HANNA
Aku tidak mempedulikan James yang selalu mengoceh menyuruhku untuk pergi memeriksakan kondisi tubuhku ke rumah sakit. Dan semakin hari James menjadi sangat cerewet sekali.
"Ayolah Hanna, mengapa kau tidak mau menuruti kata-kataku? Aku tak ingin menyeretmu ke rumah sakit." Omelnya sambil berkacak pinggang tepat di hadapanku.
Namun aku hanya menatapnya sesaat lalu mengalihkan pandanganku kembali pada buki yang sedang aku pegang. Aku tak perlu ke dokter atau ke rumah sakit, James. Karena aku tahu apa yang sedang terjadi dengan tubuhku saat ini, batinku dalam hati.
Andai saja keadaan kita tidak seperti ini James. Mungkin sejak awal kau mendapatiku muntah-muntah di toilet aku akaj langsung mengatakan bahwa aku hamil. Ya, saat ini aku sedang mengandung darah dagingmu James. Tapi aku tak bisa mengatakannya kepadamu. Karena aku yakin sekali bahwa kau pasti takkan mau menerima kehadiran bayi ini. Selain itu kau juga pasti menganggapku telah menjebakamu, sehingga kau tidak bisa bersatu dengan wanita pujaanmu itu.
"Hanna, kumohon." Suara James berhasil menarik perhatianku agar memandangnya kembali. .
Aku menghembuskan nafas dengan lelah, "Aku sudah tidak apa-apa, James. Kau tak perlu khawatir seperti itu, terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Jawabku sambil menarik bibirku menjadi sebuah senyuman, walaupun terlihat di paksakan.
"Aku takkan pernah bisa tenang sebelum mengetahui apa yang terjadi denganmu, Hanna." Tukasnya dengan lembut.
Jangan bersikap seperti itu James, karena kau hanya akan membuatku semakin mencintaimu, desahku dalam hati. "James, bukankah kau harus bersiap-siap untuk pergi ke pesta amal yang di adakan oleh salah satu rekan bisnismu." Ucapku mengingatkan, meskipun sebenarnya hanya untuk mengalihkan pembicaraan saja.
"Ah ya, aku hampir saja lupa dengan acara itu. Apakah kau sudah menerima gaun yang kupilihkan tadi siang?" Tanyanya sambil melepaskan ikatan dasinya.
"Sudah, gaunnya sangat indah terima kasih. Sebaiknya kau segera bersiap-siap." Jawabku sambil meletakan buku yang sedang aku baca tadi lalu berjalan menuju ke walk in closet. Sedangkan James pergi ke kamar lain untuk mandi, agar aku bisa menggunakan kamar mandi yang ada di kamar.
Setengah jam kemudian aku keluar dari kamar dan turun ke bawah untuk menemui James yang telah menungguku. James terlihat sangat tampan dalam balutan tuxedo berwarna hitam yang dengan pas memeluk tubuhnya. Menyembunyikan otot-otot tubuhnya. Tanpa sadar aku menelan ludahku sendiri, astaga apa yang sedang kau pikirkan Hanna. Apakah ini salah satu hormon yang di alami oleh wanita hamil? Kalau begitu aku harus mengurangi kontak fisik dengan James sejak saat ini.
"Kau cantik sekali, Hanna." Suara James langsung menyadarkanku dari pikiran yang mulai tidak benar. Aku hanya tersenyum menanggapi kata-katanya. .
James menghampiri lalu meraih salah satu tanganku dan menciumnya. Membuat tubuhku langsung tersengat aliran listrik. Lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludahku sendiri, "James, bisakah kita pergi sekarang?" Astaga mengapa suaraku tiba-tiba terdengar parau dan mendesah seperti itu.
"Kau baik-baik saja, sayang?" James menyipitkan matanya menatapku. Aku mengangguk dengan cepat untuk meyakinkannya, "Baiklah, ayo kita pergi sekarang. Tapi jika kau masih merasa belum sehat sebaiknya kita tidak usah pergi saja." Ucapnya lembut.
"Ayolah, jangan mulai lagi, James. Aku baik-baik saja, oke!" Timpalku sambil memutar mataku kesal. James menjadi sangat cerewet akhir-akhir ini.
Tanpa banyak kata akhirnya kami pergi menuju ke salah satu hotel mewah yang di jadikan sebagai tempat untuk menggelar acara penggalangan dana itu. Ini pertama kalinya aku menghadiri acara seperti ini, karena sebelumnya aku tak pernah mengira bahwa aku akan di nikahi oleh seorang CEO muda setenar James. Dan sekarang mau tak mau aku harus mulai bisa beradaptasi dengan gaya hidupnya karena aku tak mau mempermalukan diriku ataupun James. Mengapa aku jadi sering memikirkan James? Seharusnya aku membenci dia karena sudah menjebakku dalam pernikahan ini dan merenggut satu-satunya milikku yang paling berberharga ketika kami berlibur di Aspen.
Sepanjang perjalanan James terus saja menggenggam tanganku, meskipun tak ada sepatah katapun yang keluar daru mulut kami berdua. Kami terlalu asyik dan tenggengelam dalam pikiran masing-masing. Atau karena kami tidak tahu harus seperti apa karena suasana dengan tiba-tiba berubah menjadi canggung apalagi James tak kunjung melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.
Setengah jam kemudian kami samapai di tempat acara. Banyak sekali orang yang datang menghadiri acara ini rupanya. Aku tak mengira bahwa akan seramai ini. Semoga saja aku tidak melakukan sesuatu yang bodoh dan mempermalukan diriku.
James menggenggam tanganku dan membawaku ke dalam. Banyak sekali pria dan wanita yang berpakaian mahal, mewah dan elegan. Dekorasi ruangannya pun tidak di ragukan lagi benar-benar mewah. Wajar saja karena acara ini di hadiri oleh para pengusaha dan konglomerat seantero negeri ini.
"Ayo, aku akan mengenalkanmu kepada beberapa relasi bisnisku." Gumam James tepat di telingaku. Aku hanya tersenyum ketika James membawaku untuk mengenalkan beberapa relasi bisnisnya. Yang kulakukan hanya tersenyum dan menjawab seperlunya saja. Bisnis bukan topik yang menarik untukku.
Sampai tiba-tiba aku merasakan ganggaman tangan James di tanganku mengerat. Tubuhnya terdiam kaku, dengan pandangan yang terpaku pada satu titik. Dengan rasa penasaran aku melihat ke arah James memandang. Di sana ada seorang wanita yang sangat cantik dalam balutan gaun berwarna hitam. Meskipun perutnya sudah terlihat besar tetap tidak mengurangi pesonanya.
Membuatku bertanya-tanya dalam hati. Namun hati kecilku langsung meneriakkan satu nama LILA. Nama itulah yang pertama kali muncul dalam benakku. Pantas saja James masih tetap mengingtnya, karena ternyata Lila sangat cantik. Seketika itu pula perasaan yang menyesakan dadaku itu langsung menyeruak.
Aku tidak tahan melihat suamiku memandangi mantan kekasihnya yang sudah bersuami dan bahkan saat ini sedang hamil dengan tatapan yang begitu memuja dan penuh damba.
"James, aku ke toilet dulu." Gumamku, aku tak peduli James bisa mendengarku atau tidak. Karena setelah aku mengatakan itu ia masih tak bergeming.
Aku langsung menuju ke arah toilet setelah bertanya kepada salah satu pelayan yang bertugas di sini. Sesampainya di sana aku langsung membungkukkan tubuhku di washtafel. Mengeluarkan semua makanan yang sudah masuk ke dalam perutku.
Setelah beberapa menit akhirnya aku berhenti dari kegiatan yang akhir-akhir ini sering aku lakukan di toilet. Tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang yang masuk ke dalam toilet. Perlahan aku menegakkan tubuhku agar bisa melihat wajah orang yang baru saja masuk ke dalam toilet ini. Ternyata wanita itu adalah Lila.
"Hei, kau tidak apa-apa, kan?" Tanyanya sambil menghampiriku, "Wajahmu terlihat pucat sekali. Tunggu dulu kau Hanna, bukan?" lanjutnya.
"Ya, namaku Hanna." Jawabku sambil berusaha menyunggingkan senyum.
"Senang sekali akhirnya aku bisa bertemu denganmu." Timpalnya dengan riang. Aku tak tahu harus senang atau kesal bertemu denganmu Lila, kesahku dalam hati.
"Kau yakin tidak apa-apa, Hanna? Aku mendengar kau muntah-muntah tadi. Oh, jangan-jangan kau sedang hamil." Tebaknya. Astaga bagaimana dia tahu bahwa aku sedang hamil. Tentu saja dia tahu Hanna, apakah kau tidak melihat bahwa ia juga sedang hamil.
"Bagaimana kau tahu?" Ckk benar-benar Hanna bodoh. Aku merutuki pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku.
"Aku melihat dari tubuhmu dan gejala yang kau alami. Meskipun itu bisa saja terjadi jika kau terkena masuk angin atau gangguan lambung. Tapi entah mengapa aku yakin sekali bahwa kau sedang hamil. James pasti senang sekali." Ucapnya panjang lebar, "Ah, aku harus memberikan selamat kepada James."
"Tunggu... Jangan..." dengan refleks aku langsung mencengkram pergelangan tangan Lila. Mencegahnya agar tidak menemui James. Terlihat jelas tatapan bingungnya melihat reaksiku, tapi untunglah Lila tidak jadi pergi menemui James. "Jangan bilang bahwa James tidak mengetahui kehamilanmu." Tebaknya sambil menyipitkan mata dan menatapku dengan penuh selidik.
"Aku tak ingin James mengetahui kehamilanku ini. Kumohon kau tidak akan mengatakan hal ini kepadanya, Lila." Entah mengapa aku merasa nyaman mengatakan hal ini kepada Lila. Bahkan dengan mudahnya aku percaya kepada Lila.
"Baiklah, jika itu yang kau minta aku takkan mengatakan hal ini kepada siapapun termasuk kepada suamiku. Aku tidak akan bertanya apa yang sedang terjadi dengan hubungan kalian. Hanya saja jika alasanmu menyembunyikan berita baik ini karena aku. Aku benar-benar minta maaf, perlu kau tahu aku tidak memiliki perasaan apapun kepada James. Aku sangat mencintai suamiku, mungkin kau bisa melihat seperti apa perasaan cintaku kepada suamiku." Jelasnya panjang lebar.
"Lila, maafkan aku jika ada perkataanku yang menyinggung perasaanmu. Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu." Tukasku.
"Aku tidak tersinggung Hanna, sungguh." Ia tersenyum tulus kepadaku, ternyata Lila benar-benar wanita baik dan terhormat. "Aku hanya ingin melihat James bahagia bersamamu dan melupakanku. Aku yakin kau bisa mendapatkan hatinya. Apalagi saat ini kau sedang mengandung darah dagingnya. Ingan Hanna, semakin hari kehamilanmu akan semakin membesar." Ucapnya sambil menggenggam tanganku.
"Tidak semudah itu Lila, hubunganku dengan James benar-benar rumit." Jelasku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Tak ada masalah yang tak bisa di selesaikan, Hanna. Sekusut apapun benang itu suatu saat pasti akan kembali lurus. Asalkan kau mau lebih bersabar dan berusaha." Timpalnya bijaksana, "Jika suatu saat kau membutuhkan teman untuk berbicara dengan senang hati aku akan menjadi temanmu. Aku harus pergi, suamiku sudah panik. Ah iya, ini kartu namaku. Sampai bertemu lagi." Lanjutnya sambil tertawa dengan geli.
Setelah Lila pergi tinggalah aku sendiri. Termenung memikirkan kata-kata yang di ucapkan oleh Lila. Aku merasa bukan apa-apa jika bersanding dengan Lila pantas saja James bisa sampai mrngejarnya srperti itu. Semua yang di katakan olehnya memang benar. Tidak mungkin aku terus-terusan menyembunyikan kehamilanku, karena semakin hari perutku akan semakin membesar.
Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana aku mengatakan tentang kehamilanku kepada James? Meninggalkannya benar-benar tak mungkin, karena James pasti akan menemukanku.
Aku menghela nafas dengan keras, berharap rasa sesak yang aku rasakan dalam dada sedikit berkurang. Namun rasa sesak itu tak kunjung berkurang.
***
JAMES
Kabar yang aku dengar dari Rick benar-benar membuatku sangat terkejut. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Rick menghampiriku lalu mengucapkan selamat. Rick mengucapkan selamat bahwa aku akan segera menjadi seorang ayah.
Ya Tuhan, jadi saat ini Hanna sedang hamil. Ia mengandung anakku, darah dagingku. Tapi yang membuatku marah dan kecewa adalah mengapa ia malah menyembunyikan hal ini dariku? Apa ia takut jika aku takkan mau mengakui bayi yang sedang di kandungnya? Aku tak mungkin sekejam itu, mengingat aku adalah pria pertamanya.
Demi Tuhan, mana mungkin aku akan mengacuhkan Hanna dan bayi kami? Aku takkan mungkin melakukannya, karena bagaimana pun juga bayi itu adalah darah dagingku. Apapun yang terjadi aku harus menjaga mereka berdua.
Aku menggertakan gigi-gigiku menahan amarah yang mulai muncul mengusai diriku. Namun untung saja semua amarah itu langsung hilang ketika aku melihat Hanna. Rasa amarah itu menghilang dan langsung berubah ketika melihat wajahnya yang pucat pasi.
Yang ada di otakku saat itu adalah langsung menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku benar-benar harus melupakan Lila dan mulai belajar untuk mencintai Hanna. Aku tak ingin jika bayi kami lahir tapi kedua orang tuanya tidak saling mencintai satu sama lain. Hanna... Hanna... Hanna... Apa yang sudah kau lakukan kepadaku?
"James, lepaskan pelukanmu." Protesnya sambil berusaha untuk melepaskan diri dari pelukanku.
"Tidak akan, aku tidak akan melepaskanmu, Hanna." Gumamku sambil mempererat pelukanku, "Ayo kita pulang."
"Pulang? Tapi acaranya belum selesai." Aku bisa merasakan tangannya melingkar di pinggangku dan balas memelukku.
"Aku tak peduli. Saat ini yang aku inginkan adalah membawamu pulang, Hanna. Wajahmu pucat sekali." Cecarku sambil membelai lembut rambutnya yang terurai. "Dan jangan membantahku." Ucapku dengan tegas.
Lalu aku melepaskan pelukanku dan beranjak pergi meninggalkan tempat acara. Kami memasuki mobil dalam keheningan.
"Jadi sudah berapa minggukah tepatnya kehamilanmu saat ini, Hanna?" Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulutku tubuh Hanna langsung menegang kaku.
Karena terkejut aku bisa melihat dengan sangat jelas bibirnya yang mendadak sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Berkali-kali ia membuka mulutnya namun menutupnya lagi tanpa berhasil mengeluarkan sepatah kata pun.
"Katakan kepadaku mengapa kau menyembunyikan semua ini dariku, Hanna?"