolehkah aku membuka pintu kaca itu?" Tanyanya kemudian.

"Tentu saja, kau pasti akan suka dengan apa yang akan kau temukan setelah membuka pintu itu." Jawabku sambil mengiringinya berjalam menuju ke arah pintu kaca itu.

Dengan perlahan Hanna membuka kenop pintu kaca tersebut. Ketika pintu itu telah terbuka lebar sepenuhnya.

"Astaga... James... Ini..." serunya. Kedua matanya membulat sempurna melihat melihat pemandangan di hadapannya.

"Aku tahu bahwa kau akan sangat menyukai villa ini." Jawabku sambil menyandarkan tubuhku di pintu.

Tiba-tiba Hanna memelukku, "Terima kasih James, aku tak tahu harus berkata apa lagi. Tempat ini benar-benar sangat indah sekali." Gumamnya.

"Sudah kubilang aku akan melakukan apapun untukmu." Bisikku sambil membalas pelukannya. Asal kau tahu Hanna, ini adalah salah satu caraku untuk membuatmu bertekuk lutut kepadaku. Aku akan berusaha keras agar kau segera melupakan Alex sialan itu. Aku takkan membiarkannya masuk ke dalam kehidupan pernikahan kita. Takkan pernah, ucapku dalam hati.

Setelah beberapa saat Hanna langsung melepaskan pelukannya. Wajahnya langsung merona. Hal lain yang aku sukai sejak bersama Hanna adalah melihat pipinya yang putih itu berubah menjadi berwarna pink karena tersipu malu. Sangat menggemaskan.

"Ma-maafkan aku." Ucapnya tergugu sambil menundukkan kepalanya.

"Mengapa harus minta maaf? Aku suamimu dan kau istriku, tak masalah bukan." Jawabku sambil memberikan tatapan menggoda kepadanya.

"Ah, sebaiknya aku pergi mandi sebelum berjalan-jalan. Permisi." Ucapnya cepat lalu pergi dengan terburu-buru meninggalkanku di balkon. Aku terkekeh geli melihat sikapnya yang terkadang sangat lucu seperti itu.

Bisakah aku membuatmu mencintaiku, Hanna? Membalas semua perasaanku kepadamu? Ataukah kau akan kembali menyiksaku seperti yang sudah di lakukan oleh Lila? Entahlah, namun kali ini aku takkan menyerah. Aku akan berjuang untuk mendapatkan cintaku.

True lovers never take it slowly
When they 've found the one and only
Nothing can replace this feeling
Knowing someone loves you
It's painted with the pain and glory
Taking from a known sad story
Laying out my life before me
Fearing the unknown
Sharing never showed me much appeal
And now I 'm only praying it' s for real
So how does it feel?
When I hold you in my arms
And you 're lying next to me
Never wanting you to leave
Until I 'll tell you how it feels
To be cradled like my dreams
And to know that you love me
No more wasting time in asking other people
How does it feel ?
How does it feel ?
Forever taken you for granted
You give me everything I wanted
I'm so afraid that I might lose you
But time will let us see
If everything is real I' m feeling
Well, maybe we've been only dreaming
And if it 's gonna die to save it
'Cos baby , I believe
Nothing in the world could make it
right
'Cos baby , loving you brings me to life
And how does it feel ?
When I hold you in my arms
And you 're lying next to me
Never wanting you to leave
Until I 'll tell you how it feels
To be cradled like my dreams
And to know that you love me
No more wasting time in asking other people
How does it feel ?
Nothing in the world could feel this right
'Cos baby , you 're the best thing in my life
How does it feel ?
When I hold you in my arms
And you 're lying next to me
Never wanting you to leave
Until I 'll tell you how it feels
To be cradled like my dreams
And to know that you love me
No more wasting time in asking other people
How does it feel ?

(Westlife - How Does It Feel?)

***
Saat ini aku sedang berada di villa milik James di Aspen. Tempat yang paling ingin aku kunjungi, dan tiba-tiba saja suamiku itu memberikanku sebuah kejutan yang membuatku tak henti-hentinya tersenyum. Bahkan villa ini memiliki desain kamar mandi yang indah.

Ia membawaku ke Aspen, dan mengajaku ke villanya yang sangat indah ini. Aku benar-benar menyukai tempat ini. Kamar yang kami tempati memiliki pemandangan yang sangat spektakuler. Ketika pintu kaca yang terhubung ke balkon di buka hamparan rumput hijau langsung menyambutku. Di tambah lagi dengan sebuah danau yang tak jauh dari villa. Belum lagi berbagai macam bunga dan pohon-pohonan yang tumbuh subur menghiasi hamparan rumput hijau dan pinggiran sekitar danau itu.

Sejak dulu aku memang selalu memimpikan memiliki sebuah villa di Aspen dengan ciri-ciri yang sudah aku sebutkan tadi. Hanya saja aku tak menyangka bahwa James-lah yang akan mewujudkan keinginanku itu. Hal yang di lakukannya ini sedikit membuatku mengubah pandanganku terhadapnya selama ini. Dan sedikit membuatku melupakan Alex.

Ah, apa yang harus aku lakukan pada Alex? Aku benar-benar tak tahu harus bersikap seperti apa. Semua ini benar-benar membingungkanku dan di luar rencanaku. Aku tak pernah berkeinginan untuk menjalani hidup seperti ini. Di hadapkan pada dua pilihan yang menurutku cukup sulit.

Haruskah aku memilih Alex yang notabennya merupakan kekasih dan cinta pertamaku ataukah aku harus memilih James yang sekarang berstatus sebagai suamiku, mencoba membuka hatiku untuk mencintai James. Karena masa depanku bersama James, bukan? Dan menganggap Alex sebagai bagian dari masa laluku?

Sebuah ketukan di pintu membuatku tersadar dari pikiranku tentang Alex dan James. Selain itu aku mulai merasakan tubuhku yang menggigil karena terlalu lama berendam. Bahkan air hangat yang aku pakai untuk berendam.saat ini temperaturnya sudah berubah menjadi dingin.

"Hanna, kau baik-baik saja, kan? Cepat buka pintunya, atau aku akan mendobrak pintunya." Teriakan James dari balik pintu langsung mengembalikan kesadaranku. Dengan tergesa-gesa aku membersihkan tubuhku lalu memakai bathrob dan segera membuka pintu.

"Hai..." ucapku dengan ekspresi yang bodoh. Mengapa harus kata-kata itu yang keluar dari mulutku?

"Syukurlah kau baik-baik saja." Ucapnya dan tiba-tiba saja memeluk tubuhku. Terdengar kekhawatiran dari suaranya.

"Maaf, aku tadi tertidur ketika sedang berendam." Jawabku berbohong.

"Dasar bodoh, bisa-bisanya kau tertidur di dalam bathtub. Bagaimana jika kau tenggelam, huh? Kau ingin membunuhku karena cemas." Gumamnya masih tetap memeluk tubuhku dengan begitu erat.

"Maaf." Bisikku sambil menyenderkan kepalaku di dadanya. Aku menghirup aroma tubuhnya, aroma musk dan mint yang benar-benar membuatku nyaman. Dan dekapannya begitu hangat. Jika aku tahu bahwa di peluknya seperti ini akan terasa begitu hangat aku akan mencari cara agar ia memelukku terus, eh? Astaga, apa yang sedang kau pikirkan Hanna? Benar-benar pemikiran yang sangat bodoh, rutukku dalam hati.

Sampai tiba-tiba aku merasakan tubuhku melayang. Dan mendarat dengan lembut di atas tempat tidur yang empuk itu. Tunggu dulu... Jangan-jangan... Ya Tuhan, bagaimana ini?

James memandangku dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Dia menatapku seperti err ingin memakanku, entahlah. Yang jelas di tatap seperti itu membuat tubuhku terasa seperti terkena aliran listrik. Tubuhku rasanya meremang, ada perasaan aneh yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dan masalahnya adalah saat ini aku hanya menggunakan bathrobe untuk menutupi tubuhku yang polos tanpa selehai kain pun yang kupakai untuk melapisi bathrobe itu. Ya Tuhan, jangan-jangan...

Jumat, 04 Oktober 2013

Learn To Love Again Prolog

Prolog

Mereka berdua tumbuh besar bersama-sama, karena kedua orang tua mereka yang memang sudah menjadi sahabat karib sejak lama. Hingga mereka berdua menginjak usia remaja perasaan yang semula hanya menganggap kakak dan adik saja itu berubah menjadi perasaan cinta.

Kyle Patrick Alexander Efron Jr atau Junior yang merupakan putra pertama dari Lila dan Kyle suami pertamanya. Junior menyandang nama Alexander karena sudah sejak bayi Zach-lah yang berperan menjadi ayahnya. Karena kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah sebulan setelah Junior terlahir ke dunia ini. Kenyataan yang cukup membuatnya syok, tapi Junior bersyukur karena sang Mama tidak menghalanginya untuk bertemu dengan ayah kandungnya Kyle. Suami kedua Mamanya, Zach yang sekarang menjadi Papanya pun tidak mempermasalahkan jika Junior pergi menemui ayahnya. Selama ini Zach tidak pernah memperlakukannya dengan buruk. Zach tetap menyayangi Junior seperti anak kandungnya sendiri. Dan Junior sangat bersyukur sekali untuk semua itu.

Aubrey Angelica Harold merupakan putri pertama Dhee dan Gale. Angel berusia dua tahun lebih muda dari Junior. Namun mereka berdua sangat dekat sekali. Tak jarang Angel bermanja-manja dengan Junior. Menurutnya Junior itu seperti seorang kakak yang tak pernah di milikinya.  Namun semua perasaan itu berubah. Sebuah perasaan asing yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Meskipun terkadang Angel merasa risih dengan sikap Junior sangat overprorective kepadanya.

Akankah mereka berdua bersatu pada akhirnya nanti? Ataukah hubungan mereka berdua hanya akan jalan di tempat? Tanpa ada satupun yang berani untuk memulai menunjukan perasaan yang mereka rasakan sebenarnya.