Sabtu, 16 Maret 2013

LOVE DOESN'T HAVE TO HURT

yupyup akhirnya selesai juga this is your birthday prize Dhee, sorry for the lately... heheheheheheh... Maaf kalo ceritanya aneh dan nggak nyambung terus jauh dari yang di harapkan tapi semoga aja masih bisa dinikmati dan di baca ceritanya...
sooo here this and please enjoy it :D
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Love Doesn’t Have To Hurt

“Asya, Lila… Aku pulang duluan, ya.” Pamitku kepada kedua sahabatku.
                “Hati-hati di jalan, Dhee.”
                “Tentu saja, Sya. Aku pasti akan berhati-hati.”
                “Jangan lupa besok kita ada janji pergi ke took buku bersama.”
                “Aku ingat, Lila. Bye.”
                Aku langsung keluar dari perpustakaan yang berada di kampus. Ketika aku sudah sampai di pintu. Tiba-tiba ada seseorang yang menghalangi jalanku. Gale. Nama itulah yang langsung terlintas di dalam kepalaku. Dan ternyata tebakanku tidak meleset.
                “Hai Dhee…” sapanya sambil memamerkan gigi-giginya yang putih dan berbaris rapi kepadaku.
                “Oh, hai Gale. Aku kira siapa, aku duluan ya. Bye.” Aku bergegas untuk melanjutkan perjalananku menuju ke parkiran mobil. Namun Gale mengikutiku.
                “Tunggu Dhee, bagaimana jika aku antar kau pulang?”
                “Tidak terima kasih, Gale. Aku membawa mobilku sendiri.”
                “Ayolah, Dhee. Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat.”
                “Lain kali saja, Gale. Aku membawa mobilku.” Aku terus berjalan dan tidak menghiraukan Gale. Namun pria tampan itu tetap saja mengikutiku. 
                Sebenarnya Gale itu pria yang baik dan tampan. Banyak sekali wanita yang mengejar-ngejarnya di universitas ini. Gale selalu di kelilingi oleh wanita-wanita cantik. Sebenarnya aku menyukai Gale, demi Tuhan hanya wanita bodoh yang tidak akan tertarik dan jatuh cinta kepada Gale.
                Namun yang membuatku mengambil keputusan untuk mengacuhkannya adalah karena Gale selalu memperlakukan wanita seenaknya. Sepertinya wanita-wanita itu tidak ada harganya di matanya. Dan aku tidak ingin menjadi wanita yang seperti itu. Menjadi wanita yang dengan mudah takluk ke pelukan Gale.
                Aku tidak akan mudah untuk di takluklan, dan hasilnya saat ini Gale terus saja mengejar-ngejarku. Bahkan ia mulai mengacuhkan wanita-wanita mainannya itu, karena dia hanya ingin menunjukkan bahwa ia sudah berubah dan hanya akan mencintaiku. Haruskah aku percaya dengan semua perkataannya?
                “Dhee…” Gale terus saja mengikutiku, dan berhasil menghentikan langkahku.
                Aku membalikan tubuhku sambil berkacak pinggang, “Berhenti untuk mengikutiku, Gale. Kau membuatku rishi, tahu.” Aku memelototinya.
                “Aku tidak akan pernah berhenti untuk mengejarmu, Dhee. Aku akan terus seperti ini sampai kau berhenti mengacuhkanku. Kau tahu Dhee, jika sedang marah seperti ini kau terlihat sangat cantik sekali. Bunga mawar yang tumbuh di taman rumahkupun tdak secantik wajahmu.”
                “Berhati-hatilah pada Bungan mawar, Gale. Atau kau akan tertusuk duri bunga itu.”
                “Aku tidak peduli, Dhee. Aku rela tertusuk oleh duri`-durimu, asalkan aku bisa bersama denganmu.”
                “Terserah kau saja, Gale. Kau benar-benar sangat konyol.”         
                “Aku tak peduli, sayang. Jika menjadi konyol bisa membuatmu membuka hati untukku, akan aku lakukan.”
                Aku membelakakan mataku dengan mulutnya terbuka, ingin rasanya aku tertawa mendengar ucapan Gale itu. Namun lagi-lagi aku menahannya dan hanya tertawa dalam hati saja. Pria setampan Gale yang terkenal sebagai seorang playboy rela menjadi seseorang yang konyol hanya untuk menarik perhatianku saja. Ya ampun.
                “Sudahlah Gale, aku mau pulang. Menyingkir dari depan mobilku.”
                Dengan wajah yang sedih Gale menyingkir dari depan pintu mobilku. Aku buru-buru masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. Namun Gale masih berdiri teepat di depan moblku. Aku menurunkan kaca jendela.
                “Gale… Bisakah kau menyingkir. Aku ingin pulang.”
                Akhirnya aku bisa terbebas dari kejaran Gale. Aku sebenarnya sudah mulai merasa rishi dengan kelakuannya. Setiap hari dia selalu saja menggangguku di kampus, di manapun aku berada Gale pasti akan berada di tempat yang sama denganku. Asya dan Lila sudah sering sekali menyuruhku untuk menerima Gale. Namun aku tetap menolaknya, aku belum merasa yakin pada hatiku. Gale belum cukup meyakinkan hatiku.
***
                Keesokan harinya sepulang dari kampus aku, Lila dan Asya pergi ke took buku bersama-sama. Jika sudah berada di sana kami bertiga akan lupa waktu, karena membaca buku adalah hal yang paling kami sukai. Setelah selesai kami pergi ke rumah Asya untuk mengerjakan tugas bersama-sama.
                “Dhee, mau sampai kapan kau terus-terusan bersikap dingin kepada Gale? Aku tahu bahwa Gale itu seorang playboy. Tapi apakah kau tidak bisa melihat perubahannya sekarang? Semenjak bertemu denganmu Gale menghindari semua wanita yang biasa mengejar-ngejarnya.
                “Aku tahu Lila, hanya saja… Entahlah, aku bingung dengan perasaanku saat in.”
                “Berhenti menyangkal perasaanmu sendiri, Dhee. Kami berdua tahu bahwa kau sebenarnya memiliki perasaan juga kepada, Gale. Ah, jangan bilang bahwa kau masih teringat dengan Adam.”
                “Bisakah kita hentikan pembicaraan ini dan menyelesaikan tugas kita ini? Kumohon.”
                “Baiklah.” Lila dan Asya menjawab bersamaan.
                Namun aku tidak bisa berkonsentrasi dan focus dengan apa yang sedang aku kerjakan saat ini. Pikiranku langsung menerawang pada kejadian yang terjadi satu tahun yang lalu.
                “Dhee, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Takkan ada wanita lain dalam hidupku, karena kau satu-satunya wanita yang berhasil meluluhkanku.”
                Mendengar ucapannya itu wajahku langsung bersemu merah, aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku, “Adam, aku juga sangat mencintaimu dan aku juga sangat mempercayaimu. Aku percaya bahwa kau tidak akan pernah menyakitiku.”
                “Terima kasih karena sudah mau mencintaiku dan mempercayaiku, Dhee. I love you.” Adam lalu mencium bibirku.
                Selama dua tahun aku berpikir bahwa Adam benar-benar mencintaiku dan ia memang tidak pernah menyakitiku. Itulah pemikiran awalku, pemikiran yang selama ini aku pelihara. Sampai pada suatu hari, ketika aku pergi berjalan-jalan bersama kedua sahabatku Lila dan Asya. Kami jarang bertemu karena aku memilih universitas yang sama dengan Adam daripada bersama dengan kedua sahabatku.
                Ketika sedang mengobrol di sebuah kedai kopi Asya melihat Adam sedang bersama seorang wanita. Awalnya aku tidak mempercayai ucapan Asya sampai pada akhirnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri.
                “Apakah kau ingin menyelidikinya, Dhee? Aku dan Asya pasti akan membantumu,”
                “Ya, aku ingin tahu apa yang sering Adam lakukan di belakangku, La. Aku harus mengetahuinya,”
                “Bersikaplah seperti biasa jika bertemu dengan Adam. Kami akan menyelidikinya diam-diam, siapa tahu Adam sedang bersama saudaranya.”
                “Terima kasih, karena kalian berdua selalu ada di saat aku membutuhkan seseorang untuk mengadu dan berkeluh kesah.”
                “Itulah gunanya sahabat, Dhee. Kami takkan pernah meninggalkanmu sendiri dalam keterpurukan.” Ucap Lila sambil menepuk bahuku, “Aku kita membicarakan topic yang lain saja setuju, kan?”
                Sejak hari itu aku mulai menyelidiki segala aktifitas yang di kerjakan Adam di belakangku di temani oleh Lila dan Asya. Adam sering sekali pergi keluar dengan wanita yang berbeda-beda, aku jadi tahu alas an dia sebenarnya mengapa hanya mengunjungiku di siang dan sore hari saja, itupun hanya sebentar. Ya Tuhan… semua cinta, kesetian dan kepercayaan yang aku jaga dan yang aku berikan kepada Adam ternyata sia-sia. Adam mengkhianatiku… Adam menghancurkan semua keperayaan itu.
                Puncaknya adalah ketika aku memergokinya sedang bersama dua orang wanita di apartemennya. Adam dan kedua wanita itu tanpa mengenakan sehelai pakaianpu.
                “Apa maksud dari semua ini, Adam?” akhirnya aku berhasil mengeluarkan suaraku, “ Kau… Kau…” aku langsung berbalik pergi meninggalkan tempat itu.
                Samar-samar aku mendengar suaranya memanggil-manggil namaku. Dengan tergesa-gesa aku masuk ke dalam mobil sambil membanting keras pintunya dan meninggalkan tempat itu dengan kecepatan yang sangat tinggi.
                Aku harus berhenti sebanyak tiga kali sebelum akhirnya sampai ke rumah. Karena mataku berkabut, pandanganku kabur Karena air mataku yang terus menerus keluar tak henti-hentinya. Sesampainya di rumah aku langsung mengunci diriku di dalam kamar. Masuk ke dalam kamar mandi, membiarkan air membasuh dan mendinginkan tubuhku yang sangat panas itu dan bercampur dengan air mataku.
                Hatiku hancur berkeping-keping, semuanya bukan hanya hati saja. Oh ya Tuhan, mengapa Adam tega berbuat seperti ini kepadaku? Padahal aku sangat mencintainya dengan tulus sepenuh hatiku, aku sangat mempercayainya. Tapi… tapi mengapa ia tega berbuat seperti ini di belakangku?
                Aku menangis terisak sambil memeluk kedua lututku di dalam bathtub. Sedangkan air terus membasuhin tubuhku tanpa henti. Setelah tubuhku menggigil barulah aku beranjak dari sana, mengeringkan tubuhku, lalu berbaring di atas tempat tidurku setelah berpakaian. Kembali menangis.
                Setelah kejadian itu Adam terus saja mendekatiku untuk meminta maaf. Jangankan untuk memberinya kata  maaf. Untuk memandang wajahnya saja aku sudah tak sudi. Seperti hari itu, Adam menghadang langkahku, ketika aku akan pulang dan berjalan ke parkiran mobil.
                “Dhea sayang, aku mohon. Kau harus mendengarkan dulu semua penjelasan dariku. Semua ini hanya kesalah pahaman saja, saying.”
                “Kesalah pahaman kau bilang?” suaraku yang meninggi membuatnya terkejut, “Enyah dari kehidupanku, Adam. Tinggalkan aku sendiri karena semuanya sudah berakhir, aku muak melihat wajahmu.”
                “Demi Tuhan, Dhea. Aku sangat mencintaimu dan menyayangimu, aku tak ingin berpisah denganmu, Dhea.”
                “Tidak Adam, persetan dengan semua yang kau ucapkan. Dengar aku takkan pernah mau kembali lagi denganmu dan jangan harap kau bisa kembali membodohiku. Sekarang menyingkir dari hadapanku.” Aku kembali berteriak kepadanya dan Adam pun menyingikir membiarkanku lewat.
                Aku buru-buru masuk ke dalam mobil sambil membanting pintu. Lalu menyalakan mobilku, terdengar suara ban berdecit ketika aku menjalankan mobilku keluar dari area parkir di kampus. Aku bersumpah dalam hati akan menjauhi Adam, bahkan aku akan pindah dari kampus ini. Aku akan pindah ke kampus tempat Asya dan Lila berkuliah saat ini.
                Mungkin salah satu kesalahanku saat itu adalah aku tidak memilih untuk bersama kedua sahabatku. Namun nasi sudah menjadi bubur, yang sudah terjadi takkan pernah bisa di ulangi lagi. Luka ini takkan bisa sembuh. Aku tak tahu sampai kapan luka ini akan terus menganga seperti ini. Sejak kejadian itulah hatiku membeku, namun ketika bertemu dengan Gale semuanya berubah.
                Meskipun aku tahu dan melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Gale itu seorang playboy namun entah mengapa aku merasa bahwa ia benar-benar tulus mencintaiku. Tapi semua itu tak cukup untuk meyakinkan hatiku yang sudah terlanjur merasa kesakitan karena pengkhianatan. Aku membutuhkan lebih banyak pembuktian dari Gale, agar aku bisa kembali percaya.
                Tiba-tiba aku merasakan seseorang menepuk pundakku dan ingatan tentang kejadian yang menyakitkan itu langsung buyar.
                “Kau tidak apa-apa, Dhee?”
                “Ah, ya aku baik-baik saja Lila. Maaf aku tadi melamun.”
                “Jangan bilang bahwa kau kembali mengingat Adam. Demi Tuhan Dhee, pria seperti Adam tidak pantas kau tangisi, pria brengsek itu benar-benar tidak pantas.”
                “Aku tahu, Sya. Maafkan aku… Karena entah mengapa tiba-tiba ingatan itu muncul lagi.”
                “Aku tahu rasa sakit yang kau rasakan saat ini, Dhee. Sekarang cobalah kau buka hatimu untuk Gale dan ya aku tahu Gale itu seorang playboy. Kau pasti melihatnya sejak pertama kali pindah kuliah, bukan. Namun sejak melihatmu Gale langsung berubah, ia tidak lagi tebar pesona kepada para wanita di kampus. Yang ada dia malah menghindari wanita-wanita itu, karena ia sangat mencintaimu dengan tulus, Dhee.”
                “Aku tahu Lila, hanya saja… Hanya saja aku butuh pembuktian yang lebih dari Gale, La.”
                “Apakah kau ingin melihat Gale melompat dari atas gedung untuk membuktikannya kepadamu? Aku yakin Gale akan melakukannya.”
                “Lila, mengapa kau sangat yakin sekali bahwa Gale akan melompat dari atas gedung jika aku memintanya. Jangan bercanda.”
                “Aku tidak bercanda, Dhee. Jika kau tidak percaya kau bisa membuktikannya.” Ucap Lila sambil mengangkat bahunya.
                Lagi-lagi aku terdiam mendengarkan ucapan Lila. Apakah selama ini aku sudah bersikap keterlaluan kepada Gale? Mungkin seharusnya aku bisa lebih sedikit ramah kepada Gale. Mungkin aku akan melakukannya secara perlahan-lahan mulai besok, bukankah semua pria itu tidak sama.
***
                Meskipun aku sudah berniat untuk bersikap lebih lunak dan lebih ramah kepada Gale. Namun pada kenyataannya itu semua sangat sulit sekali. Setiap kali berpapasan dengannya bibirku langsung terasa kaku setiap kali aku ingin memberikan senyuman kepadanya.
                “Dhee…”
                “Berhenti mengangguku, Gale.” Tiba-tiba saja aku membentaknya.
                “Sampai kapan kau bersikap seperti ini kepadaku, Dhee. Tak cukupkah apa yang sudah aku lakukan selama ini untuk meyakinkanmu?”
                “Aku akan terus bersikap seperti ini, Gale. Sampai kau berhenti menggangguku lagi, kau mengerti?” aku berbalik dan bersiap untuk pergi dari tempat itu.
                “Baiklah, jika aku memang tidak memiliki kesempatan itu dan memang ini yang kau inginkan. Aku berjanji akan menjauh dari kehidapanmu, Dhee. Aku takkan mengganggumu lagi, maaf jika selama ini aku selalu mengganggumu, Dhee. Selamat tinggal.” Suara Gale bergetar ketika mengucapkan itu dan semakin membuat hatiku terasa sakit.
                Ya Tuhan, mengapa hatiku terasa begitu sakit mendengar Gale mengucapkan selamat tinggal? Ada sebenarnya dengan diriku ini, Tuhan. Harusnya aku merasa senang karena Gale sudah berjanji takkan menggangguku lagi, tapi… tapi mengapa hatiku malah terasa sangat sakit seperti ini.
                Semenjak hari itu Gale jadi bersikap dingin kepadaku, jika berpapasan ia tidak menyapa atau menoleh kepadaku. Sudah hampir seminggu Gale bersikap seperti itu kepadaku. Aku jadi teringat kata-kata Lila beberapa waktu lalu, Gale akan melakukan apapun yang aku minta. Dan sekarang terbukt sudah, bahwa Gale benar-benar mendengarkan kata-kata yang terucap dari bibirku seminggu yang lalu.
                Hari-hariku menjadi terasa kosong dan hampa. Aku merindukan sosok Gale yang selalu terlihat ceria meskipun aku selalu bersikap tidak ramah kepadanya. Demi Tuhan, aku sangat merindukan kehadirannya. Perbuatan-perbuatan konyolnya yang diam-diam selalu membuatku tertawa ketika mengingatnya.
                Ya Tuhan, aku mencintai Gale ya aku mencintainya. Andai saja waktu dapat kuputar kembali. Aku takkan memintanya untuk pergi menjauh dari hidupku. Namun semuanya sudah terlambat, Gale sekarang berada di luar jangkauanku. Aku tak mungkin menggapainya dan memperbaiki semuanya. Terlambat sudah, hanya penyesalan dan penyesalan yang aku rasakan saat ini.
***
                Saat ini aku sedang berusaha untuk menjalani hari-hariku yang membosankan ini menjadi menyenangkan. Bersikap menyesal terus menerus takkan bisa memperbaiki semuanya menjadi seperti semula. Karena lagi-lagi nasi sudah menjadi bubur dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Gale sepertinya sudah tidak memiliki perasaan apapun lagi untukku.
                Seperti hari itu aku berada di kampus hingga malam, karena masih banyak sekali tugass-tugas yang harus aku selesaikan. Sedangkan Lila dan Asya sudah pulang sejak tadi sore. Keadaan di sekitar kampus sudah mulai lengang dan sepi. Aku berjalan tergesa-gesa menuju parkiran. Ketika aku hendak membuka pintu mobilku tiba-tiba ada seseorang yang memelukku dari belakang dan membekap mulutku.
                Aku berusaha untuk berontak dan melepaskan diri dari pelukan orang yang tak kukenal ini. Namun tenaganya jauh lebih besar dari tenagaku, aku hanya bisa pasrah saat tubuhku di seret menuju ke belakang kampusku. Dengan kasar orang itu menghempaskan tubuhku ke atas rumput.
                “Awww…” aku memekik kaget sambil berusaha bangun tubuhku langsung kaku ketika melihat wajah orang yang sudah membekapku, “ADAM?”
                “Benar sayang, ini aku. Rupanya kau masih bisa mengenaliku dengan sangat baik sekali.”
                “Mau apalagi kau?”
                “Aku rasa kau tahu apa yang aku inginkan, sayang.” Adam mendekatiku, membungkuk dan membelai wajahku.
                Aku langsung menepis tangannya,”Jangan sentuh aku, Adam.”
                “Jangan galak seperti itu, sayang. Tapi tidak apa-apa, teruslah bersikap seperti itu karena kau membuatku semakin menginginkanmu, cantik.”
                “Jangan macam-macam atau aku akan berteriak.”
                “Berteriaklah sekencang yang kau bisa, cantik. Karena takkan ada yang bisa mendengarkanmu.” Adam lalu tertawa.  
                Aku berniat untuk berlari dari tempat itu namun Adam dengan sigap langsung menarik kembali tanganku. Dia memeluk tubuhku dan mulai berusaha untuk menciumku. Tubuhku berontak untuk menghindari ciumannya.
                “Lepaskan aku, brengsek.” Aku berteriak sambil berusaha melepaskan diri dari pelukannya yang semakin erat dan mulai membuat tubuhku menjadi sakit.
                “Tidak akan, sayang. Selama ini belum pernah ada wanita yang menolakku kecuali kau. Dan itu membuatku semakin bernafsu untuk menaklukanmu, Dheandra.”
                “Jangan mimpi, kau hanya pria pengecut dan brengsek, Adam.”
                “Jangan coba-coba untuk melawanku, Dhea.” Ekspresi wajah Adam berubah menjadi menyeramkan. Lalu ia mendorong tubuhku hingga aku tersungkur kembali di atas rumput.
                “Awww…”
                “Sudah kubilang agar tidak melawanku. Karena aku tidak ingin melukai wajah cantikmu itu, Dhea.” Lalu Adam mengeluarkan sebuah pisau lipat dari dalam saku celananya.
                “Kau… Apa yang akan kau lakukan?” aku mulai merasa ketakutan ketika melihatnya mengeluarkan pisau itu.
                “Pisau ini tidak segan-segan akan melukai wajah cantikmu itu jika kau terus melawanku, Dhea.”
                “Tidak… Kau tidak akan berani berbuat sepert itu.” Aku merasakan ujung mataku yang mulai memanas karena ketakutan.
                “Aku pasti akan melakukannya, cantik. Karena aku bukan lagi Adam yang dulu kau kenal.”
                Adam semakin mendekatiku, tangannya menarik kemeja yang kupakai hingga sobek. Dan air mataku sudah tak bisa aku tahan-tahan lagi, aku memohon-mohonpun ia tak mendengarnya. Justru itu  malah membuatnya semakin beringas.
                “Kau akan menjadi milikku, Dheandra.” Namun tiba-tiba tubuh Adam tersungkur ketanah dan aku melihat Gale berdiri di depanku.
                “Jangan mimpi, Dheandra hanya akan menjadi milikku.” Gale lalu beralih kepadaku, membantuku berdiri dan memakaikan jaketnya kepadaku. “Apa kau terluka?”
                “Tidak Gale…” jawabku dengan suara yang bergetar.
                Namun tiba-tba Adam bangun dan langsung memukul Gale hingga tersungkur ke tanah.
                “Siapa kau berani-beraninya merusak kesenanganku.”
                “Aku adalah pria yang sangat mencintai dan menghormati, Dhee. Tidak sepertimu yang berlakukuan tidak bermoral.”
                Gale bangun dan langsung memukul kembali Adam. Aku hanya bisa diam sambil ketakutan melihat Gale dan Adam sedang terlibat baku hantam. Aku sangat takut Gale akan terluka, apalagi Adam sedang memegang senjata.
                Setelah cukup lama terlibat baku hantam, Gale berhasil membuat Adam tidak berkutik lagi. Lalu Gale menghampiriku sambil sempoyongan.
                “Kau tidak apa-apa, Dhee?”
                “Aku tidak apa-apa, Gale. Ya Tuhan, kau terluka Gale.”
                “Tidak, aku tidak apa-apa, Dhee.” Namun tubuh Gale langsung ambruk.
                “Demi Tuhan, aku harus membawamu ke rumah sakit, Gale.” Aku mulai menangis melihat Gale tak sadarkan diri di hadapanku. “Gale… ayo banging Gale… Buka matamu…” ucapku sambil menangis, “Jangan tinggalkan aku Gale… Aku… Aku mencintaimu Gale, maafkan aku karena selama ini bersikap buruk kepadamu… Demi Tuhan, aku sangat mencintaimu Gale, ayo bangun… Gale…” aku menangis sambil memeluk tubuh Gale
                “Apakah kau benar-benar mencintaiku?”
                “Gale… Jangan-jangan kau mengerjaiku.”
                “Ya, aku memang mengerjaimu selama ini, Dhee. Aku menunggu kau mengucapkan kata-kata itu. Ayo, ucapkan sekali lagi bahwa kau benar-benar mencintaiku.”
                “Ya, aku mencintaimu Gale. Sangat sangat mencintaimu, maafkan aku.”
                Gale langsung mengecup lembut keningku, “Aku juga sangat mencintaimu, Dhee.”
                “Gale, aku harus membawamu ke rumah sakit.”
                “Tidak, ini hanya luka kecil. Aku ingin pulang ke rumah saja dan di rawat oleh kekasihku.”
                “Aku belum bilang bahwa aku mau jadi kekasihmu, Gale.”
                “Kau pasti mau karena kau mencintaiku.”
                Wajahku memanas, “Berhenti menggodaku, Gale. Ya Tuhan, kau sedang terluka Gale. Berhentilah menggodaku. Aku akan membawamu ke rumah sakit.”
                Aku membantu Gale berdiri, ketika posisi kami sudah dalam keadaan berdiri tiba-tiba Gale menciumku. Membuat tubuhku tersengat aliran listrik ribuan volt.
                “Aku sangat mencintaimu, Dhee.”
                “Aku tahu kau sangat mencintaimu, sekarang kau harus ke rumah sakit.” Aku memapahnya menuju ke mobilku.
                “Aku tidak perlu ke rumah sakit, aku akan sembuh asalkan kau ada di sampingku.”
                “Berhenti merayuku, Gale. Aku tidak akan termakan oleh rayuanmu itu.”
                “Ayolah sayangku, cintaku, belahan jiwaku, permata hatiku.”
                Aku menghentikan langkahku, “Berhenti mengoceh atau aku akan meninggalkanmu disini!”
                “Astaga mengapa kau masih saja bersikap galak kepadaku. Padahal aku ini sudah menjadi kekasihmu, Dhee.”
                Aku kembali melanjutkan perjalanan sambil memapah Gale dan tidak mempedulikannya yang sedang sibuk mengoceh dan mengeluarkan semua jurus rayuannya kepadaku. Sampai akhirnya ia diam dan memasang wajah yang kesal.
                Akhirnya kami sampai di tempat parker, setelah masuk ke dalam mobil dan memasangkan sabuk pengaman untuk Gale aku sudah benar-benar tidak bisa menahan tawaku melihat ekspresi wajahnya sekarang ini.
                “Apa? Kau mentertawakanku?” Gale melotot kepadaku.
                “Kau sangat lucu sekali, Gale.”
                “Kau sangat tidak sopan, Dhee.”
                Aku mendekatkan wajahku lalu mencium bibirnya, “Aku mencintaimu, Gale.”
                Gale terdiam, sedangkan aku langsung menyalakan mesin mobil dan langsung menuju ke rumah sakit.

~~~TAMAT~~~