Kamis, 28 November 2013

Love Doesn't Have To Hurt 10

GALE

"Ada apa, Angel? Ceritakan kepadaku?" Tanyaku sambil memegang kedua bahunya.

"Cukup Gale cukup. Aku sudah lelah dengan semua ini, aku lelah, Gale." Isaknya sambil memukul-mukul dadaku.

"Angel, kau harus tenang dulu. Tolong katakan kepadaku ada apa sebenarnya." Tukasku sambil membelai lembut punggungnya.

Namun Dhee semakin terisak, membuatku semakin bingung. Kepalaku berdenyut memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Dhee.

"Angel, kumohon tenanglah. Ceritakan kepadaku ada apa sebenarnya ini?" Aku kembali mengulangi pertanyaanku.

Aku melihat Dhee menghela nafas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya, "Kita putus, Gale."

Rasanya seluruh darah yang ada di wajahku tersedot habis. Wajahku memucat mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir mungil kekasihku tercinta. "Ap-apa maksudmu, Angel?" Tanyaku tergugu.

"Aku mau kita putus Gale, PUTUS." Ulangnya sambil memberikan penekanan pada kata putus.

"Tidak Angel, aku tidak mau putus darimu. Tidak akan pernah." Jawabku lantang.

"Sudah cukup Gale, cukup. Aku lelah, aku tak mungkin terus-terusan menjadi sosok yang kuat. Aku lelah dengan semua ini, aku pikir kau sudah berubah setelah aku memergokimu bersama Sherin, tapi..." Dhee menghentikan kata-katanya dan mengembuskan nafas dengan berat, "Ternyata aku salah, kau tidak pernah berubah." Lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Demi Tuhan Angel, aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kau katakan." Aku mengguncang tubuhnya lembut. Namun Dhee tak bergeming, ia menghindari tatapanku.

Aku langsung mengacak rambutku dengan frustasi,  setelah akhirnya melepaskan cengkramanku pada kedua bahunya. Benar-benar membuatku stress, padahal aku ingin sekali memuaskan rasa rindu yang sudah cukup lama aku pendam. Bahkan rasa rindu ini membuatku begitu sakit dan sangat menyesakan hati.

Namun apa yang aku dapati ketika akhirnya aku kembali bertemu dengan orang yang bisa mengobati rasa ini? Tiba-tiba Dhee memutuskan hubungan kami begitu saja tanpa memberikan penjelasan sedikitpun. Dhee menunjukkan sikap bahwa aku telah melakukan sesuatu yang fatal. Sehingga pada akhirnya Dhee mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungannya denganku.

"Tak ada lagi hal yang perlu di jelaskan, Gale. Semua sudah berakhir, hubungan kita cukup sampai di sini saja. Kita putus." Ucapnya dengan penuh penekanan di setiap katanya.

Setelah mengatakan hal itu Dhee langsung pergi meninggalkanku yang terdiam terpaku menatap kepergiannya. Bahkan Dhee tak menoleh sedikitpun ke belakang. Seolah-olah ia ingin benar-benar meninggalkan dan melupakan masa lalunya.

I can't breathe easy
Can't sleep at night
Till you're by my side
No I can't breathe easy
I can't dream yet another dream
Without you lying next to me
There's no air

Curse me inside
For every word that caused you to cry
Curse me inside
I won't forget, no i won't baby,
I don't know why
I left the one i was looking to find
Ooh -- why...ooooh, why -- why...

Out of my mind
Nothing makes sense anymore
I want you back in my life
That's all I'm breathing for...

(Blue - Breathe Easy)

Entah berapa lama aku berada dalam posisi seperti itu. Berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi. Berharap bahwa Dhee akan berbalik dan memelukku. Lalu kami sama-sama saling mencurahkan perasaan rindu kami.

Detik demi detik terus berjalan. Namun tak ada tanda-tanda bahwa Dhee akan kembali dan berubah pikiran. Ternyata semua ini nyata, bukan mimpi.

Hujan yang turun dengan begitu derasanya seolah tahu suasana hatiku saat ini seperti apa. Tak kuhiraukan tubuhku yang mulai menggigil karena kedinginan. Rasa dingin yany di timbulkan oleh hujan pun rasanya tak mampu untuk mendinginkan hatiku yang bergejolak panas.

Malam semakin larut, namun aku tetap tak bergeming. Hujan yang terus menerus mengguyur tubuhku tetap tak membuatku beranjak dari posisiku saat ini. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh tepat di bawah kakiku. Orang yang aku cintai kini telah pergi meninggalkanku tanpa penjelasan apapun. Hingga lama kelamaan pandanganku semakin kabur dan tiba-tiba menjadi gelap gulita.

Aku membuka mataku ketika mendengar suara Lila yang khawatir. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan yang serba putih ini. Bau disinfektan yang tajam langsung membuatku tahu bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku pada Lila dengan suara yang lemah.

"Kakak pingsan di taman di saat hujan sedang turun begitu derasnya." Suara Lila terdengar bergetar karena tidak bisa menutupi ke khawatirannya, "Apa yang kakak lakukan, huh?"

"Aku pikir aku sudah mati." Jawabku enteng, namun tanpa di duga tiba-tiba saja Lila menampar pipiku dengan begitu kerasnya, "Sakit, mengapa kau menamparku?" Tanyaku sambil mengelus sebelah pipiku yang terasa panas.

"Bodoh, kau benar-benar kakak yang bodoh. Aku malu memiliki kakak yang pengecut sepertimu." Cecarnya sambil menangis. "Jika kau seperti ini bagaimana kau bisa mendapatkan dan kembali meyakinkan Dhee jika kau seperti ini, Kak." Isakknya sambil memalingkan wajahnya dariku.

Aku langsung menarik tubuh adikku dan memeluknya, "Maafkan kakak Lila, maaf." Hanya itulah kata-kata yang bisa terlontar dari mulutku.

"Kau benar-benar bodoh, kau kakak yang bodoh. Mengapa kau jadi seperti ini, Kak?" Cecarnya sambil terus terisak dalam pelukanku.

"Maaf Lila..." kata itu lagi yang keluar dari mulutku, mungkin saja Lila sudah bosan mendengar kata maafku.

"Sudahlah, Kak..." ucapnya sambil melepaskan pelukannya, "Kau harus cepat sembuh. Agar kau bisa kembali menyakinkan Dhee, aku tahu kau sangat mencintainya, Kak. Maka cepatlah menjadi kakakku yang seperti biasanya." Ucapnya sambil mencoba tersenyum di tengah isakannya.

Lila benar, aku tak bisa terpuruk seperti ini terus. Aku harus kembali bangkit jika aku ingin kembali mendapatkan Dhee. Aku tak boleh mundur dan menyerah begitu saja pada keadaan. Tidak boleh.

Beberapa hari kemudian dokter sudah mengizinkanku untuk pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari keberadaan Dhee. Karena menurut kabar yang aku terima dari Lila bahwa Dhee tidak terlihat di kampus. Bahkan Andara pun tidak tahu Dhee berada di mana saat ini.

Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Sampai kapan kau terus menguji kesungguhanku dan cintaku kepada wanita yang aku cintai.

Entah harus memulai dari mana aku melakukan pencarian. Aku tak tahu lagi harus mencari Dhee kemana. Dhee kembali menghilang tanpa jejak seperti di telan bumi.

Angel...
Kemana lagi aku harus mencarimu?

Minggu, 24 November 2013

Try With Me 8

HANNA

Aku tidak mempedulikan James yang selalu mengoceh menyuruhku untuk pergi memeriksakan kondisi tubuhku ke rumah sakit. Dan semakin hari James menjadi sangat cerewet sekali.

"Ayolah Hanna, mengapa kau tidak mau menuruti kata-kataku? Aku tak ingin menyeretmu ke rumah sakit." Omelnya sambil berkacak pinggang tepat di hadapanku.

Namun aku hanya menatapnya sesaat lalu mengalihkan pandanganku kembali pada buki yang sedang aku pegang. Aku tak perlu ke dokter atau ke rumah sakit, James. Karena aku tahu apa yang sedang terjadi dengan tubuhku saat ini, batinku dalam hati.

Andai saja keadaan kita tidak seperti ini James. Mungkin sejak awal kau mendapatiku muntah-muntah di toilet aku akaj langsung mengatakan bahwa aku hamil. Ya, saat ini aku sedang mengandung darah dagingmu James. Tapi aku tak bisa mengatakannya kepadamu. Karena aku yakin sekali bahwa kau pasti takkan mau menerima kehadiran bayi ini. Selain itu kau juga pasti menganggapku telah menjebakamu, sehingga kau tidak bisa bersatu dengan wanita pujaanmu itu.

"Hanna, kumohon." Suara James berhasil menarik perhatianku agar memandangnya kembali. .

Aku menghembuskan nafas dengan lelah, "Aku sudah tidak apa-apa, James. Kau tak perlu khawatir seperti itu, terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Jawabku sambil menarik bibirku menjadi sebuah senyuman, walaupun terlihat di paksakan.

"Aku takkan pernah bisa tenang sebelum mengetahui apa yang terjadi denganmu, Hanna." Tukasnya dengan lembut.

Jangan bersikap seperti itu James, karena kau hanya akan membuatku semakin mencintaimu, desahku dalam hati. "James, bukankah kau harus bersiap-siap untuk pergi ke pesta amal yang di adakan oleh salah satu rekan bisnismu." Ucapku mengingatkan, meskipun sebenarnya hanya untuk mengalihkan pembicaraan saja.

"Ah ya, aku hampir saja lupa dengan acara itu. Apakah kau sudah menerima gaun yang kupilihkan tadi siang?" Tanyanya sambil melepaskan ikatan dasinya.

"Sudah, gaunnya sangat indah terima kasih. Sebaiknya kau segera bersiap-siap." Jawabku sambil meletakan buku yang sedang aku baca tadi lalu berjalan menuju ke walk in closet. Sedangkan James pergi ke kamar lain untuk mandi, agar aku bisa menggunakan kamar mandi yang ada di kamar.

Setengah jam kemudian aku keluar dari kamar dan turun ke bawah untuk menemui James yang telah menungguku. James terlihat sangat tampan dalam balutan tuxedo berwarna hitam yang dengan pas memeluk tubuhnya. Menyembunyikan otot-otot tubuhnya. Tanpa sadar aku menelan ludahku sendiri, astaga apa yang sedang kau pikirkan Hanna. Apakah ini salah satu hormon yang di alami oleh wanita hamil? Kalau begitu aku harus mengurangi kontak fisik dengan James sejak saat ini.

"Kau cantik sekali, Hanna." Suara James langsung menyadarkanku dari pikiran yang mulai tidak benar. Aku hanya tersenyum menanggapi kata-katanya. .

James menghampiri lalu meraih salah satu tanganku dan menciumnya. Membuat tubuhku langsung tersengat aliran listrik. Lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludahku sendiri, "James, bisakah kita pergi sekarang?" Astaga mengapa suaraku tiba-tiba terdengar parau dan mendesah seperti itu.

"Kau baik-baik saja, sayang?" James menyipitkan matanya menatapku. Aku mengangguk dengan cepat untuk meyakinkannya, "Baiklah, ayo kita pergi sekarang. Tapi jika kau masih merasa belum sehat sebaiknya kita tidak usah pergi saja." Ucapnya lembut.

"Ayolah, jangan mulai lagi, James. Aku baik-baik saja, oke!" Timpalku sambil memutar mataku kesal. James menjadi sangat cerewet akhir-akhir ini.

Tanpa banyak kata akhirnya kami pergi menuju ke salah satu hotel mewah yang di jadikan sebagai tempat untuk menggelar acara penggalangan dana itu. Ini pertama kalinya aku menghadiri acara seperti ini, karena sebelumnya aku tak pernah mengira bahwa aku akan di nikahi oleh seorang CEO muda setenar James. Dan sekarang mau tak mau aku harus mulai bisa beradaptasi dengan gaya hidupnya karena aku tak mau mempermalukan diriku ataupun James. Mengapa aku jadi sering memikirkan James? Seharusnya aku membenci dia karena sudah menjebakku dalam pernikahan ini dan merenggut satu-satunya milikku yang paling berberharga ketika kami berlibur di Aspen.

Sepanjang perjalanan James terus saja menggenggam tanganku, meskipun tak ada sepatah katapun yang keluar daru mulut kami berdua. Kami terlalu asyik dan tenggengelam dalam pikiran masing-masing. Atau karena kami tidak tahu harus seperti apa karena suasana dengan tiba-tiba berubah menjadi canggung apalagi James tak kunjung melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.

Setengah jam kemudian kami samapai di tempat acara. Banyak sekali orang yang datang menghadiri acara ini rupanya. Aku tak mengira bahwa akan seramai ini. Semoga saja aku tidak melakukan sesuatu yang bodoh dan mempermalukan diriku.

James menggenggam tanganku dan membawaku ke dalam. Banyak sekali pria dan wanita yang berpakaian mahal, mewah dan elegan. Dekorasi ruangannya pun tidak di ragukan lagi benar-benar mewah. Wajar saja karena acara ini di hadiri oleh para pengusaha dan konglomerat seantero negeri ini.

"Ayo, aku akan mengenalkanmu kepada beberapa relasi bisnisku." Gumam James tepat di telingaku. Aku hanya tersenyum ketika James membawaku untuk mengenalkan beberapa relasi bisnisnya. Yang kulakukan hanya tersenyum dan menjawab seperlunya saja. Bisnis bukan topik yang menarik untukku.

Sampai tiba-tiba aku merasakan ganggaman tangan James di tanganku mengerat. Tubuhnya terdiam kaku, dengan pandangan yang terpaku pada satu titik. Dengan rasa penasaran aku melihat ke arah James memandang. Di sana ada seorang wanita yang sangat cantik dalam balutan gaun berwarna hitam. Meskipun perutnya sudah terlihat besar tetap tidak mengurangi pesonanya.

Membuatku bertanya-tanya dalam hati. Namun hati kecilku langsung meneriakkan satu nama LILA. Nama itulah yang pertama kali muncul dalam benakku. Pantas saja James masih tetap mengingtnya, karena ternyata Lila sangat cantik. Seketika itu pula perasaan yang menyesakan dadaku itu langsung menyeruak.

Aku tidak tahan melihat suamiku memandangi mantan kekasihnya yang sudah bersuami dan bahkan saat ini sedang hamil dengan tatapan yang begitu memuja dan penuh damba.

"James, aku ke toilet dulu." Gumamku, aku tak peduli James bisa mendengarku atau tidak. Karena setelah aku mengatakan itu ia masih tak bergeming.

Aku langsung menuju ke arah toilet setelah bertanya kepada salah satu pelayan yang bertugas di sini. Sesampainya di sana aku langsung membungkukkan tubuhku di washtafel. Mengeluarkan semua makanan yang sudah masuk ke dalam perutku.

Setelah beberapa menit akhirnya aku berhenti dari kegiatan yang akhir-akhir ini sering aku lakukan di toilet. Tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang yang masuk ke dalam toilet. Perlahan aku menegakkan tubuhku agar bisa melihat wajah orang yang baru saja masuk ke dalam toilet ini. Ternyata wanita itu adalah Lila.

"Hei, kau tidak apa-apa, kan?" Tanyanya sambil menghampiriku, "Wajahmu terlihat pucat sekali. Tunggu dulu kau Hanna, bukan?" lanjutnya.

"Ya, namaku Hanna." Jawabku sambil berusaha menyunggingkan senyum.

"Senang sekali akhirnya aku bisa  bertemu denganmu." Timpalnya dengan riang. Aku tak tahu harus senang atau kesal bertemu denganmu Lila, kesahku dalam hati.

"Kau yakin tidak apa-apa, Hanna? Aku mendengar kau muntah-muntah tadi. Oh, jangan-jangan kau sedang hamil." Tebaknya. Astaga bagaimana dia tahu bahwa aku sedang hamil. Tentu saja dia tahu Hanna, apakah kau tidak melihat bahwa ia juga sedang hamil.

"Bagaimana kau tahu?" Ckk benar-benar Hanna bodoh. Aku merutuki pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku.

"Aku melihat dari tubuhmu dan gejala yang kau alami. Meskipun itu bisa saja terjadi jika kau terkena masuk angin atau gangguan lambung. Tapi entah mengapa aku yakin sekali bahwa kau sedang hamil. James pasti senang sekali." Ucapnya panjang lebar, "Ah, aku harus memberikan selamat kepada James."

"Tunggu... Jangan..." dengan refleks aku langsung mencengkram pergelangan tangan Lila. Mencegahnya agar tidak menemui James. Terlihat jelas tatapan bingungnya melihat reaksiku, tapi untunglah Lila tidak jadi pergi menemui James. "Jangan bilang bahwa James tidak mengetahui kehamilanmu." Tebaknya sambil menyipitkan mata dan menatapku dengan penuh selidik.

"Aku tak ingin James mengetahui kehamilanku ini. Kumohon kau tidak akan mengatakan hal ini kepadanya, Lila." Entah mengapa aku merasa nyaman mengatakan hal ini kepada Lila. Bahkan dengan mudahnya aku percaya kepada Lila.

"Baiklah, jika itu yang kau minta aku takkan mengatakan hal ini kepada siapapun termasuk kepada suamiku. Aku tidak akan bertanya apa yang sedang terjadi dengan hubungan kalian. Hanya saja jika alasanmu menyembunyikan berita baik ini karena aku. Aku benar-benar minta maaf, perlu kau tahu aku tidak memiliki perasaan apapun kepada James. Aku sangat mencintai suamiku, mungkin kau bisa melihat seperti apa perasaan cintaku kepada suamiku." Jelasnya panjang lebar.

"Lila, maafkan aku jika ada perkataanku yang menyinggung perasaanmu. Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu." Tukasku.

"Aku tidak tersinggung Hanna, sungguh." Ia tersenyum tulus kepadaku, ternyata Lila benar-benar wanita baik dan terhormat. "Aku hanya ingin melihat James bahagia bersamamu dan melupakanku. Aku yakin kau bisa mendapatkan hatinya. Apalagi saat ini kau sedang mengandung darah dagingnya. Ingan Hanna, semakin hari kehamilanmu akan semakin membesar." Ucapnya sambil menggenggam tanganku.

"Tidak semudah itu Lila, hubunganku dengan James benar-benar rumit." Jelasku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Tak ada masalah yang tak bisa di selesaikan, Hanna. Sekusut apapun benang itu suatu saat pasti akan kembali lurus. Asalkan kau mau lebih bersabar dan berusaha." Timpalnya bijaksana, "Jika suatu saat kau membutuhkan teman untuk berbicara dengan senang hati aku akan menjadi temanmu. Aku harus pergi, suamiku sudah panik. Ah iya, ini kartu namaku. Sampai bertemu lagi." Lanjutnya sambil tertawa dengan geli.

Setelah Lila pergi tinggalah aku sendiri. Termenung memikirkan kata-kata yang di ucapkan oleh Lila. Aku merasa bukan apa-apa jika bersanding dengan Lila pantas saja James bisa sampai mrngejarnya srperti itu. Semua yang di katakan olehnya memang benar. Tidak mungkin aku terus-terusan menyembunyikan kehamilanku, karena semakin hari perutku akan semakin membesar.

Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana aku mengatakan tentang kehamilanku kepada James? Meninggalkannya benar-benar tak mungkin, karena James pasti akan menemukanku.

Aku menghela nafas dengan keras, berharap rasa sesak yang aku rasakan dalam dada sedikit berkurang. Namun rasa sesak itu tak kunjung berkurang.

***

JAMES

Kabar yang aku dengar dari Rick benar-benar membuatku sangat terkejut. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Rick menghampiriku lalu mengucapkan selamat. Rick mengucapkan selamat bahwa aku akan segera menjadi seorang ayah.

Ya Tuhan, jadi saat ini Hanna sedang hamil. Ia mengandung anakku, darah dagingku. Tapi yang membuatku marah dan kecewa adalah mengapa ia malah menyembunyikan hal ini dariku? Apa ia takut jika aku takkan mau mengakui bayi yang sedang di kandungnya? Aku tak mungkin sekejam itu, mengingat aku adalah pria pertamanya.

Demi Tuhan, mana mungkin aku akan mengacuhkan Hanna dan bayi kami? Aku takkan mungkin melakukannya, karena bagaimana pun juga bayi itu adalah darah dagingku. Apapun yang terjadi aku harus menjaga mereka berdua.

Aku menggertakan gigi-gigiku menahan amarah yang mulai muncul mengusai diriku. Namun untung saja semua amarah itu langsung hilang ketika aku melihat Hanna. Rasa amarah itu menghilang dan langsung berubah ketika melihat wajahnya yang pucat pasi.

Yang ada di otakku saat itu adalah langsung menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku benar-benar harus melupakan Lila dan mulai belajar untuk mencintai Hanna. Aku tak ingin jika bayi kami lahir tapi kedua orang tuanya tidak saling mencintai satu sama lain. Hanna... Hanna... Hanna... Apa yang sudah kau lakukan kepadaku?

"James, lepaskan pelukanmu." Protesnya sambil berusaha untuk melepaskan diri dari pelukanku.

"Tidak akan, aku tidak akan melepaskanmu, Hanna." Gumamku sambil mempererat pelukanku, "Ayo kita pulang."

"Pulang? Tapi acaranya belum selesai." Aku bisa merasakan tangannya melingkar di pinggangku dan balas memelukku.

"Aku tak peduli. Saat ini yang aku inginkan adalah membawamu pulang, Hanna. Wajahmu pucat sekali." Cecarku sambil membelai lembut rambutnya yang terurai. "Dan jangan membantahku." Ucapku dengan tegas.

Lalu aku melepaskan pelukanku dan beranjak pergi meninggalkan tempat acara. Kami memasuki mobil dalam keheningan.

"Jadi sudah berapa minggukah tepatnya kehamilanmu saat ini, Hanna?" Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulutku tubuh Hanna langsung menegang kaku.

Karena terkejut aku bisa melihat dengan sangat jelas bibirnya yang mendadak sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Berkali-kali ia membuka mulutnya namun menutupnya lagi tanpa berhasil mengeluarkan sepatah kata pun.

"Katakan kepadaku mengapa kau menyembunyikan semua ini dariku, Hanna?"

Jumat, 15 November 2013

Love Under The Rain 3

CLARISS

Di sinilah aku saat ini, di bawah sebuah pohon namun hujan tetap membasahi tubuhku yang sekarang ini sudah basah kuyup. Dalam hati aku terus berharap bahwa sosok Vanno akan muncul. Tubuhku mulai menggigil karena kedinginan, gigiku bergemeletuk menahan dingin. Tuhan, aku mohon pertemukan aku kembali dengan Vanno, kumohon Tuhan pertemukanlah kami, doaku dalam hati.

Tubuhku semakin bergetar hebat di bawah terpaan air hujan yang terus-menerus turun mengguyur kota yang entah kapan akan reda. Kepalaku mulai terasa sakit, pandangan mataku mulai berkunang-kunang dan tidak fokus. Hingga akhirnya aku merasakan tubuhku oleng dan kegelapan langsung menyergapku.

***

VANNO

Seminggu sudah aku tidak bertemu lagi dengan Clariss. Meskipun pada kenyataannya aku tidak benar-benar menjauh darunya. Karena tanpa sepengtahuannya aku selalu mengawasinya dari jauh. Aku masih belum tahu perasaanku pada Clariss, yang aku tahu bahwa aku tak bisa benar-benar menjauh dari Clariss.

Meskipun pertemuan dan pekenalan kami sangat singkat. Clariss berhasil menorehkan kesan yang mendalam di hatiku. Hanya melihat wajahnya saja langsung membuat hatiku di penuhi oleh perasaan yang hangat. Perasaan yang tidak pernah menghinggapi perasaanku selama bertahun-tahun.

Clariss berhasil menyentuh dasar hatiku yang paling kelam dan mulai menyinarinya. Padahal Clariss tidak melakukan apapun. Hanya perasaan nyaman yang aku rasakan ketika berada di dekatnya. Aku belum pernah tidur senyenyak itu sebelumnya.

Mimpi menyeramkan itu selalu saja muncul. Membuatku ketakutan di malam hari dan membuatku terjaga hingga keesokan harinya. Tapi mimpi itu tidak terjadi ketika Clariss berada di sampingku.

Namun aku tak ingin mengambil resiko. Membiarkan Clariss masuk ke dalam kehidupanku hanya akan membuat jiwanya terancam. Orang-orang itu pasti akan berusaha untuk menyakiti Clariss. Aku tidak ingin satu orangpun tahu bahwa Clariss telah menjadi kelemahanku yang terbesar.

Berusaha menjauh, menghindar dan menghilangkan sosoknya dari pikiranku ternyata sangat sulit. Yang aku inginkan adalah melihat wajahnya. Namun semua itu  membuatku ketakutan, ketakutan karena akan terjadi sesuatu jika aku membuka hatiku dan membiarkannya masuk.

Dan saat ini aku hanya bisa berharap bahwa salah satu dari mereka tidak ada yang membuntutiku dan melihatku membawa Clariss. Karena jika mereka sampai melihat Clariss aku takkan pernah membiarkan Clariss pergi dengan bebas berkeliaran di luar sana. Aku takkan membiarkan ia menghilang dari pandanganku. Mungkin aku akan mengurungnya di penthouse milikku. Entahlah, pikiranku saat ini benar-benar kalut.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh akhirnya aku sampai di penthouse ketika hari mulai memasuki petang. Setelah merasa keadaan sekitar aman dan sepi aku langsung membawa Clariss yang tidak sadarkan diri. Aku buru-buru masuk ke dalam lift khusus yang memberikan akses menuju ke penthouse milikku. Tak sembarangan orang yang bisa memasuki lift khusus ini.

Sesampainya di atas aku langsung membaringkan tubuh Clariss di atas tempat tidur. Tubuhnya menggigil karena kedinginan meskipun dalam keadaan tidak sadarkan diri. Aku langsung mengrluarkan beberapa pakaian wanita yang tadi sudah di beli oleh Travis.

Aku langsung mengganti semua pakaian Clariss dengan pakaian yang kering. Aku harus menahan gejolak gairahku dengan begitu kuat ketika melihat tubuh polos Clariss yang terpampang di depanku. Namun aku menekan kuat-kuat gejolak gairahku dan kembali fokus untuk membersihkan tubuh Clariss dan memakaikannya pakaian kering. Dan semua kegiatan yang menyiksa itu berakhir.

Beberapa saat kemudian dokter pribadi kepercayaanku datang dan memeriksa keadaan Clariss. Setelah memberikan obat penurun demam dan antibiotik dokter langsung pamit. Selama Clariss belum sadar aku memutuskan untuk pergi membersihkan tubuhku dan menyiapkan makanan untuk Clariss jika ia sudah sadar nanti meskipun tak ada tanda-tanda Clariss akan bangun. Selebihnya aku habiskan hanya untuk memandangi wajah cantiknya yany terlihat damai.

"Clariss, tahukah kau bahwa aku jatuh cinta kepadaku sejak pertama kali kita bertemu di bawah guyuran hujan beberapa saat yang lalu. Kau tahu sejak pertemuan itu kehidupanku jadi tidak seperti biasanya. Kau telah berhasil menjungkir balikan kehidupanku..." gumamanku terhenti, "Entah apa yang sudah kau lakukan hingga membuatku seperti ini, Clariss. Aku mencoba untuk menjauh dan melupakannu tapi tidak bisa." Lanjutku sambil membelai lembut wajahnya dan mengecup ringan bibirnya yang merah.

"Aku mencintaimu Clariss, sangat mencintaimu." Lalu aku berbaring hingga akhirnya terlelap di sampingnya.

***

Sebuah gerakan gelisah yang berasal dari seseorang yang berada di sampingku mau tak mau membuatku langsung terjaga, aku melirik jam yang ada di nakas baru menunjukkan pukul dua dini hari.  Clariss terlihat gelisah dalam tidurnya. Bulir-bulir keringat telah membasahi wajahnya.

"Va-Va-Vanno..." suaranya terdengar seperti sebuah bisikan namun aku bisa dengan jelas mendengar kata-katany. "Va-Va-Vanno..." gumamnya lagi menyebut namaku.

Aku langsung memutar tubuhku menghadapnya, "Aku disini sayang, aku disini." Ucapku sambil menyeka bulir-bulis keringat yang membasahi wajahnya.

Tiba-tiba saja kedua mata Clariss terbuka dengan lebar dan iris matanya langsung bertatapan dengan mataku. "Va-Va-Vanno..." panggilnya lirih.

"Ya, ini aku Vanno." Tegasku sambil merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya, "Bagaimana keadanmu sekarang? Apakah sudah jauh lebih baik?" Tanyaku.

"Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu, Vanno." Ucapnya lirih dengan suara yang lemah dan parau. Tangannya yang lemah menggapai dan membelai pipiku dengan begitu lembut. Tanpa sadar mataku terpejam merasakan belaiannya pada wajahku.

Selama beberapa menit yang kami lakukan hanya saling berpandangan. Menyelami isi hati masing-masing. Kami berdua memang saling tertarik satu sama lain. Wanita yang telah berhasil membuat tempat tergelap dalam hatiku kini berada tepat di depanku.

Hanya saja kami tidak boleh bersatu. Tidak dengan keadaanku yang seperti ini. Andai saja aku bisa terbebas dan terlepas dari mereka. Aku pasti akan lebih memilih untuk menghabiskan hidupku bersama Clariss. Namun sayangnya keinginan itu hanya sebuah impian. Sebuah impian yang entah kapan bisa terwujud.

Semakin lama wajah kami semakin mendekat. Hingga akhirnya bibir kami saling bertemu dan berpagutan. Aku mencecap bibirnya dengan penuh damba. Merasakan manisnya dari setiap inchi bibirnya. Lenganku mengangkat dan menahan tubuhnya yang masih lemah berada dalam posisi duduk. Entah hanya perasaanku saja atau bukan rasanya kami berdua seperti memiliki koneksi yang kuat satu sama lain. Perasaan-perasaan yang membuatku berasa nyaman itu semakin kuat aku rasakan.

Cukup lama kami saling berpagutan seperti itu. Aku menarik diri dan menghentikan kegiatan kami itu ketika aku mendengar deru nafas Clariss yang mulai terengah. Aku langsung memeluk erat tubuhnya yang terkulai lemas.

Dengan perlahan-lahan aku kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Beristirahatlah, aku akan membawakanmu sesuatu." Gumamku sambil membelai wajahnya.

Namun Clariss menahan lenganku, "Jangan pergi Vanno, kumohon." Pintanya sambil mencengkram erat lengan bajuku. Aku pun langsung kembali menyandarkan tubuhku di sandaran tempat tidur. Lalu menarik tubuh Clariss ke dalam pelukanku.

"Bagaimana bisa aku berada di sini, Vann? Apa yang sebenarnya terjadi? Seingatku bukannya aku sedang berada di depan kafe." Tanyanya sambil bersandar di dadaku.

"Apa yang kau lakukan, Clariss? Membuat tubuhmu basah hingga kedinginan seperti itu dan berakhir dengan kau yang jatuh pingsan di tengah guyuran hujan?" Tegurku lembut.

"Aku menunggumu, Vanno." Jawabnya dengan lirih sambil memandangku dengan lembut.

Kernyitku langsung berkerut mendengar jawaban yang keluar dari bibirnya, "Menungguku?"

Ia mengangguk lemah, "Ya, aku menunggumu. Kau tahu sebelumnya aku tidak begitu menyukai hujan. Namun semua itu berubah ketika aku bertemu denganmu. Aku jadi menyukai hujan bahkan sangat menantikan hujan turun." Ia berhenti dan menghela nafasnya pelan, "Aku merindukanmu Vanno, aku selalu beharap bahwa kita akan bertemu lagi. Tapi kau menghilang seperti di telan bumi. Aku putus asa, sampai pada akhirnya hujan turun hari ini. Lalu aku memutuskan untuk melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan saat pertama kali aku melihatmu." Clariss kembali terdiam, ia terlihat lelah namun tetap bersikeras untuk melanjutkan kata-katanya, "Aku berharap jika aku melakukan hal itu kau akan datang. Dan ternyata kau benar-benar muncul." Clariss mengakhiri perkataannya sambil tersenyum lembut.

"Clariss..." ucapku sambil mempererat pelukanku. Perasaan hangat itu langsung memenuhi dadaku. Ternyata perasaan yang aku rasakan tidak bertepuk sebelah tangan. Clariss ternyata mencintaiku juga. "Aku mencintaimu Clariss, aku mencintaimu sejak pertama kali bertemu. Hanya saja kita takkan pernah bisa bersatu dan bersama." Gumamku dengan suara yang berat.

Mendengar kata-kata terakhir yang aku ucapkan Clariss langsung melepaskan pelukanku. Ia memandangku dengan tatapan bingungnya, "Apa maksudmu mengatakan itu? Kau bilang bahwa kau mencintaiku namun kemudia kau bilang bahwa kita tak bisa bersatu dan tak akan bisa bersama? Mengapa kau berkata seperti itu?" Suaranya terisak dan bergetar.

"Maafkan aku Clariss, aku ingin bersamamu tapi itu semua takkan mungkin terjadi." Jelasku dengan menyesal.

"Kenapa kita tidak bersama, Vann?" Tanyanya yang masih berusaha untuk tidak menangis.

"Aku tidak bisa mengatakan ataupun menjelaskannya kepadamu, Clariss. Aku mohon maaf." Ungkapku sambil menundukkan wajah. Aku takkan sanggup jika harus melihatnya menangis di depanku. Karena itu semua akan meruntuhkan semua pertahanan dan membuatku merubah pendirianku.

Akhirnya aku mendengar suara isakan yang berasal dari Clariss. Hatiku sakit seperti di tusuk oleh ribuan jarum. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Bersama denganku hanya akan membahayakan jiwanya. Apalagi setelah aku mengetahui sesuatu tentang diri Clariss. Mana mungkin aku mengambil resiko membiarkan Clariss berada di sampingku dengan bahaya yang selalu mengancam jiwanya setiap saat. Tidak akan pernah.

Biarlah Clariss membenciku asalkan ia aman. Dengan begitu aku bisa terus mengawasinya dari jauh. Takkan ada bahaya yang mengancam nyawanya.

Rabu, 13 November 2013

Try With Me 7

JAMES

"Cepatlah makan, mau sampai kapan kau memandangi makan-makanan itu, huh?" Tegur Hanna yang sedang menuangkan susu ke dalam gelasku.

"Aku akan makan, terima kasih." Ucapku sambil mengambil gelas yang baru saja di isi oleh susu itu.

Selesai sarapan Hanna memintaku untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar danau. Yah, meskipun begitu Hanna masih tetap saja mendiamkanku. Entah apa yang sedang di pikirkan olehnya saat ini. Semoga saja Hanna tidak berniat kabur dariku.

Karena akan aku pastikan Hanna tidak akan bisa pergi dariku. Aku takkan membiarkannya, benar-benar takkan kubiarkan.

***

HANNA

Seminggu berlalu sejak liburanku bersama James di Aspen. Dan sejak kejadian itu pula James tak pernah menyentuhku lagi. Meskipun terkadang ia masih suka mencuri-curi untuk menciumku, tapi tidak lebih.

Astaga Hanna mengapa kau jadi seperti mengharapkan untuk di sentuh olehnya? Tidak, itu tidak boleh terjadi lagi. Cukup satu kali aku lengah dan terbuai oleh rayuannya. Dan kali ini aku harus lebih waspada, aku tidak mau kejadian itu kembali terulang lagi.

Dan aku bersyukur sekali ketika James mengijinkanku untuk melanjutkan kuliahku yang sudah memasuki semester akhir. Ia bilang bahwa tak ingin mempunyai istri yang bodoh dan tidak memiliki gelar sarjana apapun. Dia benar-benar meremehkan kepintaranku, jika aku tidak pintar mana mungkin aku bisa masuk di fakultas kedokteran di salah satu universitas ternama di Miami dan mendapatkan beasiswa. Lihat saja akan aku buktikan bahwa aku tidak bodoh suamiku. Duh, lagi-lagi mulutku keceplosan memanggilnya dengan sebutan 'suamiku' gerutuku dalam hati.

Hari ini aku terlambat keluar dari kampus. Karena aku harus memeriksakan laporan yang sedang aku kerjakan kepada dosen pembimbingku. Belum lagi aku harus mencari bahan-bahan untuk melengkapi materi yang sedang aku susun itu di perpustakaan. Tak heran jika aku keluar dari area kampus ketika hari sudah gelap, karena aku menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan kampus.

Dengan lunglai aku berjalan menyusuri jalanan yang mengarah ke sebuah halte bis yang jaraknya tak begitu jauh dari kampusku. Semoga saja aku masih bisa mendapatkan sebuah taksi. Tadinya aku ingin sekali minta di jemput oleh James atau supir tapi ponselku mati. Jadi dengan terpaksa aku harus menunggu di halte seperti ini.

Berharap James akan memerintahkan salah satu supir.untuk menjemputku. Apalagi malam ini udaranya begitu dingin. Aku takkan sanggup menunggu satu jam lagi di sini, aku benar-benar merasa sangat lelah sekali.
Ya Tuhan, mataku sudah tidak bisa di ajak untuk berkompromi lagi. Aku tidak mau jatuh tertidur di tempat ini. Sedangkan taksi yang kutunggu tak kunjung datang.

Rasa hangat yang menerpa wajahku membuatku membuka mata secara perlahan. Mencoba mengumpulkan kesadaranku dan mencoba mengingat-ingat ruangan yang aku tempati ini. Ah, bagaimana bisa aku berada di kamarku? Seingatku semalam aku sedang menunggu taksi di halte bis dekat kampus.

Dengan perlahan aku melihat ke arah samping dan aku menemukan James yang masih tertidur pulas dengan wajah yang terlihat damai. Jangan-jangan semalam aku tertidur di halte dan secara kebetulan James menjeputku. Tapi bukankah seharusnya saat ini ia sedang berada di New York?

Ah sudahlah, untuk apa aku pusing-pusing memikirkan hal seperti itu. Sebaiknya aku bangun dan mandi saja. Semoga dinginnya air bisa membuatku jauh merasa lebih baik. Lalu aku menyingkap selimut yang menutupi tubuhku, dengan perlahan aku beranjak dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi.

Ketika keluar dari kamar mandi ternyata James masih belum bangun. Dan ketika aku selesai berpakaian dan keluar dari walking closet James masih belum bangun juga, ini benar-benar tidak seperti biasanya. Ia terlihat gelisah dalam tidurnya dan mulutnya terlihat bergerak-gerak entah mengucapkan apa.

Lalu aku berjalan mendrkat menghampiri James yang masih terpejam. Barulah aku bisa melihat dengan jelas keadaannya. Keringat dingin membasahi keningnya dan yang membuatku syok adalah ketika menedengarkan kata-kata yang keluar dari mulutnya ketika dalam keadaan setengah sadar.

"James ayo bangun." Ucapku sambil menepuk pipinya, "Ya Tuhan, kau demam tinggi." Aku langsung menempatkan telapak tanganku di keningnya dan benar saja suhu tubuhnya sangat panas sekali. "Tunggu sebentar aku akan mengambil air untuk mengompres." Gumamku sambil hendak beranjak dari posisiku.

Namun tiba-tiba James mencekal pergelangan tanganku "Jangan pergi, kumohon Lila." Racaunya dengan mata yang terpejam.

Hatiku langsung berdenyut dan terasa sakit ketika mendengar James memanggil wanita lain dalam keadaan setengah sadar. Namun yang membuatku semakin terluka adalah James menganggapku sebagai wanita yang bernama Lila itu.

"Ak-aku hanya sebentar, James." Suaraku mulai bergetar menahan tangis. Entah mengapa ramsanya aku ingin menangis dengan kencang. Seharusnya aku tidak terpengaruh dan biasanya saja ketika mendengar James menyembut nama wanita lain di hadapanku tapi... Entahlah, aku benar-benar bingung dengan semua ini.

Dengan tergesa-gesa aku pergi ke dapur untuk mengambil peralatan yang di perlukan untuk mengompresnya. Sekembalinya dari dapur aku segera mengopresnya, aku tidak mungkin pergi ke kampus dengan keadaan James yang seperti ini. Setelah menghubungi temanku, aku langsung bergegas ke dapur untuk membuatkan sup untuk James. Jika sampai nanti siang panasnya masih tidak turun aku akan menelepon dokter.

Berkutat di dapur tetap saja membuatku memikirkan kata-kata yang terlontar dari mulut James tadi. Astaga, mengapa aku terus-terusan memikirkan kata-kata James tadi? Perasaan tidak nyaman langsung menyeruak begitu saja dalam dadaku, gumamku dalam hati. Tidak, aku harus mengabaikannya aku tidak boleh terpengaruh dengan semua ini. Tidak boleh.

Dengan penuh tekad aku akan mengacuhkan setiap kata yang terlontar dari mulut James. Aku kembali ke kamar sambil membawa nampan, sesampainya di kamar aku menyimpan nampat itu di atas nakas. Dengan perlahan aku membangunkan James yang masih memanggil-manggil nama Lila.

"James, ayo bangun. Aku sudah membuatkan sup untukmu." Ucapku sambil menepuk-nepuk pipinya lembut.

"Lila... Maafkan aku Lila... Aku mencintaimu..." racaunya dengan raut wajah yang gelisah.

Hatiku kembali berdenyut kesakitan mendengar kata-katanya itu. Tuhan, tolong jangan biarkan air mataku terjatuh. Namun yang terjadi adalah aku terisak menahan tangis dengan cara menggigit bibir bawahku. Berharap agar air mataku ini bisa berhenti berjatuhan membasahi pipiku.

Aku segera menghapus bulir-bulir air mata yang sudah terlanjur jatuh membasahi kedua pipiku, "James... Kau harus makan." Ucapku dengan suara yang bergetar.  Akhirnya James membuka mata, namun matanya tidak terbuka sepenuhnya. Tatapannya benar-benar terlihat sangat sayu dan tidak fokus.

Aku menyandarkan tubuhnya agar berada dalam posisi duduk. Lalu aku mengambil sup yang tadi aku bawa dan mulai menyuapinya, "Ayo James, kau harus makan agar cepat sembuh. Buka mulutmu." Pintaku sambil menatapnya dengan fokus. Tapi James hanya diam, wajahnya terlihat sangat lelah sekali. "Ayolah, kau harus makan lalu setelah itu kau boleh tidur kembali." Dan akhirnya James mau membuka mulutnya, meskipun hanya beberapa sendok sup yang berhasil masuk ke dalam perutnya. "Nah, sekarang kau boleh kembali itu. Beristirahatlah."

Ketika aku membaringkan kembali tubuhnya tiba-tiba saja James menarik tubuhku sehingga tubuhku berada di atas tubuhnya. Dan ketika aku berniat untuk bangun James malah melumat bibirku dengan penuh gairah. Semua itu bisa kurasakan karena ciumannya begitu menuntut. Tubuhku langsung melemas oleh sensasi yang di timbulkan oleh ciumannya itu.

"Tidak. Apa yang akan kau lakukan, James?" Aku berkata sambil berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Namun tenaga James masih terlalu kuat untuk kulawan. Meskipun saat ini keadaan James sedang sakit.

Otakku menolak dengan keras akan perlakuannya namun berbanding terbalik dengan tubuhku yang begitu mendambakannya. Tubuhku bahkan merespon setiap sentuhan-sentuhannya di sekujur tubuhku. Tubuhku menginginkan perlakuan lebih darinya.

Tiba-tiba James membalik posisi kami berdua. Aku berada di bawah, dalam kungkungan tubuhnya sedangkan bibirnya terus mencecap bibirku dan kedua tangannya sibuk menyentuh tubuhku tanpa melewatka satu inchi pun.

Erangan dan desahan pun mulai keluar dari tenggorokanku. Dan tak lama kemudian James kembali membawaku pada kenikmatan yang aku rasakan ketika kami berlibur di Aspen beberapa waktu yang lalu.

Sore harinya aku terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhku. Seketika itu pula aku langsung teringat dengan kejadian tadi. Wajahku langsung terasa panas mengingatnya. Aku benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa aku kembali jatuh dan terlena oleh pesona James dan kembali menyerahkan tubuhku kepadanya.

Dengan perlahan aku bangun dari tempat tidur, lalu memunguti pakaianku yang tercecer dan pergi ke kamar mandi. Setelah selesai aku segera melihat keadaan James yang masih terlelap, perlahan aku memakaikan kembali piayama yang di pakainya. Setelah itu aku langsung pergi keluar kamar. Aku harus menghidarinya, aku juga tidak mau James tahu tentang kejadian tadi. .

Menjelang waktu makan malam James turun dan bergabung bersamaku di meja makan. "Selamat malam, bagaimana keadaanmu?" Tanyaku sambil mengambilkan makanan untuknya.

"Sudah jauh lebih baik. Terima kasih sudah merawatku. Aku tidak pernah sampai sakit seperti itu sebelumnya." Jawabnya dengan suara yang serak.

"Kau terlalu keras bekerja James, cobalah untuk lebih memperhatikan kesehatanmu." Timpalku sambil menyendok makanan yang ada di hadapanku.

"Sepertinya kau juga tidak dalam keadaan yang baik juga." Ucapnya sambil menatapku lekat, "Wajahmu terlihat pucat."

"Jadwal kuliahku sangat padat, James. Aku harus segera menyelesaikan skripsiku jika aku ingin mengikuti sidang bulan depan." Jelasku sambil memainkan sisa makanan yang ada di piringku.

"Jaga kesehatanmu, aku tak mau kau sampai jatuh sakit, Hanna." Ucapnya tulus.

"Seharusnya aku mengatakan itu kepadamu, James." Aku menyingkirkan piring yang ada di hadapanku.

"Untung saja kemarin aku menjemputmu. Jika terlambat sedikit entah apa yang akan terjadi padamu jika aku terlambat sedikit saja. Mengapa kau begitu ceroboh Hanna, bisa-bisanya kau tertidur di halte bis seperti itu." Ujar James sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku hanya mengerucutkan bibirku. Mengapa jadi aku yang di ceramahi seperti ini?

Diam-diam aku mengawasi James yang sekarang kembali sibuk dengan makanannya. Aku menghela nafas lega, karena sepertinya James tidak ingat dengan kejadian tadi. Biarlah cukup hanya aku yang menyimpan rahasia ini seorang diri.

Tuhan, aku benar-benar bingung dengan semua ini. Mengapa James selalu bersikap protektif kepadaku jika sampai detik ini ia masih mencintai wanita lain. Bahkan ia tetap mengingatnya dalam keadaan setengah sadar. Aku benar-benar tak mengerti, ia tak perlu seprotektif itu. Tak perlu mengatas namakan kewajiban dan tanggung jawab. Karena pernikahan ini terjadi tanda di dasari oleh cinta.


***

JAMES

Beberapa minggu terakhir ini Hanna terlihat kurang baik. Menurut pengurus rumah Hanna selalu mengeluarkan kembali semua makanan yang telah masuk ke dalam perutnya. Bahkan terkadang Hanna mengeluh dengan rasa sakit di kepalanya.

Dan setiap kali aku menanyakan tentang keadaannya Hanna selalu menjawab bahwa ia baik-baik saja, semua sakit yang di alaminya karena efek dari sidang yang semakin dekat. Memang yang aku perhatikan Hanna benar-benar bekerja keras untuk menyelesaikan skripsinya. Dan akhirnya ia bisa mengikuti sidang yang akan segera di laksanakan minggu depan.

Tak jarang pulang aku selalu mendapati Hanna tertidur di depan laptop yang berada di ruang kerjaku. Karena sejak kejadian Hanna yang tertidur di halte bis karena mengerjakan tugas akhirnya di perpustakaan kampus aku menyuruhnya untuk memakai ruang kerjaku. Karena di sana terdapat banyak sekali jenis buku. Dan jika ada buku yant tidak di temukannya di ruang kerjaku maka aku langsung menyuruh anak buahku untuk segera mencarinya hingga dapat.
Entah mengapa semakin lama aku semakin tidak bisa menjauh dari Hanna. Namun meskipun begitu aku jadi semakin tidak bisa menghilangan sosok Lila dari pikiranku. Demi Tuhan, sebenarnya aku ingin melupakan Lila dan mencoba untuk menerima keberadaan Hanna di sisiku. Tapi semuanya begitu sulit. Katakan aku brengsek karena selama ini aku menganggap Hanna sebagai sosok Lila yang sangat aku rindukan.

Aku tahu bahwa tak ada kesempatan kedua dan seterusnya untukku mendapatkan Lila kembali. Karena Lila sudah menikah dengan Zachary Alexander, salah satu CEO muda yang sangat berpotensi dengan skill bisnisnya. Zac yang merupakan sahabat Lila ketika masih kuliah dan salah satu pesaing beratku di dunia bisnis selain Gale. Apalagi setelah Zac menikah dengan Lila, perusahan milik Zac dan perusahaan milik keluarga Lila melakukan merger. Mereka menjadi perusahaan yang sangat kuat dan sulit untuk di saingi.

Lila... Lila... Lila... Lila... Nama itu masih terus saja menghantui, padahal aku sedang mencemaskan keadaan Hanna yang kesehatannya semakin menurun karena kelelahan. Melihat kecerobohan dan sifat keras kepala Hanna membuatku seolah-olah seperti melihat Lila. Karena Lila sangat ceroboh dan keras kepala.

Lamunanku terhenti ketika mendengar suara seperti seseorang yang sedang muntah dari dalam kamar mandi. Hanna. Namanyalah yang langsung terlintas di dalam kepalaku. Aku segera bergegas menuju ke dalam kamar dan melihat pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.

Aku melihat Hanna sedang memuntahkan semua makan malamnya di washtafel kamar mandi. "Kau baik-baik, saja? Bagaimana jika kita pergi ke rumah sakit saja? Atau aku panggil Rick kemari untuk memeriksa keadaanmu." Ucapku sambil mengelus pelan punggungnya.

"Tidak perlu James... Aku hanya perlu tidur saja. Beristirahat akan membuat keadaanku membaik." Jawabnya dengan suara yang terdengar lemah.

See, Hanna tetap bersikeras bahwa ia baik-baik saja. Padahal dengan melihat wajahnya saja orang lain pun bisa melihat bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Akhirnya aku mengalah dan membawanya ke tempat tidur untuk beristirahat saja.

Hanna... Hanna... Mengapa kau begitu suka membuatku khawatir dan kesal secara bersamaan, gerutuku dalam hati.

Try With Me 6

HANNA

Semakin lama James semakin memperkecil jaraknya denganku. Aku bisa merasakan terpaan nafasnya yang panas di wajahku. Membuat seluruh tubuhku meremang. Ingin rasanya aku mendorong tubuhnya agar menjauh. Namun tubuhku tak dapat bergerak.

Sampai akhirnya James mencium bibirku dengan begitu lembut dan hati-hati, mencecapnya dengan mendamba. Perlahan aku membuka bibirku, memberikan akses agar lidahnya bisa dengan mudah bereksplorasi.

Tangannya membelai tengkukku dengan begitu lembut. Semakin lama tempo ciumannya menjadi berubah. Ciuman yang lembut itu menjadi ciuman yang liar, panas, posesif dan menuntut. Membuatku sesak karena pasokan oksigen di paru-paruku yang semakin tipis. Anehnya aku malah membalas setiap ciumannya dan  tidak ingin semua ini berakhir.

Kedua lenganku melingkar di lehernya yang kokoh, menikmati setiap sentuhan tangannya yang mulai bergeriliya di seluruh tubuhku. Tangannya menyusup masuk ke balik bathrobe yang kupakai. Sentuhannya yang langsung di kulitku membuat tubuhku gemetar. Tubuhku menuntut dan menginginkan sentuhan yang lebih lagi. Sepertinya aku mulai mengabaikan alarm yang berdentang dengan keras di dalam kepalaku.

Kali ini tanganku jatuh menuju dadanya yang bidang itu. Mengusapnya dengan perlahan dan membuka satu-persatu kancing kemejanya. Ia mendesah ketika tanganku menyentuh dadanya yang sudah tidak terhalang oleh apapun. Sedangkan tangannya yang bebas membuka tali pengikat bathrobe, seketika itu pula tubuhku langsung menegang.

"Ah..." suara itulah yang lolos dari mulutku ketika tangannya entah sengaja atau tidak menyentuh puncak payudaraku yang sudah menegang ketika James dengan intensnya menciumku.

Melihat aku yang sudah benar-benar di kuasai oleh gairah mata James berkilat. Bisa aku rasakan ia tersenyum. "Terus seperti itu, sayang." Bisiknya dengan suara yang berat dan serak.

Ciumannya turun ke arah leher jenjangku, menuju ke bahuku dan berhenti di tengah-tengah belahan payudaraku. Menggigit kecil kulitku dengan lembut. Lalu ia mulai mengecup, mencium dan mempermainkan kedua payudaraku dengan penuh mendamba dan dengan begitu lembut. Ia juga mulai meremasnya dengan perlahan dan semua itu membuat pikiranku jadi semakin berkabut oleh gairah. Semua ini terlalu banyak dan intens untuk aku terima.

Seberapa keras aku berusaha untuk mengelak namun pada akhirnya otakku menyerah oleh gairah dan kebutuhan, aku menuntut untuk di puaskan oleh suamiku. Tanganku bergerak dengan sendirinya melepas kemeja yang di pakai oleh James. Badan atletis milik James yang selama ini tertutupi oleh kemejanya terpampang jelas di hadapanku. Tanpa sadar aku menelan ludah melihat tubuhnya yang saat ini sedang aku sentuh.

Bibir kami masih berpagutan sedangkan tangan kami saling menyentuh satu sama lain. Dan entah sejak kapan kain yang ada di badan kami terlepas semua. Karena saat ini tubuh kami berdua tanpa penghalang. Kulit tubuh kami saling menempel dengan tanpa cela sedikitpun.

Aku bisa merasakan ada sesuatu keras di bawah sana dan berusaha mendesak masuk ke dalam tubuhku. Setelah puas mengeksplorasi kedua payudaraku, James kembali menciumin bibirku, menggigit leherku dengan penuh gairah. Aku bisa merasakan bibirnya di sekujur tubuh. Hingga kepalanya semakin turun menuju ke pusat diriku yang sudah sangat basah.

Lalu ia membenamkan wajahnya di sana, melumat serta menggigit kecil di sana. Lalu menusuk-nusukkan lidahnya serta menghisap klirotisku dengan kencang. Erangan pun semakin keras keluar dari mulutku. Tubuhku bergerak gelisah, karena James menahan kedua kakiku agar tetap diam dan terbuka dengan lebar.

Sampai akhirnya aku merasakan tubuhku menegang dan mulai bergetar hebat. James semakin membawaku jauh ke pinggiran jurang kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Dan ketika gelombang kenikmatan itu datang aku berteriak memanggil namanya.

"James..." teriakku dengan kepala yang semakin terbenam di atas bantal. Ketika aku masih mengalami euforia karena orgasme pertama yang aku dapat aku merasakan bahwa James telah menarik mundur bibir dan  lidahnya dari pusat diriku. Ada perasaan kecewa dan kehilangan saat ia melakukan hal itu.

Namun beberapa detik kemudian ada sesuatu yang keras dengan ukuran yang cukup besar berusaha merobos masuk ke dalam diriku. Nafasku tertahan ketika James berusaha melakukan penyatuan. Rasa sakitpun mulai menjalari bagian sensitifku.

"Ja-James..." pekikku tertahan karena rasa sakit yang semakin menjadi. Akal sehatku sudah benar-benar tertutupi oleh gairah yang berhasil di bangkitkan oleh James. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku takkan menyerahkan milikku yang paling berharga kepada James. Tapi ternyata pertahananku runtuh. "Ugh..."

"Tahan sebentar sayang, aku berjanji bahwa kau akan mendapatkan kenikmatan setelah ini." Bisiknya di telingaku dengan suara yang parau.

Nafasku semakin tercekat dengan mata yang terpejam setiap kali merasakan miliknya yang masuk dan semakin tenggelam di dalam diriku. Hingga ia berhenti karena ada sesuatu yang menghalangi jalannya di dalam sana.

"Buka matamu dan tataplah mataku, sayang." Perintahnya sambil mempermainkan telingaku.
Dengan perlahan mataku terbuka. Dan mata berwarna abu-abu itu kini berada tepat di depan mataku. Jaraknya sangat dekat sekali. Sampai akhirnya ia menghujamkan dirinya dengan keras ke dalam diriku. Merobek penghalangnya.

"Ah..." aku menjerit karena rasanya sangat sakit sekali. Aku mencakar punggungnya dengan kuku jariku. Ya Tuhan, rasanya benar-benar sakit sekali, aku tidak kuat, racauku dalam hati sambil berusaha mendorong tubuhnya dari atas tubuhku.

"Tenang sayang rileks, sebentar lagi rasa sakit itu akan hilang. Percayalah kepadaku, kau akan baik-baik saja." Ucapnya sambil berusaha menenangkanku. Setelah ia merasa yakin bahwa aku sudah mulai tenang, James mulai menggerakan tubuhnya secara perlahan. Membuat mulutku kembali mengeluarkam erangan-erangan yang kecil.

James benar, rasa sakit itu berangsur menghilang di gantikan oleh kenikmatan yang membuatku semakin tenggelam dalam pusaran kenikmatan yang tiada tara. Dan tubuhku kembali menegang, "Ja-James..." bisikku sambil mengeratkan pelukanku di tubuhnya.

"Berikan kepadaku sayang." Balasnya sambil terus bergerak keluar masuk dengan tangan dan bibirnya yang bergantian menggoda kedua payudaraku. Sekali lagi aku terperosok semakin dalam ke jurang kenikmatan.

James mulai mempercepat tempo gerakannya. Bisa aku dengar giginya yang bergemertak menahan gairahnya. Sampai akhirnya ia menghujamkan dirinya dengan sangat keras. Membenamkan miliknya dalam-dalam di tubuhku. Detik berikutnya ada sesuatu yang menyembur dan terasa hangat memenuhi rahimku. James mencium bibirku lembut dan memeluk tubuhku erat ketika ia mendapatkan pelepasannya.

Tubuhnya ambruk di atas tubuhku. Nafasnya terengah dengan hebat, tak jauh beda dengan keadaanku. Selama beberapa menit kami berada di dalam posisi seperti ini. Saling menyelaraskan debaran jantung kamu yang berdetak dengan cepat. Setelah nafas kami berdua kembali normal, James mengeluarkan dirinya dari dalam tubuhku secara perlahan, aku meringis ketika ia melakukannya.

Lalu James berguling ke samping, menarik tubuhku merapat dengan tubuhnya. Pelukannya di tubuhku benar-benar membuatku merasa nyaman, "Tidurlah, kau pasti sangat lelah sekali." Bisiknya sambil mengecup lembut kepalaku. Aku tersenyum sebelum memutuskan untuk memejamkan mataku dan tertidur dengan pulasnya. Aku merasa sangat lelah sekali.

¤`¤,¤`¤,¤

JAMES

Aku yakin bahwa saat ini Hanna pasti sudah benar-benar terlelap dalam tidurnya. Sebenarnya aku juga merasa lelah, namun entah mengapa mataku sulit terpejam. Otakku langsung teringat pada kejadian yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.

See, aku memang sudah benar-benar gila. Bagaimana mungkin aku bisa bercinta dengannya dan mengambil hakku sebagai seorang suami secepat ini? Meskipun aku tak memungkiri bahwa Hanna sudah berhasil membuat gairahku menjadi tidak terkendali setiap kali berada di dekatnya.

Selama itu pula aku berusaha mati-matian untuk menahannya. Dan hari ini aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Apalagi melihatnya dengan tubuhnya terbungkus oleh bathrobe, aku yakin bahwa tak ada sehelai kainpun di balik bathrobe yang di kenakannya itu.

Pada akhirnya semua itu terjadi, sempat terpikir bahwa Hanna akan menolak mentah-mentah semua cumbuan yang aku berikan. Tapi ternyata aku salah, Hanna begitu mudahnya terbuai dan terlena. Yang membuatku sangat terkejut ternyata aku adalah pria pertama baginya. Aku pikir Alex sudah berhasil meniduri Hanna. Tapi ternyata aku salah, akulah pria yang pertama bercinta dengannya.

Keuntungan yang bagus untukku, karena dengan begitu Hanna tidak akan berani kabur dariku. Yang jelas Hanna harus menjauh dan melupakan Alex selama. Jika Alex berani datang aku tak segan-segan akan membuat perhitungan dengannya.

Aku memandangi wajah Hanna yang terlelap dengan damainya di sampingku. Hanna terlalu polos untuk di permainkan, ia hanya aku jadikan sebagai pelarian karena aku tidak bisa mendapatkan Lila. Demi Tuhan, mengapa Lila masih saja terus menghantuiku hingga detik ini. Semakin kuat keinginanku untuk melupakannya semakin kuat pula keinginanku untuk memilikinya.

Aku tak peduli bahwa Lila sudah menikah dengan Zac. Aku mengalihkan pandanganku dari wajah Hanna. Terduduk di atas tempat tidur dan mengacak rambutku dengan frustasi. Aku tidak bisa seperti ini terus, karena akan orang yang tersakiti jika aku terus-terusan mengejar Lila.

Meskipun aku tidak tahu bagaimana perasaan Hanna terhadapku. Karena sepertinya sulit sekali membuat Hanna mencintaiku, karena Alex. Pria itu telah memiliki Hanna lebih dulu. Apa yang harus aku lakukan?

Kembali membaringkan tubuhku. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berkecamuk. Yang pasti aku harus mencari cara untuk memecahkan persoalan ini. Tanpa harus ada yang tersakiti. Kelelahan dan rasa kantuk datang menyerangku. Akhirnya aku menyerah dan memejamkan mataku dan tertidur.

Keesokan harinya aku terbangun dengan suara teriakan yang berasal dari seseorang yang ada di sampingku. Dengan sedikit kesal aku terpaksa membuka mataku, "Apa yang kau lakukan, huh? Berhenti berteriak, kau mengganggu tidurku." Bentakku sambil terduduk.

"Kau... Apa yang kau lakukan padaku?" Tanyanya tergugu, tangannya dengan erat memegangi selimut yang kini membungkus tubuhnya.

"Kau tidak ingat dengan apa yang sudah kita lakukan?" Tanyaku dengan ekspresi yang pura-pura terkejut. "Aku tak menyangka bahwa kau begitu mudahnya melupakan percintaan panas kita semalam." Jawabku dengan suara yang di buat kecewa.

"Tidak mungkin... Kau pasti melakukan sesuatu kepadaku hingga aku mau melakukan itu denganmu." Tukasnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dengar Hanna, aku tidak melakukan hal-hal picik seperti yang kau pikirkan itu. Kita melakukannya dalam keadaan SADAR. Aku pikir kau akan menolaknya, tapi ternyata aku salah. Kau sangat menikmatinya, kau menyukainya, bukan? Ah, aku senang sekali karena ternyata aku adalah pria pertama yang bercinta denganmu." Jelasku panjang lebar sambil melipar kedua lenganku di depan dadaku.

Wajah Hanna berubah menjadi merona mendengar penjelasanku. Well, aku tidak berbohong atau mengada-ada, karena memang seperti itulah kenyataannya. Hanna tertunduk di hadapanku, aku yakin sekali emosinya sedang berkecamuk.

"Cepatlah pergi mandi, aku berjanji akan mengajakmu ke suatu tempat." Namun Hanna tak bergeming, ia tetap dengan posisinya. "Hanna, apakah kau ingin aku memandikanmu, huh?" Mendengar ucapanku Hanna tersentak, ia langsung berlari dengan tertatih-tatih menuju ke kamar mandi dengan menutup pintu keras, aku yakin sekali bahwa Hanna masih merasa sakit di bagian sensitifnya itu. Aku terkekeh geli melihatnya.

Karena aku sudah terbangun mau tak mau akupun beranjak dari tempat tidur dan menuju ke kamar lain untuk membersihkan tubuhku. Setelah puas membersihkan diri aku keluar dan kembali ke kamar.

Aku melihat keadaan kamar yang sudah rapi. Seprai dan selimut sepertinya sudah di ganti bahkan ada pakaian yang terlipat rapi di atasnya. Apakah Hanna yang melakukan semua ini? Aku tersenyum sambil memakai pakaian yang sudah di siapkan oleh Hanna. Setelah selesai aku segera keluar dari kamar.

Ketika turun aku mendapati Hanna sedang sibuk di dapur menyiapkan sarapan bersama Mrs. Trent. Tak jarang Hanna tertawa dan tersenyum di sela-sela kegiatan memasaknya. Aku memutuskan untuk duduk di depan meja yang langsung menghadap ke dapur. Memperhatikan Hanna yang bergerak begitu nyaman di sana.

"Selamat pagi Mr. Arthur, rupanya anda sudah bangun." Sapa Mrs. Trent yang menyadari kehadiranku. Mengetahui aku sudah bangun Hanna hanya melirikku sebentar lalu kembali lagi memasak. Ckckck apakah ia marah kepadaku?

Beberapa menit kemudian makanan untuk sarapanpun telah tersaji di hadapanku. Perutku langsung protes minta di isi karena makanan yang tersaji di depanku benar-benar sangat menggugah selera.

"Cepatlah makan, mau sampai kapan kau memandangi makan-makanan itu, huh?" Tegur Hanna yang sedang menuangkan susu ke dalam gelasku.

"Aku akan makan, terima kasih." Ucapku sambil mengambil gelas yang baru saja di isi oleh susu itu.

Selesai sarapan Hanna memintaku untuk menemaninya berjalan-jalan di sekitar danau. Yah, meskipun begitu Hanna masih tetap saja mendiamkanku. Entah apa yang sedang di pikirkan olehnya saat ini. Semoga saja Hanna tidak berniat kabur dariku.

Love Doesn't Have To Hurt 9

DHEE

Bagus sekali Dhee, setelah kau kehilangan kekasihmu sekarang kau kehilangan salah satu sahabatmu. Baiklah, siapa lagi yang akan pergi meninggalkanku sekarang? Meninggalkanku sendiri dalam keterputukan seperti ini. Yang entah sampai kapan aku bisa tetap bertahan menghadapi semua ini. Menangispun aku sudah tak mampu. Air mataku sepertinya sudah habis. Aku hanya bisa terdiam mematung seperti mayat hidup.

"Dhee, kau baik-baik saja, kan?" Suara Andara yang baru datang bisa kudengar dengan jelas.

"Pergilah Ra, tak perlu kau hiraukan aku. Biarkan aku sendiri." Jawabku dengan datar tanpa sedikitpun memandang Andara.

Aku mendengar Andara menghela nafasnya sebelum akhirnya berbicara, "Baiklah, tapi asal kau tahu Dhee. Aku akan selalu ada jika kau membutuhkanku. Aku pergi dulu." Setelah mengucapkan itu Andara langsung pergi meninggalkanku sendirian.

Sepeninggalan Andara aku masih tetap tak bergeming dengan posisiku yang sebelumnya. Setelah beberapa saat aku memutuskan beranjak dan meninggalkan tempat itu.

Pikiranku saat ini benar-benar kacau. Ocehan yang di lontarkan oleh Daniel pun tak kuhiraukan. Terserah saja ia mau mengadu apapun juga kepada Mom dan Dad, aku tak peduli. Otakku sudah terlalu penuh sesak untuk memikirkan reaksi yang akan di tunjukan oleh Mom dan Dad.

"Ayolah Dhee, kau harus move on. Sudah kubilang berkali-kali untuk kau melupakan pria itu. Dia tidak baik untukmu." Daniel terus mengoceh di hadapanku.

"Tahu apa kau tentang apa yang baik dan tidak untukku, Daniel? Kau bukan kakakku, jangan coba-coba untuk mengatur hidupku." Bentakku sambil melempar bantal tepat ke mukanya.

"Aku tahu bahwa itu, Dhee. Kau tak perlu mengatakan hal itu berkali-kali kepadaku. Aku hanya tak ingin kau semakin menderita karena pria itu." Daniel masih terus saja mengoceh menasehatiku.

"Sudah cukup Daniel, aku tidak mau berdebat lagi denganmu. Aku lelah." Ucapku sambil beranjak meninggalkan Daniel. Lebih baik aku pergi saja dari rumah. Mencari udara segar di luar mungkin akan sedikit membuat otakku mendingin.

Tanpa pikir panjang aku langsung pergi memacu mobilku. Setelah beberapa lama mengemudi akhirnya aku menghentikan mobil di sebuah taman.

`♥`♡`♥`♡`♥`

GALE

Tepat satu bulan sudah aku tak mengetahui di mana keberadaan kekasihku. Jika tidak ada pekerjaan yang harus aku selesaikan di New York aku takkan datang. Aku lebih memilih untuk kembali melakukan pencarian Dhee. Walaupun aku belum tahu harus memulai pencarian itu di mana. Aku hampir menyerah dan putus asa mencarinya.

Dan di sinilah aku berada, di salah satu pantai yang sering aku datangi bersama Dhee setiap akhir pekan. Ketika sedang asyik menikmati pemandangan laut yang terhampar luas di depanku, tiba-tiba aku melihat seorang wanita yang tenggelam. Tanpa berpikir panjang aku langsung melepaskan kaos yang sedari tadi kupakai. Aku langsung melompat dan segera menolong wanita itu dan membawanya ke darat. Namun sungguh mengejutkan karena wanita itu tiba-tiba saja menciumku tepat di bibir. Aku yang kaget hanya bisa terdiam.

Setelah memastikan wanita itu baik-baik saja aku memutuskan untuk segera pergi meninggalkan pantai itu. Aku tidak mau wanita yang baru saja kutolong itu berbuat hal yang akan membuatku susah di kemudian hari.

Siang itu Lila pulang dari kampus dengan wajah yang muram. Aku tak pernah melihat Lila seperti itu selain saat Dave meninggal dulu.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanyaku, namun pertanyaanku hanya mendapatkan jawaban berupa tatapan tajam yang menyiratkan perasaan marah dan kecewa yang teramat dalam. Dan semua tatapan itu di tujukan kepadaku? Tunggu mengapa Lila bersikap seperti ini kepadaku. Apakah aku sudah berbuat salah kepadanya? "Lila, kau baik-baik saja, bukan? Ada apa?" Aku kembali mengulangi pertanyaanku.

Tapi Lila hanya menghembuskan nafasnya dengan frustasi lalu pergi menuju ke kamarnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku yang bingung, heran dan penasaran memutuskan untuk menemuinya saja. Namun hasilnyq nihil, Lila tetap tidak mau membuka pintu kamarnya.

"Ada apa sebenarnya dengan anak ini?" Gumamku kesal sambil beranjak dari depan pintu kamar Lila. Aku memutuskan untuk kembali menyelesaikan pekerjaanku. Tapi tak lama berselang pikiranku langsung di penuhi kembali oleh Dhee, membuatku tak bisa melanjutkan pekerjaanku.

Rasanya begitu sesak sekali di dada ini. Karena aku tidak melihat sosok kekasihku sudah cukup lama. Apakah kau sudah terbangun dari tidurmu itu, Dhee? Aku sangat sangat merindukanmu. Aku menyandarkan kepalaku di sandaran sofa lalu memejamkan kedua mataku.

Kejadian saat bersama Sherin di restoran itu kembali muncul. Andai saja saat itu aku tidak menuruti permintaan Sherin hubunganku dan Dhee pasti akan baik-baik saja hingga detik ini. Aku tak perlu melihat Dhee terluka dan tak sadarkan diri karena koma yang di alami olehnya karena terjatuh di bukit. Ya, semua itu terjadi karena kesalahanku.

I... can't breathe easy
Can't sleep at night
Till you're by my side
No I... can't breathe easy
I can't dream yet another dream
Without you lying next to me
There's no air
Curse me inside
For every word that caused you to cry
Curse me inside
I won't forget, no i won't baby,
I don't know why
I left the one i was looking to find

Out of my mind
Nothing makes sense anymore
I want you back in my life
That's all I'm breathing for

(Blue - Breathe Easy)

Frustasi karena memikirkan Dhee aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Lila. Semoga saja nanti ketika aku kembali Lila sudah bisa di ajak bicara. Yang aku butuhkan saat ini adalah udara segar, agar pikiranku kembali tenang sehingga aku bisa berpikir jernih.

Aku menepikan mobilku di dekat sebuah taman. Keadaan malam ini cukup cerah. Bintang-bintang di langit bisa kulihat. Lalu aku berjalan kesebuah tempat duduk batu yang berada di dekat kolam air mancur dan di bawah sebuah pohon. Aku langsung menghempaskan tubuhku di sana. Mengedarkan pendangan kesekeliling taman yang temaram namun ternyata cukup banyak di datangi oleh orang-orang.

Mataku menerawang ke depan, namun tiba-tiba aku menangkap siluet dari sosok yang aku sangat aku kenal dan sangat aku rindukan selama beberapa minggu terakhir ini. Dhee. Itu Dhee, kekasihku, wanitaku. Ternyata Dhee sudah sembuh, terima kasih Tuhan karena kau telah mengembalikannya. Betapa bahagianya aku karena bisa kembali melihat wajah dan senyumannya kembali.

Tanpa membuang-buang waktu aku langsung beranjak dari tempat dudukku lalu sesegera mungkin menghampirinya.

"Dhee..." panggilku ketika sudah berada dekat dengannya.

Dhee langsung membalikan tubuhnya. Ekspresi terkejut yang sempat di tunjukkannya langsung berubah menjadi ekspresi kemarahan yang bercampur kekecewaan sama seperti ekspresi yang di tunjukkan oleh Lila kepadaku.
Meskipun aku bingung aku langsung saja menarik tubuhnya ke dalam pelukanku, "Angel, akhirnya aku bisa menemukanmu. Terima kasih Tuhan terima kasih." Ucapku sambil menciumi puncak kepalanya dengan penuh kerinduan. Namun tiba-tiba Dhee mendorong tubuhku dengan begitu kuat hingga pelukanku terlepas. "Ada apa, Angel?" Tanyaku sambil mengernyitkan kening.

"Jangan bersikap seperti ini kepadaku, Gale. Semuanya sudah cukup." Cecarnya sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ada apa, Angel? Ceritakan kepadaku?" Tanyaku sambil memegang kedua bahunya.

"Cukup Gale cukup. Aku sudah lelah dengan semua ini, aku lelah, Gale." Isaknya sambil memukul-mukul dadaku.

"Angel, kau harus tenang dulu. Tolong katakan kepadaku ada apa sebenarnya." Tukasku sambil membelai lembut punggungnya.

Namun Dhee semakin terisak, membuatku semakin bingung. Kepalaku berdenyut memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Dhee.

Love Doesn't Have To Hurt 8

DHEE

Dua minggu telah berlalu sejak insiden itu. Saat ini aku sudah merasa sehat dan baik. Meskipun hatiku masih terasa sakit dan begitu terluka. Setiap kali meningingat Gale hatiku langsung terasa sakit. Entah mengapa aku langsung mengingat perbuatannya yang telah menyakiti hatiku.

Meskipun sakit, aku tetap tidak bisa memungkiri bahwa aku benar-benar sangat merindukannya. Aku merindukan sifatnya yang terkadang konyol. Membuatku kesal namun bisa membuatku tertawa dalam waktu yang bersamaan. Ingin rasanya aku pergi menemuinya untuk menghilangkan rasa rindu itu.

Namun Mom dan Dad melarangku untuk menemui Gale. Mom dan Dad memintaku untuk menjauhi Gale, karena menurut mereka Gale bukan pria yang baik dan tidak pantas untukku. Apalagi ia yang menyebabkan aku mengalami kecelakaan hingga koma selama beberapa hari.

Maka dari itu Mom dan Dad meminta sepupuku Daniel untuk mengawasiku. Jika akan pergi kemanapun aku harus di temani olehnya. Bisa di bayangkan bagaimana terkekangnya aku saat ini. Aku bisa merasa bebas jika sedang berada di kampus atau ketika sedang bersama kedua sahabatku Andara dan Lila.

Lila mengatakan bahwa kakaknya yang tak lain adalah Gale kekasihku sudah dua minggu ini menghilang entah kemana. Asistennya saja tidak tahu ia pergi kemana. Ponselnya pun tidak bisa di hubungi. Mendengar itu perasaan bersalah dan takut menelusup ke dalam hatiku. Apakah Gale sudah menyerah untuk mempertahankan hubungan kami karena tekanan yang di berikan oleh Mom, Dad dan Daniel?

Tidak, itu tidak boleh terjadi. Karena sampai kapan pun juga aku tetap mencintai Gale. Tak peduli jika ia telah menyakitiku baik secara langsung maupun tidak langsung. Hatiku sudah terlanjur jatuh ke dalam genggamannya.

Ya Tuhan, bagaimana jika Gale benar-benar sudah meninggalkanku? Apa yang harus aku lakukan tanpanya? Aku belum sanggup untuk menjalani hari-hariku tanpa kehadirannya, Tuhan.

Seharian itu aku benar-benar merasa sangat gelisah. Pikiranku selalu tertuju kepada Gale. Karena ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Memberi kabar pun tidak, dan Lila sudah menyerah untuk mencari tahu di mana keberadaan kakaknya itu.

"Apa yang sedang kau lakukan? Kau terlihat sangat gelisah sekali, Dhee." Tiba-tiba Daniel muncul dan duduk di kursi.

"Aku hanya bosan, Dan. Setiap hari tempat yang aku datangi hanya kampus lalu kembali lagi ke rumah. Benar-benar membosankan, aku benar-benar merasa terkekang sekarang." Jelasku dengan kesal.

"Semua ini demi kebaikanmu, Dhee." Ucap Daniel sambil membolak balik majalah yang di ambilnya dari atas meja.

"Kebaikan? Jangan konyol Daniel, ini untuk kebaikan Mom dan Dad bukan untukku. Mereka tidak mempedulikan perasaanku seperti apa." Ungkapku dengan kesal.

"Mereka tahu mana yang terbaik untukmu, Dhee. Dan mereka juga tahu bahwa Gale bukan pria yang baik." Jawab Daniel yang masih asyik dengan majalahnya.

"Jangan coba-coba menasehati atau mengguruiku, Daniel.  Bahkan kau tidak benar-benar kenal dan tahu Gale itu seperti apa. Jangan mencampuri urusanku, kau mengerti?" Cecarku sambil berkacak pinggang.

"Aku melakukan ini karena aku menyayangimu seperti adikku, Dhee." Elaknya sambil berdiri dari posisinya.

"Jangan mengaturku, Dan." Bentakku sambil menunjuk wajahnya dengan jari telunjukku.

Setelah itu aku bergegas masuk ke dalam rumah dan  pergi meninggalkan taman. Aku langsung mengambil kunci mobil milikku dan pergi. Terserah jika Mom dan Dad akan memarahiku nanti, aku tak peduli. Yang aku butuhkan saat ini adalah tempat yang sepi. Aku butuh suatu tempat yang bisa membuat pikiranku jadi tenang dan jernih.

Aku melajukan mobilku menuju ke pantai. Setelah memarkirkan mobil aku turun dan menyusuri pantai itu sambil bertelanjang kaki. Sebuah batu karang yang berada di salah satu sisi pantai ini adalah tempat favoritku untuk melarikan diri.

Namun ketika sedang menuju ke sana mataku menangkap pemandangan yang kembali membuat hatiku terasa sakit dan teriris-iris. Ingin rasanya aku mengelak dan mengatakan bahwa apa yang aku lihat saat ini hanyalah mimpi buruk. Tapi tidak, ini bukan mimpi, ini kenyataan.

Karena lagi-lagi aku melihat Gale pria yang paling aku cintai sedang bercumbu dengan seorang wanita. Sepertinya Gale memang telah melupakanku. Gale menyerah dalam mempertahankan hubungan kami ini. Dan tanpa di sadari bulir-bulir air mata telah jatuh membasahi pipiku.

Aku bergegas segera meninggalkan tempat itu sebelum Gale nyadari kehadiranku. Sambil berlari aku menuju ke mobilku dan segera memacunya keluar dari area pantai. Entah kemana tujuanku kali ini. Pikiranku benar-benar sangat kacau. Luka di hatiku belum sempat sembuh, tapi Gale kembali menorehkan luka baru di hatiku. Sehingga memar di hatiku bertambah parah.

Ya Tuhan, mengapa Gale tega berbuat seperti ini? Tak cukupkah ia telah menyakitiku waktu itu? Mengapa ia tidak jera sedikitpun?

I remember years ago
Someone told me I should take
Caution when it comes to love
I did, I did
And you were strong and I was not
My illusion, my mistake
I was careless, I forgot
I did
And now when all is done
There is nothing to say
You have gone and so effortlessly
You have won
You can go ahead tell them
Tell them all I know now
Shout it from the roof tops
Write it on the sky line
All we had is gone now
Tell them I was happy
And my heart is broken
All my scars are open
Tell them what I hoped would be
Impossible, impossible
Impossible, impossible
Falling out of love is hard
Falling for betrayal is worse
Broken trust and broken hearts
I know, I know
Thinking all you need is there
Building faith on love and words
Empty promises will wear
I know, I know
And now when all is gone
There is nothing to say
And if you're done with embarrassing me
On your own you can go ahead tell them
Tell them all I know now
Shout it from the roof tops
Write it on the sky line
All we had is gone now
Tell them I was happy
And my heart is broken
All my scars are open
Tell them what I hoped would be
Impossible, impossible
Impossible, impossible
Impossible, impossible
Impossible, impossible!
Ooh impossible (yeah yeah)
I remember years ago
Someone told me I should take
Caution when it comes to love
I did
Tell them all I know now
Shout it from the roof tops
Write it on the sky line
All we had is gone now
Tell them I was happy
And my heart is broken
All my scars are open
Tell them what I hoped would be
Impossible, impossible
Impossible, impossible
Impossible, impossible
Impossible, impossible
I remember years ago
Someone told me I should take
Caution when it comes to love
I did...

(Shontelle - Impossible)

Sudah satu minggu sejak kejadian di pantai itu.  Aku merasa sangat kacau, seperti orang yang kehilangan arah hidupnya. Luka yang di torehkan oleh Gale lebih menyakitkan daripada luka yang pernah di torehkan oleh Adam.

Membuatku menjadi seseorang yang lain. Bukan Dheandra yang dulu ceria dan selalu tersenyum. Saat ini aku menjadi seseorang yang amat pendiam dan tertutup. Aku tak mau peduli lagi dengan keadaan sekitarku lagi.

Seberapa keras usaha Andara dan Lila untuk membuatku mau mendengarkan mereka sudah tak mempan. Terkadang aku merasa bersalah, karena tak jarang Andara dan Lila menjadi sasaran kemarahanku. Apalagi Lila yang merupakan adik dari Gale. Mendengar nama Gale membuat emosiku memuncak dan tak terkendali. Bahkan tak jarang aku memberikan tatapan penuh amarah kepada kepada Lila. Sehingga Lila jadi jarang berasamaku dan Andara.

Karena Gale menyakitiku di saat aku sudah benar-benar yakin dan percaya bahwa hanya akan ada dia seorang di dalam hidupku. Ketika aku memutuskan akan menjadikan Gale sebagai masa depanku. Namun apa yang terjadi? Ia malah menyakitiku, membunuhku secara perlahan.

Gale... Tak tahukah kau bahwa aku tersiksa disini? Mengapa kau tega melakukan semua ini kepadaku Gale? Kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu, karena kaulah sang pemilik hatiku.

Siang itu aku sedang duduk termenung di sebuah kursi yang berada di bawah sebuah pohon, tepatnya di taman yang berada di kampusku. Aku memejamkan mataku sambil bersandar. Saat ini aku sedang berusaha untuk meredakan sakit yang mendera kepalaku sejak semalam. Sampai tiba-tiba aku mendengar suara Lila memanggilku.

"Dhee... Aku mau minta maaf atas semua kesalahan yang sudah di perbuat oleh Kak Gale. Setelah merenung akhirnya aku benar-benar bisa memahami apa yang sedang kau rasakan saat ini..." ucapnya, namun aku hanya memandangnya dengan tanpa minat, "... Aku juga mengerti mengapa kau jadi bersikap seperti ini kepadaku, karena aku adalah adik kandung dari pria yang telah menyakitimu." Lila berhenti dan tertawa getir, "Aku terima jika kau tak mau menjadi sahabatku lagi. Terima kasih untuk semuanya Dhee dan maaf juga untuk semuanya." Jelas Lila dan  mengakhiri perkataannya dengan menghembuskan nafas panjang. Bisa aku lihat matanya yang berkaca-kaca menahan tangis. Namun anehnya aku tak bergeming, rasanya hatiku sudah beku.

Dan belum sempat aku menjawab, Lila sudah pergi dari hadapanku. Aku hanya bisa memandangi sosoknya yang semakin lama semakin tak terlihat dan akhirnya benar-benar menghilang dari pandanganku.

Bagus sekali Dhee, setelah kau kehilangan kekasihmu sekarang kau kehilangan salah satu sahabatmu. Baiklah, siapa lagi yang akan pergi meninggalkanku sekarang? Meninggalkanku sendiri dalam keterputukan seperti ini. Yang entah sampai kapan aku bisa tetap bertahan menghadapi semua ini. Menangispun aku sudah tak mampu. Air mataku sepertinya sudah habis. Aku hanya bisa terdiam mematung seperti mayat hidup.

Love Doesn't Have To Hurt 7

GALE

Aku melemparkan bunga yang sedang aku pegang ke lantai. Gigiku bergemertak menahan amarah hingga tanganku terkepal kuat, membuat kukuku memutih. Memberikan pandangan permusuhan kepada pria yang sedang berdiri di depanku ini.

Sebenarnya siapakah dia? Mengapa dia seenaknya melarang dirinya untuk menemui Dhee? Jangan-jangan pria ini adalah.... Tidak. Tidak. Tidak. Tidak mungkin.

Pikiran-pikiran buruk terus menginvertasi pikiranku. Tidak mungkin kedua orang tua Dhee langsung menjodohkannya dengan pria lain agar aku menjauhi anak mereka.

Lalu bagaimana reaksi Dhee jika ia sadar nanti? Apakah Dhee akan menerima perjodohan dengan pria di depanku ini? Dhee pasti tidak akan menerima perjodohannya. Dhee tidak akan menyukai pria ini. Karena Dhee hanya mencintaiku.

"Mengapa kau masih berada di sini?" Bentak pria itu.

"Bukan urusanmu! Dengan atau tanpa ijinmu aku akan tetap datang kemari untuk menemui Dhee." Balasku dengan sengit.

"Buktikan. Aku ingin tahu sampai mana dan berapa lama kau bisa bertahan." Timpalnya dengan nada mengejek.

"Siapapun kau... Dengar kau takkan bisa memisahkan aku dari Dhee. Jika aku harus mengorbankan nyawaku agar bisa bersama Dhee... Aku akan melakukan hal itu detik ini juga." Desisku.

Pria itu mencibirkan bibirnya mendengar perkataanku. Tanganku kembali mengepal, ingin sekali rasanya meninju wajahnya. Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan amarahku, bagaimanapun kami ada di rumah sakit sekarang.

"Oh ya? Kalau kau memang rela mengorbankan nyawamu untuk Dhee, kenapa sekarang justru Dhee yang terbaring disini, huh? Koma! Kau dengar? Dhee koma.....dan itu semua karena kau." Bentaknya dengan wajah memerah.

"Jika kau tidak tahu permasalahannya jangan seenaknya membuat kesimpulan sendiri. Yang tahu kejadian yang sebenarnya hanya aku dan Dhee." Balasku sambil memberikan tatapan membunuh kepada pria itu.

"Aku tak peduli, yang aku tahu adalah Dhee menderita sejak.berpacaran denganmu." Balasnya tak kalah sengit.

"Jangan harap kau bisa mengambil Dhee dari tanganku. Karena aku akan mempertahankan Dhee sampai kapanpun. Ingat itu." Ucapku sambil menunjuk tepat di wajahnya. Lalu aku memutuskan untuk mengakhiri perdebatan yang tak akan ada akhirnya ini. Untuk kali ini aku akan mengalah, tapi tidak untuk yang selanjutnya.

Dalam perjalanan menuju ke kantor pikiranku menerawang jauh. Entah cara apalagi yang harus aku lakukan untuk membuktikan kepada semua orang bahwa aku benar-benar mencintai Dhee. Bahwa aku rela melakukan apapun untuknya, asalkan aku bisa melihat kembali Dhee tersenyum.

Namun jika pilihannya aku harus melepaskan Dhee untuk kebahagiaan Dhee. Jujur saja aku benar-benar belum siap. Aku tidak mau melepaskan Dhee. Demi Tuhan, hanya dialah penyemangatku hidupku, hanya Dhee pusat kehidupanku dan nafasku. Pikiranku benar-benar kalut dan kacau, Dhee tak kunjung bangun dari tidurnya. Belum lagi kedua orang tua Dhee yang tidak menyukaiku menjadi kekasih putri semata wayang mereka. Dan sekarang di tambah dengan kehadiran pria yang entah siapa dan melarangku untuk menemui Dhee. Bahkan pria itu sepertinya sengaja menantangku.

Aku tidak boleh putus asa dan menyerah begitu saja. Jika aku menyerah itu sama saja aku membenarkan apa yang sudah di tuduhkan oleh kedua orang tua Dhee selama ini. Ya, aku harus membuktikan bahwa apa yang mereka tuduhkan itu salah.

Sesampainya di kantor, aku mendapati Lila sedang menungguku. Beberapa hari belakangan ini Lila mengacuhkanku. Karena Lila berpikir bahwa akulah yang menyebabkan Dhee jadi sepertu ini. Sudah berkali-kali aku berusaha untuk menjelaskan tapi Lila tak mau mendengar. Sama seperti kedua orang tua Dhee dan pria asing itu.

"Apa yang sedang kau lakukan disini, Lila?" Tanyaku sambil berjalan menuju ke kursiku.

"Apa kakak dari rumah sakit lagi?" Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya, "Lalu apakah kakak bisa melihat keadaan Dhee?" Lanjutnya sambil berjalan menghampiriku lalu duduk di kursi tepat di hadapanku.

Aku menggeleng lemah, "Ada seorang pria seumuran denganmu yang menjaga Dhee. Dan pria itu melarangku untuk menemui, Dhee." Ungkapku dengan penuh kekecewaan.

"Seorang pria?" Tanyanya terkejut sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Ya." Jawabku singkat sambil mengangguk cepat. "Apa kau mengenal pria itu?" Aku balik bertanya pada Lila.

"Entahlah, Kak." Jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya, "Aku belum mengunjungi Dhee lagi. Tugas-tugasku sangat banyak." Jawabnya sambil memainkan pena yang ada di atas mejaku. Lila melakukan kebiasaan itu jika ada hal gugup atau sedang ada sesuatu. "Kau baik-baik saja, kan?"

"Aku hanya mengkhawatirkan keadaan Dhee, Kak. Sudah hampir empat hari dia koma." Aku tahu bukan hanya Dhee yang membuatnya resah. Adikku tidak terlalu pandai berbohong.

"Apa kau yakin hanya mencemaskan Dhee?" Tanyaku penuh selidik sambil memicingkan mataku.

"Aku tidak apa-apa. Ya sudah sebaiknya aku pulang saja. Masih banyak tugas yang harus aku selesaikan." Ucapnya sambil beranjak dari kursi lalu berjalan menuju ke pintu keluar.

"Lila..." Lila menghentikan langkahnya lalu berbalik menghadapku dengan kening yang berkerut. "Hati-hati, segera hubungi kakak jika kau membutuhkan sesuatu." Ucapku tulus. Lila membalas dengan anggukan dan senyuman yang tulus lalu menghilang di balik pintu.

Setelah kepergian Lila aku kembali tenggelam dalam pikiranku tentang Dhee. Hanya Dhee satu-satunya wanita yang mampu membuatku lupa waktu hanya dengan memikirkannya. Sebelumnya aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini terhadap wanita lain.

Selama ini aku hanya menganggap wanita itu hanya untuk bersenang-senang sesaat. Aku tahu bahwa apa yang aku lakukan bersama James benar-benar menyakiti perasaan para wanita itu. Meskipun aku memiliki seorang adik perempuan aku tidak ingin Lila di permainkan oleh pria-pria yang memiliki kelakuan sepertiku. Kalau aku sampai mendengar ada pria yang mempermainkan Lila, aku tak segan-segan akan menghajar pria tersebut.

***

Keesokkan harinya dengan keteguhan dan kepercayaan diri yang telah pulih berkali-kali lipat aku kembali melangkahkan kakiku dengan mantap di rumah sakit tempat Dhee menjalani perawatan. Sebucket bunga mawar putih yang sudah terangkai dengan indah aku bawa.

Kali ini aku takkan mengalah lagi dengan pria asing itu. Apapun yang terjadi aku akan tetap memaksa masuk ke dalam dan melihat keadaan Dhee. Jika harus babak belur aku baru bisa masuk, itu tak masalah. Aku rela.

Mendekati ruangan Dhee aku merasa gugup. Entah mengapa aku merasa sangat gelisah. Perasaan takut tiba-tiba menghinggapi diriku. Tuhan, mengapa perasaanku tidak enak seperti ini? Semoga tidak terjadi sesuatu dengan Dhee. Kumohon lindungilah kekasihku Tuhan. Doaku dalam hati.

Semakin mendekati ruangannya keningku mulai berkerut. Karena suasananya sangat ramai sekali. Aku mengintip dari balik kaca pembatas. Ternyata bukan Dhee yang menpati ranjang itu. Lalu Dhee kemana? Mengapa ruangannya di tempati oleh orang lain? Tidak mungkin, Dhee tidak mungkin....

Aku langsung memutar tumitku menuju ke resepsionis yang berada tak jauh dari ruangan tempat Dhee di rawat. Suster mengatakan bahwa pagi-pagi sekali Dhee di pindahkan ke sebuah rumah sakit yang berada di Washinhton DC. Sayangnya pihak keluarga Dhee tidak meninggalkan alamat yang jelas ke rumah sakit mana Dhee di pindahkan.

Duniaku serasa berhenti dan runtuh. Di sini saja aku sudah sulit menemui Dhee dan sekarang Dhee di pindahkan oleh keluarganya ke sebuah rumah sakit di Washington DC. Masalahnya adalah keluarga Dhee tidak meninggalkan alamat jelasnya di rumah sakit mana Dhee di pindahkan.

Keluar dari rumah sakit aku langsung menelepon asistenku untuk mengambil alih semua pekerjaanku. Karena hari itu juga aku memutuskan untuk langsung pergi ke Washington DC dan melakukan pencarian. Apapun akan aku lakukan agar bisa menemukan Dhee.

Dan sinilah aku sekarang, berdiri di depan sebuah rumah sakit di kota Washington. Tempat pertama yang aku datangi untuk memulai pencarian Dhee di kota ini. Dengan bersemangat aku memasuki rumah sakit tersebut dan mulai mencari keberadaan Dhee. Namun hasilnya nihil.

Dengan perasaan kecewa aku langsung mencoret nama rumah sakit yang baru saja aku datangi dari daftar nama-nama rumah sakit yang ada di kota Washington. Dari situ aku langsung melanjutkan perjalanan menuju ke rumah sakita yang kedua.

Tak terasa sudah hampir dua minggu aku melakukan pencarian. Hampir semua rumah sakit di kota ini sudah aku datangi. Namun hasilnya tetap sama. Aku masih tetap belum bisa menemukan jejak keberadaan Dhee di kota ini. Jujur saja aku hampir putus asa dengan pencarian yang tak kunjung menemukan titik terang seperti ini.

Aku membelokkan mobilku menuju ke arah sebuah pantai. Aku membutuhkan suatu tempat untuk menenangkan pikiranku yang benar-benar kalut. Tatapanku langsung menerawang memandang lurus ke arah lautan yang terhampar luas di hadapanku, Dhee... sebenarnya kau berada di mana? Aku hampir putus asa untuk mencari keberadaanmu?

Ohh . . .
Ohh . . .
Ohh , , ,
Ohh . . .
Something 'bout this empty bed
Leaves a hole in me when I rest my head
I said baby
Where are you lately
The thought of you makes me insane
Like a fire burning in my brain
I said baby
Where are you lately
Loving you is all that I need
All I know is I want to be
Wherever you are
I'm so lost without you
I'm nothing without you
I just want to be
Wherever you are
I 'd search the world for you
Forever if I had to
I just want to be
Wherever you are
I try to lie but I die inside
When I realize that you ' re not mine
I said baby
Where are you lately
I had you to love , to hold
Now the memories grow dark and
cold
I said baby
Where are you lately
How could all of this come undone ?
I should have known that you were the one
Now I need you to believe
I'm so lost without you
I'm nothing without you
I just want to be
Wherever you are
I 'd search the world for you
Forever if I had to
I just want to be
Wherever you are
Wherever you are
Ohh . . .
Ohh . . .
Ohh . . .
Ohh . . .
Something 'bout this empty bed
Leaves a hole in me when I rest my head
I said baby
Where are you lately?
Wherever you are
I' m nothing with out you
I'm so lost without you
I just want to be
Wherever you are
I 'd search the world for you
Forever if I had to
I just want to be
Wherever you are
Wherever you are
Ohh . . .
Ohh . . .
Ohh . . .
Ohh . . .
Ohh , , ,
Ohh . . .
Ohh . . .
Ohh . . .

(Eric Dill - Wherever You Are)

Love Doesn't Have To Hurt 6

"Angel, aku mohon. Jangan diamkan aku seperti ini." Ucapku sambil menggenggam tangannya.

Tapi yang terjadi adalah Dhee menghempaskan tanganku lalu membuka pintu mobil dan berjalan keluar menuju ke padang rumput. Aku langsung mengejarnya. Namun Dhee semakin kencang berlari. Sampai tiba-tiba saja...

"Angeeeelllll....." aku terpekik, masih sambil mengejarnya.

Aku panik, tubuhku terasa lemas melihat kejadian di hadapanku karena saat ini tubuh Dhee sedang berguling-guling ke bawah bukit. Jantungku serasa berhenti berdetak ketika aku menyusulnya menuruni bukit dengan cepat. Aku tidak memperdulikan batu-batuan dan akar pohon yang melukai tubuhku. Fokusku hanya satu, Dhee. Tubuh mungilnya baru berhenti berguling ketika membentur sebuah batu.

"Angel, ayo bangun sayang," ucapku sambil meraih tubuhnya dan membaringkannya di pangkuanku, "Demi Tuhan, kumohon bangunlah, Angel." Aku menepuk-nepuk pipinya pelan.

Bau amis yang merebak terbawa oleh hembusan angin dan aku merasakan sesuatu yang basah berasal  dari bagian kepala Dhee membuat tubuhku lemas. Aku langsung membopong tubuhnya dengan tergesa-gesa menuju mobil dan segera memacu mobilku menuju ke rumah sakit terdekat.

Selama perjalanan menuju ke rumah sakit aku di dera oleh kecemasan yang luar biasa. Konsentrasiku terpecah ketika menyetir, karena aku terus melirik ke arah belakang dimana tubuh kekasihku terbaring.

Setelah menempuh perjalanan yang sangat menyiksa batinku akhirnya aku sampai di rumah sakit. Para petugas medis segera membantuku dan bergegas membawa Dhee menuju ke ruang UGD.

"Maaf, anda sebaiknya tunggu saja disini." Ucap salah satu petugas medis yang menangani kekasihku.

"Tapi... Tapi dia kekasihku." Ucapku panik.

"Maaf, anda tetap tidak bisa masuk." Ujarnya lalu menyusul masuk ke dalam ruang UGD dan menutup pintunya.

Ya Tuhan, tolong selamatkan Dhee. Jika sesuatu terjadi padanya aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Karena penyebab semua ini adalah aku. Aku yang membuatnya seperti ini. Aku telah melukainya.

Lila pasti akan benar-benar marah kepadaku jika mengetahui keadaan sahabatnya. Tapi apapun yang terjadi aku harus segera menghubungi kedua orang tua Dhee, Andara dan Lila.

Tanganku gemetaran ketika jari-jariku menekan nomor orang tua Dhee. Dan voila... mereka menceramahiku panjang lebar. Aku kembali gemetaran ketika menghubungi adikku sendiri. Semua orang tahu bagaimana galaknya Lila. Bisa aku pastikan ia akan membunuhku. Sesuai dugaan, Lila berteriak dan memaki di telepon memarahiku.

Tubuhku merosot di salah satu kursi ruang tunggu. Menghembuskan nafas berkali-kali berharap aku bisa menstabilkan detak jantungku. Mataku terpejam, kejadian saat di restoran dan ketika Dhee terjatuh ke dasar bukit terulang di dalam pikiranku.

Berkali-kali pula aku merutuki kebodohanku. Andai saja aku tak menerima ajakan Sherin. Pasti semua ini takkan terjadi. Andai waktu bisa kuputar ulang kembali, sudah pasti aku akan menolak dengan keras ajakan Sherin. Kau benar-benar bodoh Gale, apa yang akan kau lakukan untuk menghadapi amukan adikmu sendiri?  Cecarku dalam hati.

Keresahanku terbukti ketika Lila akhirnya datang bersama Andara. Lila langsung mencecar dan memakiku. Diam, hanya itulah yang bisa aku lakukan. Karena semua ini adalah kesalahanku.

"Dengar Kak, aku takkan pernah memaafkanmu jika terjadi sesuatu pada, Dhee." Lila mendesis marah kepadaku dengan tatapannya yang menusuk.

Tak lama kemudian dokter keluar dari ruang UGD. Dokter menjelaskan bahwa benturan di kepala Dhee cukup parah. Karena benturan itu pula saat ini Dhee mengalami koma. Aku terduduk lesu di lantai rumah sakit setelah mendengar penjelasan dari dokter.

Air mataku tumpah membasahi pipiku. Hanya Dhee wanita yang bisa membuatku menangis. Hanya Dhee pula yang bisa mengembalikan kembali keceriaanku.

Hatiku langsung terasa hampa, rasanya seperti kehilangan separuh jiwamu. Dan entah kapan kau akan mendapatkan kembali separuh jiwamu itu.

Tiba-tiba aku merasakan lengan Lila memelukku, "Kak, Dhee pasti akan sembuh. Dhee tidak akan menyerah semudah itu." Ucapnya lirih sambil menangis terisak.

Entah berapa lama aku berada di posisi itu. Sepertinya aku akan terus berlutut di lantai rumah sakit yang dingin jika Lila tidak menyeretku dan menyuruhku duduk di kursi. Kedua orang tua Dhee belum tiba di rumah sakit. Karena ketika aku memberitahu bahwa Dhee mengalami kecelakaan mereka sedang berada di Kanada.

"Ayo Kak, kita masuk untuk melihat keadaan Dhee." Lagi-lagi aku hanya bisa menurut ketika Lila menarikku.

Hatiku terasa sakit ketika melangkah masuk ke dalam ruangan tempat Dhee menjalani perawatan. Sakit itu semakin terasa ketika aku melihat tubuhnya yang terbaring lemah tak berdaya dengan berbagai selang dan alat-alat yang menempel di tubuh mungilnya.

"Dhee..." ucapku lirih sambil terus mendekati tempat tidurnya. Perlahan aku berlutut di samping tempat tidurnya. Lalu kugenggam erat tangannya, "Angel, ayo bangun. Jangan menyiksaku seperti ini, sayang. Aku tahu ini semua kesalahanku, aku..." kata-kataku terhenti. Tak sanggup lagi untuk berkata-kata.
"Kau sayang sabar, Kak." Ucap Lila sambil mengusap pelan bahuku. Dan lagi-lagi aku hanya terdiam.

Keesokan harinya kedua orang tua Dhee tiba di rumah sakit. Mereka langsung melemparkan pandangan permusuhan kepadaku. Sepertinya mereka tahu bahwa akulah yang menyebabkan putri semata wayang mereka berada dalam keadaan koma.

"Dengar Gale, mulai detik ini jauhi putriku. Jangan coba-coba kau mendekatinya lagi." Bentak ayahnya Dhee.

"Tapi Om..." tiba-tiba kata-kataku di sela.

"Tidak ada tapi-tapian. Karena kau putriku seperti ini. Aku akan membunuhmu jika sesuatu yang lebih buruk dari ini terjadi menimpa Dhee. Sekarang keluar dan pergi dari ruangan ini. Jangan kau tunjukan lagi batang hidungmu di sini." Cecar ayah Dhee.

Dengan berat hati kulangkahkan kaki keluar dari ruangan itu. Ingin rasanya aku melawan dan berontak. Namun apa daya, yang bisa kulakukan hanya diam sambil tertunduk. 

Mataku sudah terasa panas sejak tadi. Dan air mataku kembali luruh ketika aku sudah berada di luar. Dalam diam aku hanya bisa memandangi kekasih hatiku dari balik kaca. Tuhan, mengapa harus berakhir seperti ini? Tak adakah kesempatan bagiku untuk memperbaiki semuanya?

I take shots in the dark
Cause I don't know where you are
But you know
I never meant to break your heart.
I didn't want to see you cry,
I didn't want to say goodbye.
Even when I knew,
I knew it wasn't right,
This can't be right.
Ohh...
Now I'm missing you badly,
missing your arms around me.
Watching you sleeping soundly
So lovely, so alive.
But it was killing me slowly
Holding you close and knowing,
I'd be leaving you lonely
I'd be leaving you lonely.
In a moment like a flash
Like a candle burning fast
Sometimes love just isn't meant to last.
It wasn't that we were wrong,
The feeling is never gone.
We could only burn
So bright, so long
So long...
So long...
Now I'm missing you badly,
missing your arms around me
Watching you sleeping soundly
So lovely, so alive.
But it was killing me slowly
Holding you close and knowing
I'd be leaving you lonely
I'd be leaving you lonely

(Eric Dill - Leaving You Lonely)

Cukup lama aku mengawasi Dhee dari balik kaca, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah sakit.

Aku harus mencari cara untuk meluluhkan kembali hati kedua orang tua Dhee. Aku harus bisa membuktikan bahwa aku benar-benar mencintai putri mereka. Bahkan aku rela mengorbankan nyawaku untuk Dhee.

***

Dua hari kemudian aku memutuskan untuk kembali menemui Dhee di rumah sakit. Dengan harapan Dhee sudah tersadar dari koma yang di alaminya dan berharap kedua orang tuanya mau menerimaku kembali.

Siang itu aku mendatangi rumah sakit tempat di menjalani perawatan. Hatiku begitu berbunga-bunga karena akhirnya aku bisa melihat kembali wajah kekasihku. Sebuah karangan bunga mawar putih yang telah di tata cantik sudah kubawa. Berharap Dhee akan bangun dengan senyuman indahnya itu.

Namun apa yang kudapati. Seorang pria menghadangku tepat di depan ruangan Dhee berada. Aku mengernyitkan keningku sambil bertanya-tanya siapakah pria asing yang telah memukulku dengan tiba-tiba.

"Pergi dari sini dan jangan kembali. Kau benar-benar pria brengsek." Maki pria itu.

Masih memegangi pipiku yang terasa sakit akibat pukulannya dan aku juga merasakan darah dari bibirku, "Siapa kau? Tibatiba saja memukulku?" Tanyaku.

"Yang pasti aku adalah orang yang akan menjaga Dhee.  Aku takkan membiarkan pria brengsek sepertimu mendekati dan menyentuh Dhee lagi."

"Kau... Punya hak apa kau melarangku untuk bertemu dengan kekasihku?" Emosiku mulai naik.

"Tak perlu kau tahu siapa aku, yang pasti aku akan menjauhkanmu dari Dhee." Balasnya tak kalah sinis.

Aku melemparkan bunga yang sedang aku pegang ke lantai. Gigiku bergemertak menahan amarah hingga tanganku terkepal kuat, membuat kukuku memutih. Memberikan pandangan permusuhan kepada pria yang sedang berdiri di depanku ini.

Sebenarnya siapakah dia? Mengapa dia seenaknya melarang dirinya untuk menemui Dhee? Jangan-jangan pria ini adalah.... Tidak. Tidak. Tidak. Tidak mungkin.