Selasa, 22 April 2014

Love Triangle (Scandal 2)

MAX

Selalu saja seperti ini, Lila akan langsung membisu setiap kali aku mengatakan bahwa aku sangat mencintainya. Aku takkan pernah bosan untuk mengatakannya, tak peduli seperti apa perasaannya kepadaku. Yang aku tahu Lila memiliki perasaan yang sama denganku. Meskipun aku tak menampik bahwa aku merasa penasaran apa yang membuatnya tak mau memiliki hubungan yang terikat denganku.

Lila sempat mengatakan biarlah hubungan kami berjalan seperti saat ini. Aku tak bisa menolak keinginan Lila, untuk menjalani hubungan yang seperti ini. Terserah kalian mau menyebut apa hubunganku dan Lila, namun yang pasti aku akan tetap berusaha untuk mengubah pola pikir Lila. Aku tak mau terus-terusan melakukan hubungan fisik dengannya tanpa hubungan yang pasti.

Untuk saat ini akan aku nikmati saja hubungan yang seperti ini. Waktu yang akan menjawab semuanya akan seperti apa kami ke depannya. Memeluknya seperti ini sangat menyenangkan, aku merasa nyaman. Jika selama di London aku selalu berhubungan seks dengan banyak wanita itu karena aku tak bisa memendam hasratku setiap kali selesai menghubungi Lila.

Kejantananku selalu mengeras dan berkedut jika berada di sampingnya. Seperti saat ini, kejantananku tanpa tahu malu mulai berkedut dan mengeras. Padahal tadi siang kami baru saja melakukan percintaan yang panas. Aku takkan bermain dengan wanita-wanita itu jika Lila benar-benar menjadi milikku.

"Berhenti menggodaku seperti itu, Kak." Celetuk Lila yanh masih asyik bersandar di dadaku.

"Aku tidak menggodamu sayang, kau lihat sendiri posisiku seperti apa." Jawabku santai, sedangkan tanganku kini mulai menyusuri punggungnya yang telanjang.

Kulitnya yang lembut membuatku ketagihan untuk terus menerus menyentuhnya. Aku tak ingin kehilangan sedikit waktuku untuk menikmati tubuhnya yang hangat fan begitu indah. Semua yang ada pada diri Lila sudah menjadi candu untukku. Ia seperti zat adiktif yang sudah memenuhi seluruh syaraf dan mengalir dalam darahku.

Lila... Lila... Lila... sampai kapan kau membuatku seperti ini? Sampai kapan kau hanya akan memberikan tubuhmu ini Lila? Yang aku inginkan adalah semua yang ada didirimu. Baik itu tubuh dan juga hatimu, aku ingin memilikimu seutuhnya. Agar hidupku menjadi lengkap, tidak seperti saat ini. Merasa tidak sempurna karena masih ada sesuatu yang kosong.

"Jangan menggodaku, Kak." Lila terus-terusan merajuk karena kini tanganku telah menggerayangi seluruh tubuhnya tanpa cela sedikit pun.

"Salah siapa kau membangunkanku, sayang." Timpalku sambil terus menggoda titik-titik sensitif ditubuhnya.

Dan kami berdua kembali terlibat dalam percintaan panas dan sama-sama mencapai kenikmatan yang tadi kami nikmati. Aku takkan pernah merasa puas dengan tubuhnya itu.

Saat ini kami telah berada di sebuah restoran untuk menikmati makan malam kami. Wanitaku ternyata memang sangat kelaparan. Tentu saja karena seharian ini aku terus-terusan menggodanya untuk bercinta denganku.

Selama aku melakukan beberapa panggilan pekerjaan, Lila asyik menikmati makan malamnya dengan lahap. Ia memesan makanan dengan porsi yang banyak. Aku tersenyum melihat Lila yang sibuk dengan makanannya.

"Sedang melihat apa?" Tanyanya dengan mulut yang penuh dengan makanan. Kedua pipinya menggembung, lucu sekali.

"Maaf." Entah mengapa malah kata itu yang terlontar dari mulutku.

"Maaf? Untuk apa?" Tanya Lila kebingungan, namun ia tidak menghentikan kegiatan makannya.

Aku mencodongkan tubuhku hingga wajah kami hanya berjarak beberapa centi saja, "Maaf karena sudah membuatmu kehabisan tenaga karena pertempuran kita di tempat tidur." Gumamku dengan suara pelan.

"Uhuk..." Lila langsung tersedak, dengan cepat ia meraik gelas berisi air putih yang ada di dekatnya, meminum isinya hingga tandas. Sedangkan wajahnya kini memerah. Ah, aku senang sekali melihat wajahnya yang merona seperti itu. Sangat menggemaskan dan terlihat semakin cantik.

"Berhenti menggodaku, Kak." Lila terus saja mengoceh di sela-sela makan malam kami.

"Maaf Lila, aku hanya ingin terus bersamamu. Tapi sepertinya malam ini adalah malam terakhir kita bersama." Jelasku dengan raut wajah yang sedih.

"Memangnya kakak mau kemana? Bukankah kakak baru sampai disini tadi siang?" Tanya Lila serius.

"Aku harus segera kembali ke London. Ada masalah yang cukup serius terjadi disana dan harus aku yang menanganinya." Jelasku.

Lila langsung menekuk wajahnya cantiknya, "Kakak jahat." Gumamnya.

"Maaf sayang, ini semua diluar rencana yang telah aku susun. Tapi aku janji jika semuanya sudah selesai dan berhasil ditangani aku akan segera kembali." Bujukku sambil membelai lembut wajahnya.

"Kakak tidak bohong, kan?" Tanyanya dengan manja.

"Tidak sayang, aku tidak bohong. Karena itu mari kita habiskan makan malam ini. Kemudian kita segera kembali ke apartemen. Aku ingin menghabiskam malam ini hanya bersamamu, sayang. Karena besok pagi-pagi sekali aku harus segera berangkat." Jelasku dengan bersemangat.

Lila hanya ber"oh" ria menanggapi ucapanku sambil terus memakan makanannya. Setelah selesai dan membayar tagihan, aku segera mengajak Lila untuk pulang. Sesampainya di apartemen aku langsung membopong tubuhnya masuk ke dalam kamar kamar.

Setelah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku langsung mencium bibirnya dengan penuh gairah. Gairah yang takkan pernah padam saat aku berada disampingnya. Berat sekali rasanya harus kembali ke London esok pagi. Aku masih sangat merindukannya, selalu rindu. Apalagi aku sudah jarang datang menemuinya karena kesibukanku mengurus perusahaan di London.

Andai saja adikku yang menyebalkan itu mau ikut terjun langsung menguurs perusahaan. Mungkin saat ini aku tidak perlu jauh-jauh tinggal London, aku pasti akan bisa berada didekat Lila setiap saat. Namun adikku yang menyebalkan itu malah lebih memilih untuk menjadi seorang model.

Asal kalian tahu saja aku sudah hampir tujuh tahun aku tidak bertemu dengan adikku. Karena ia tinggal bersama Mom di Amerika sedangkan aku tinggal bersama Dad di London. Ya, kedua orang tua kami memutuskan untuk berpisah. Namun meskipun begitu baik Mom maupun Dad tidak pernah melarang kami untuk saling berkunjung.

Hanya saja aku harus menjalankan semua perusahaan milik Dad seorang diri. Padahal seharusnya aku dan adikku yang menjalankannya. Tapi dia mau dan malah memilih untuk menjadi model. Mungkin karena Mom seorang desiner papan atas, jadi adikku itu tertarik untuk menjadi seorang model.

Dan hubunganku dengan adikku itu tidak baik. Jika tidak sengaja bertemu ia langsung membuang muka. Ia bersikap seolah tidak mengenalku sama sekali. Tatapannya kepadaku selalu sinis. Kami layaknya dua orang yang saling bermusuhan. Padahal Dad tidak pernah membeda-bedakan kami berdua. Tapi entah kenapa adikku bersikap seperti itu.

Kembali lagi ke hari ini, saat ini aku tengah asyik mencumbu Lila. Aku tak ingin waktuku habis tanpa menyentuhnya sedikitpun. Suara erangan yang keluar dari bibir mungil Lila semakin membuat gairahku berkobar.

"Ugh..." erang Lila saat aku mencumbu kedua payudaranya secara bergantian. "Max.... ahh...." Aku senang sekali membuatnya mendesah sambil menyebut namaku tanpa embel-embel kakak didepannya.

"Teruslah panggil namaku, sayang." Bisikku tepat di telinganya.

"Max... please..." erangannya kembali terdengar. Kedua mata Lila terlihat begitu sayu oleh gairah. Kedua pipinya terlihat memerah, ah aku senang melihatnya seperti ini.

"Calm baby, you can feel me inside you." Bisikku sambil mengigit kecil cuping telinganya. Kemudian menciumi leher serta bahunya yang telanjang.

Lila mempererat cengkramannya di lenganku. Erangan dan desahan semakin sering keluar dari bibir mungilnya itu. Dengan cepat aku segera menyingkirkan kain yang masih melekat di tubuh kami berdua. Aku membenamkan wajahku di antara kedua pahanya. Menggoda dan mencumbui bagian intimnya.

"Oh... oh... I wanna cumhhhh... Max... Ahh..." Lila melengguh panjang, tubuhnya bergetar hebat karena orgasme yang di dapatkannya.

Aku tersenyum puas saat melihat Lila mendapatkan pelepasannya. Senyumanku tak pernah hilang saat aku mulai mengarahkan milikku yang sudah sangat keras hingga terasa sakit. Hingga rasanya aku seperti terkena blue balls.

Dengan perlahan aku memasukan milikku. Kali ini aku ingin melakukannya dengan perlahan dan sangat lembut. Nafas kami berdua tertahan selama proses penyatuan yang kami lakukan. Sebuah erangan lolos dari bibirku saat milikku telah masuk seluruhnya.

"I love you Lila, I love you I love you I love you." Gumamku sambil menggerakkan milikku keluar dan masuk dengan perlahan.

Aku masih tetap dengan ritme yang tidak cepat. Meskipun aku tahu bahwa Lila mulai merasa frustasi karena aku terus bergerak perlahan. Namun aku tak mempedulikannya, aku hanya ingin menikmati momen ini tanpa ketergesaan.

"Max.... shhhh... ugh... fasteeeeehhhh..." racau Lila dengan mata yang setengah terpejam.

"No baby, aku sedang bercinta denganmu. Bukan bersetubuh, jadi aku tidak ingin tergesa-gesa." Gumamku sambil berusaha menahan gairahku mati-matian.

Lila mengetatkan kedua kakinya yang melingkari pinggangku. Menekan tubuhku agar lebih merapat dengan tubuhnya. Ia menciumku dengan liar, biasa kurasakan ciumannya yang sangat menuntut. Lidah kami saling bertautan, membelit dan saling merasai rasa masing-masing. Menyesapnya dengan begitu rakus.

Setelah cukup lama akhirnya aku mempercepat ritme gerakanku menjadi cepat dan keras. Membuat Lila berteriak karena kenikmatan yang dirasakannya. Hingga akhirnya kami berdua mecapai pada pelepasan kami. Orgasme yang begitu hebat menghantamku dan Lila.

"Mengapa bercinta denganmu selalu hebat seperti ini, Lila." Bisikku dengan wajah yang terbenam dilekukan lehernya yang basah oleh keringat. Maaf aku tidak menggunakan pengaman Lila, kau tahu bahwa aku sangat ingin memilikimu. Maaf harus melakukan cara yang seperti ini, bisikku dalam hati. Sedangkan Lila masih mengatur nafasnya yang terengah.

***

LILA

Sudah satu minggu Kak Max pulang ke London. Aku benar-benar merasa bosan, tak asa objek yang menarik minatku untuk memotretnya. Pekerjaanku sebagai seorang fotografer pun sedang tidak begitu sibuk.

Zac. Entah kapan ia akan kembali ke kota ini. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku merindukannya. Jangan tuduh aku berselingkuh dari Zac dengan Kak Max. Karena hubunganku dengan Zac tak beda jauh dengan yang aku lakukan dengan Kak Max.

Ya ya aku memang gila. Terserah saja kalian menyebutku hyper atau apapun juga, karena aku takkan mempedulikannya. Ini hidupku, tak ada seorang pun yang berhak mengaturnya. Bahkan ketika aku memutuskan untuk mencintai dan menjalin hubungan dengan dua orang pria dalam waktu yang bersamaan.

Jangan tanya padaku apa yang akan aku lakukan jika suatu hari nanti hubungan yang aku jalani ini akan terbongkar. Karena aku belum memiliki jawaban dan alasan yang masuk akal untuk semua ini. Aku hanya memilih yang terbaik dari yang terbaik. Tak ada salahnya bukan jika wanita sepertiku mengharapkan pria yang baik untuk menjadi pendampingku kelak.

Saat ini aku tengah termenung di salah satu kafe yang letaknya berada di dekat pantai. Aku memilih meja yang letaknya dekat dengan sebuah jendela besar yang mengarah langsung ke arah pantai. Aku mengedarkan pandanganku menatap pemandangan yang ada di hadapanku.

Semilir angin yang masuk menerpa dan mulai memainkan helaian-helaian rambutku. Suara debur ombak yang berkejaran membuatku merasa nyaman dan tenang. Mataku beberapa kali terpejam untuk menikmati suasana yang begitu mendamaikan ini. Andai saja Kak Max atau Zac berada disini, batinku.

Setelah puas menikmati pemandangan yang ada, aku kembali menyesep moccha frappucino kesukaanku dengan perlahan. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kafe yang ternyata masih seperti tadi. Suasananya tidak terlalu ramai. Aku suka sekali tempat yang tidak terlalu ramai.

Hingga mataku menatap sosok yang sangat aku kenal berada di salah satu meja di kafe ini. Detak jantungku langsung berubah menjadi cepat dan tidak karuan. Keringat dingin mulai membasahi tengkukku. Tanganku gemetaran saat meraih gelas yang ada di hadapanku.

Ya Tuhan...

Night Passion Of A Grey Eyed Man 4

ANNABELLA

Hari pertamaku bekerja di perusahaan ini. Untung saja Mr. Alan sudah memperingatkan aku sebelumnya tentang adiknya yang sekarang menjadi atasanku. Ternyata Mr. Maximilliano sangat menyebalkan, memerintah seenaknya seperti itu. Dia pikir aku ini robot apa, gerutuku dalam hati.

Baiklah tuan yang arogan kita seberapa menyebalkannya dirimu itu. Aku akan membuatmu bertekuk lutut dan menghilangkan semua sifat aroganmu itu. Jika sudah seperti itu aku bisa leluasa menguasaimu, Max.

Dengan penuh konsentrasi aku segera mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh atasanku yang menyebalkan itu. Lima menit sebelum jam makan siang aku sudah menyelesaikan semua tugas yang diberikan olehnya. Setelah selesai memeriksa kembali dokumen-dokumen yang sudah kukerjakan, aku segera bergegas menuju ke ruangan Mr. Max.

Aku segera melangkah masuk dengan penuh percaya diri setelah mendengar suara dari Mr. Max.

"Ada apa, Anna?" Tanyanya dengan datar.

"Saya hanya ingin menyerahkan dokumen-dokumen ini, Sir." Jawabku sambil meletakkan map-map itu di atas mejanya.

Ia menatapku dengan tatapan yang meremehkan, sebelah alisnya yang terangkat semakin memepertegas kearogannya, "Kau sudah menyelesaikannya?" Tanyanya tak percaya.

"Ya Sir, saya sudah menyelesaikan semuanya dan sesuai dengan permintaan anda." Balasku penuh percaya diri.

"Apakah kau yakin, bahwa pekerjaanmu ini tidak memiliki kesalahan sedikit pun?" Tanyanya menyangsikan hasil pekerjaanku.

"Tentu saja saya sangat yakin sekali, Sir. Anda bisa memeriksa pekerjaan saya sekarang juga untuk membuktikannya." Tantangku.

Max menatapku dengan tatapan yang datar. Kemudian ia mulai memeriksa map-map berisi hasil kerjaku yang ada diatas mejanya. Sesekali ia melirikku dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. Entah apa arti tatapannya itu.

Namun yang membuatku gelisah adalah tatapannya itu seolah membakarku. Tubuhku terasa panas karena gelenyar-gelenyar aneh yang mengaliri setiap sel-sel darahku. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku saat ini. Tapi yang jelas aku merasa gelisah dengan perasaanku ini.

Tuhan, mengapa pria menyebalkan dihadapanku ini memiliki daya tarik seksual yang begitu... entahlah aku tak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Ini masih membingungkanku. Sangat membingungkan. Aku tidak boleh tertarik dengan pria yang ada dihadapanku ini. Tidak boleh, tekadku dalam hati."

"Apakah kau mendengarkan ucapanku, Anna?" Suara Mr. Max yang sedingin es langsung menyadarkanku dari lamunanku.

"Ah, maafkan saya Sir." Aku langsung merasa bersalah karena tidak memperhatikan apa yang telah disampaikan oleh atasanku ini.

"Aku tidak suka jika ada bawahanku yang tidak berkonsentrasi atau melamun dihadapanku. Tapi aku masih memaafkanmu, jika hal seperti ini terjadi untuk yang kedua kalinya aku tidak segan untuk memberikan teguran yang lebih keras." Tuturnya dengan ekspresi yang membuatku merenggut ketakutan.

"Maafkan saya Sir, saya tidak akan mengulanginya lagi." Suaraku terdengan bergetar karena sangat gugup. Sialan.

"Sekarang kau boleh kembali ke tempatmu. Jangan lupa untuk mempersiapkan keperluan meeting setelah jam siang." Perintahnya.

"Baik Sir, saya akan segera menyiapkan semuanya. Kalau begitu saya permisi dulu." Setelah itu aku langsung pamit undur diri dan keluar dari ruangan itu.

Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. Entah sampai kapan aku bisa terus bertahan menghadapi intimidasi dan tekanan-tekanan dari atasanku ini. Tenang Annabell tenang, kau bisa mengatasinya. Yakinlah bahwa kau bisa menaklukan tuan berhati es itu. Setelah menghela nafas beberapa kali dan merasa tenang aku kembali fokus pada pekerjaanku hari itu.

Aku melewatkan jam makan siang di hari pertamaku bekerja. Jam makan siang aku pergunakan untuk menyiapkan ruang rapat dan keperluan lainnya. Aku tidak ingin mendapatkan teguran untuk yang kedua kalinya.

Jika aku sampai dipecat dari pekerjaan ini aku tak tahu harus mencari pekerjaan yang menjanjikan seperti ini lagi dimana. Aku membutuhkan uang untuk menghidupi keluargaku, Mom membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk menjalani kemoterapi yang sedang dijalaninya saat ini. Itulah kenapa aku sangat bertekad untuk mendapatkan pekerjaan ini. Namun tujuan utamaku adalah menaklukkan Mr. Max, aku membutuhkan kekayaannya untuk memenuhi kebutuhan hidupku.

Terserah kalian akan menyebutku apa, tapi aku memang telah menyusun semuanya sebelum aku bergabung dengan perusahaan ini. Dari informasi yang aku dapatkan Mr. Max belum pernah terlihat serius dengan seorang wanita. Mr. Max ini adalah seorang cassanova yang sering mematahkan dan menghancurkan hati para wanita yang mengejarnya. Hal itulah yang akan menjadi penghambat bagiku namun aku takkan mundur sebelum semua tujuanku tercapai.

***

Tidak terasa satu bulan sudah aku bekerja di perusahaan ini dan menjadi sekretaris dari Mr. Max yang dingin dan sangat senang sekali mengintinidasi. Selama sebulan ini aku belum bisa mendapatkan celah untuk menyelinap masuk ke dalam kehidupannya yang paling pribadi.

Sudah beberapa hari ini kami berdua di lingkupi oleh suasana yang tegang. Entah mengapa suasana di antara kami menjadi seperti ini. Meskipun aku sudah berusaha keras untuk tetap bersikap profesional seperti biasa ketegangan itu selalu saja muncul jika aku sedang berhadapan dengannya.

Seperti hari ini sudah tiga kali aku di panggil oleh Mr. Max ke ruangannya. Banyak sekali hal yang ia perintahkan kepadaku, sampai-sampai aku tidak memiliki waktu untuk pergi makan siang meskipun hanya lima belas menit. Dan ini adalah kali ketiga aku di panggilnya.

Sudah hampir sepuluh menit aku hanya berdiri di hapadannya. Sedangkan ia hanya menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Berkali-kali ia melakukan hal seperti itu, dan ekspresi wajahnya benar-benar tak bisa terbaca. Entah apa yang sedang di pikirkan olehnya.

"Siang ini kau akan pergi menemaniku untuk menghadiri beberapa pertemuan di Portland." Ia berhenti dan kembali memandangiku, "Tapi aku tidak mau melihatmu dengan pakaian seperti ini." Lanjutnya dan kata-katanya itu langsung menusuk tepat di reluh hatiku.

"Ma-maaf Sir, apa maksud anda?" Tanyaku kebingungan.

"Penampilanmu sangat kuno. Aku tidak ingin dipermalukan oleh rekan-rekan bisnisku karena penampilanmu yang mengerikan seperti ini." Jelasnya dengam santai.

Ap-apa? Penampilanku mengerikan? Astaga, jangan-jangan ia memang ingin melihatku menggunakan pakaian yang seksi dan kekurangan bahan seperti sekretaris-sekretaris para CEO muda yang beberapa kali ditemuinya. Tidak. Tidak. Tidak. Aku tidak akan mengubah penampilanku.

"Apa yang salah dengan penampilan saya, Sir? Sepertinya saya tidak melanggar kode etik perusahaan, bukan?" Timpalku dengan suara yang cukup lantang.

"Kau harus mengubah cara berpakaianmu, Anna. Aku tidak ingin di permalukan karena penampilanmu itu." Mr. Max menimpali dengan suara yang tak kalah lantangnya.

"Maaf Sir, tapi saya tidak akan mengubah penampilan saya sampai kapanpun juga." Aku tetap bersikeras.

"Aku tidak suka dibantah, Anna. Ikuti semua keinginanku atau kau akan kehilangan pekerjaanmu. Aku tahu bahwa kau sangat membutuhkan pekerjaan ini, bukan?" Tebakknya langsung membuatku membeku.

Seperti dalam permainan catur ia lansung membuatku skak mat oleh kata-katanya. Aku sangat membutukan pekerjaan ini, meskipun aku tidak berhasil menaklukkan Mr. Max. Bagaimanapun juga aku harus membiayai keluargaku. Hatiku berkecamuk. Tuhan, apakah aku harus menuruti semua perintahnya itu? Tentu saja kau harus menurutinya Anna, karena dengan begitu kau bisa menarik perhatian Mr. Max dengan mudah, bisik kata hatiku.

"Kau bisa memgganti pakaianmu dengan pakaian yang ada di dalam koper itu." Perintahnya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah sofa yang ada dibelakangku. "Cepatlah bersiap-siap lalu temui aku dilobi." Perintahnya lagi kemudian ia pergi meninggalkan aku sendiri diruangannya.

Selama beberapa menit aku hanya berdiri mematung di tengah ruangan. Berusaha untuk memahami keadaan dan kejadian yang baru saja terjadi. Aku segera mengambil sebuah koper yang ada diatas sofa dan membawanya ke dalam toilet yang ada di ruangan Mr. Max.

Dengan cepat aku segera mengganti pakaian kerjaku dengan pakaian yang telah diberikan oleh Mr. Max. Aku hampir berteriak saat melihat pakaian-pakain formal dan beberapa pakaian casual serta beberapa gaun cocktail yang telah disediakan oleh Mr. Max.

Pilihanku jatuh pada sebuah rok pensil selutut warna abu-abu, blouse tanpa lengan berwarna putih serta blazer berwarna abu-abu yang dengan pas membalut tubuhku. Pakaiannya benar-benar memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhku yang selama ini aku sembunyikan.

Aku menggerai rambut coklatku yang panjang serta melepaskan kacamata yang selama ini membingkai wajahku. Setelah selesai aku segera bergegas meninggalkan ruangan Mr. Max. Sebelum turun ke bawah aku mengambil tas dan barang-barang milikku di meja.

Selama perjalanan menuju ke lobi banyak para staf yang tak henti-hentinya memandangiku dengan tatapan yang... entahlah aku tak tahu. Namun aku tidak mempedulikannya. Keluar dari lift aku langsung menghampiri Mr. Max yang sedang duduk di sofa sambil menyesap kopinya.

"Saya sudah siap, Sir." Ia menatapku dengan tatapan sulit ditebak.

Kamis, 03 April 2014

Love Triangle (Scandal 1)

"Hai Kak Max kapan datang?" Tanya Lila setelah membukakan pintu apartemennya untuk pria yang ia sapa dengan sebutan Kak Max itu.

"Aku baru saja tiba, dari bandara langsung menuju kemari. Kau tahu aku sangat merindukanmu." Pria bernama Max itu langsung memeluk wanita yang ada di hadapannya dengan begitu erat.

"Err Kak, sebaiknya kau masuk saja dulu. Tidak enak jika terlihat oleh orang lain." Ujar Lila, mendengar suara merdu yang amat di rindukannya itu Max langsung melepaskan pelukannya sambil tersenyum dan masuk ke dalam apartemen milik Lila.

"Jadi kau mau minum apa?" Tawar Lila yang tengah berdiri di hadapan pria itu.

"Nanti saja, aku sangat merindukanmu." Ujar Max sambil menarik wanita itu ke dalam pelukannya. Max sangat merindukan wanitanya itu, meskipun hubungannya masih belum jelas ia sering sekali melakukan sex bersama wanita yang kini ada di pelukannya, tanpa ada kejelasan. Jika ia sedang berada di kota tempat tinggal Lila, karena Max kini tinggal di London untuk mengurus salah satu perusahaannya di sana.

Max sempat syok saat pertama kali berhubungan dengannya, karena ternyata ia bukanlah pria pertama untuk wanitanya itu. Tapi Max tidak mempermasalahkannya, ia sudah terlanjut sangat mencintai Lila. Toh ia sendiri juga buka pria baik-baik yang hanya akan tidur dengan satu wanita saja.

"Jangan memelukku terus, Kak. Kau membuatku kesulitan bernafas, renggangkan sedikit pelukanmu." Protes Lila dengan suara yang di buat seperti orang yang tercekik.

"Baiklah, baiklah. Kau selalu saja merusak kesenanganku, Lila." Rajuk Max sambil terkekeh geli melihat tingkah wanita yang di cintainya itu.

"Tapi kau tetap saja memelukku dengan begitu erat, Kak. Kau bisa membuat remuk badanku." Protes Lila untuk yang kedua kalinya namun hanya di tanggapi oleh Max dengan tertawa.

Dengan enggan Max melonggarkan pelukannya, kemudian Lila melepaskan diri dari pelukan Max dan berdiri. "Jadi mau kubuatkan minuman apa?" Tanyanya lagi.

"Aku ingin kau." Goda Max sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Gombal, ya sudah kalau begitu aku buatkan minuman yang terbuat dari garam dan merica saja." Celetuk Lila sambil beranjak pergi menuju ke dapur.

Beberapa menit kemudian Lila kembali sambil membawa sekaleng minuman soda, "Dan kau membawakan aku sekleng botol minuman, sayang?" Tanyaku sambil menyipitkan kedua mataku. Namun Lila hanya terkikik geli. "Kemari kau." Max menarik Lila hingga wanita itu terjatuh di atas tubuhnya. "Kena kau, sayang." Ujar Max sambil menyeringai. "Aku sangat sangat merindukanmu, Lila." Gumam Max sambil menarik Lila agar lebih merapat kepadanya.

Kemudian Max memagut bibir Lila, mencecap dan menghisapnya dengan begitu lembut. Ciuman yang mereka lakukan semakin lama temponya semakin meningkat. Tak ada lagi ciuman yang lembut, kini hanya ada ciuman-ciuman yang liar. Yang semalin panas dengan menuntut.

Lila pun tak kalah panas dan liarnya membalas setiap ciuman Max. Tangannya kini melingkari leher kokoh pria yang ada di bawah tubuhnya. Menekan bibirnya dan memperdalam ciuman mereka. Sedangkan kini tangan Max tengah bergeriliya di bagian punggung Lila. Tangannya menyusup ke dalam kaos yang di kenakan Lila. Saat menemukan bagian penjepit bra-nya, dengan cekatan Max langsung melepaskannya.

Belainyan tangan Max di kulitnya membuat tubuh Lila bergidik dan meremang. Membuat gairahnya mulai terbangun, semakin lama semakin membesar. Lila mengerang di mulut Max ketika pria itu meremas bokongnya dengan agak keras.

Kini Max telah mengubah posisinya, dirinyalah yang saat ini berada di atas. Sedangkan Lila berada di bawah kungkungan tubuhnya. Tangan Max kembali bergeriliya di tubuh Lila yang masih tertutup oleh pakaian.

Tangannya menuju ke arah payudaranya, kemudian meremasnya dengan lembut. Membuat Lila kembali mengerang dan mendesah karena perlakuannya itu. Max menarik diri dari ciuman panas yang di lakukannya.

Dengan cekatan ia menarik kaos yang di pakai oleh Lila kemudian melemparnya ke sembarang tempat. Max memandangi tubuh Lila dengan tatapan yang memuja. Perlahan ia mengarahkan mulutnya menuju ke salah satu payudara wanita. Menghisapnya dengan dengan lembut kemudian menghisapnya lagi dengan kencang. Membuat Lila terkesiap dan terpekik oleh perlakuannya.

Setelah puas Max kembali memagut bibir yang membuatnya kecanduan itu dengan rakus sedangkan tangannya bergerak ke bagian tubuh Lila. Menelusupkn tangannya ke dalam celana pendek yang Lila pakai. Ia tersenyum puas ketika mendapati bahwa wanitanya itu telah begitu siap untuknya.

Organ kewanitaannya telah begitu siap untuk di masuki. Dan itu membuat kejantanan Max semakin mengeras dan berdenyut menuntut untuk mendapatkan pelepasannya dengan segera.

"Demi Tuhan kau begitu indah Lila." Gumam Max di sela-sela kegiatannya menciumi leher Lila dan membuat tanda kepemilikannya di sana. Meskipun kissmark-nya itu tidak begitu jelas.

Tubuh Lila bergerak-gerak gelisah terlebih lagi ketika Max berhasil menanggalkan kain terakhir yang menutupi tubuhnya. Pemandangan yang ada di bawahnya membuat mata Max semakin berkabut oleh gairah. Sedangkan tangan Lila dengan cekatan mulai membuka kancing-kancing kemeja yang masih membungkus tubuh kekar Max. Tak perlu butuh waktu lama, kini kemeja milik Max bernasib sama dengan pakaian milik Lila yang teronggok di lantai.

Tubuh mereka berdua kini telah polos, tak ada sehelai benang pun yang menghalangi. Max kembali memagut bibir Lila namun kali ini dengan lembut. Sementara tangan Lila mulai menyentuh kejantanan Max yang telah mengacung berdiri tegak dan mengeras itu. Memijit kemudian mengurutnya maju mundur dengan perlahan. Membuat Max mengerang.

Masih memagut bibir Lila, dengan tangannya yang bebas. Max memposisikan kejantannya untuk memasuki kewanitan milik Lila yang telah begitu basah.

"Ugh..." Lila mengerang tertahan ketika kejantanan Max memasukinya dengan perlahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang di rasakannya ketika kejantanan milik Max bergerak masuk dengan perlahan.

"Hentikan hisapan sialan yang nikmat itu, sayang." geram Max menahan gairahnya saat kejantanannya memasuki liang kenikmatan itu, "Aku belum mau keluar." Lanjutnya sambil mulai menggerakkan kejantannya keluar masuk dengan perlahan.

"Ahh... Max..." desahan Lila yang memanggil namanya tidak membuat Max menaikkan tempo permainannya. Ia ingin Lila merasakan keberadaannya di dalam sana setiap inchinya.

Cukup lama Max memacu dirinya di dalam kewanitaan Lila dengan gerakan yang lambat. Dan itu membuat Lila mengerang frustasi. Max tidak pernah bermain selambat ini, ia menyukai Max yang bermain liar, yang mampu membuatnya berteriak karena kenikmatan yang di rasakannya.

"Faster Max, pleaseeee... Ahh..." erang Lila sambil menggerakkan tubuhnya, berharap Max akan mempercepat gerakannya.

"No babe, just enjoy it. I love like this." Bisik Max tepat di telinga Lila, kemudian menggigit cuping telinganya pelan.

"Please... Max, fasteeeehhhh...sshhh.. Ahhh..." Lila kembali mengerang ketika Max menekan kejantannya semakin dalam hingga menyentuh dasarnya.

Tak tega akhirnya Max mempercepat tempo gerakannya. Menjadi cepat seperti yany di minta Lila, "You got what you want, babe." Gumam Max sambil menggeram.

"Ahhh... yesss... shhhh, faster... faster... faster.... ahhh." Racau Lila saat Max memasuk dan mengeluarkan kejantanannya. Menggerakkan kejantannya dengan gerakan melingkar serta memberikan tekanan di titik kenikmatan yang ada di dalam sana.

Max semakin terbakar gairah ketika melihat Lila meremas kedua payudaranya sendiri dengan begitu keras sambil meracau menyebut namanya. Dengan gerakan tiba-tiba Max mengubah posisinya.

Kini ia duduk tegak di atas sofa dengan Lila yang berada di atas pangkuannya. Kejantannya masih tertanam di dalam kewanitan milik Lila. Max langsung melahap payudara Lila yang ada di hadapannya dengan ganas.

"Ahh.... Ssshhhh... Maaxxxxhhhh..." racaunya saat Max menusukkan kejantanannya dengan begitu cepat.

Max berdiri dari duduk dengan dirinya masih menyatu dengan Lila. Lila mengeratkan peganggannya di leher kokoh milik Max. Ia terpekik ketika Max menaik turunkan tubuhnya hingga kejantanan milik Max tertanam di dalam kewanitaannya. Mereka kembali berciuman saat Max berjalan menuju ke kamar Lila.

Max menghempaskan tubuh Lila di atas tempat tidur. Melingkarkan kedua kaki Lila di pinggangnya, kemudia Max kembali menginvasi kewanitaan Lila dengan gerakan-gerakan yang membuat Lila menjerit-jerit karena nikmat. Peluh kini telah membasahi tubuh mereka berdua.

"Max.... shhhh... i-i'm cu-ahhhhhh..." Lila meracau saat ia merasakan otot-otot kewanitaannya mengejang.

"Cum to me, babe..." geram Max dengan gerakan yang cepat.

Akhirnya mereka berdua mengerang panjang saat mendapatkan pelepas bersama-sama dengan meneriakkan nama masing-masing. Mereka saling memeluk dengan begitu erat ketika gelombang orgasme menghantam mereka tanpa ampun. Max menegakkan kepalanya menatap wajah Lila yang masih terpejam karena sensasi orgasme yang tengah di alaminya.

"Kau baik-baik saja sayang?" Tanya Max sambil merapikan anak rambut yang menempel di kedua pipi Lila. Ia masih berada di dalam kewanitaan Lila.

"Aku baik-baik saja, Kak." Jawab Lila, yang kemudian membuka kedua matanya. Ia terlihat begitu kelelahan. Aku keterlaluan? Batin Max.

"Tidurlah sayang, kau terlihat sangat kelelahan." Perintah Max sambil melepaskan dirinya, kemudian berguling ke sisi Lila. Menarik wanitanya ke dalam pelukannya, mendekap Lila dengan erat.

Tak lama kemudian mereka berdua pun terlelap setelah pergulatan mereka yang sangat panas.

***

LILA

Aku menggeliatkan tubuhku yang terasa pegal dan berat. Seperti ada yang menimpa tubuhku, dengan perlahan aku membalik tubuhku. Ah, ternyata Kak Max rupanya. Ia masih saja memeluk tubuhku dengan begitu eratnya. Kini aku asyik memperhatikan wajahnya yang sedang terlelap. Rahang yang kokoh, bulu mata yang panjang, hidung yang mancung. Di tambah lagi bulu-bulu halus yang menghiasi wajahnya menambah kesan seksi.

Entah sampai kapan aku akan terus menjalani hubungan yang seperti ini dengammu, Kak. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kau pergi menjauh dan berpaling dariku. Aku tahu bahwa aku egois, membiarkanmu tanpa kepastian hubungan kita. Yang kita lakukan selama ini hanya kontak fisik tanpa hubungan yang pasti.

Andai kau tahu bahwa ada pria lain di hatiku, Kak. Ia jugalah yang menjadi pria pertama yang mendapatkan keperawananku. Aku tahu aku kejam, tapi aku tak kuasa menolaknya. Perasaan yang kurasakan kepadanya sama dengan perasaaku kepadamu.

Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. Karena aku takkan sanggup memilih atau melepaskan salah satu dari kalian, gumamku dalam hati.

Aku kembali menjalankan jariku menyusi wajah Kak Max yang masih terlelap dengan damainya. Andai aku tak bertemu dengannya, mungkin aku mau menjadi kekasihmu Kak. Benar-benar kekasihmu, bukan hubungan yang sedang kita jalanin saat ini.

"Jangan mengganggu singa yang sedang tidur, sayang. Jika kau tidak ingin di terkam." Celetuk Max dengan mata terpejam. Sedangkan aku hanya terkikik geli.

"Bangun Kak, aku kelaparan." Renggekku sambil mengguncang tubuhnya.

"Iya iya aku bangun, sayang." Timpal Kak Max, namun ia malah menarik tubuhku, hingga posisiku kini ada di atas tubuhnya. Kak Max memelukku dengan begitu erat.

"Kak, lepas aku mau mandi." Aku merajuk, namun malah merebahkan kepalaku di atas dada telanjangnya yang bidang. Hangat. Aku jadi merindukan seseorang yang jauh di sana.

"Biarkan seperti ini dulu, sayang." Ucapnya dengan wajah yang terbenam di lekukan leherku.

"Ya sudah." Jawabku singkat.

Keheningan mulai menyelimuti kami berdua. Bahkan aku bisa mendengarkan bunyi detak jantungku dan detak jantung Kak Max.

"Aku mencintaimu Lila, sangat mencintaimu. Aku ingin kau menjadi milikku selamanya." Ucapan Kak Max tiba-tiba langsung membuat tubuhku menegang.

Tuhan, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan untuk menghindari topik seperti ini? Jika ada yang bertanya apakah aku mencintai Kak Max, tentu saja aku mencintainya. Hanya saja aku juga mencintai pria lain.

Jika ada yang bertanya siapakah yang akan kupilih maka akan aku jawab keduanya. Aku akan memilih keduanya jika aku bisa dan memiliki kesempatan itu. Tak peduli jika orang-orang menyebutku egois atau pun bitch. Sungguh aku takkan pernah peduli dengan pendapat orang lain. Karena mereka tak tahu apa yang aku rasakan berada di posisi yang seperti ini.

Sangat membingungkan, hingga rasanya aku ingin kembali ke masa lalu. Menghindari kejadian-kejadian yang akan mempertemukanku dengan kedua priaku.

Jodoh Pasti Bertemu (Diary 2)

Hai semuanya, lama tak menyapa kalian semua. Maafkan karena begitu lama menghilang. Bukan bermaksud untuk menghindari kalian namun saat ini aku memang sedang menghindari seseorang. Hey, aku tahu bahwa kalian penasaran bukan?

Sabar-sabar aku pasti akan menceritakannya. Kalian tahu bahwa banyak sekali kejadian yang aku alami akhir-akhir ini. Kejadian yang cukup menguras tenaga dan pikiranku. Rasanya aku benar-benar lelah dengan semua ini. Tapi hey aku tida se'desperate itu kok.

Otakku masih cukup waras untuk tidak melakukan tindakan yang konyol dan bodoh atau bahkan melukai diriku sendiri. Semua kejadian yang bertubi-tubi datang menghampiriku saat ini gara-gara Rifky.

Kalian masih ingat dia bukan? Pria yang paling menyebalkan yang aku kenal ketika masih SMA dulu. Satu-satunya pria yang dengan terang-terangan menunjukkan ketidak sukaan dan ketidak setujuannya saat aku dan Abi memutuskan untuk berpacaran.

Dan ketika Abi mematahkan hatiku di hadapan orang banyak Rifky-lah yang menyelamatkanku dari tindakan bodoh yanh mungkin saja akan aku lakukan pada malam itu. Ia pulalah yang menghibur dan menenangkanku pada malam itu.

Malam yang benar-benar menyakitkan dan akan menjadi satu-satunya malam yang menjadi malam terburuk sepanjang hidupku. Malam yang sangat ingin aku lupakan. Malam dimana Abi mengumumkan bahwa ia akan bertunangan. Namun bukan aku yang menjadi pasangannya melainkan wanita lain. Sakit? Tentu saja, wanita mana yang tidak merasa sakit dan hancur jika berada di posisiku saat itu.

Oke, cukup sepertinya aku mulai melantur kemana-kemana. Kembali lagi ke masalah Rifky, kalin benar-benar ingin tahu apa yang di lakukannya kepadaku, bukan? Baiklah baiklah aku akan menceritakannya kepada kalian semua.

***

Semua ini berawal ketika Rifky tiba-tiba muncul setelah pertemuan terakhir kami dua tahun yang lalu. Tepatnya saat pertemuan kami di acara ulangtahun dan acara pertunangan Abi. Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk pergi ke Singapura dan mengejar karirku sebagai seorang model.

Menjadi seorang model memang sudah menjadi impianku sejak kecil. Namun baru saat ini aku berhasil mewujudkannya. Apalagi ketika masih bersama dengan Abi ia tak pernah mengijinkanku untuk mendalami dan mengejar impianku untuk menjadi seorang model.

Menurut Abi menjadi seorang model tidak ada gunanya. Jadi lebih baik aku bekerja di salah satu perusaan swata yang bonafid di Jakarta. Dan dengan bodohnya aku menuruti semua perkataannya. Kemudian meninggalkan impianku dengan perlahan. Namun sejak kejadian menyakitkan itu aku memutuskan untuk kembali mengejar impianku. Impian menjadi seorang top model di kawasan Asia.

Saat ini aku sedang berada di Jakarta. Selain untuk menemui kedua orang tuaku aku juga ingin menghabisman waktu liburanku di kota kelahiranku. Hari itu aku sedang asyik mengobrol bersama Mama dan Papa setelah selsai makan malam bersama di sebuah restoran. Tiba-tiba saja Rifky muncul dan menghampiri mejaku.

"Lama tidak bertemu Andin, apa kabar?" Sapa Rifky lembut sambil mengulurkan tangannya.

Dengan ragu aku pun menerima uluran tangannya, "Baik, terima kasih. Lalu bagaimana mana kabarmu?" Tanyaku balik, tentu saja Mama dan Papa mengenal Rifky karena dulu Rifky sering sekali mendatangiku di rumah.

"Aku baik-baik saja, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ada yang ingin saya sampaikan kepada Om dan Tante." Ungkap Rifky dengan pandangan yang terfokus kepada Mama dan Papa.

"Ada apa?" Tanya Papa singkat namun suaranya terdengar penasaran.

"Om, Tante bolehkah saya melamar Andin untuk menjadi pendamping hidup saya?" Tuturnya dengan mantap.

Selama beberapa menit otakku mencerna kata-katanya aku langsung menatap kedua orang tuaku dengan tatapan horror. Rifky melamarku? Permainan apalagi ini? Semoga Mama dan Papa tidak menanggapi ucapan Rifky dengan serius.

Ya ampun, apa sebenarnya yang sedang di rencakan oleh pria menyebalkan ini? Setelah sekian lama tidak bertemu tiba-tiba saja ia muncul dan melamarku. Ini benar-benar gila, sangat gila. Bagaimana mungkin ia melamarku dengan cara seperti ini.

Maksudku ah entahlah pikiranku kini langsunh kacau setelah mendengar kata-kata Rifky. Belum lagi aku di paksa harus menebak-nebak jawaban apa yang kira-kira akan di berikan oleh Papa. Semoga saja Papa menolak dan tidak menerima lamaran pria menyebalkan itu.

"Om tunggu kedatanganmu di rumah untuk melamar Andin secara resmi bersama kedua orang tuamu." Jawab Papa dengan lancar dan mantap.

"Ap-apa? Mengapa Papa malah menyuruhnya untuk datang ke rumah?" Cecarku dengan suara yang terdengar frustasi.

"Dengar sayang, kita tidak boleh menolak niat baik dari seseorang. Karena pernikahan itu bertujuan baik maka Mama dan Papa menerimanya." Jelas Mama sambil tersenyum.

"Mamamu benar Andin, lagipula umurmu sudah cukup untuk berkeluarga. Papa dam Mama sudah tidak sabar ingin segera menimang cucu darimu. Apalagi kau anak tunggal." Tutur Papa dengan tatapan penuh harap.

Astaga, apa yang sebenarnya terjadi dengan Mama dan Papa? Mengapa mereka berdua begitu mudahnya menerima lamaran dari Rifky? Bahkan mereka tidak menanyakan terlebih dahulu pendapatku seperti apa. Sepertinya kepulanganku kali ini benar-benar membawa petaka.

"Om, Tante, bagaimana kalau saya akan datang ke rumah pada hari Sabtu malam saja?" Celetuk Rifky dengan wajahnya yang berbinar-binar.

"Tentu saja, dengan senang hati Om dan Tante akan menerima kedatanganmu beserta keluarga." Jawab Papa dengan bersemangat.

"Tapi Pa, Andin belum mau menikah. Andin masih ingin mengejar karir modeling Andin." Aku merajuk seperti anak kecil, berharap Papa akan merubah kembali keputusannya. Kalau bisa membatalkan lamaran ini.

"Kau ingin mengejar apalagi, Andin? Bukankah kau sudah mendapatkan impianmu untuk menjadi seorang supermodel di seantero Asia?" Todong Papa, "Sebenarnya Papa agak khawatir melepasmu di Singapura seorang diri. Yah, meskipun Papan yakin kau tidak akan berbuat macam-macam. Tapi Papa akan lebij tenang jika kau tinggal di sana bersama suamimu." Jelas Papa panjang lebar.

Aku hanya bisa memberengut sambil mengatupkan bibirku. Mimpi apa aku sebenarnya? Sampai-sampai aku di lamar oleh pria menyebalkan ini? Argh, benar-benar menyebalkan. Jika Mama dan Papa tidak ada disini sudah sejak tadi aku mencekik pria yang kini tengah duduk di sampingku.

"Om, Tante, bolehkah saya mengajak Andin keluar?" Rifky meminta ijin, aku takkan sudi pergi bersamanya.

"Tentu saja, kalian berdua pergilah. Hati-hati di jalan." Tutup Papa memberikan ijinnya kepada Rifky untuk menculikku, oke ini berlebihan.

Papa memberikan aku tatapan agar tidak membantah ataupun menolak. Dengan wajah yang di tekuk aku hanya bisa mengikuti keinginan Papa dan Mama. Dengan terpaksa. Selama perjalanan menuju ke tempat parkir aku tak menanggapi sedikitpun kata-kata yang keluar dari mulut Rifky.

Bahkan aksi diamku masih terus berlanjut ketika kami sudah berada di dalam mobil. Ia menjalankan mobilnya dengan sedikit kesal? Entahlah ekspresinya wajahnya benar-benar tidak bisa terbaca. Atau jangan-jangan ia akan membunuhku? Singkirkan pikiran bodohmu itu Andid, cibir kata hatiku.

Sibuk dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Sampai-sampai aku tidak sadar bahwa mobil yang aku tumpangi kini sudah berhenti. Dengan sedikit bingung aku mengedarkan pandangan kesekitar. Ini kan di pantai, untuk apa pria menyebalkan ini mengajakku ke pantai malam-malam seperti ini?

"Sudah puas melamunnya?" Aku mengalihkan pandanganku ke arah pria pria yang ada di sampingku dengan kesal.

"Untuk apa kau membawaku kesini?" Tanyaku datar.

"Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepadamu. Ayo kita turun." Jawabnya dengan bersemangat.

Ia keluar dari mobil kemudian berlari memutar untuk membukakan pintu mobil untukku. Dengan setengah hati aku keluar tanpa menghiraukan uluran tangan darinya. Sempat terlihat kekecewaan di wajahnya namun dengan cepat Rifky kembali memasang ekspresi wajah yang ceria. Rifky menghelaku menuju kesebuah dermaga yang terlihat lebih terang dari biasanya.

Keningku menghenyit semakin dalam ketika kami mendekati cahaya yang ada di dermaga itu. Kedua mataku membulat sempurna ketika mendapati ada sebuah meja dan dua buah kursi di sana. Di sekelilingnya di terangi oleh cahaya lilin. Terdapat beberapa tangkai bunga di dalam vas kecil yang ada di atas meja. Sebotol champagne dan dua buah gelas terdapat di atasnya juga.

Aku menatap semua itu dengan bingung. Apa maksudnya semua ini? Lalu sejak kapan Rifky menyiapkannya? Bukankah i ni pertama kalinya kami bertemu kembali setelah sekian lama tidak bertemu. Bahkan selama berbincang bersama kedua orang tuaku Rifky tidak mengeluarkan ponselnya. Aneh. Hanya satu kata itu yang cukup menggambarkan peristiwa yang terjadi hari ini.

"Duduklah, ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu." Suara bariton Rifky yang sedikit serak langsung menyadarkanku.

"Ah ya, aku akan duduk." Jawanku singkat dan masih sedikit bingung.

Tak lama kemudian Rifky membuka botol champagne, menuangkannya ke dalam gelas yang ada di atas meja. Setelah itu memberikan salah satu gelas tersebut kepad. Ia duduk di kursi kosong yang ada di depanku.

Aku mengalihkan pandanganku menatap lautan luas yang ada di depanku. Tatapan Rifky yang hanya terfokus kepadaku membuatku risih saja. Ah, entah sudah berapa lama aku tidak mendatangi pantai di malam hari. Angin laut menerpa wajahku dan menerbangkan rambutku. Aku memang menyukai lautan namun di saat yang bersamaan aku juga membencinya. Terlalu banyak kenangan manis bersama Abi di tempat yang bernama pantai dan lautan.

"Andin..." panggil Rifky.

Aku mengalihkan pandanganku menatapnya, "Ada apa?" Tanyaku dengan kening yang berkerut.

"Aku benar-benar serius ingin menikahimu, Andin." Jawabnya cepat.

"Pernikahan bukan untuk main-main, Rifky. Dan bagiku pernikahan itu hanya terjadi pada dua orang yang saling mencintai saja..." aku diam sejenak untuk menghela nafas, "Dan itu bukan untuk kita,  Rifky. Maksudku aku dan kau tidak saling mencintai. Jadi pernikahan tidak akan berhasil." Lanjutku.

"Tapi aku mencintaimu Andin, sudah sejak lama. Bahkan sebelum kau mengenal Abi." Tuturnya yang menatapku dengan lembut.

"Jika kau menyukaiku sudah sejak lama mengapa kau membiarkan aku bersama Abi? Mengapa kau tidak mencoba untuk mempertahankan atau mencoba untuk mendapatkanku, Rifky?" Cecarku dengan suara yang mulai bergetar.

"Karena Abi sahabat karibku, Andin." Jawabnya singkat.

"Dan sahabat karibmu itu telah mempermainkan dan membohongiku selama bertahun-tahun, Rifky." Akhirnya pertahananku runtuh, tangisku pecah.

"Tidak Andin tidak, kumohon jangan menangis." ia panik melihatku menangis dan berusaha untuk menenangkanku.

"Apa tujuanmu menikahiku, Rifky? Kenapa begitu tiba-tiba dan baru sekarang?" desisku di antara isakan tangisku.

"Karena aku mencintaimu, apa itu belum cukup untuk meyakinkanmu, Andin?" tanyanya dengan tatapan yang sedih.

"Kau ingin aku menjawabnya lagi, Rifky? Aku rasa kau sudah tahu dengan jelas apa jawabanku." desisku sambil meletakan gelas yang kupegang di atas meja.

Aku berdiri dari posisi dudukku kemudian bergegas untuk pergi meninggalkan Rifky. Aku sudah muak mendengarkan omong kosongnya, sangat muak. Bagiku semua pria sama saja, makhluk yang tidak memiliki perasaan yang sangat senang mempermainkan perasaan kami para wanita seenaknya.

Baru saja melangkahkan kakiku tiba-tiba Rifky mencengkram pergelangan tanganku. Menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Hangat, itulah yang pertama kali aku rasakan. Tapi semua itu takkan bisa mematahkan prinsip yang selama ini aku pegang.