VANNO
Aku melumat bibirnya dengan lembut, mencecap rasanya yang begitu manis dan begitu hangat. Semakin lama aku tak bisa menahan diriku lagi. Namun gerakan tubuhnya langsung membuatku tersadar. Astaga, apa yang sudah kau lakukan Vanno?
Sisa perjalanan menuju ke penthouse aku memutuskan untuk menyibukkan diri dengan mengotak atik I-Pad. Saat ini aku butuh pengalihan pikiran. Jika aku tidak bisa mengalihkan pikiranku aku tak bisa menjamin bisa menjaga perilakuku.
Setelah mobil terparkir di basement. Aku langsung membawa tubuh wanita yang tengah tertidur damai itu ke dalam pangkuanku. Sesampainya di penthouse aku langsung menuju ke kamar utama lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Setelah memandangi wajahnya yang terlihat damai aku memutuskan untuk membersihkan tubuhku.
Setelah selesai membersihkan tubuh aku langsung mengambil tas milik wanita itu dan mencari dompetnya. Setidaknya aku harus tahu nama wanita itu. Satu persatu barang-barang dari dalam tasnya. Tak butuh waktu lama untuk mencari tanda pengenalnya. Dengan teliti aku membaca kartu identitas miliknya.
"Jadi wanita itu bernama Clarissa Ramadhana Smith. Nama yang indah dan cocok bagi pemiliknya." Gumamku sambil menyunggingkan senyum. Menarik juga.
Dan tanpa berpikir panjang, aku langsung naik ke tempat tidur. Lalu membaringkan tubuhku di samping Clarissa yang masih tertidur dengan pulasnya. Aku masih tak habis pikir bahwa ada wanita seceroboh Clarissa.
Sebelum memejamkan mata aku kembali memandangi wajahnya untuk yang terakhir kali. Aku tidak boleh tertarik kepadanya. Karena berada di sampingku akan sangat berbahaya sekali. Sedangkan aku tak mau Clarissa berada dalam bahaya, maka dari itu setelah hari ini aku harus menjauhinya. Setelah itu mataku langsung terpejam. Tenggelam dalam tidur yang damai.
***
CLARISS
Seberkar cahaya yang hangat menerpa lembut wajahku. Mau tak mau aku langsung membuka mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku sambil melihat keadaan sekeliling ruangan yang aku tempati saat ini. Rasa-rasanya cat kamarku tidak berwarna abu-abu, semua furniturenya pun benar-benar berbeda. Dengan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya aku merasa bahwa ini bukan kamarku.
Sampai akhirnya aku merasakan sesuatu yang menekan tubuhku dengan begitu kuat. Membuatku kesulitan bernafas. Keningku langsung berkerut, dengan perlahan aku meraba sesuatu yang menimpa tubuhku itu. Sebuah lengan. Kini sebuah lengan yang besar sedang memeluk tubuhku.
Kesadaranku setika itu langsung pulih. Aku langsung berteriak dengan kencang karena ketika membalikkan tubuhku ke samping aku melihat seorang pria yang sedang tertidur dengan begitu pulasnya.
"Argh..." aku berteriak dengan kencang ketika mendapati sebuah lengan yang besar menindih tubuhku. Dengan sepenuh tenaga aku langsung mendorong tubuh si pemilik lengan yang tengah memelukku itu.
"Apa yang sedang kau lakukan, huh?" Pria tersebut membentakku dengan mata yang masih mengantuk.
"Kau... Apa yang kau lakukan kepadaku?" Cecarku sambil menutupi tubuhku dengan selimut dan memegangnya dengan erat. "Mengapa... Mengapa aku ada di sini?"
Pria itu mendekatiku dan bebaring di sampingku. Dan tak ayal membuatku langsung beringsut menjauhinya. Tunggu dulu pria ini kan pria yang berdiri di tengah hujan itu. Bagaimana aku bisa tidur bersamanya? Astaga.
"Kau tertidur ketika aku akan mengantarkanmu pulang. Jadi aku memutuskan untuk membawamu pulang ke penthouse milikku." Jelasnya sambil memejamkan mata. "Tenang saja aku tidak melakukan apapun kepadamu. Kau bukan tipeku, dengan tubuh sekurus itu." Lanjutnya masih tetap memejamkan mata.
Ap... Apa tadi dia bilang? Tubuhku kurus dan tidak menarik? Enak saja dia berkata seperti itu. Argh, benar-benar pria yang menyebalkan. Rasanya aku ingin sekali mencakar wajahnya itu, tapi dia memiliki wajah yang tampan. Ah, otakmu benar-benar kacau Clariss.
Aku langsung melompat turun dari tempat tidur dan langsung mencari tas dan sepatuku. Karena aku ingin segera pergi dari tempat ini. Ya, aku harus pergi dari sini. Ketika sedang mencari-cari, tanpa sengaja mataku melirik jam yang ada di atas nakas.
"Jam delapan pagi?" Pekikku, astaga aku bisa terlambat masuk di jam pertama kuliah. Ini semua pasti gara-gara kecerobohanku yang bisa-bisa tertidur saat bersama seorang pria asing. Kau benar-benar bodoh Clariss, bodoh. Dan... dimana tasku? Mengapa aku tak menemukannya? Jeritku dalam hati.
"Sebenarnya apa yang sedang kau cari, huh?" Suara dingin yang berasal dari pria yang saat ini sedang menopang kedua pipinya dengan kedua tangannya dari atas tempat tidur.
"Aku mencari tasku, aku harus segera pergi atau aku akan benar-benar terlambat masuk kuliah. Ya Tuhan, di mana sebenarnya tasku berada?" Aku mengerang frustasi.
"Oh, kau mencari tasmu." Jawabnya dengan ketus. Pria itu bangun dari tempat tidurnya dan berjalan dengan anggun menuju ke sebuah meja. Aku terpana melihatnya, bagaimana ia bisa begitu terlihat seksi padahal baru bangun tidur. Clariss berhenti berpikiran ngaco seperti itu.
Ketika saat itulah tiba-tiba ponsel yang berada di dalam saku celanaku berbunyi. Sebuah pesan singkat dari teman kuliahku. Ia memberitahu bahwa hari ini dosennya tidak datang jadi tak perlu datang ke kampus. Aku menghembuskan nafas dengan penuh kelegaan. Meskipun begitu aku tetap harus pulang. Aku tidak nyaman dengan kondisi tubuhku yang seperti ini.
Ketika sudah membalas pesan itu aku langsung memasukan kembali ponselku ke dalam saku. Aku berteriak kaget karena melihat wajah pria itu begitu dekat dengan wajahku. "Aaaaaaaa... berhentilah mengangetkanku. Kau mau aku mati karena terkena serangan jantung di usiaku yang masih muda ini, huh." Cecarku dengan kesal.
"Aku tidak pernah mengangetkanmu." Jawabnya dengan santai.
"Apa kau tidak sadar bahwa apa yang kau lakukan selalu membuatku kaget. Sekarang di mana tasku." Cecarku sambil berkacak pinggang, "Aku mau pulang dan membersihkan tubuhku."
"Kau bisa mandi di sini sebelum pergi." Katanya sambil memberikan tas milikku.
Aku langsung mengambil tas itu dan menyampirkannya di salah satu bahuku. "Terima kasih untuk semuanya, permisi." Ucapku sambil beranjak meninggalkan pria itu.
"Kau mau pergi kemana? Hei tunggu..." aku bisa mendengar teriakkannya yang memanggilku dari dalam kamar. Namun aku tetap melangkahkan kakiku menjauhi kamarnya. Berteriaklah sesukamu, karena aku takkan berpaling lagi ke belakang.
Ternyata penthouse miliknya ini memiliki dua lantai dan sangat luas sekali. Dan ketika menuruni tangga aku baru ingat bahwa aku belum mengetahui nama pria itu. Tidak mungkin aku kembali ke atas dan menanyakan namanya, bukan? Sudahlah, lagi pula apa untungnya bagiku untuk mengetahui nama pria asing yang aneh seperti itu.
Tiba-tiba ada sebuah suara yang membuyarkan lamunanku, "Nona, Mr. Reindhart memerintahkan saya untuk mengantarkan anda pulang."
Di depanku saat ini tengah berdiri seorang pria paruh baya. Dari penampilannya aku bisa menebak bahwa pria ini adalah orang kepercayaan pria itu. "Nona, apakah anda baik-baik saja?" Tanya lagi.
"Ah, saya baik-baik saja." Jawabku sambil tersenyum kikuk.
"Apakah anda mau sarapan dulu sebelum pulang, nona." Tawarnya lagi.
"Ah, tidak tidak usah. Saya mau langsung pulang saja." Timpalku.
Lalu aku mengikuti pria itu keluar dari penthouse milik pria itu. Selama perjalanan menuju ke apartemen milikku, pikiranku kembali di penuhi oleh pria itu. Ada aura kegelapan yang sangat pekat melingkupi dirinya yang entah mengapa menarikku untuk mendekat. Seolah sanga kegelapan sedang menungguku untuk masuk ke dalam kegelapan itu. Meskipun aku tidak tahu apa yang sedang menantiku di dalam kegelapan itu.
Tapi aku merasa aman ketika berada di dekat pria yang akhirnya aku ketahui namanya adalah Vanno. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menarikku dengan begitu kuatnya. Akankah sang waktu kembali mempertemukan kami kembali setelah hari ini berakhir? Entahlah aku sendiri tak tahu, yang jelas aku berharap akan segera bertemu dengannya lagi suatu hari nanti.
Aku tahu sepertinya dia menyebalkan, dan aku tidak mau mengakui ketertarikanku kepadanya. Habislah aku jika Vanno melihat bahwa aku tertarik kepadanya, bisa-bisa dia semakin seenaknya memperlakukanku. Aku harus melupakannya, ya itulah yang akan aku lakukan. Melupakan Vanno dan mengenyahkannya dari dalam pikiranku.
Namun sudah seminggu berlalu sejak hari itu aku masih tetap saja teringat Vanno. Sosoknya terus saja membayangi hari-hariku. Membuatku tidak bisa fokus dengan apa yang sedang aku kerjakan.
Seperti hari-har biasanya, aku menghabiskan hari-hariku setelah pulang kuliah di cafe kesukaanku. Berharap hujan akan turun dan aku kembali menemukan sosokmu. Dan sore ini hujan turun, namun sayang sekali aku tak menemukan sosokmu di seberang jalan sana. Vanno... Aku merindukanmu, sangat rindu. Aku tak tahu mengapa aku memeliki perasaan seperti ini. Padahal kita baru sekali bertemu.
Asal kau tahu bahwa sejak hari itu perasaan di hatiku mulai tumbuh. Perasaan yang semakin hari semakin tumbuh besar. Yang semakin membuatku yakin untuk mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta kepadamu Vanno. Meskipun aku tahu bahwa perasaan yang aku rasakan ini hanya bertepuk sebelah tangan, aku tak peduli.
Dan kali ini entah apa yang terjadi dengan tubuhku. Karena tiba-tiba saja aku berjalan keluar cafe. Hujan deras yang sedang mengguyur kota tak kuhiraukan. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju ke tempat Vanno berdiri dan berdiam diri waktu itu.
Di sinilah aku saat ini, di bawah sebuah pohon namun hujan tetap membasahi tubuhku yang sekarang ini sudah basah kuyup. Dalam hati aku terus berharap bahwa sosok Vanno akan muncul. Tubuhku mulai menggigil karena kedinginan, gigiku bergemeletuk menahan dingin. Tuhan, aku mohon pertemukan aku kembali dengan Vanno, kumohon Tuhan pertemukanlah kami, doaku dalam hati.
Tubuhku semakin bergetar hebat di bawah terpaan air hujan yang terus-menerus turun mengguyur kota dan entah kapan akan reda. Kepalaku mulai terasa sakit, pandangan mataku mulai berkunang-kunang dan tidak fokus. Hingga akhirnya aku merasakan tubuhku oleng dan kegelapan langsung menyergapku.