Selasa, 24 September 2013

Love Doesn't Have To Hurt Chapter 1

"Andara, Lila... Aku pulang duluan, ya." Pamitku kepada kedua sahabatku.

"Hati-hati di jalan, Dhee."
               
"Tentu saja, Ra. Aku pasti akan berhati-hati."

"Jangan lupa besok kita ada janji pergi ke toko buku bersama."
               
"Aku ingat, Lila. Bye." Aku langsung keluar dari perpustakaan yang berada di kampus.

Ketika aku sudah sampai di pintu. Tiba-tiba ada seseorang yang menghalangi jalanku. Gale. Nama itulah yang langsung terlintas di dalam kepalaku. Dan ternyata tebakanku tidak meleset.

"Hai Dhee..." sapanya sambil memamerkan gigi-giginya yang putih dan berbaris rapi kepadaku.

"Oh, hai Gale. Aku kira siapa, aku duluan ya. Bye." Aku bergegas untuk melanjutkan perjalananku menuju ke parkiran mobil. Namun Gale mengikutiku.

"Tunggu Dhee, bagaimana jika aku antar kau pulang?"

"Tidak terima kasih, Gale. Aku membawa mobilku sendiri."

"Ayolah, Dhee. Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat."

"Lain kali saja, Gale. Aku membawa mobilku." Aku terus berjalan dan tidak menghiraukan Gale. Namun pria tampan itu tetap saja mengikutiku.

Sebenarnya Gale itu pria yang baik dan tampan. Banyak sekali wanita yang mengejar-ngejarnya di universitas ini. Gale selalu di kelilingi oleh wanita-wanita cantik. Sebenarnya aku menyukai Gale, demi Tuhan hanya wanita bodoh yang tidak akan tertarik dan jatuh cinta kepada Gale.

Gale yang merupakan kakak tertua Lila sahabatku yang saat ini tengah menyelesaikan studinya di universitas yang sama denganku. Gale itu seorang playboy. Bersama seorang temannya lagi yang bernama James. Aku heran mereka berdua itu memiliki wajah yang tampan. Hanya saja kelakuan mereka tidak setampan wajahnya.

Namun yang membuatku mengambil keputusan untuk mengacuhkan Gale adalah karena Gale selalu memperlakukan wanita seenaknya. Sepertinya wanita-wanita itu tidak ada harganya di matanya meskipun tidak separah James. Dan aku tidak ingin menjadi wanita yang seperti itu. Menjadi wanita yang dengan mudah takluk ke pelukan Gale.

Aku tidak akan mudah untuk di takluklan, dan hasilnya saat ini Gale terus saja mengejar-ngejarku. Bahkan ia mulai mengacuhkan wanita-wanita mainannya itu, karena dia hanya ingin menunjukkan bahwa ia sudah berubah dan hanya akan mencintaiku. Haruskah aku percaya dengan semua perkataannya?

"Dhee..." Gale terus saja mengikutiku, dan berhasil menghentikan langkahku.

Aku membalikan tubuhku sambil berkacak pinggang, "Berhenti untuk terus-terusan mengikutiku, Gale. Kau membuatku risih, tahu." Aku memelototinya.
               
"Aku tidak akan pernah berhenti untuk mengejarmu, Dhee. Aku akan terus seperti ini sampai kau berhenti mengacuhkanku. Kau tahu Dhee, jika sedang marah seperti ini kau terlihat sangat cantik sekali. Bunga mawar yang tumbuh di taman rumahkupun tidak menandingi kecantikan wajahmu." Ucapnya sambil merayuku.

"Berhati-hatilah pada bunga mawar, Gale. Atau kau akan tertusuk duri bunga itu sendiri."

"Aku tidak peduli, Dhee. Aku rela tertusuk oleh duri-durimu, asalkan aku bisa bersama denganmu."

"Terserah kau saja, Gale. Kau benar-benar sangat konyol."

"Aku tak peduli, sayang. Jika menjadi konyol bisa membuatmu membuka hati untukku, akan aku lakukan."

Aku membelakakan mataku dengan mulutnya terbuka, ingin rasanya aku tertawa mendengar ucapan Gale itu. Namun lagi-lagi aku menahannya dan hanya tertawa dalam hati saja. Pria setampan Gale yang terkenal sebagai seorang playboy rela menjadi seseorang yang konyol hanya untuk menarik perhatianku saja. Ya ampun.

"Sudahlah Gale, aku mau pulang. Menyingkir dari depan mobilku."

Dengan wajah yang sedih Gale menyingkir dari depan pintu mobilku. Aku buru-buru masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Namun Gale masih berdiri teepat di depan moblku. Aku menurunkan kaca jendela. "Gale... Bisakah kau menyingkir. Aku ingin pulang."

Akhirnya Gale menyingkir dan aku terbebas dari kejaran Gale. Aku sebenarnya sudah mulai merasa risih dengan kelakuannya. Setiap hari dia selalu saja menggangguku di kampus, di manapun aku berada Gale pasti akan berada di tempat yang sama denganku. Andara dan Lila sudah sering sekali menyuruhku untuk menerima Gale.  Namun aku tetap menolaknya, aku belum merasa yakin pada hatiku. Gale belum cukup meyakinkan hatiku.

***

Keesokan harinya sepulang dari kampus aku, Lila dan Andara pergi ke toko. buku bersama-sama. Jika sudah berada di sana kami bertiga akan lupa waktu, karena membaca buku adalah hal yang paling kami sukai. Setelah selesai kami pergi ke rumah Andara untuk mengerjakan tugas bersama-sama.

"Dhee, mau sampai kapan kau terus-terusan bersikap dingin kepada Kak Gale? Aku tahu bahwa kakak itu seorang playboy. Tapi apakah kau tidak bisa melihat perubahannya sekarang? Semenjak bertemu denganmu Kak Gale menghindari semua wanita yang biasa mengejar-ngejarnya." Lila memecah keheningan diantara kami bertiga.

"Aku tahu Lila, hanya saja... Entahlah, aku bingung dengan perasaanku saat ini." Jawabku sambil mengangkat bahu. Lila memang menyayangi kakaknya itu namun meskipun begitu Lila tidak pernah memaksaku untuk menerima pernyataan cinta dari kakaknya itu.

"Berhenti menyangkal perasaanmu sendiri, Dhee. Kami berdua tahu bahwa kau sebenarnya memiliki perasaan juga kepada, Gale. Ah, jangan bilang bahwa kau masih teringat dengan Adam." Andara menyambung.

"Bisakah kita hentikan pembicaraan ini dan menyelesaikan tugas kita ini? Kumohon."

"Baiklah." Lila dan Andara menjawab bersamaan.

Namun aku tidak bisa berkonsentrasi dan fokus dengan apa yang sedang aku kerjakan saat ini. Pikiranku langsung menerawang pada kejadian yang terjadi satu tahun yang lalu.

"Dhee, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Takkan ada wanita lain dalam hidupku, karena kau satu-satunya wanita yang berhasil meluluhkanku." Ucap Adam sambil membelai wajahku lembut.

Mendengar ucapannya itu wajahku langsung bersemu merah, aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku, "Adam, aku juga sangat mencintaimu dan aku juga sangat mempercayaimu. Aku percaya bahwa kau tidak akan pernah menyakitiku."

"Terima kasih karena sudah mau mencintaiku dan mempercayaiku, Dhee. I love you." Adam lalu mencium bibirku.

Selama dua tahun aku berpikir bahwa Adam benar-benar mencintaiku dan ia memang tidak pernah menyakitiku. Itulah pemikiran awalku, pemikiran yang selama ini aku pelihara. Sampai pada suatu hari, ketika aku pergi berjalan-jalan. bersama kedua sahabatku Lila dan Andara. Kami jarang bertemu karena aku memilih universitas yang sama dengan Adam daripada bersama dengan kedua sahabatku.

Ketika sedang mengobrol di sebuah kedai kopi Andara melihat Adam sedang bersama seorang wanita. Awalnya aku tidak mempercayai ucapan Andara sampai pada akhirnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri.

"Apakah kau ingin menyelidikinya, Dhee? Aku dan Andara pasti akan membantumu," Lila menawarkan bantuannya.

"Ya, aku ingin tahu apa yang sering Adam lakukan di belakangku, La. Aku harus mengetahuinya,"

"Bersikaplah seperti biasa jika bertemu dengan Adam. Kami akan menyelidikinya diam-diam, siapa tahu Adam sedang bersama saudaranya." Tukas Andara.

"Terima kasih, karena kalian berdua selalu ada di saat aku membutuhkan seseorang untuk mengadu dan berkeluh kesah."

"Itulah gunanya sahabat,Dhee. Kami takkan pernah meninggalkanmu sendiri dalam keterpurukan." Ucap Lila sambil menepuk bahuku, "Ayo  kita membicarakan topic yang lain saja setuju, kan?" Sambung Lila, padahal aku tahu sekali bahwa Lila masih saja bersedih tentang Dave. Meskipun saat ini Lila sedang dekat dengan seoran pria bernama Zac.

Sejak hari itu aku mulai menyelidiki segala aktifitas yang di kerjakan Adam di belakangku di temani oleh Lila dan Andara.

Adam sering sekali pergi keluar dengan wanita yang berbeda-beda, aku jadi tahu alas an dia sebenarnya mengapa hanya mengunjungiku di siang dan sore hari saja, itupun hanya sebentar. Ya Tuhan... semua keperyacaan yang aku bangun selama ini hancur seketika. Dan puncaknya adalah. ketika aku mendatangi apartemen Adam. Ya, aku mendapati Adam sedang bersama dua orang wanita dikamarnta dan tanpa sehelai benangpun yang menempel di tubuh mereka bertiga.

Jumat, 20 September 2013

Can You Be Mine Chapter 3

Astaga, mengapa aku jadi berada disini? Duduk dan mengikuti rapat yang khusus dan biasa di hadiri oleh para petinggi perusahaan.

Memiliki atasan yang masih muda, tampan dan cerdas memang menyenangkan. Hanya saja atasanku ini benar-benar ajaib. Dan sulit di tebak.

Ternyata rapat yang digelar untuk para staff masih lebih baik daripada rapat untuk para petinggi perusahaan. Karena saat ini aku mulai di landa kebosanan.

Dan alasan yang utama adalah AKU MERASA RISIH, BAGAIMANA AKU BISA BERKONSENTRASI JIKA DI PANDANGI SEINTENS ITU!!! Jeritku dalam hati.

Aku mulai kelelahan dan mulai mengantuk. Entah sudah berapa jam aku duduk di ruangan ini menemani atasanku yang ajaib ini.

Aku agak tersentak ketika Fabian mengakhiri rapatnya. Rasa kantuk yang aku rasakan seketika itu juga langung menghilang.

"Lila, terima kasih sudah mau menemaniku pada rapat hari ini." Ucapnya sambil tersenyum manis.

"Ah, sama-sama, Sir. Kalau begitu saya permisi."

Aku bergegas meninggalkan ruangan meeting. Sesampainya di meja kerja aku langsung membereskan barang-barangku ke dalam tas. Ini sudah satu jam lewat dari jam pulang.

Setelah selesai aku langsung meninggalkan gedung. Aku harus bergegas karena hari ini aku pulang menggunakan bis. Karena mobilku sedang berada di bengkel.

Sudah setengah jam aku menunggu bis di halte. Namun belum ada satupun bis yang lewat. Aku mendengus kesal.
Jarak kantor dan apartemenku memang cukup jauh.

"Mengapa belum ada satupun bis yang lewat. Sedangkan hari semakin malam." Aku menghentak-hentakan kakiku sambil berkali2 melirik jam yang tersampir ditangan kiriku.
Air hujan mulai turun perlahan. Semakin lama semakin deras. Dan mulai membasahi tubuhku.

Aku semakin merutuk kesal di dalam hati. Tubuhku mulai menggigil karena kedinginan.

Tiba-tiba suara klakson mobil mengangetkanku. Mobil itu menepi dan berhenti tepat didepanku. Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa pengemudinya.

"Lila, ayo masuk." Fabian langsung membuka kaca jendela mobilnya. Dia turun menghampiriku.

"Mr. Fabian?" Tanyaku dengan suara yang bergetar.

"Jangan panggil aku Sir, ini bukan di kantor. Ayo, cepat masuk. Aku akan mengantarkanmu pulang. Tubuhmu basah kuyup." Perintahnya sambil menghela tubuhku untuk masuk ke dalam mobil.

"Tapi... Tapi..."

"Cepat masuk, nanti kau sakit."
Aku merenggut ketakutan ketika Fabian membentakku. Sepanjang perjalan hanya keheningan yang hadir diantara kami berdua.

"Maaf, tadi aku membentakmu." Ucapnya tiba-tiba memecah kebisuan diantara kami. Tapi dia tetap fokus menyetir.

"Tidak apa-apa, terima kasih sudah mau mengantarkanku."

"Aku tidak bisa diam saja melihat seorang wanita menunggu kendaraan yang lewat pada malam hari ditengah hujan. Kau bisa sakit Lila."

"Tadi pagi mobilku masuk bengkel. Terpaksa aku harus naik bis untuk beberapa waktu."

Selama sisa perjalan kami terlibat pembicaraan yang menyenangkan. Dan perjalanan menuju ke apartemenku tidak terasa.

Sesampainya di apartemen aku langsung memberikan handuk kepada Fabian untuk mengeringkan tubuhnya. Sedangkan aku pergi mandi.

Setelah selesai berpakaian aku membuat dua cangkir coklat panas.

"Fabian, ini di minum dulu." Ucapku sambil memberikan cangkir berisi coklat panas lalu duduk disampingnya.

"Terima kasih, Lila." Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Jadi kau tinggal sendiri disini?" Tanyanya sambil sesekali meneguk minumannya.

"Iya, aku tinggal di apartemen ini sejak aku duduk di bangku kuliah."

"Orang tuamu?"

"Kedua orang tuaku tinggal di Florida sedangkan kedua kakak laki-lakiku sudah menikah. Dan mereka tinggal di Inggris dan Swiss. Bagaimana denganmu?"

"Aku anak tunggal, Lila. Mungkin kau sudah tahu tentangku dari media."

"Yang aku tahu bahwa banyak sekali wanita cantik yang ingin menjadi kekasihmu."

"Jadi kau percaya dengan gosip-gosip itu, eh?" Tanyanya sambil memandangku dengan tatapan skeptis.
"Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya mendengar saja. Lagipula aku bingung padamu."

"Kau bingung kepadaku?"

Aku menganggukan kepalaku dengan semangat, "Kau ini tampan, muda, sukses dan bergelimangan materi yang berlebih. Tapi mengapa aku tidak pernah melihatmu bersama seorang wanita?"

Mendengar pertanyaanku Fabian langsung menyimpan cangkir yang sedari tadi dipegangnya dan memutar tubuhnya menghadapku.

"Maaf jika pertanyaanku lancang. Tak usah kau jawab, lupakan saja." Ucapku buru-buru sambil meminum kembali coklat panasku.

"Letakan cangkirmu diatas meja, Lila."
Aku mengerutkan keningku tak mengerti, namun akhirnya aku menuruti perkataannya.

Fabian terus menatapku dengan tatapan yang intens. Tatapan matanya tajam menatap mataku. Membuatku semakin risih dengan sikapnya.

"Kau marah kepadaku?" Fabian hanya menggeleng pelan namun matanya yang menatapku semakin menggelap. "Fabian, kau kenapa?"

Wajah tampannya semakin mendekat. Aku bisa merasakan desahan nafasnya yang panas di wajahku.

Belum sempat aku mengeluarkan kembali perkataanku. Tiba-tiba saja bibirnya mengunci bibirku. Tubuhku langsung menegang. Seluruh tubuhku kaku.

Ia menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan kembali menciumku dengan begitu lembut. Aku yang terkejut hanya terdiam tanpa membalas setiap ciumannya.

Lidahnya mulai berusaha menelusup masuk kedalam mulutku. Perasaan aneh menghinggapiku. Tubuhku mengkhianati karena saat ini aku mulai membalas setiap ciumannya.

Dengan lembut Fabian mencecap seluruh bibirku. Tangannya mulai membelai leherku, ciumannya berpindah. Ia mencium telingaku dan menggigit cupingnya dengan lembut.

Bibirnya turun, menciumi leherku. Membuat tubuhku semakin panas.Tiba-tiba saja alarm peringatan dalam tubuhku berbunyi. Dengan kekuatan penuh aku mendorong tubuh Fabian menjauh.

Nafas kami berdua tersengal. Aku memandang nanar Fabian.

"Kau... Apa yang kau lakukan?" Tanyaku sambil menggertakan gigi.

"Menjawab pertanyaanmu. Maafkan aku, Lila. Maaf aku tidak bisa menahan diriku." Fabian meminta maaf.

"Apa maksudmu? Ah, aku tahu sekarang. Ternyata kau hanyalah seorang lelaki brengsek." Emosiku tiba-tiba saja meledak.

"Tidak!! Aku bukan pria seprti itu." Ia menyangkalnya.

"Lalu apa jika kau bukan pria seperti itu, hah?" Tanyaku sengit.

"Karena aku jatuh cinta padamu, Lila." Akunya tanpa melepaskan sedikitpun pandangannya.

Aku terdiam mendengar ucapannya. Tidak mungkin. Fabian bilang mencintaiku?? Tidak. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Aku tahu kau pasti terkejut. Namun yang aku katakan jujur, Lila. Aku jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali kau bergabung dengan perusahaanku."

"Tidak mungkin." Aku mengelak dengan suara yang bergetar.

"Tak ada yang tak mungkin, Lila. Asal kau tahu, aku bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta."

"Aku berbeda dengan wanita-wanita yang berada disekitarmu."

"Karena kau berbeda, Lila. Aku tidak tertarik dengan para wanita yang selalu mengelilingiku. Hanya kau yang berhasil membuatku bertekuk lutut. Maukah kau menjadi kekasihku?"

"Fabian, aku..."

Ia memotong ucapanku, "Kau tak perlu menjawabnya sekarang, Lila. Aku akan memberikanmu waktu untuk memikirkannya baik-baik. Sudah semakin malam, sebaiknya aku pamit, kau beristirahatlah."

"Terima kasih sudah mengantarku."

Fabian tersenyum lalu beranjak meninggalkan apartemen Lila. Sepeninggalan Fabian, aku hanya duduk termenung disofa.

Memeluk kedua lututku dan menyembunyikan wajahku. Bibirku terasa bengkak karena ciuman Fabian. Panas bibirnya masih bisa kurasakan.

Fabian mencintaiku? Atasanku yang tampan itu mencintaiku? Astaga, apa yang harus kulakukan?

Tuhan, kau tahu isi hatiku seperti apa. Aku hanya mencintai Dave dan Zac. Aku masih berharap bahwa Zac akan membalas cintaku suatu hari nanti. Meskipun aku tak yakin Zac dan Gissel akan berpisah.

Zac terlalu keras kepala. Semuanya tidak akan serumit ini jika saja ia mau menuruti perkataan kedua orang tuanya.  Membuatku terjebak. Adai saja aku menolak permintaan bodohnya itu.

Zac, tak bisakah kau merasakan perasaanku? Hatiku seperti diiris setiap melihatmu bersama Gissel.

Suara Zac terdengar begitu nyaring didepan pintu apartemenku. Dengan tergesa aku membuka pintu.

"Zac, apa yang kau lakukan?"

"Lama sekali, aku sudah berkali-kali memencet bel. Tapi kau tak keluar."

"Maaf, aku tertidur tadi."

Zac masuk ke dalam dan langsung menghempaskan dirinya diatas sofa.

"Kau mau minum apa?"

"Aku akan mengambilnya nanti. Kau baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, memangnya kenapa?" Tanyaku sambil duduk disampingnya.

Zac memegang keningku, "Badanmu panas, sepertinya kau demam. Mau aku antar ke dokter?"

"Aku baik-baik saja, Zac. Jangan panik seperti itu, mungkin karena tadi pulang kerja aku kehujanan."

"Bagaimana bisa? Kau kan membawa mobil?"

"Tadi pagi mobilku masuk bengkel, Zac." Jawabku santai sambil tertawa.

"Mengapa kau tidak meneleponku?"

"Aku tidak mau mengganggumu dan Gissel."

"Tapi Lila, aku tak ingin kau sakit."

"Zac, aku ini bukan kekasihmu. Dan aku rasa sebaiknya kita akhiri saja semua sandiwara ini."

"Tidak akan, Lila." Zac memandangku dengan tatapan yang menusuk.

"Aku lelah, Zac. Semua sandiwara ini membuatku lelah. Belum lagi kau membuat peraturan bahwa aku tidak boleh dekat dengan pria lain."

Zac mengerutkan keningnya, "Dulu kau tidak keberatan, tapi mengapa... Ah, aku tahu apakah kau sedang menyukai seorang pria?"

Aku mendengus kesal sambil mengerucutkan bibirku, "Sudah kubilang itu bukan urusanmu. Dan aku ingin semua ini berak.."

Tiba-tiba Zac mencengkram kedua tanganku dengan gerakan yang cepat. Mengunciku. Menghentikan semua ucapanku. Tubuhnya sangat dekat denganku. Menindih tubuhku.

"Katakan padaku, apakah kau sedang menyukai pria lain?" Suaranya berat dan mengancam.

"Bukan urusanmu. Lepaskan tanganmu. Kau menyakitiku."

"Jawab pertanyaanku, Lila." Ia menggeram, suaranya terdengar marah.

"Jangan mencampuri kehidupanku, Zac. Kau.. Bukan kekasihku. Sekarang lepaskan aku."

Zac langsung mencium bibirku dengan buas. Tanpa ampun ia terus menciumiku, bahkan ketika nafasku menjadi terengah-engah karena kekurangan oksigen. Aku berontak namun tubuhnya tak bergeming.

Aku berteriak ketika ia mulai menciumi leherku dengan agresif. Membuat aku meringis kesakitan.

"Zac, lepas-kan aku."

"Aku tak suka dibantah, Lila."

Dengan kasar ia narik kaos yang aku pakai hingga robek. Dan kembali menghujaniku dengan ciuman-ciumannya.

"Kau mau apa, Zac? Lepaskan aku kumohon." Aku menangis, aku ketakukan.

Can You Be Mine Chapter 2

Hari itu aku sedang termenung di meja kerjaku sambil mengetuk-ngetukan jariku di atas meja. Pikiranku menerawang jauh...

"Demi Tuhan, jangan tinggalkan aku, Dave" ucapku sambil menggenggam erat tanggan pria yang sangat aku cintai sambil. menangis.

"Li-Li..La..." Jawabnya terbata-bata, berusaha untuk mengeluarkan suaranya dengan susah payah.

"Stop, jangan bicara lagi. Aku... Aku akan segera memanggil dokter." Dengan tergesa, namun ketika aku hendak berdiri Dave menahan tanganku.

"Sayang, ja-nga-n per-gi a-a-aku bu-tuh ka-mu disini."

"Tapi... Tapi..." Dave memotong ucapanku.

Dia menggelengkan kepalanya dengan lemah, "Aku bu-tuh ka-mu sa-yang."

"Kau butuh dokter, Dave." Air mataku jatuh semakin tak terbendung, "Aku mencintaimu, sangat sangat mencintaimu." Aku meletakan telapak tangannya dipipiku.

"Tidak sayang, aku tidak butuh dokter. Kau yang aku butuhkan saat ini." Ia membelai wajahku dengan tatapannya yang sendu.

"Dave..."

"Berjanjilah padaku, Lila." Ucapnya tiba-tiba.

Tubuhku langsung menegang mendengar ucapannya yang tiba-tiba seperti itu, "Apa maksudmu, Dave?"

"Berjanjilah, sayang." Ucapnya dengan suara yang semakin melemah, namun senyum itu kembali tersungging dibibirnya yang tipis itu.

Aku terdiam, mataku menatap tajam matanya.

"Jika aku pergi, aku ingin kau melepasku sambil tersenyum."

"Dave..." Suaraku tercekat mendengar ucapannya.

"Kumohon, berjanjilah. Demi aku." Pintanya sambil membelai wajahku dengan perlahan.

"Tidak Dave, jangan berkata seperti itu. Tidak."

"Lila, kumohon. Berjanjilah, aku tahu kau bisa, karena kau adalah wanita terkuat yang pernah hadir dalam hidupku."

Ya Tuhan, mengapa aku merasa ketakukan karena akan segera kehilangan Dave, belahan jiwaku. Tuhan tolong panjangkan umurnya, aku takkan sanggup hidup tanpanya, doaku dalam hati.

"Berhentilah menangis..." Tangannya menghapus air mata yang sudah jatuh tak terbendung lagi dipipiku, "Sekarang berjanji dan tersenyumlah untukku."

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Berusaha melepaskan semua perasaan sakit yang menghimpitku hingga aku merasa sulit untuk bernafas.

"Iya Dave, aku...aku berjanji." Dengan susah payah aku menyunggingkan senyum dibibirku.

"Kau terlihat sangat cantik jika tersenyum, Lila." Ucapnya sambil terus menciumi tanganku.

"Aku mencintaimu, Dave." Lalu aku mencium bibirnya yang sangat pucat itu dengan begitu lembut dan sepenuh hatiku.

Perlahan aku melepaskan ciumannya, sedangkan Dave terpejam sambil tersenyum. Aku tak bisa mendengar dan merasakan kembali desahan nafasnya.

Ya, akhirnya Dave tertidur. Pada akhirnya Dave menyerah pada sakit yang selama bertahun-tahun menggerogoti tubuhnya.

"Tidurlah sayang, sekarang kau takkan merasakan sakit lagi. Aku mencintaimu Dave." Suaraku bergetar menahan air mata. "Selamat jalan sayang." Aku mengecup bibirnya untuk yang terakhir kalinya. Lalu memutuskan untuk memanggul dokter.

Sore harinya Dave langsung dimakamkan. Pertahanan yang mulai kubangun sejak Dave menghembuskan nafas terakhirnya pada akhirnya runtuh.

Aku menangis histeris ketika tubuh Dave sudah selesai dikebumikan. Aku menangis sambil memeluk batu nisan. Hatiku hancur bekeping-keping.
Sejak saat itu hidupku terasa hampa dan kosong. Hatiku menjad sedingin es dan sekeras batu karang. Menjadikanku sosok yang amat pendiam dan tertutup.

Hingga pada suatu hari aku bertemu dengan Zachary Alexander. Pria tampan yang menjadi rebutan semua wanita di universitas tempatku berkuliah.

Zac memang memiliki ketampanan yang luar biasa. Senyumnya bisa membuat para wanita pingsan dan tatapan tajam dari matanya yang berwarna abu-abu itu mampu menghipnotis orang yang memandangnya.

Merasa beruntung dan tersanjung bahwa Zac mau berteman dan akhirnya bersahabat denganku. Seiring dengan waktu yang berjalan tanpa disadari Zac berhasil menembus benteng pertahanan yang kubangun.

Getaran itu mulai muncul dan aku bisa merasakannya kembali. Sayangnya aku terlalu pengecut untuk mengakui semua rasa itu. Aku berusaha untuk menyembunyikan perasaan ini dari Zac dan semua orang.

Menjadi sahabatnya saja sudah cukup dan membuatku bahagia. Namun semakin lama aku menjadi semakin terikat dengannya. Membuatku tak bisa menjauh.

Dan perasaan itu semakin tumbuh dan bersemi didalam hatiku. Hingga membuatku merasa kelelahan menahan dan memendan semua perasaan ini.

Sebuah teguran yang halus namun tegas membuyarkan semua lamunanku. Dan memaksaku kembali ke dunia nyata. Dan ketika mengedipkan mata tiba-tiba saja air mataku jatuh membasahi lenganku.

"Apakah kau baik-baik saja Lila?" Fabian yang merupakan atasanku menegur.

"Ahh, maafkan saya Pak." Jawabku tergugup sambil buru-buru menghapus air mataku.

"Yakin kau tidak apa-apa? Kau menangis?" Tanyanya sambil menaikan sebelah alisnya.

"Saya baik-baik saja, Sir. Tadi ada sesuatu yang masuk ke dalam mata saya." Jawabku sambil tersenyum konyol berusaha untuk mengalihkannya.

"Oh, aku pikir kau sakit. Kau tidak pergi makan siang? Ini sudah waktunya untuk makan siang."

"Tidak, Sir karena ada dokumen yang harus saya selesaikan untuk meeting nanti."

"Ah, aku hampir saja lupa dengan meeting yang membosankan itu. Aku akan kembali ke ruanganku."

Fabian melangkah meninggalkan mejaku dan menuju ke ruangannya.

Aku menghela nafas lega, karena Fabian tidak bertanya macam-macam kepadaku.

Aku mendongkakan kepalaku menatap langit-langit kantor tempatku bekerja.

"Kenangan itu lagi. Dave sedang apa kau disana? Aku sangat merindukanmu. Tuhan mengapa cinta sangat menyakitkan? Jika tahu rasanya seperti ini aku memilih untuk tak merasakannya." Menghela nafas dan aku kembali fokus dengan pekerjaan yang ada didepanku.

***

"Lila... Lila... Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan selama ini? Entah untuk keberapa kalinya aku melihatmu seperti ini?" Fabian yang sudah kembali ke ruangannya itu langsung duduk dimejanya sambil menopang dagu.

Fabian Adrianno, muda, tampan dan kaya raya. Di usianya yang masih muda Fabian berhasil memimpin kerajaan bisnis milik keluarganya.

Fabian sosok pria yang menjadi idaman para wanita. Sayangnya Fabian ini bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta. Namun jika dia sudah jatuh cinta dan sayang pada seorang wanita. Maka hanya wanita itulah yang akan ada dimatanya.

Fabian akan berusaha untuk membahagiakan wanitanya dan takkan membuat wanitanya menangis dan terluka. Fabian memang dingin terhadap wanita dan sangat pemilih.

Namun semua itu berubah ketika Lila bergabung di perusahaannya. Ada sesuatu dari gadis itu yang membuatnya penasaran.

Fabian mengakui bahwa Lila memiliki wajah yang cantik. Senyumannya selalu bisa membuatnya merasa damai dan teduh. Tapi tidak dengan sorot matanya.

Mata yang indah itu menyimpan begitu banyak misteri. Fabian bisa melihat ada kesedihan yang teramat dalam di sana. Itulah yang saat ini sedang dia selidiki.

Lila berhasil membuatnya tidak bisa tidur nyenyak sepanjang malam. Membuatnya gelisah. Perasaan ingin melindunginya teramat besar. Penampilan Lila memang terlihat kuat, namun cahaya dimata yang indah itu mencerminkan kerapuhannya.

"Kyla Carolinne Rose Adam, apa yang harus aku lakukan agar kau mau membuka diri dan hatimu untukku?"

Suara ketukan dip intu langsung menginterupsi lamunannya. "Ya, masuk." Ternyata Lila datang untuk menyerahkan dokumennya.

"Maaf, Sir ini dokumen yang anda minta." Lila menyimpan map berwarna hitam itu di atas meja.

"Terima kasih Lila. Apakah persiapan untuk meeting sudah siap?" Sebisa mungkin aku mengulur waktu agar aku bisa lebih lama memandangi wajah Lila.

"Semuanya sudah siap, Sir. Para dewan direksi juga sudah siap untuk meeting. Ada lagi yang bisa saya kerjakan, Sir?"
Aku berpikir sambil terus memandangi Lila yang ternyata mulai risih aku pandangi seperti itu. Aku menaikan sebelah alisku karena aku mendapatkan ide untuk berdekatan dengan Lila lebih lama.

"Sir...?" Tanyanya dengan suara yang bisa membuatku melayang.

"Maaf, kau temani aku meeting hari ini." Ucapku cepat sambil berdiri.

"Tapi, Sir..." Bantahnya.

"Jangan membantah Lila."

"Ma-maafkan saya, Sir." Ia meminta maaf sambil menundukkan kepalanya.

"Ayo kita keruang meeting sekarang." Ucapku sambil memberikan dokumen yang tadi dikerjakannya.

Dengan kikuk Lila akhirnya berjalan mengikutiku menuju ruang meeting. Aku tersenyum dalam hati.

Mungkin aku belum bisa menyentuh hatimu, tapi aku takkan pernah menyerah untuk mendapatkanmu Lila. Suatu hari nanti. Aku yakin.

Can You Be Mine Chapter 1

"Lila,  tunggu..."

Aku langsung menghentikan langkahku dan berbalik ke arah sumber suara yang memanggilku.

Aku mengerutkan keningku ketika mengetahui siapa yang memanggilku, "Zac? Ada apa kau memanggilku?"

"Aku ingin mengajakmu makan malam. Apakah kau bisa?"

"Tentu saja, Zac. Katakan tempat dan jam berapa aku harus tiba di sana?"

"Tidak,aku akan menjemputmu jam tujuh malam. Karena Mama dan Papa akan ikut makan malam juga."

"Baiklah, aku akan menunggumu pukul tujuh malam tepat."

"Bagus kalau begitu."

"Kalau begitu aku permisi. Sampai jumpa nanti malam, Zac."

Aku bergegas menuju ke mobilku. Didalam mobil aku menyalakan musik kesukaanku. Aku teringat oleh ajakan Zac tadi.

Selalu saja mengajakku keluar untuk menemui kedua orang tuanya. Sampai kapan aku harus mengikuti permainannya dan terus menerus menjadi "kekasih"nya.

Semua orang mengira bahwa aku dan Zac adalah pasangan yang serasi. Tapi jika mereka bisa lebih peka aku yakin bahwa mereka akan menemukan keganjilab diantara kami berdua.

Aku dan Zac sudah sangat lama sekali saling mengenal. Kami bertemu ketika kami masih dibangku kuliah. Zac sangat tampan, banyak sekali wanita yang mengejar-ngejarnya.

Selama itu pula perasaanku terhadap Zac muncul. Ya, aku mencintainya dan sudah bertahun-tahun aku memendam perasaan ini. Dan selama itu pula Zac tidak pernah menyadarinya. Zac hanya menganggapku sebagai sahabatnya saja.

Jika saat ini kami terlihat semakin dekat karena Zac meminta bantuanku untuk menjadi kekasih pura-puranya. Karena kedua orang tuanya ingin menjodohkan Zac dengan wanita pilihan mereka. Setelah kedua orang tuanya menolak untuk menerima Gissel yang sampai saat ini masih menjadi kekasih Zac.

Akhirnya aku mengiyakan permintaannya. Dan seperti inilah aku saat ini, terjebak. Hatiku semakin sakit karena setiap Zac dan Gissel pergi kencan Zac pasti akan mengajakku. Agar kedua orang tuanya percaya bahwa aku memang pergi bersama Zac. Tameng, itulah fungsiku untuk Zac.

Demi Tuhan, tak bisakah kau menyadari bahwa aku mencintaimu sudah sejak lama Zac. Ingin rasanya aku mengungkapkannya namun aku selalu menelan kembali kata-kataku itu.

Perasaan dan situasi seperti ini benar-benar sangat menyiksaku. Aku benar-benar sudah tidak sanggup untuk menjalaninya lebih lama lagi.

***

Tepat jam tujuh malam Zac menjemputku. Malam itu aku menggunakan gaun berwarna putih selutut dengan model bustier. Sehingga bahu dan leher jenjangku benar-benar terekpose. Aku tidak pernah berpenampilan seperti ini sebelumnya.

"Hai Zac."

Mata Zac membulat sempurna melihat penampilanku malam itu, dia memandangiku dari atas hingga ujung kaki, "Lila, kau... kau..."

"Ayo kita berangkat sekarang, Zac. Atau kita akan terlambat."

"Ah, baiklah kalau begitu ayo kita pergi sekarang."

Akhirnya kami berdua pergi menuju restoran. Selama perjalanan Zac tak henti-hentinya memandangiku. Ekspresinya seperti sedang berpikir, entahlah aku tak ingin terus-terusan memperhatikan wajah tampannya itu.

Kami sampai disebuah restoran Italia yang mewah. Lalu kami segera menuju ke meja tempat orang tua Zac berada. Setelah saling menyapa dan mengobrol sedikit kami langsung makan.

Tak ada hal yang penting pada pertemuan kali ini. Hanya makan malam biasa saja. Setelah selesai Zac mengantarkanku pulang. Malam itu berakhir begitu saja seperti biasanya. Tanpa ada sesuatu yang spesial.

***

Dan aku kembali menjalani rutinitasku seperti biasa. Zac tak pernah menemuiku dikantor karena Zac datang jika dia membutuhkanku.

Karena Zac hanya menganggapku sebagai teman lamanya saja. Tidak lebih. Perasaannya terhadapku sejak dulu sampai sekarang tetap sama, tak ada perubahan sama sekali.

RECTANGLE LOVE

SYDNEYA

Aku mencintaimu, kau mencintai sahabatku, tapi sahabatku mencintai kekasihku dan kekasihku mencintaiku. Benar-benar membingungkan bukan.

Tak pernah terpikirkan sebelumnya olehku akan terlibat dalam sebuah hubungan yang rumit seperti ini. Sangat rumit seperti benang yang kusut dan entah kapan benang itu bisa terurai menjadi benang yang rapi. Ataukah benang ini akan selamanya kusut? Begitupun juga dengan kisah cinta yang aku alami saat ini. Begitu rumit. Begitu memusingkan. Begitu menguras tenaga, hati dan pikiran.

Semuanya berawal ketika aku dan sahabatku Parrish memasuki bangku sekolah menengah atas. Pada suatu hari yang panas aku tetap nekat berlatih bermain bola basket di tengah lapangan sekolah setelah jam belajar berakhir.

Meskipun jam belajar telah berakhir banyak siswa yang masih melakukan berbagai kegiatan ekstrakulikuler. Namun karena matahari sedang berada di puncak dan sangat terik, kebanyakan dari mereka memilih untuk duduk-duduk sambil mengobrol atau bersenda gurau di tempat yang teduh. Berbagai macam benda mereka gunakan untuk menjadi kipas dan berharap akan mendapatkan sedikit angin dari hasil kipasannya tersebut.

"Woy Sydneya Andreanna, ngapain panas-panas begini di tengah lapangan?" Teriakan sahabatku tersayang itu langsung menginterupsi kegiatanku yang sedang asyik men-dribble bola basket.

Dengan ogah-ogahan akhirnya aku menghampiri Parrish sahabatku tercinta. "Apaan sih Rish, mengganggu kesenangan orang aja." Rutukku.

"Pulang yuk, panas nih. Lagian bukannya kita mesti ngerjain tugas kelompok dari Miss Fanny dan itu harus dikumpulkan besok." Jelasnya sambil menghentak-hentakan kakinya dengan gemas.

"Astaga, aku hampir saja lupa. Mau mengerjakannya di rumah siapa?" Tanyaku sambil sibuk memasukkan handuk kecil yang biasa aku bawa dan aku pakai jika aku melap keringat yang muncul setelah berlatih basket.

"Bagaimana jika di rumahmu saja, Syd. Rumahmu tidak begitu jauh dari sekolah." Timpalnya sambil mengedip-ngedipkan mata dengan genitnya.

"Oke, ayo kita berangkat sekarang." Ucapku sambil memutar-mutar bola basket yang sedang aku pegang.

Lalu aku dan Parrish berjalan beriringan menyusuri koridor sekolah menuju keluar. Di dalam perjalanan aku bertemu dengan Adam, teman sekelas kami yang dengan terang-terangan mengejarku. Sebenarnya Adam cowok yang tampan hanya saja sifatnya yang petitilan dan agak agresif membuatku jengah.

Lagipula aku menyukai cowok lain. Aku sudah menyukainya sejak pertama kali masuk ke sekolah ini. Kami sama-sama murid baru. Entah mengapa sejak pertama kali bertemu dengannya aku langsung merasakan perasaan yang lain. Berada di sekitarnya membuatku merasa nyaman. Meskipun aku tidak berada di dekatnya dalam artian yang sebenarnya.

Aku terlalu takut dan malu untuk berada di dekatnya. Ethan terlalu sulit untuk kugapai. Ia selalu bersikap dingin kepadaku. Tak pernah sekalipun ia memandangku jika kami secara tidak sengaja bertemu pandang. Ethan akan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Hai Sydneya, kamu mau pulang?" Tanya Adam dengan kerlingan matanya yang genit itu.

"Perlu aku jawab?" Aku balik bertanya dengan nada yang tipis.

"Ayolah, mau sampai kapan kamu mengacuhkanku? Kamu tahu bahwa aku suka kamu sejak lama. Dan sebentar lagi kita akan segera lulus." Cerocos Adam sambil terus mengikuti langkah aku dan Parrish.

Kalian tahu Parrish yang sedari tadi berada di sampingku terus menekuk wajahnya. Karena Parrish-lah yang sebenarnya menyukai Adam. Dan Parrish pun tahu bahwa aku menyukai Ethan.

Adam... Adam ingin rasanya aku mengatakan bahwa Parrish menyukaimu. Tapi entah mengapa tiba-tiba bibirku langsung terkatup rapat tiap kali ingin mengatakan hal itu. Aku menghembuskan nafas pelan, berusaha memperbaiki mood-ku yang hancur lebur karena Adam.

"Sydneya, mengapa diam saja? Kasih aku jawaban?" Suara Adam yang kembali terdengar langsung membuatku berhenti melangkah dan berbalik menghadapnya.

"Bisa nggak sih kamu berhenti gangguin aku, Dam? Sudah aku bilang berkali-kali aku nggak suka sama kamu." Hardikku sambil memutar mataku kepadanya.

"Kasih aku kesempatan, Syd. Kasih aku kesempatan buat buktiin kalau aku benar-benar cinta sama kamu dan aku bisa bikin kamu cinta sama aku." Ucapnya sungguh-sungguh. Tak terlihat lagi ekspresi wajahnya yang selalu bercanda.

"Please Dam, kamu jangan jadi konyol begini." Ucapku dengan gusar karena aku bisa merasakan tatapan menusuk yang di berikan oleh Parrish di balik punggungku.

Parrish... Parrish... Please jangan marah sama aku. Kamu tahu sendiri siapa cowok yang aku suka. Kamu juga tahu bagaimana sikapku kepada Adam selama ini seperti apa. Aku berusaha bersikap acuh tapi Adam semakin gila mengejarku. Argh, kenapa cowok yang ditaksir sahabatku mesti naksir aku, sih???

Tiba-tiba Adam meraih tanganku ke dalam genggamannya lalu berlutut di hadapanku. "Ap-apa yang kamu lakukan, Adam?" Mataku membulat sempurna melihat Adam berlutut sambil menggenggam tanganku. Sedangkan Parrish sudah menghilang entah kemana. Ya Tuhan, bagaimana ini?

"Sydneya, di depan anak-anak yang masih ada di sini aku mau mereka jadi saksi kalau aku benar-benar cinta sama kamu dan aku mau kamu jadi pacar aku untuk hari ini, besok dan selamanya." Ungkapnya sambil terus menggenggam tanganku.

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam sambil menggigiti bibir bawahku tanpa tahu harus berkata apa. Mengapa Adam malah nekat seperti ini? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

"Sydneya... Kamu mau kan jadi pacar aku?" Suara Adam kembali terdengar.

"Aku... Aku nggak tahu harus jawab apa, Dam. Aku bingung sama perasaan aku sendiri ke kamu." Jawabku sambil meringis.

Adam menghela nafasnya, sepertinya ia berusaha menenangkan emosi yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. Entahlah, aku tidak begitu mengerti dengan makhluk yang namanya cowok.

"Aku kasih kamu waktu buat kasih jawabannya saat acara prom night nanti. Cukup kan waktu yang aku kasih? Dan aku berharap kamu kasih jawaban yang menyenangkan." Adam berkata sambil berdiri. Jarak wajah kami sangat dekat. Hembusan nafasnya menerpa wajahku. Membuat detak jantungku jadi nggak karuan. Rasa panaspun segera menjalari kedua pipiku. Astaga perasaan apa ini? Tidak, aku tidak boleh jatuh cinta sama Adam.

Dan tiba-tiba... CUP... Sesuatu yang lembab, basah dan panas menyentuh keningku dengan lembut, membuat nafasku berhenti sesaat. Suara para siswa yang masih betah berada di sekolah langsung riuh melihat adegan barusan. Oh ya ampun, ini gawat.

"Apa yang kamu lakukan, Dam?" Hardikku sambil mendorong tubuhnya dengan keras, "Dengar sampai waktu yang kamu kasih ke aku belum habis kamu jangan berani-beraninya menggangguku. Atau aku akan memberikan jawaban yang paling menyakitkan kepadamu secepatnya." Lanjutku sambil menatapnya dengan sengit. Dasar Sydneya bodoh, kau sama saja sudah memberinya harapan, aku merutuki mulutku yang kadang sering berkata seenaknya dan tidak menuruti perintah yang di berikan oleh otakku.

"Baiklah, aku terima syarat yang kamu kasih. Yah, meskipun aku nggak bisa janji bisa jauh-jauh sama kamu. Aku pasti bakalan lakuin apapun demi kamu." Ucapnya dengan penuh percaya diri.

Tanpa mengatakan apapun aku langsung berbalik meninggalkan Adam dan bergegas keluar dari lingkungan sekolah. Parrish tidak mau menerima panggilan telepon dariku.

Bahkan keesokkan harinya hingga kami selesai ujian akhir Parrish masih saja mengacuhkanku. Dia salah paham dan mengira aku sama Adam pacaran. Ketika prom night pun Parrish tidak menyapaku sama sekali.

Kalian mau tahu apa yang terjadi di acara itu? Parrish dan Ethan mengumumkan bahwa mereka berdua sudah resmi pacaran. Aku yang terlalu syok dan merasa telah di khianati oleh sahabat baikku sendiri memutuskan untuk pergi meninggalkan acara yang belum selesai. Bahkan aku mengabaikan Adam, ya aku tahu bahwa aku berjanji mau kasih jawaban dari permintaannya beberapa waktu yang lalu.

Tapi hati aku terlanjur sakit. Sepertinya Parrish sengaja berbuat seperti ini sama aku. Hanya karena cowok, persahabatan aku dan Parrish harus berakhir dengan cara yang menyakitkan.

Karena aku nggak mau terus-terusan sedih gara-gara kejadian itu, akhirnya aku mutusin buat ikut kakak laki-laki aku yang tinggal di Paris. Aku melanjutkan studiku di sana. Berkonsentrasi dengan kegiatan kuliahku yang memang cukup padat dan mulai melupakan tentang Parrish, Adam dan Ethan.

♥♥♥♥♥

Empat tahun kemudian aku kembali ke kota asalku. Aku memulai merintis perusahaan kecilku yang bergerak di bidang fashion dan di bantu oleh kakak perempuanku yang baru kembali dari Italia. Selama itu pula aku harus mendapatkan banyak kerja sama dengan perusahaan-perusahaan konveksi yang bagus.

Dari sekian banyak perusahaan konveksi mengapa  hanya perusahaan milik Adam yang tertarik dan ingin menjalin kerja sama dengan perusahaanku. Apakah ini hanya sebuah kebetulan saja? Aku rasa tidak. Ini bukan kebetulan, melainkan jalan yang di kasih Tuhan.

Semenjak kedatanganku dari Paris aku belum pernah bertemu kembali dengan sahabatku itu. Aku tetap menganggapnya sebagai sahabatku meskipun ia kini telah membenciku. Kabar yang aku dapat dari Kak Aldri  bahwa Parrish tidak seperti Parrish yang dulu. Aku tak mengerti mengapa kakakku berkata seperti itu. Karena setiap kali aku bertanya dan meminta penjelasan tentang Parrish kakak tidak pernah mau mengatakannya padaku. Dia malah mengatakan bahwa aku harus melihatnya sendiri.

Siang itu aku harus menemui Adam di sebuah restoran Perancis ternama. Sesampainya di sana seorang pelayan langsung mengantarkanku menuju ke sebuah private room yang berada di lantai dua.

Adam sudah menunggu di sana. Ia terlihat lebih tampan di bandingkan saat sekolah dulu. Dengan setelan jas yang mahal dan pas membungkus tubuhnya.

"Akhirnya kamu datang juga Sydneya Andreanna." Adam beranjak dari tempat duduknya untuk menyambutku. Ia menarik sebuah kursi lalu mempersilakan aku untuk duduk, "Silakan duduk." Lanjutnya lagi.

"Makasih, Dam." Jawabku singkat, lalu bergegas untuk duduk.

Aura kecangggungan langsung menyeruak diantara kami. Suatu situasi yang wajar. Mengingat kami sudah lama sekali tidak bertemu di tambah lagi dengan kejadian yang terjadi di antara kami berdua.

Bertahun-tahun aku berusaha menjauh dan melupakan rasa bersalahku. Tapi hari ini aku harus bertemu dengannya lagi.

"Apa kabar Sydneya? Lama nggak ketemu." Sapanya berusaha bersikap biasa-biasa saja.

"Baik, kamu sendiri?"

"As you see, aku baik." Jawabnya sambil mengedikkan bahu. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan. "Jadi apakah proposal yang aku minta sudah selesai?"

"Ah, tentu saja." Aku segera mengeluarkan map berwarna biru dari dalam tas kerjaku lalu memberikannya kepada Adam, "Ini, kamu bisa mempelajarinya sebelum kita berlanjut untuk membicarakan tentang kontrak kerja." Jelasku sambil memberikan map tersebut kepada Adam.

Ia mengambilnya lalu membaca isi dalam map itu dengan cepat. Karena pelayan datang membawakan pesanan, padahal aku belum pesan apapun. Aku hanya mengernyitkan keningku melihat berbagai jenis makanan yang di sajikan di depanku.

"Maaf aku sudah pesan makanan buat makan siang kita. Karena aku nggak tahu kamu biasa makan apa jadi aku pesan beberapa jenis makanan." Jawabnya sambil terkekeh.

"Lalu siapa yang mau menghabiskan semua ini? Aku nggak mau, Dam." Timpalku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Kamu harus menghabiskannya." Ucapnya sambil menopang dagu dengan tangannya.

Aku memberenggut kesal mendengar ucapan terakhirnya. Tanpa menanggapi ucapannya aku langsung menarik salah satu piring yang berisi steak lengkap dengan sayuran dan di siram oleh saus lada hitam. Terdengar suara kekehan dari orang yang sedang duduk di depanku.

Mengapa dia masih saja menyebalkan. Aku pikir beberapa tahun tidak bertemu makhluk di depanku ini sudah berubah. Ternyata masih tetap sama.

"Hey, mau sampai kapan kamu menontonku makan, huh?" Tegurku dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Kamu lucu kalau lagi makan." Tukasnya sambil terkekeh geli.

"Kamu menyebalkan." Hardikku sambil memberikan tatapan sinisku.

"Oke oke, aku akan makan juga. Sebenarnya melihatmu makan seperti itu sudah buat aku kenyang." Godanya lagi.

"Berhenti berkelakuan menyebalkan seperti itu Adam. Atau aku akan melemparmu." Ancamku sambil mengacungkan garpu yang berada di tangan kiriku.

Kecanggungan diantara kamipun sirna. Karena pada akhirnya Adam kembali menunjukkan sifat aslinya.

"Jadi kamu langsung kabur ke Paris sehari setelah acara prom night?" Tubuhku menegang mendengar kata-katanya, "Kenapa kamu tiba-tiba menghilang saat acara belum selesai? Apa kamu sengaja mempermainkan aku, Sydneya?"

Topik pembicaraannya kali ini benar-benat membuatku kehilangan selera makan. "Setelah bertahun-tahun kamu masih ingat dengan janji konyol itu, Dam?" Tanyaku.

Ia mengangguk cepat dengan pasti, "Ya, buat aku itu nggak konyol. Aku serius, Syd."

"Kamu tahu, gara-gara kamu Parrish memusuhiku sejak kejadian kamu menyatakan cinta kepadaku lalu dengan seenaknya cium-cium kening aku tanpa permisi. Parrish cinta sama kamu, Dam. Itulah kenapa aku nggak bisa terima kamu, lagipula aku juga nggak cinta sama kamu." Suaraku mengecil ketika mengucapkan kata-kata terakhirku itu.

Adam meraih daguku dan menegakkan wajahku menghadapnya. "Kau mencintai Ethan? Apakah kau tahu bahwa Parrish dan Ethan..." Adam menggantung kata-kata terakhirnya.

"Aku tahu apa yang mau kamu bilang, Dam. Sudah-sudah, aku nggak mau bahas tentang ini lagi." Jawabku sambil menepis tangannya yang masih memegangi daguku.

Sejak pertemuan pertamaku dengan Adam, intensitas pertemuan kami semakin bertambah karena kerja sama yang terjalin di antara kami berdua. Tapi tetap saja Adam masih terus mengejarku dan berusaha untuk meyakinkanku untuk menerimanya jadi kekasihku.

Dan kedua kakakku tersayang sekarang ikut turun tangan untuk menjodohkanku dengan Adam. Benar-benar menyebalkan, mengapa mereka berdua tidak melakukan hal yang lebih berguna saja daripada menjodohkanku dengan Adam. Bahkan Mama dan Papa juga. Dan rencana mereka berdua berhasil. Entah apa yang Adam katakan kepada kedua orang tuaku dan kedua kakakku yang tidak ada kerjaan itu. Sampai-sampai mereka dengan mudahnya memberikan restu kepada Adam.

Seiring berjalannya waktu aku berusaha untuk menerima kehadiran Adam plus dengan sifatnya yang menyebalkan itu. Lagipula aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya dan terus berangan-angan suatu hari akan bertemu dengan Ethan.

Untuk itu aku memutuskan untuk mencoba dan belajar mencintainya. Membuka hatiku untuknya, menerima semua kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Oke, bersikap manislah kepada kekasihmu mulai sekarang Sydney, tekadku dalam hati.

Setelah itu aku bergegas pergi meninggalkan ruanganku. Karena siang ini aku ada janji makan siang di sebuah restoran bersama Adam. Semoga saja aku tidak terlambat, pertemuan tadi benar-benar hampir saja membuatku melupakan janji makan siang ini bersama kekasihku. Ya, saat ini dan seterusnya Adam adalah kekasihku.

♥♥♥

PARRISH

Setelah bertahun-tahun menghilang akhirnya Sydneya yang dulu pernah menjadi sahabatku akhirnya menampakkan dirinya. Dan lagi-lagi aku harus mengakui bahwa Sydney semakin cantik sebagai seorang wanita yang semakin matang. Berbeda terbalik dengan dirinya saat ini.

Menerima pernyataan cinta dari Ethan beberapa tahun yang lalu adalah kesalahan besar. Wajah tampan yang di miliki Ethan ternyata tidak di miliki oleh hatinya. Ethan sangat posesif, apa yang aku lakukan harus meminta ijin terlebih dahulu kepadanya. Kebebasanku otomatis terenggut.

Apakah sekarang ini aku sedang menuai apa yang telah aku tebar sebelumnya? Menerima Ethan sebagai kekasihku hanya untuk menyakiti dan membuat Sydney menderita. Tapi sekarang justru aku menderita sedangkan Sydney tampak begitu bahagia dengan kariernya yang semakin menanjak naik.

Kapan aku bisa mengalahkan dan mengunggulimu dalam semua hal Sydneya Andreanna? Mengapa kau selalu mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik. Mengapa?

Aku harus segera mendapatkan semua yang dimiliki oleh Sydney, termasuk memiliki Adam. Karena sampai detik ini aku masih mencintai Adam dan berharap akan memilikinya meskipun aku sudah benar-benar kotor. Aku harus kembali mendapatkan Adam. Kalau begitu aku akan segera menemui Adam dan menyambut kedatangan mantan sahabatku tercinta.

Setelah menyusun rencana untuk besok, aku bergegas pergi ke restoran tempat aku bekerja selama ini. Karena perbuatan Ethan kehidupan seperti inilah yang harus aku jalani. Aku bekerja keras siang malam membanting tulang tapi semua uang hasil jerih payahku diambil oleh Ethan. Uang itu ia gunakan untuk berjudi, mabuk-mabukan dan bermain wanita. Aku merasa seperti sapi perah.

Saat ini aku sudah sampai di restoran tempatku bekerja. Setelah mengganti pakaian dengan seragam aku segera menggantikan temanku yang jam kerjanya sudah habis.

Ketika sedang membersihkan salah satu meja, mataku tak sengaja menangkap sosok yang sangat aku kenal. Adam. Cinta pertamaku, pria yang paling aku inginkan sejak dulu. Jantungku langsung berdetak dengan cepat ketika melihat sosoknya yang terlihat semakin tampan dengan setelan jas mahal yang membalut tubuhnya dengan pas.

Setelah merapikan seragamku sedikit, dengan penuh percaya diri aku langsung bergegas untuk menemui Adam. Sepertinya Tuhan mendengar doaku, bertemu dengan Adam di sini bukan cuma kebetulan semata, pasti Tuhan sudah mengaturnya.

Namun baru beberapa langkah aku langsung berhenti dan kembali terpaku di tempatku berdiri saat ini. Ya, dengan anggunnya Sydney tiba-tiba muncul dan langsung menghampiri Adam. Adegan selanjutnya langsung membuat jantungku seperti di lempar oleh ribuan pisau. Terasa sangat sakit sekali. Aku melihat Adam memeluk Sydney dengan begitu posesif lalu mencium bibir Sydney dengan mesra.

Tanpa sadar aku meremas-remas kertas order yang sedang kupegang hingga tak berbentuk. Lalu aku segera berbalik untuk meninggalkan tempat itu. Sialnya tiba-tiba Adam memanggilku karena waitress yang sedang sibuk dengan para pelanggan yang lainnya. Dengan terpaksa akhirnya aku kembali berbalik dan langsung kembali berjalan untuk menghampiri meja Adam dan Sydneya.

"Selamat siang." Sapaku sambil meletakkan buku daftar menu di meja mereka berdua.

"Terima kasih." Timpal Adam tanpa susah-susah melihat kepadaku, "Kamu mau makan apa, sayang?" Tanya Adam pada Sydney dengan mesra.

"Aku pesan apa yang kamu pesan, sayang." Jawab Sydneya tak kalah mesranya. Seperti mereka berdua masih belum menyadari keberadaanku.

"Kau... Kau Parrish, kan?" Tiba-tiba Sydneya menatap ke arahku. Yup, kau benar mantan sahabatku, jawabku dalam hati. Dan saat ini Adam ikut memandangiku, menatapku dari ujung rambut hingga ujung kepala, membuatku gugup.

"Hai Sydney, Adam... Kejutan biaa bertemu kalian di sini." Ucapku sambil mengontrol setiap kata yang keluar dari mulutku.

"Kau bekerja di sini?" Tanya Sydney sambil mengerutkan keningnya, "Bukankah kau sedang merintis karier sebagai seorang model di Italia?"

"Aku sedang bekerja, bisakan aku mendapatkan pesanan kalian berdua sekarang juga?" Potongku berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Beberapa menit kemudian aku telah selesai mencatatkan semua pesanan Adam dan Sydneya. Ingin rasanya aku memasukan racun ke dalam makan milik Sydneya. Karena saat ini dia dan Adam sedang kembali memamerkan kemesraan mereka tepat di depan mata kepalaku sendiri. Entah sengaja atau tidak mereka melakukan hal itu. Yang jelas aku benar-benar sangat muak sekali.

Aku harus merubah semua rencanaku jika seperti ini dan aku juga membutuhkan partner untuk merealisasikannya. Tapi siapa yang bisa aku ajak untuk bekerja sama? Ayo berpikirlah Parrish berpikir. Hingga beberapa menit kemudian, ah aku tahu siapa orang yang sangat tepat sekali untuk membantuku merealisasikan semua rencana ini.
Tunggu kejutan selamat datang dariku wahai kau mantan sahabatku. Karena tak lama lagi kau akan kehilangan Adam. Bibirku tertarik membentuk sebuah senyuman membayangkan semua rencanaku yang akan berjalan dengan mulusnya.

Malam harinya ketika aku pulang ke flat, aku mendapati Ethan sedang asyik menonton TV. Bagus, aku jadi tidak perlu menunggunya pulang kemari.

"Kamu sudah pulang ternyata." Sapanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.

Aku langsung mengambil tempat duduk di sampingnya, "Aku butuh bantuan kamu, Ethan." Celetukku sambil ikut menatap televisi.

Ethan mengalihkan pandangannya dari layar televisi dan menatapku, "Bantuanku? Memangnya kamu mau aku bantuin apa?" Tanyanya penuh minat dengan kening yang berkerut.

Aku tersenyum dengan reaksi yang tunjukan oleh Ethan. Aku yakin sekali ia pasti akan sangat senang sekali mendapatkan umpan baru. Meskipun ia selalu mengatakan bahwa ia sangat mencintaiku, Ethan masih saja tetap main gila dengan banyak perempuan. Namun aku tak peduli dengan kegemarannya di luar, karena aku tidak mencintainya.Apa yang terjadi setiap malam di atas tempat tidur aku hanya menganggapnya untuk bersenang-senang saja.

Setengah jam kemudian aku selesai menjelaskan semua rencanaku keepada Ethan. Dan Ethan sangat tertarik sekali dengan semua rencana yang aku ungkapkan.

"Tumben kali ini otakmu bekerja dengan benar. Benar-benar mangsa yang sangat besar, tapi tenang saja Parrish sayang. Hatiku dan cintaku tetap milikmu." Tukasnya sambil mengecup bibirku lembut.

"Jangan lebay deh, kamu nggak akan cemburu lihat aku sama Adam?" Tanyaku sambil menyandarkan kepalaku di dadanya.

"Nggaklah buat apa aku cemburu. Aku bukan tipe cowok yang pencemburu. Lagipula mana mau Adam sama kamu, Rish? Inget kamu tuh udah jadi milik aku." Ungkapnya sambil mengetatkan pelukannya di tubuhku.

♥♥♥♥♥

Keesokan harinya Parrish dan Ethan mulai menjalankan rencana mereka. Ethan dengan gencar mendekati Sydneya. Apalagi gadis itu sudah benar-benar berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik, secara fisik Parrish tidak ada apa-apanya dengan Sydneya. Di tambah lagi perusahaan yang sedang di rintis oleh mantan sahabat kekasihnya itu sedang maju pesat. Bisa di bayangkan berapa banyak pundi-pundi uang yang akan di dapatnya jika berhasil Ethan berhasil menaklukan Sydneya.

Berbagai cara di lakukan oleh Parrish dan Ethan untuk memisahkan Adam dan Sydney. Yup, mereka berdua berhasil. Parrish berhasil menjebak Adam lalu mengaku bahwa tengah mengandung benih Adam. Yang membuat Sydney dengan sangat terpaksa melepaskan pria yang mulai di cintainya itu. Sydney pun berusaha untuk menerima kehadiran Ethan di sampingnya. Dan gadis itu dengan terpaksa pula menerima pinangan dari Ethan.

Adam yang menyadari bahwa dirinya telah di jebak, melakukan berbagai cara untuk mendapatkan bukti bahwa bayi yang sedang di kandung oleh Parrish saat ini adalah bukan darah dagingnya.

Kecurigaan Adam terbukti. Hasil tes DNA yant diam-diam di lakukannya telah menunjukan hasil yang sangat memuaskan. Bayi yang di dalam kandungan Parrish bukan darah dagingnya. Selain itu Adam juga memiliki bukti-bukti lain yang cukup kuat untuk menyeret Parrish dan Adam masuk ke dalam penjara.

Hari ini adalah hari dimana Sydney dan Ethan akan melangsungkan pernikahan mereka. Adam memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia tak mempedulikan keselamatannya, yang ada di pikirannya sekarang adalah ia bisa sampai di tempat Sydney tepat waktu. Ia harus menyelamatkan wanitanya itu dari bajingan seperti Ethan.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan Adam sampai di kediaman Sydney tepat waktu.

"Tunggu, pernikahan itu tidak bisa di lanjutkan." Teriak Adam di ambang pintu. Lalu ia bergegas mendekati Sydney dan Ethan.

Sydney terkejut dengan kedatangan Adam yang tiba-tiba, "Adam, kamu mau apalagi?" Bentak Sydney.

"Dengar sayang, kamu nggak boleh nikah sama laki-laki brengsek ini. Aku punya bukti kejahatan yang dia lakukan bersama Parrish buat misahin kita." Adam menjelaskan, berharap bahwa wanitanya itu akan mempercayai semua kata-katanya.

"Jangan percaya pria itu, sayang." Ethan berusaha menutupi kesalahannya dan mulai mempengaruhi Sydney kembali, "Adam hanya menutupi kesalahannya." Ucap Ethan sambil mencibir ke arah Adam.

"Kalian berdua berhenti." Sydney membentak kedua pria itu. Para tamu yang hadir mulai berkasak kusuk melihat pemandangan yang terpampang di depan mereka. Parrish yang berdiri di belakang Ethan mulai ketar ketir. Wajahnya mulai memucat.

Saat ini ia memang sedang hamil. Tapi ayah dari bayi yang ada di perutnya itu adalah Ethan bukan Adam. Ia sengaja menggunakan kehamilannya untuk menghancurkan hubungan Adam dan Sydney.

"Ini..." Adam memberikan sebuah map berwarna hitam kepada Sydney, "... dan bayi yang sedang di kandung oleh Parrish bukan anakku." Jelas Adam.

Dengan cepat Sydney langsung mengambil map yang di berikan oleh Adam. Wanita itu benar-benar syok, tak menyangka orang yang sudah di anggapnya sebagai sahabat tega melakukan hal kejam seperti itu.

Air mata langsung meluncur bebas menurunin pipinya yang mulus dan putih bak batu pualam. Tubuhnya mulai bergetar. Dengan sigap Adam langsung merengkuh wanitanya itu ke dalam pelukannya.

Parrish dan Ethan hanya terdiam tak bisa berkutik ketika kedok mereka terbuka. Tak ada kata bantahan atau pembelaan yang keluar dari mulut mereka berdua.
Sydney melepaskan diri dari pelukan Adam, "Pergi kalian berdua dari hadapanku. Jangan pernah menampakkan kembali muka kalian lagi. Atau aku akan benar-benar menjebloskan kalian ke dalam penjara." Sydney mendesis marah sambil menggertakkan giginya. Ethan dan Parrish pergi dari sana tanpa mengeluarkan kata-kata.

Tangis Sydney kembali tumpah di pelukan Adam, "Maafin aku Dam, seharusnya aku lebih percaya kamu. Maafin aku." Isaknya.

"Sttt, sudah sayang. Tak ada yang perlu di maafkan, semuanya sudah berakhir." Ucap Adam sambil mengelus punggung wanitanya itu.

"Maaf, apakah pernikahan ini akan tetap di lanjutkan?" Tanya seorang pendeta yang sedari tadi memperhatikan orang-orang di hadapannya dengan kebingungan.

"Tentu saja, pernikahan ini akan tetap di lanjutkan." Ucap Adam dengan jelas dan mantap. Sedangkan Sydney hanya menundukkan wajahnya yang entah mengapa langsung merona.
Akhirnya pernikahan itupun tetap terlaksana dengan Adam yang menjadi pengantin prianya. Semua orang turut bersuka cita untuk mereka berdua.

"I love you my princess." Ucap Adam sambil memeluk erat wanita yang sekarang telah resmi menjadi istrinya itu.

"I love you too my prince." Balas Sydney.

Lalu mereka berdua saling berciuman dengan di iringi oleh sorak sorai dari para tamu undangan yang hadir.

-THE END-

Selasa, 17 September 2013

Nostalgia Sandal Jepit

Alva itulah nama yang baru saja dia goreskan menggunakan pisau dapur pada sandal jepit yang baru saja dibelinya. ini adalah persiapan pertama Alva dalam menyambut Ramadhan tahun ini, mengingat curandal (re:pencurian sendal) begitu banyak berkeliaran pada saat tarawahen. Alva tahu sekali target utama mereka adalah sandal jepit baru untuk, mengantisipasi hal itu Alva susah-susah dan penuh perjuangan menggoreskan secarik nama dalam sandal.  Kriuk-kriuk tiba-tiba alarm alami tubuh alva berbunyi suara ketokan  palu begitu keras di tabuhkan ke dinding lambung oleh cacing- cacing yang meminta jatah harian  mereka yaitu sepiring nasi putih beserta ayam panggang yang lezat. Belum juga ramadhan tapi Alva telah membayangkan hal-hal biasa yang dia makan dibulan ramadhan sama halnya dia membayangkan dan merindukan suara-suara panggilan itu.

***  

“Alva… Alva... Alva main, yuk.” suara teman-temannya terdengar dari luar mengajak Alva untuk pergi bermain dan salah satu dari teman-temannya ada satu suara yang sangat membuatnya begitu bersemangat yaitu suara Keysa seorang gadis tomboy sahabatnya yang diam-diam begitu dia kagumi.  Pertemuan mereka dimulai saat  Alva sedang asyik menggejar-ngejar seekor kucing jantan yang gemuk dan meggemaskan di perkarangan rumahnya, yang baru ia lihat hari itu.

Tiba-tiba saja biji rambutan mendarat di kepalanya, setelah itu terdengar suara teriakan seorang gadis kecil, “Hei, kau jangan ganggu kucingku dasar penjahat kucing.”

“Aduuuh.” Alva menjerit kesakitan sembari melihat ke arah suara yang memarahinya tadi, di sana telah bediri seorang gadis yang cantik tapi  tomboy dan galak melihat dengan tatapan tajam ke arahnya. Sama halnya dengan kucing tadi gadis galak ini juga baru ia lihat hari ini.

Ternyata Keysa merupakan tetangga baru Alva. Malam harinya ibu Keysa mengunjungi rumah Alva untuk bersilaturahmi.

Saat melihat sosok Alva berada dalam rumah itu, Keysa langsung berteriak “Hoi penjahat kucing ngapain kamu di sini mau gangguin aku juga, ya?"

“Lha kamu yang ngapain disini? Ini rumahku dasar pawang kucing."Orang tua mereka hanya bisa tersenyum melihat tingkah kedua anak mereka yang ternyata sudah berkenalan.

***  

Detik-detik yang sangat membahagiakan di bulan Ramadhan bagi Alva baru saja berlalu yaitu detik saatnya berbuka puasa, semua santapan dan minuman baru saja dia habiskan tanpa ampun sampai badannya susah di gerakkan.

”Alva, ke mesjid yuk, kita tarawihan.” Alva sangat mengenal sekali suara itu. Ya, suara Keysa dia langsung bergegas keluar menemui sahabatnya itu.  

“Hai Key baru juga jam tujuh kurang, kenapa kamu buru-buru sekali ngajak pergi tarawih?"  

“Alva, sebelum ke mesjid temani aku pergi kelapangan dulu, ya. Kamu tahu ada seseorang yang membuang anak kucing dan di tempatkan di dalam kardus. Kasihan sekali mereka.” tiba-tiba Keysa memasang mimik wajah yang sedih.

”Mmm, baiklah  aku ambil sarungku dulu ya di dalam.” sahut Alva tanpa pikir panjang.  

Sesampainya di lapangan bukan anak kucing yang mereka temukan tapi keusilan Doni, Reza dan Andri mereka sengaja melemparkan petesan ke arah Alva dan Keysa, seketika tubuh Keysa gemetaran dan wajahnya pucat.

Alva terkejut baru kali ini ia melihat ekpresi sahabatnya seperti itu, selama ini dia hanya tahu jika Keysa itu tomboy dan pemarah. Ia tidak menyangka sahabatnya akan begitu ketakutan, sayup-sayup terdengar suara teman-temannya yang cekekikan menahan tawa, belum sempat Alva memarahi keusilan teman-temannya, tiba-tiba Keysa berlari ke arah sebaliknya sambil menangis. Alva buru-buru mengejarnya, sesampainya di depan mesjid Keysa masih terlihat menangis, Alva agak kikuk dengan kondisi yang seperti ini, tak biasanya ia melihat sahabatnya menangis.

Dengan perlahan alva duduk di sebelah Keysa yang terisak-isak di teras mesjid, “Hoi hoi ternyata preman bisa nangis juga, ya." ujar Alva sambil menyikut pelan sahabatnya.

“Biarin preman juga manusia." jawab Keysa terisak-isak.

“Sudah-sudah yuk masuk mesjid bentar lagi ceramahnya di mulai nih kitakan harus mengisi agenda ramadhan, ayo hapus air matamu.”

“Ya." jawab Keysa pelan, "Tapi Alva sendal jepit kita taruh di mana? Nanti hilang, kan masih baru.”  

"Benar juga." Alva terlihat kebingungan, ikut mencemaskan sandal jepit barunya.

”Tunggu aku ada ide," celetuk Keysa, "Gimana kalau sandal jepitnya sebelahan kita tukeran biar warnanya belang. Kalau warna pasangannya beda, pasti orang gak bakal minat sama sendal baru kita. Dan taruh agak jauhan gitu.”

"Oke, brilian juga ide kamu, Key. Bahkan guru matematika kita di sekolah juga gak bakal kepikiran soal ini.”

”Ayo buruan Alva Ustadnya udah mau mulai tuh.”

"Oke jenius,” goda Alva pada sahabatnya itu.  

Satu minggu setelah kejadian ini Key harus ikut bersama keluarganya pindah keluar negeri

***  

Satu helahan nafas putus asa dari Alva membangunkannya dari lamunan  masa kecilnya empat belas tahun yang lalu. Wajar saja Alva menjaga setiap sandal jepit yang di milikinya, sandal belang yang sebelahnya di tukar dengan sandal milik Keysa masih tertata rapi, bejejer dalam lemari pakaiannya sampai sekarang.            

”Saatnya ke warnet.” ujarnya dalam hati.  KEYSA SEPTYANA itu tulisan  pertama Alva di Google setibanya di warnet, berharap mbah Google memberitahunya keberadaan sahabatnya kecilnya itu. Tapi jawaban yang keluar do you mean ACHA SEPTRYASA. Google ternyata tak membantu, berikutnya di twitter dan facebook tapi jawaban yang dia dapat malahan lebih aneh the file is not found. Ini adalah pencarian ke 1001 kalinya semenjak dia mengenal yang namanya internet, namun ia tak kunjung menemukannya.

***  

Allahuakbar Allahuakbar tanda Isya telah tiba, ini adalah hari terakhir sebelum ramadhan dan juga hari pertama tarawehan. Alva bergegas meninggalkan rumahnya menuju mesjid terdekat tak lupa sandal jepit yang bertuliskan ALVA di kenakan, selesai sholat dan berdoa tiba-tiba matanya tertuju pada sendal jepit yang berada disebelah sendalnya yang bertuliskan KEYSA SEPTYANA.

”Waduh lengkap banget ini orang nulisin nama di sandal jepit, takut banget di gondol curandal (re:pencurian sendal).” ujar Alva dengan senyum penuh arti, sambil menunggu si pemilik sandal keluar dari mesjid.

Apakah kau sudah kembali Keysa-ku? Tanyanya dalam hati dengan senyuman yang sudah terlebih dahulu menghiasi bibirnya.

-END-

Sabtu, 14 September 2013

Try With Me Chapter 4

JAMES

"James, sekali lagi terima kasih." Aku hanya mengangguk kemudian melangkah keluar dari kamar.

Aku keluar sambil mengepalkan tangan kuat-kuat karena menahan amarah yang tiba-tiba saja memenuhi dadaku. Lalu aku mengambil ponselku dan segera menghubungi seseorang.

"Andres ini aku. Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku. Ya, ini tentang pria yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah sarapan kami tadi, aku ingin kau menyelidikinya... Baiklah aku tunggu." Lalu aku memutus sambungannya.

Dengan kesal aku menghempaskan tubuhku di atas sofa. Alex, ada hubungan apa kau sebenarnya dengan Hanna? Mengapa setelah bertemu dengam pria itu Hanna jadi pendiam? Jika pria itu muncul untuk menjadi pengganggu di dalam pernikahanku, itu takkan kubiarkan. Kau akan tahu siapa sebenarnya Adrian James Arthur.

Berkali-kali aku menghembuskan nafasku untuk menggurangi perasaan sesak yang aku rasakan. Entah mengapa aku merasa seperti ini. Tak rela jika ada pria lain yang mendekati Hanna. Apa yang sudah kau lakukan kepadaku Hanna? Mengapa kau membuatku kehilangan seluruh kontrol diriku?

Untuk waktu yang beberapa lama aku hanya duduk di sofa sambil memindah-mindah saluran televisi namun tak ada satupun yang acara yang menarik.

Aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Hanna keluar dengan kedua mata yang sembab. Sepertinya ia menangis sedari tadi.

"Cepat makan makananmu, Hanna. Nanti siang kita akan segera pergi." Ucapku sambil mengalihkan kembali pandanganku ke arah televisi.

"Apa kau sudah makan juga?" Jawabnya sambil duduk di sampingku.

"Aku sudah makan. Cepatlah makan setelah itu kita bersiap-siap pergi." Lanjutku masih menatap televisi.

"Kita mau pergi kemana?" Tanyanya.

"Aku takkan memberitahumu..." Aku berkata sambil menatap lekat wajahnya, "... istriku." Sedetik kemudian wajahnya itu langsung memerah.

"Kalau begitu aku akan makan dan bersiap-siap." Ucapnya dengan terburu-buru lalu pergi meninggalkanku.

Selama menunggu Hanna selesai dengan kegiatannya Fred kembali menghubungiku. Ia berhasil mendapatkan data-data milik Alex. Ternyata ia berasal dari keluarga sainganku. Keluarga Grey salah satu keluarga kaya raya namun tak banyak orang yang tahun bahwa keluarga Grey itu merupakan keluarga mafia yang tak terjamah oleh hukum. Rupanya Alexander Grey yang selama ini menghilang dan tak pernah terekspose akhirnya menampakkan dirinya. Tapi mengapa ia harus memiliki hubungan dengan Hanna istriku? Astaga belum empat puluh delapan jam aku menikah dengannya tapi aku sudah menganggap bahwa Hanna istriku, ada apa denganmu James? Tapi tunggu Hanna memang istriku bukan, jadi apapun yang terjadi aku harus tetap melindunginya.

Yang jadi pertanyaanku sekarang adalah apakah Hanna tahu bahwa Alex itu seorang yang brengsek sama sepertiku dulu? Dulu aku memang brengsek tapi sekarang aku tidak seperti itu lagi. Namun jika Hanna tidak tahu siapa Alex yang sebenarnya aku harus membuat Hanna membuka matanya lebar-lebar agar dia bisa melihat seperti apa Alex yang sebenarnya.

Aku tak boleh lengah mengawasi Hanna. Karena aku belum tahu apa yang sedang di rencakan oleh Alex. Apalagi sepertinya Alex belum menyadari siapa aku yang sebenarnya. Tenang saja Hanna, aku akan segera melepaskanmu dari belenggu seorang Alexander Grey.

"James, apakah kau baik-baik saja?" Suara yang lembut itu mengembalikanku dari pikiran-pikiran di dalam kepalaku.

"Kau rupanya, apakah kau sudah siap?" Tanyaku menutupi keterkagetanku.

"Aku sudah siap, aku sangat penasaran sekali kau akan membawaku kemana." Jawabnya ceria dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. Dan membuatnya semakin terlihat lebih cantik. Membuatku tanpa sadar ikut tersenyum. Kau sudah gila James.

"Aku tetap tak akan mengatakannya kepadamu." Tukasku sambil tersenyum jahil.

"Ayolah, katakan kepadaku kita akan pergi kemana." Rajuknya sambil mengerucutkan bibirnya. Membuatnya terlihat lucu dan menggemaskan sekali. Rasanya aku ingin sekali melumat bibir itu. Tidak. Tidak. Tidak, astaga otakku benar-benar sudah kacau semenjak bertemu dengan Hanna.

Let me know the words inside you, say I do
Tell me it's love it's all I want to hear you say
That we're in love, that you're always gonna feel this way
No matter what, no matter when
You know I'd do it all again
Tell me it's love
Say I'm the one

When it's easier to walk away
Are you strong enough to turn the page
Do you know how to begin again
Would you let me in
I'd get through anything I had to if I've got you

(Westlise - Tell Me It's Love)

"James..." sepanjang perjalanan Hanna terus menerus merajuk. Karena aku tetap tidak mau memberitahunya kemana tujuan kami akan pergi kali ini.

"Tidak sayang, jika aku mengatakannya bukan kejutan namanya." Aku tetap bersikukuh dengan kata-kataku. Diam-diam.aku tersenyum.

Sepertinya apa yang aku rencanakan akan berjalan dengan lancar. Karena yang di lakukan oleh Hanna saat ini adalah berusaha merayuku agar mengatakan kemana aku akan membawanya. Dan aku yakin sekali Hanna sudah lupa dengan pertemuannya dengan Alex tadi pagi dan sempat membuatnya menangis.

"Mengapa kau malah tersenyum seperti orang bodoh begitu? Senang melihatku kesal karena penasaran, huh?" Sebur Hanna sambil mendesis marah kepadaku.
"Aku tidak tersenyum, sungguh." Jawabku sambil berusaha menahan tawaku dan memasan kembali topeng berwajah dinginku.

Hanna berkacang pinggang sambil mendelik marah kepadaku, "Mr. Arthur kau masih saja berkelit dan tidak mau mengaku. Jelas-jelas aku lihat kau tersenyum seperti orang bodoh."

"Aku tidak mentertawakan atau mengejekmu Mrs. Arthur." Timpalku sambil meliriknya sekilas lalu kembali menatap lurus ke depan.

"Huh!" Hanna mendengus kesal kepadaku. Dan sisa perjalanan itu ia terus menekuk wajahnya.

Setelah menepuh perjalanan beberapa menit akhirnya kami sampai di bandara dan segera menuju ke jalur penerbangan khusus pesawat jet pribadi. Lagi-lagi Hanna mengernyitkan keningnya sambil mengerucutkan bibirnya yang sangat menggoda dan menggemaskan itu.

"Apa kita akan pergi dengan benda ini?" Tanyanya sambil menaiki tangga menuju pintu masuk pesawat.

"Ya, Mrs. Arthur. Kita akan pergi menggunakan benda ini." Jawabku berusaha dengan nada datar. Dan hanya di tanggapi "oh" olehnya.

Setelah berada di dalam pesawat Hanna tidak bertanya apa-apa lagi. Ia terlihat asyik memperhatikan setiap sudut pesawat. Aku sudah mengganti semua dekorasi di dalam pesawatku sebelum menikah dengan Hanna. Karena aku ingin Hanna menyukainya.

"Apakah kau suka?" Tanyaku menginyerupsi pikirannya.

"Ya, ini indah sekali." Jawabnya masih mengedarkan pandangannya keseluruh bagian tempat penumpang di pesawat.

"Karena aku telah mengganti semua dekorasi pesawat ini sebelum kita menikah. Aku senang kau menyukainya." Jawabku sambil menatap wajahnya.

Hanna langsung mengalihkan pandangannya kepadaku. Dahinya mengernyit dan wajahnya terlihat bersemu merah, "Aku merasa tersanjung mendengar perkataanku Mr. Arthur. Tapi, kau jangan terlalu berlebihan." Jelasnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku tak perlu semua ini James, sungguh." Ucapnya tulus.

"Aku melakukannya karena aku sanggup, Hanna." Jawabku sambil menatap lekat matanya. Lagi-lagi Hanna menghembuskan nafasnya.

"Terserah kau saja, James. Aku mau tidur saja." Jawabnya malas sambil mengatur kursi penumpang agar lebih nyaman di pakai untuk beristirahat. Lalu ia mengambil sebuah penutup mata dan selembar selimut yang tebal. Setelah menggunakan kedua benda itu, Hanna langsung berbaring sambil mengangkat kedua kakinya. Dan beberapa menit kemudian aku bisa mendengar nafasnya yang mulai teratur.

Jumat, 13 September 2013

Tell Me It's Love (FanFiction)

Perkenalkan namaku Melvinna Julikova, tapi aku biasa dipanggil Vinna atau Julli. Aku lahir di keluarga yang biasa-biasa saja, tidak kurang maupun berlebihan.

Aku ini anak tunggal, no brother or sister. Banyak teman-temanku yang bilang kalau jadi anak tunggal itu menyenangkan. But not for me, aku benar-benar kesepian. Mommy dan daddy’ku sibuk bekerja, dari pagi hingga malam. Setiap hari sepulang sekolah rumah selalu kosong. Untunglah aku punya banyak teman, jadi aku tidak merasa kesepian.

Seperti hari-hari biasanya, pagi itu aku tergesa-gesa berangkat ke sekolah. Karena bis sekolahnya sudah menunggu dan sang supir bis sudah kesal. Karena dia terus membunyikan klakson.

“Bye, Mom. Bye, Dad,” ucapku sambil mencium pipi kedua orang tuaku sambil berlari keluar rumah. Mommy dan daddy sudah tidak aneh dengan kebiasaan burukku yang selalu susah untuk bangun pagi.

Segera saja aku memasuki bis dan langsung duduk di sebelah Tysha sahabat baikku sejak kecil.

“Ya ampun Vinn, jangan bilang kalau kamu terlambat lagi bangun,” tegur Tysha ketika aku sudah duduk di sampingnya.

“Hehehehe,” aku cuma tertawa menjawab pertanyaan dari sahabatku itu.

Tiba-tiba ada yang nyeletuk dari bangku belakang tempat aku dan Tysha duduk.

“Dia sih udah kayak kebo, jadi mana mungkin bisa berubah buat bangun pagi,” ujar orang yang duduk di belakang tersebut.

Ternyata eh ternyata si pemilik suara tersebut adalah Mark Feehily, cowok yang menyebalkan bagi Vinna. Karena tiap hari Vinna dan Mark selalu bertengkar.

Meskipun pada kenyataannya banyak sekali cewek-cewek yang tergila-gila sama Mark. Karena Mark termasuk salah satu cowok terpopuler dan tercakep di sekolah, bersama keempat temannya yaitu Nicky Byrne, Shane Filan, Brian McFadden dan Kian Egan.

Pasti kalian bertanya-tanya kan bagaimana aku bisa akrab dengan para cowok popular itu. Itu karena sahabatku tercinta pacaran dengan Nicky Byrne, otomatis kami sering berkumpul, belajar bahkan pergi jalan-
jalan bareng. Dan dari mereka berlima Mark-lah yang paling menyebalkan.

Dia selalu menggangguku, bahkan sampai membuatku menangis. Jauh berbeda dengan keempat temannya yang cool, baik dan ramah. Pokoknya Mark nggak ada bagus-bagusnya di mata aku.

***

Saat istirahat pun tiba. Aku dan Tysha pergi menuju kantin bersama-sama. Dan tentu saja Tysha dan Nicky duduk di satu meja yang sama bersama teman-temannya Nicky. Dan tentu saja si cowok menyebalkan itu pasti ada. Aku benar-benar malas, karena harus makan satu meja dengan dia. “Tuhan, kenapa aku harus selalu bertemu dengan cowok menyebalkan itu sih? Apa salah aku?” keluhku dalam hati.

Kali ini aku memilih untuk banyak diam selama makan, meskipun Mark terus-terusan berusaha untuk memancing emosi. Sampai akhirnya Mark cape sendiri karena aku tidak terpancing oleh keusilannya itu. Dan akupun tersenyum puas dalam hati.

“Eh, jadikan hari minggu besok kita pergi ke pantai?” Kian membuka suara.

“Jadilah, kamu ikutkan, sayang?” Tanya Nicky pada Tysha dengan mesra.

“Memang yang ikut siapa aja?” Tanya tysha.

“Aku, Nicky, Mark, Brian dan Kian,” jawab Shane.

“Ceweknya siapa? Jangan bilang cuma aku.” Jawab tysha dengan pasti.

“Ada pacarnya Shane, Kian sama Brian kok, sayang. Kamu ajak Vinna aja biar kamu ada temennya.” Tambah Nicky.

Aku yang sedang minum langsung
tersedak mendengar ucapan Nicky itu.

“No, aku nggak mau ikutan ah,” jawabku.

“Why? Please, kamu ikut, ya. Aku nggak ada temennya, Vinn,” Tysha memohon padaku.

“Tapi…” belum sempat aku menyelesaikan ucapanku Brian langsung bersorak.

“OK, sudah di putuskan. Vinna akan ikut sama kita pergi ke pantai hari Minggu besok.” Ucap Brian sambil berdiri.

Aku pun sudah tidak bisa menolak lagi. Sekilas aku melirik ke arah Mark dan dia tersenyum. Entah apa arti dari senyumannya itu. Well, mungkin dia senang karena dia bisa mengerjaiku lagi di sana nanti.

Sejak hari dimana kami merencanakan untuk pergi ke pantai, mereka semua sibuk bercerita tentang apa saja yang akan di lakukan di sana nanti. Padahal hari Minggu itu masih besok lusa, sekarang aja masih hari Kamis tapi mereka benar-benar terlihat happy dan sangat excited. Sepertinya para cowok itu sudah tidak sabar menunggu hari Minggu tiba.

***

Hari Minggu tiba, kami janjian di depan sekolah. Aku ikut mobilnya Nicky bersama Tysha. Setelah semuanya berkumpul kami pun segera berangkat menuju ke kawasan Strandhill. Ternyata mereka semua datang berpasangan. “Waduh jangan-jangan mereka mengajaku untuk mengenapkan jumlah saja lagi,” rutukku dalam hati.

Sepanjang perjalanan Nicky dan Tysha terlihat sangat mesra, bahkan nggak jarang Nicky mengecup lembut bibir Tysha. Dan aku benar-benar sangat risih melihat pemandangan di depanku saat ini. Akhirnya aku memilih untuk tidur saja, daripada harus melihat kemesrasaan mereka berdua sepanjang perjalanan.

“Eh, sayang, Vinna kok nggak
kedengaran suaranya, ya?” Tanya Nicky sambil terus menyetir mobilnya.

Tysha menengok kebelakang dan
mendapati Vinna sedang tertidur dengan pulasnya.

“She’s sleeping, honey.”

“Vinna tuh sama kayak Mark. Kalau pergi kemanapun pasti sukanya tidur.”

“Tapi, kok Mark sering banget ya ngejek Vinna tukang tidur. Padahal sendirinya juga sama-sama tukang tidur."

“Sayang, masa kamu nggak tahu sih kalau Mark itu orangnya gengsian. Jadi mana mungkin dia mau ngaku kalau tukang tidur juga.”

***

Di Strandhill Beach…
Tysha membangunkan aku dengan suara yang cukup nyaring.

“Iya, iya aku bangun.” Jawabku sambil manyun dan keluar dari mobil.

Setelah semuanya berkumpul merekapun mulai memperkenalkan pacar mereka masing-masing. Dan aku baru tahu kalau nama pacarnya Shane itu Gillian, pacarnya Brian Kerry dan pacarnya Kian bernama Jodi. Aku benar-benar minder, karena mereka memiliki wajah yang cantik, Tysha sahabat tercintaku juga memiliki wajah yang cantiknya setara dengan Gillian, Kerry dan Jodi.

“Hey, ayo berenang,” ajak Jodi.

Dan langsung di jawab setuju oleh Tysha, Gillian dan Kerry. Sedangkan aku hanya duduk dan diam memperhatikan lautan yang luas di depanku.

“Vinn, ikutan, yuk” ajak Gill padaku.

“Duluan, deh. Aku pengen nikmatin pemandangan laut yang biru dari sini,” jawabku. Padahal sih aku nggak bisa berenang.

“Oh, ya sudah deh. Kita tinggal dulu, ya,” jawab Kerry yang lalu pergi meninggalkanku dan menyusul yang lain.

Ternyata Kian membawa papan
surfingnya, ternyata Kian mahir bermain surfing. Pantas saja Jodi bisa jatuh cinta sama Kian, karena Kian memang keren.

Apalagi saat bermain surfing, wuihhh benar-benar keren.  Sedangkan yang lainnya asyik bermain volley pantai.

“Senangnya liat mereka. Apalagi mereka pasangan yang serasi lagi,” ucapku perlahan sambil memperhatikan mereka.

Di tengah lamunanku tiba-tiba Mark datang dan duduk di sampingku.

“Hey, tukang tidur. Ngapain kamu disini? Udah jauh-jauh datang kesini bukannya di nikmatin malah dipake bengong nggak jelas.”

“Sok tahu, memangnya datang ke pantai mesti selalu harus berenang, surfing, main pasir atau main volley? Nggak, kan.” Hardikku.

Tapi Mark tidak membalas perkataanku seperti biasanya. Dia cuma tersenyum sambil memandangku dan bikin aku deg
deg’an. Untung saja Mark langsung mengalihkan pandangannya ke arah laut.

Diam-diam akupun memperhatikannya. Ternyata Mark benar-benar tampan, dia punya mata yang indah dan menyejukkan hati. Aku buru-buru tersadar dari kekagumanku pada Mark sambil menggeleng-gelangkan kepalaku. Gawat ini gawat, jangan sampai kamu masuk perangkap pangeran narsis itu, Vinn.

“Kamu kenapa?” Tanya Mark dengan tatapan bingung.

“Nggak apa-apa, kok,” ucapku sambil memalingkan pandangan dari Mark dengan wajah yang memerah.

Mark cuma tertawa melihat tingkah konyolku itu. Sampai tiba-tiba dia mengambil novel yang sedang aku pegang dan berlari menuju laut.

“Hei, pangeran narsis. Balikin buku aku,” aku berteriak pada Mark.

“Nggak mau. Kalau bisa ambil aja sini,” dia menantang.

“Ishh, dia benar-benar menyebalkan.”

Dengan terpaksa aku pun mengejar dia, untuk menapatkan kembali novel kesayanganku itu. Dia benar-benar mempermainkan aku. Berlari kesana kemari, membuatku lelah. Sedangkan
yang lain cuma tersenyum melihat aku dan Mark berlari-lari seperti Tom and Jerry.

“Masa cuma segitu, sih. Masih kuat ngejar aku?”

“Mau ngerjain aku, ya.”

“Iya, aku mau bikin kamu bergerak,biar nggak duduk-duduk aja. Ayo, cepat. Jangan loyo gitu!”

Akupun kembali mengejar Mark sampai ke pinggir laut. Pakaian kami berdua sudah basah terkena ombak laut. Tanpa di sadari kami ternyata semakin ke tengah sampai akhirnya aku tenggelam.

“Ma…Mark. T..too..long aku..” sambil berusaha naik ke permukaan.

“Jangan bercanda, deh,” ucap Mark sambil berbalik.

Sampai tiba-tiba Tysha berteriak.
“Mark…. Vinna nggak bisa berenang. Cepetan tolong dia,” teriak Tysha dari pinggir laut.

Mendengar itu Mark langsung pucat dan segera menolong Vinna yang sudah tenggelam dan tidak sadarkan diri. Akhirnya Mark berhasil menyelamatkan Vinna.

“Vinn, ayo sadar, please.” Ucap Mark sambil terus memberikan pertolongan pertama pada Vinna.

Teman-temannya heran melihat Mark yang sangat panik dan ketakukan. Tidak seperti biasanya Mark seperti ini.

“Vinn, please. Open your eyes,”

“Coba kasih nafas buatan, Mark. Aku bisa kok,” Tysha menawarkan diri.

“Biar aku aja,” ucap Mark dengan
pandangan mata yang terus terfokus pada Vinna.

Mark pun memberikan nafas buatan pada Vinna. Dan setelah tiga kali Vinna pun terbatuk-batuk dan air laut yang tertelannya pun keluar semuanya. Mark langsung memeluk Vinna dengan sangat erat begitu Vinna sadar.

“Syukurlah, kamu sadar, Vinn. Aku bener-bener takut banget. Aku takut kamu kenapa-napa, Vinn,” Mark terus berbicara sambil memeluk Vinna.

Pemandangan yang nggak biasa itu bikin teman-temannya bertanya-tanya. Mungkin sebenarnya selama ini Mark menyukai Vinna, tapi Mark terlalu gengsi buat mengakui perasaannya itu.

Tapi, itu semua baru dugaan saja. Karena Mark ini susah banget di tebak isi hatinya.

***

Keesokkan harinya. Vinna tidak masuk sekolah, karena terserang demam yang tinggi. Mark yang tidak seharian melihat Vinna pun mulai mencari-cari informasi tentang keadaan Vinna. Sebelum bell, Mark mendatangi kelas Vinna untuk bertanya tentang keadaan Vinna pada Tysha.

“Tysha, Vinna masuk, nggak?” Tanya Mark.

“Vinna nggak masuk, Mark. Mommy’ny tadi telepon aku, katanya Vinna demam tinggi.”

“Apa! Vinna sakit?”

“Iya, Mark. Eh, tapi nggak biasanya deh kamu perhatian kayak gini sama Vinna. Jangan-jangan kamu suka ya sama dia?”

“Ah, enggak, kok. Mana mungkin seorang Mark Feehily jatuh cinta sama cewek kayak Vinna.”

“Jangan bohong, deh, Mark. Sudah terlihat sangat jelas, kok. Kalau kamu itu suka sama Vinna. Paniknya kamu waktu liat Vinna tenggelam kemarin tuh sudah jadi bukti dan tanda yang sangat jelas, Mark” Mark terdiam mendengar ucapan Tysha.

Dugaan Tysha memang benar dan tidak meleset sedikitpun. Sebenarnya sudah sejak lama Mark menyukai Vinna. Jauh
sebelum Nicky dan Tysha jadian. Karena menurut Mark, Vinna itu berbeda dengan kebanyakan cewek yang di kenalnya.

Vinna seperti punya dunianya sendiri dan nggak terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Meskipun penampilan Vinna biasa saja, tapi Mark bisa melihat kecantikan Vinna yang tersembunyi di balik penampilannya yang cuek itu.

Cuma satu hal yang bikin Mark belum mau mengakui perasaannya pada Vinna, karena Mark punya rasa gengsi yang besar.

“Mark.. Maaarrkkk,” suara Tysha
membuyarkan lamunan Mark.

“Hah! Apaan?” Mark tersadar dari lamunannya.

“Yeee, malah bengong. Udah bell, tuh. Cepetan masuk kelas sana. Nanti kita ketemu di kantin aja,” jelas Tysha.

“Oh, OK. Bye.” Mark langsung berlari menujun kelasnya karena takut Ms.Bella keburu masuk kelas.

Selama jam pelajaran berlangsung tidak ada satupun mata pelajaran yang masuk ke otaknya. Saat ini yang ada
di pikirannya cuma Vinna seorang.

***

Di kantin. Ketika teman-temannya asyik mengobrol sambil menikmati makanan mereka, Mark hanya memainkan makanan di piringnya tanpa sedikitpun menyentuhnya. Kerjaan dia cuma melamun melamun dan melamun.
Hari ini sikap Mark bikin teman-temannya bingung.

“Eh, Mark kenapa, tuh. Dari pagi aneh banget.” Ucap Brian.

“Tahu nggak, di kelas aja kerjaannya cuma bengong aja. Nggak memperhatikan pelajaran.” sambung Shane.

“Aku tahu Mark kenapa,” ucap Tysha sambil tersenyum.

“Apa, sayang?” Tanya Nicky penasaran.

Tapi Tysha nggak menjawab pertanyaan Nicky. Dia malah menuliskan sesuatu di secarik kertas lalu memberikannya pada Mark. Ternyata yang ditulisnya adalah alamat rumah dan nomor ponselnya Vinna.

“Apa ini?” Tanya Mark sambil
mengernyitkan dahi.

“Baca aja, Mark. Aku tahu, kok kalau kamu memerlukannya,” jelas Tysha sambil tersenyum.

Setelah membaca tulisan di kertas tersebut, roman wajah Mark langsung berubah dengan mata yang berbinar- binar dia berkata,” Tysha, thanks banget, ya. This is what I need.”

Setelah mendapatkan alamat dan nomor ponsel Vinna, Mark pun kembali bersemangat seperti biasanya. Ketika jam pelajaran usai. Mark langsung menghilang tanpa sepengetahuan teman-temannya.

“Shane, Mark kemana?” Tanya Kian.

“Nggak tau, Ki. Tadi pas bell langsung pergi dia. Nggak tau, deh mau kemana," jawab Shane sambil mengangkat bahunya.

“Jangan-jangan kesambet dia, ya. Habis hari ini kelakuannya sangat aneh." Sambung Brian.

“Orang lagi jatuh cinta, ya kayak gitu.” Celetuk Tysha.

“Mark lagi jatuh cinta?” Tanya Nicky heran.

“Iya, sebenernya Mark itu suka sama Vinna. Cuma Mark malu buat mengakuinya. Kalau nggak suka ngapain dia panik banget waktu abis nolongin Vinna tenggelam? Terus buat apa juga tadi pagi dia dating ke kelas cuma buat nanyain keadaan Vinna.” Jelas Tysha.

“Iya juga ya. Pantesan Mark seneng banget gangguin Vinna. Ternyata di balik semua sikapnya itu Mark menyimpan perasaan cinta sama Vinna.” Sambung Shane.

“Jadi, kira-kira Mark kemana?” Tanya Kian lagi.

“Ya ampun, Kian. Masih aja nanya Mark kemana. Lemotnya kambuh ihh. Udah jelaslah kalau sekarang Mark lagi ada di rumahnya Vinna” jelas Brian gemas.

***

Di depan rumah Vinna…
Dengan ragu-ragu Mark memberanikan diri untuk menekan bell rumah Vinna. Beberapa saat kemudian Vinna membukakan pintu. Tentu saja vinna kaget melihat Mark ada di depan pintu rumahnya.

“Mark? Mau apa kamu? Ah, pasti Tysha yang kasih tau alamat rumah aku.” Cerocos Vinna.

“Vinn, kamu udah mendingan, kan?” Tanya Mark lembut.

Vinna langsung terkatup mendengar ucapan Mark tidak seperti biasanya.

“Aku boleh masuk?” Tanya Mark lagi.

“Oh, Ok. Silakan.” Vinna mempersilakan Mark masuk ke dalam rumah. Mark pun masuk dan duduk di ruang tamu.

“Mau minum apa?”

Nanti aja, deh. Ngomong-ngomong kok sepi sih? Orangtua, kakak sama adik kamu kemana, Vinn?”

“Mommy sama daddy kerja, Mark. Aku anak tunggal.”

“Oh gitu, ya. Eh, keadaan kamu sekarang gimana? Apa perlu ke rumah sakit?”

“Nggak perlu samapai ke rumah sakit, kok. Aku cuma kena demam biasa aja.”

“Maaf, ya. Kalau bukan gara-gara keisengan aku mungkin kamu nggak akan tenggelam. Sungguh, aku benar-benar nggak tau kalau kamu nggak bisa berenang, Vin.”

“Udahlah, Mark. Lupain aja, aku tau kok kalau kamu nggak sengaja dan nggak bermaksud buat seperti itu.”

Mendengar ucapan Vinna, Mark cuma terdiam sambil memandang mata Vinna dengan lekat. Tentu saja Vinna jadi salah tingkah. Apalagi berhadapan langsung dengan cowok seganteng Mark dengan jarak yang sangat dekat cuma lima cm.

Dan semakin lama Mark semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Vinna. Lalu Mark pun mengecup bibir Vinna. Dan Vinna cuma bisa mematung dengan kejadian yang baru saja di alaminya barusan.

“Vinn, maaf. Tapi asal kamu tau, kalau sebenarnya aku suka sama kamu. Sudah sejak lama, Vinn. Dan hari ini aku pengen mengungkapkan perasaan aku sama kamu.Aku juga pengen kamu jadi pacar aku. Kamu mau kan, Vinn?”

Ya ampun, aku benar-benar kaget mendengar pengakuan Mark. Aku sendiri bingung, harus senang atau tidak mendengar semua ini. Mark Feehily, cowok cakep yang pintar dan jadi rebutan banyak cewek menyatakan suka padaku. Pada Melvinna julikova, cewek yang biasa-biasa saja.

“Vinn, I need your answer right now!!!”

“Mark… Aku… Aku, juga perasaan yang sama kayak kamu. Tapi aku nggak berani berharap buat bisa pacar kamu. Karena aku cukup tau diri. Kita benar-benar berbeda Mark. Aku kaget denger ucapan kamu.”

“Jadi, kamu mau jadi pacar aku, Vinn?”

Vinna Cuma mengangguk sambil tersenyum. Lalu Mark lanngsung memeluk Vinna dengan penuh kasih sayang. Sambil menciumin kening Vinna terus menerus. Yup, dan akhirnya hari itu Mark dan Vinna resmi pacaran.

“Mark, tell me it’s love?”

“Yes, princess. This is love and I love you so much.”

Tiga bulan sudah Mark dan Vinna
pacaran. Tentu saja teman-teman mereka berdua sangat senang sekali. Karena pada akhirnya Mark menemukan cewek yang tepat, yang mengerti dia apa adanya.

Sampai pada suatu hari di sekolah mereka kedatangan siswa baru
dan kebetulan satu kelas dengan Vinna dan Tysha. Siswa baru itu bernama Yuri.

Yuri ini mempunyai wajah yang cantik, namun sayang sifat dan perangainya benar-benar tidak secantik wajahnya. Yuri ini sangat sombong sekali. Bahkan
Yuri terang-terangan mendekati Mark.

Vinna saat ini masih bisa bersabar
melihat kekasih tercintanya di kejar-kejar oleh Yuri. Apalagi Yuri ini cewek yang sangat agresif.

Di kantin..

“Mark, bisa aku bicara sama kamu
sebentar?” tiba-tiba Yuri dating
menghampiri meja Mark dan teman-temannya.

Mark memandang Vinna dan teman-temannya. Tapi mata mereka mengatakan “tidak tau”. Mark berdiri dan menghadap
Yuri.

“Mau bilang apa kamu? Aku nggak punya banyak waktu, buat ngelayanin cewek sombong kayak kamu.” Ucap Mark ketus.

“Aku Cuma mau kasih kamu ini..” tiba-tiba Yuri mendaratkan sebuah ciuman di bibir Mark.

Bukan cuma Mark yang kaget tapi teman-temannya pun ikut kaget. Apalagi Vinna, dia langsung tersedak, melihat kekasih tercintanya di cium cewek lain.

“Apa-apaan kamu?” ucap Mark marah.

“Aku cuma pengen kamu jadi cowok aku. Apa masih belum jelas juga.” Jawab Yuri dengan ganjennya.

“Aku udah bilang berapa kali. Kalau sampai kapanpun aku nggak sudi jadi pacar kamu!”

“Denger, Mark. Sekalipun kamu bilang udah punya pacar. Aku bakalan terus ngejar kamu. Karena aku bakalan bikin kamu sama pacar kamu itu putus, inget
itu, Mark!!” ancam Yuri.

Vinna hanya tertunduk sambil  menangis terisak.

“Princess, why you cry? Don’t be afraid. Karena sampai kapanpun aku nggak pernah berpaling dari kamu!” ucap Mark sambil memeluk Vinna.

“Iya, Vinn. Si cewek sombong itu pasti cuma menggertak aja”Hibur Nicky.

Kata-kata dari kekasih tercinta dan teman-temannya bisa membuat Vinna tenang. Meskipun setelah kejadian itu, Vinna masih selalu merasa resah. Dan hal yang di takutinya pun terjadi juga.

Yuri akhirnya tau bahwa dirinyalah kekasih Mark. Vinna terus-terusan mendapatkan ancaman dari Yuri. Tapi Vinna masih diam dan sabar. Meskipun
Tysha sudah sangat marah melihat perlakuan Yuri pada Vinna. Sudah beberapa kali Tysha akan melaporkan hal ini pada Mark, tapi Vinna selalu melarangnya dan menyuruhnya untuk diam. Padahal tak jarang Vinna mendapatkan kekerasan fisik dari Yuri.

“Denger ya, Vinn. Kalau sampai besok kamu belum juga mau memutuskan Mark. Aku pastiin kamu akan mengalami hal yang lebih buruk dari ini. Dan jangan harap kamu bisa melihat matahari terbit lagi.”

Itulah isi pesan singkat dari Yuri kepada Vinna. Dan Vinna hanya bisa menghela nafas sambil mengelus dadanya saja. Dan berusaha tidak terpancing oleh ancaman itu. Vinna yakin semakin berat cobaan yang menimpa hubungannya dengar Mark.
Akan semakin kuat pula cinta mereka berdua.

Dan batas waktu yang diberikan
Yuri sudah lewat. Yuri masih saja melihat kemesraan Mark dan Vinna. Malam itu Vinna di ajak Mark menemui orang tuanya di kota Sligo dan ada kemungkinan Vinna akan menginap di rumah Mark.

***

Orangtua Mark dan kedua adik laki-lakinya sangat menyukai Vinna, karena Vinna adalah gadis yang baik. Malam itu Vinna begadang bersama keluarga Feehily, mereka berbincang dan bercanda. Benar- benar keluarga yang sempurna, itulah penilaian Vinna tentang keluarga kekasih tercintanya itu.

Lama-lama Yuri cape sendiri. Meskipun sudah berkali-kali mengancam bahkan menjahati Vinna. Tetap saja tidak membuat Vinna gentar dan mundur. Vinna tetap mempertahankan cintanya, meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri.Akhirnya, Yuri pindah ke sekolah lain. Karena dia tidak bisa mendapatkan Mark.

Dan sejak saat itu hubungan Mark dan Vinna semakin kuat. Bahkan ketika lulus sekolah dan melanjutkan ke universitas mereka berdua masih tetap pacaran.

Apalagi kedua orangtua masing-masing sudah saling bertemu dan memberikan restu. Begitupun juga dengan teman-teman mereka berdua, yang awet dengan pasangannya masing-masing.

Melvinna quotes “Loves come without warning. Karena kita nggak pernah tahu cinta itu ada dimana dan kapan datangnya. Bisa jadi orang yang menurut kita menyebalkan bisa jadi cinta sejati kita. Tell me it’s love.”

`~THE END~`