MAX
Selalu saja seperti ini, Lila akan langsung membisu setiap kali aku mengatakan bahwa aku sangat mencintainya. Aku takkan pernah bosan untuk mengatakannya, tak peduli seperti apa perasaannya kepadaku. Yang aku tahu Lila memiliki perasaan yang sama denganku. Meskipun aku tak menampik bahwa aku merasa penasaran apa yang membuatnya tak mau memiliki hubungan yang terikat denganku.
Lila sempat mengatakan biarlah hubungan kami berjalan seperti saat ini. Aku tak bisa menolak keinginan Lila, untuk menjalani hubungan yang seperti ini. Terserah kalian mau menyebut apa hubunganku dan Lila, namun yang pasti aku akan tetap berusaha untuk mengubah pola pikir Lila. Aku tak mau terus-terusan melakukan hubungan fisik dengannya tanpa hubungan yang pasti.
Untuk saat ini akan aku nikmati saja hubungan yang seperti ini. Waktu yang akan menjawab semuanya akan seperti apa kami ke depannya. Memeluknya seperti ini sangat menyenangkan, aku merasa nyaman. Jika selama di London aku selalu berhubungan seks dengan banyak wanita itu karena aku tak bisa memendam hasratku setiap kali selesai menghubungi Lila.
Kejantananku selalu mengeras dan berkedut jika berada di sampingnya. Seperti saat ini, kejantananku tanpa tahu malu mulai berkedut dan mengeras. Padahal tadi siang kami baru saja melakukan percintaan yang panas. Aku takkan bermain dengan wanita-wanita itu jika Lila benar-benar menjadi milikku.
"Berhenti menggodaku seperti itu, Kak." Celetuk Lila yanh masih asyik bersandar di dadaku.
"Aku tidak menggodamu sayang, kau lihat sendiri posisiku seperti apa." Jawabku santai, sedangkan tanganku kini mulai menyusuri punggungnya yang telanjang.
Kulitnya yang lembut membuatku ketagihan untuk terus menerus menyentuhnya. Aku tak ingin kehilangan sedikit waktuku untuk menikmati tubuhnya yang hangat fan begitu indah. Semua yang ada pada diri Lila sudah menjadi candu untukku. Ia seperti zat adiktif yang sudah memenuhi seluruh syaraf dan mengalir dalam darahku.
Lila... Lila... Lila... sampai kapan kau membuatku seperti ini? Sampai kapan kau hanya akan memberikan tubuhmu ini Lila? Yang aku inginkan adalah semua yang ada didirimu. Baik itu tubuh dan juga hatimu, aku ingin memilikimu seutuhnya. Agar hidupku menjadi lengkap, tidak seperti saat ini. Merasa tidak sempurna karena masih ada sesuatu yang kosong.
"Jangan menggodaku, Kak." Lila terus-terusan merajuk karena kini tanganku telah menggerayangi seluruh tubuhnya tanpa cela sedikit pun.
"Salah siapa kau membangunkanku, sayang." Timpalku sambil terus menggoda titik-titik sensitif ditubuhnya.
Dan kami berdua kembali terlibat dalam percintaan panas dan sama-sama mencapai kenikmatan yang tadi kami nikmati. Aku takkan pernah merasa puas dengan tubuhnya itu.
Saat ini kami telah berada di sebuah restoran untuk menikmati makan malam kami. Wanitaku ternyata memang sangat kelaparan. Tentu saja karena seharian ini aku terus-terusan menggodanya untuk bercinta denganku.
Selama aku melakukan beberapa panggilan pekerjaan, Lila asyik menikmati makan malamnya dengan lahap. Ia memesan makanan dengan porsi yang banyak. Aku tersenyum melihat Lila yang sibuk dengan makanannya.
"Sedang melihat apa?" Tanyanya dengan mulut yang penuh dengan makanan. Kedua pipinya menggembung, lucu sekali.
"Maaf." Entah mengapa malah kata itu yang terlontar dari mulutku.
"Maaf? Untuk apa?" Tanya Lila kebingungan, namun ia tidak menghentikan kegiatan makannya.
Aku mencodongkan tubuhku hingga wajah kami hanya berjarak beberapa centi saja, "Maaf karena sudah membuatmu kehabisan tenaga karena pertempuran kita di tempat tidur." Gumamku dengan suara pelan.
"Uhuk..." Lila langsung tersedak, dengan cepat ia meraik gelas berisi air putih yang ada di dekatnya, meminum isinya hingga tandas. Sedangkan wajahnya kini memerah. Ah, aku senang sekali melihat wajahnya yang merona seperti itu. Sangat menggemaskan dan terlihat semakin cantik.
"Berhenti menggodaku, Kak." Lila terus saja mengoceh di sela-sela makan malam kami.
"Maaf Lila, aku hanya ingin terus bersamamu. Tapi sepertinya malam ini adalah malam terakhir kita bersama." Jelasku dengan raut wajah yang sedih.
"Memangnya kakak mau kemana? Bukankah kakak baru sampai disini tadi siang?" Tanya Lila serius.
"Aku harus segera kembali ke London. Ada masalah yang cukup serius terjadi disana dan harus aku yang menanganinya." Jelasku.
Lila langsung menekuk wajahnya cantiknya, "Kakak jahat." Gumamnya.
"Maaf sayang, ini semua diluar rencana yang telah aku susun. Tapi aku janji jika semuanya sudah selesai dan berhasil ditangani aku akan segera kembali." Bujukku sambil membelai lembut wajahnya.
"Kakak tidak bohong, kan?" Tanyanya dengan manja.
"Tidak sayang, aku tidak bohong. Karena itu mari kita habiskan makan malam ini. Kemudian kita segera kembali ke apartemen. Aku ingin menghabiskam malam ini hanya bersamamu, sayang. Karena besok pagi-pagi sekali aku harus segera berangkat." Jelasku dengan bersemangat.
Lila hanya ber"oh" ria menanggapi ucapanku sambil terus memakan makanannya. Setelah selesai dan membayar tagihan, aku segera mengajak Lila untuk pulang. Sesampainya di apartemen aku langsung membopong tubuhnya masuk ke dalam kamar kamar.
Setelah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, aku langsung mencium bibirnya dengan penuh gairah. Gairah yang takkan pernah padam saat aku berada disampingnya. Berat sekali rasanya harus kembali ke London esok pagi. Aku masih sangat merindukannya, selalu rindu. Apalagi aku sudah jarang datang menemuinya karena kesibukanku mengurus perusahaan di London.
Andai saja adikku yang menyebalkan itu mau ikut terjun langsung menguurs perusahaan. Mungkin saat ini aku tidak perlu jauh-jauh tinggal London, aku pasti akan bisa berada didekat Lila setiap saat. Namun adikku yang menyebalkan itu malah lebih memilih untuk menjadi seorang model.
Asal kalian tahu saja aku sudah hampir tujuh tahun aku tidak bertemu dengan adikku. Karena ia tinggal bersama Mom di Amerika sedangkan aku tinggal bersama Dad di London. Ya, kedua orang tua kami memutuskan untuk berpisah. Namun meskipun begitu baik Mom maupun Dad tidak pernah melarang kami untuk saling berkunjung.
Hanya saja aku harus menjalankan semua perusahaan milik Dad seorang diri. Padahal seharusnya aku dan adikku yang menjalankannya. Tapi dia mau dan malah memilih untuk menjadi model. Mungkin karena Mom seorang desiner papan atas, jadi adikku itu tertarik untuk menjadi seorang model.
Dan hubunganku dengan adikku itu tidak baik. Jika tidak sengaja bertemu ia langsung membuang muka. Ia bersikap seolah tidak mengenalku sama sekali. Tatapannya kepadaku selalu sinis. Kami layaknya dua orang yang saling bermusuhan. Padahal Dad tidak pernah membeda-bedakan kami berdua. Tapi entah kenapa adikku bersikap seperti itu.
Kembali lagi ke hari ini, saat ini aku tengah asyik mencumbu Lila. Aku tak ingin waktuku habis tanpa menyentuhnya sedikitpun. Suara erangan yang keluar dari bibir mungil Lila semakin membuat gairahku berkobar.
"Ugh..." erang Lila saat aku mencumbu kedua payudaranya secara bergantian. "Max.... ahh...." Aku senang sekali membuatnya mendesah sambil menyebut namaku tanpa embel-embel kakak didepannya.
"Teruslah panggil namaku, sayang." Bisikku tepat di telinganya.
"Max... please..." erangannya kembali terdengar. Kedua mata Lila terlihat begitu sayu oleh gairah. Kedua pipinya terlihat memerah, ah aku senang melihatnya seperti ini.
"Calm baby, you can feel me inside you." Bisikku sambil mengigit kecil cuping telinganya. Kemudian menciumi leher serta bahunya yang telanjang.
Lila mempererat cengkramannya di lenganku. Erangan dan desahan semakin sering keluar dari bibir mungilnya itu. Dengan cepat aku segera menyingkirkan kain yang masih melekat di tubuh kami berdua. Aku membenamkan wajahku di antara kedua pahanya. Menggoda dan mencumbui bagian intimnya.
"Oh... oh... I wanna cumhhhh... Max... Ahh..." Lila melengguh panjang, tubuhnya bergetar hebat karena orgasme yang di dapatkannya.
Aku tersenyum puas saat melihat Lila mendapatkan pelepasannya. Senyumanku tak pernah hilang saat aku mulai mengarahkan milikku yang sudah sangat keras hingga terasa sakit. Hingga rasanya aku seperti terkena blue balls.
Dengan perlahan aku memasukan milikku. Kali ini aku ingin melakukannya dengan perlahan dan sangat lembut. Nafas kami berdua tertahan selama proses penyatuan yang kami lakukan. Sebuah erangan lolos dari bibirku saat milikku telah masuk seluruhnya.
"I love you Lila, I love you I love you I love you." Gumamku sambil menggerakkan milikku keluar dan masuk dengan perlahan.
Aku masih tetap dengan ritme yang tidak cepat. Meskipun aku tahu bahwa Lila mulai merasa frustasi karena aku terus bergerak perlahan. Namun aku tak mempedulikannya, aku hanya ingin menikmati momen ini tanpa ketergesaan.
"Max.... shhhh... ugh... fasteeeeehhhh..." racau Lila dengan mata yang setengah terpejam.
"No baby, aku sedang bercinta denganmu. Bukan bersetubuh, jadi aku tidak ingin tergesa-gesa." Gumamku sambil berusaha menahan gairahku mati-matian.
Lila mengetatkan kedua kakinya yang melingkari pinggangku. Menekan tubuhku agar lebih merapat dengan tubuhnya. Ia menciumku dengan liar, biasa kurasakan ciumannya yang sangat menuntut. Lidah kami saling bertautan, membelit dan saling merasai rasa masing-masing. Menyesapnya dengan begitu rakus.
Setelah cukup lama akhirnya aku mempercepat ritme gerakanku menjadi cepat dan keras. Membuat Lila berteriak karena kenikmatan yang dirasakannya. Hingga akhirnya kami berdua mecapai pada pelepasan kami. Orgasme yang begitu hebat menghantamku dan Lila.
"Mengapa bercinta denganmu selalu hebat seperti ini, Lila." Bisikku dengan wajah yang terbenam dilekukan lehernya yang basah oleh keringat. Maaf aku tidak menggunakan pengaman Lila, kau tahu bahwa aku sangat ingin memilikimu. Maaf harus melakukan cara yang seperti ini, bisikku dalam hati. Sedangkan Lila masih mengatur nafasnya yang terengah.
***
LILA
Sudah satu minggu Kak Max pulang ke London. Aku benar-benar merasa bosan, tak asa objek yang menarik minatku untuk memotretnya. Pekerjaanku sebagai seorang fotografer pun sedang tidak begitu sibuk.
Zac. Entah kapan ia akan kembali ke kota ini. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku merindukannya. Jangan tuduh aku berselingkuh dari Zac dengan Kak Max. Karena hubunganku dengan Zac tak beda jauh dengan yang aku lakukan dengan Kak Max.
Ya ya aku memang gila. Terserah saja kalian menyebutku hyper atau apapun juga, karena aku takkan mempedulikannya. Ini hidupku, tak ada seorang pun yang berhak mengaturnya. Bahkan ketika aku memutuskan untuk mencintai dan menjalin hubungan dengan dua orang pria dalam waktu yang bersamaan.
Jangan tanya padaku apa yang akan aku lakukan jika suatu hari nanti hubungan yang aku jalani ini akan terbongkar. Karena aku belum memiliki jawaban dan alasan yang masuk akal untuk semua ini. Aku hanya memilih yang terbaik dari yang terbaik. Tak ada salahnya bukan jika wanita sepertiku mengharapkan pria yang baik untuk menjadi pendampingku kelak.
Saat ini aku tengah termenung di salah satu kafe yang letaknya berada di dekat pantai. Aku memilih meja yang letaknya dekat dengan sebuah jendela besar yang mengarah langsung ke arah pantai. Aku mengedarkan pandanganku menatap pemandangan yang ada di hadapanku.
Semilir angin yang masuk menerpa dan mulai memainkan helaian-helaian rambutku. Suara debur ombak yang berkejaran membuatku merasa nyaman dan tenang. Mataku beberapa kali terpejam untuk menikmati suasana yang begitu mendamaikan ini. Andai saja Kak Max atau Zac berada disini, batinku.
Setelah puas menikmati pemandangan yang ada, aku kembali menyesep moccha frappucino kesukaanku dengan perlahan. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kafe yang ternyata masih seperti tadi. Suasananya tidak terlalu ramai. Aku suka sekali tempat yang tidak terlalu ramai.
Hingga mataku menatap sosok yang sangat aku kenal berada di salah satu meja di kafe ini. Detak jantungku langsung berubah menjadi cepat dan tidak karuan. Keringat dingin mulai membasahi tengkukku. Tanganku gemetaran saat meraih gelas yang ada di hadapanku.
Ya Tuhan...