Selasa, 25 Februari 2014

Love Under The Rain 7

VANNO

Menjadi orang baik ternyata sangat sulit. Keluar dari dunia hitam dan melepaskan rantai yang membelenggu kita dengan dunia hitam itu tak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Pergi dan menghindar sejauh apapun kegelapan itu akan terus mengikuti dan pada akhirnya sang kegelapan akan menemukanmu. Dan mencoba menarikmu kembali ke dalam kegelapan.

Ya, itulah yang sedang terjadi padaku saat ini. Ayah dan kakak angkatku telah kembali. Mereka berhasil menemukanku, bisa di tebak apa yang mereka inginkan. Mereka menginginkan aku untuk kembali dalam kegelapan. Karena itu pula aku tak bisa bersama dengan wanita yang kucintai. Amat berbahaya membiarkan Clariss tetap bersamaku.

Aku tak bisa egois, keselamatan Clariss adalah prioritas utamaku saat ini. Menjaga dirinya dan identitasnya adalah hal yang aku utamakan dari segalanya. Terlebih lagi setelah kakak angkatku tahu bahwa aku sedang dekat dengan seorang wanita. Meskipun beberapa waktu yang lalu aku mendapati Clariss di antar oleh seorang pria dan mereka berdua terlihat sangat akrab, membuat hatiku sakit seperti di tusuk oleh ribuan jarum. Entah mengapa keinginan untuk tetap  melindunginya begitu besar.

Aku tahu bahwa aku akan semakin sakit karena terus saja mengawasi Clariss. Dan pria yang aku ketahui bernama Leon itu semakin hari semakin bertambah intens bersama Clariss. Dan sepertinya Clariss sudah benar-benar melupakanku. Vanno bodoh, bukankah hal ini yang kau inginkan selama ini? Clariss menjauh dan melupakanmu karena dengan begini nyawa Clariss akan selamat, rutukku dalam hati.

"Hai adikku, apa kabar?" Suara dari kakakku langsung menyadarkanku dari lamunanku.

"Mau apa kau?" Aku langsung melemparkan tatapan sinis kepada Ray. Untuk apa dia kembali muncul di hadapanku?

"Aku hanya ingin mengingatkan saja bahwa hari untuk kau melaksanakan tugas itu sudah semakin dekat." Tuturnya santai.

"Tak usah repot-repot mendatangiku kemari. Aku takkan pernah lupa dengan apa yang sudah di tugaskan kepadaku." Ucapku dingin, "Dan asal kau tahu Ray, ini terakhir kalinya aku mengikuti keinginanmu dan Dad." Tegasku.

"Dengar adikku, takkan pernah ada orang yang bisa benar-benar keluar dari dunia hitam. Jadi sebesar dan sekeras apapun usahamu untuk keluar, pada akhirnya kau akan kembali pada kegelapan itu sendiri." Jelas Ray sambil tertawa.

Aku menggertakkan gigiku, berusaha keras untuk menahan emosiku. Aku sangat tahu Ray seperti apa, ia selalu berusaha untuk memancing emosi dan amarahku. Dan ketika aku terpancing bahkan lepas kontrol ia akan tertawa bahagia dengan penuh kemenangan. Kali ini aku takkan membiarkan Ray memancing emosiku, "Terserah kau saja, Ray. Karena aku tak peduli, takkan pernah peduli. Sebaiknya kau pergi dari hadapanku sebelum aku berubah pikiran dan tidak melakukan apa yang kalian inginkan." Ucapku dengan suara sedingin es.

"Baiklah, aku akan pergi dari hadapanmu. Jangan pernah berpikir untuk kabur dari kami, Vanno. Atau kau akan menerima akibatnya." Ancam Ray dengan sedikit gusar. Kemudian ia pergi dari ruanganku, membanting pintu dengan keras.

Aku kembali menghempaskan tubuhku di kursi dan memutarnya menghadap jendela besar yang berada tepat di belakang mejaku. Mengamati hiruk pikuk kota di bawah sana dari atas, mobil-mobil dan para pejalan kaki di bawah sana terlihat begitu kecil dari sini. Ada banyak hal tak terduga yang terjadi di bawah sana. Mungkin Clariss juga berada di antara orang-orang itu. Apa yang sedang kau lakukan, Clariss?

Ah, apa yang kau pikirkan Vanno? Berhentilah memikirkan Clariss, tak ada gunanya kau memikirkan wanita yang sudah tidak memiliki perasaan apa-apa lagi kepadamu. Clariss sudah bahagia bersama pria bernama Leon, jadi berhentilah memikirkannya, perintahku pada diriku sendiri sambil mengacak frustasi rambutku.

Selanjutnya yang aku lakukan adalah memandangi langit dari balik jendela besar di hadapanku ini. Memandangi gumpalan awan yang berarak dan bergerak dengan perlahan. Memandangi langit yang mulai berubah dari terang berubah menjadi senja. Warna semburat jingga yang kini menghiasi langit kota. Dan pikiranku masih terpaku pada Clariss.

Sial. Aku tidak bisa seperti ini terus menerus. Aku harus melakukan sesuatu agar pikiranku tidak terus menerus memikirkan Clariss. Ya, aku tahu apa yang harus aku lakukan, meskipun aku tahu efek yang akan di timbulkan pada diriku jika melakukan hal ini. Namun aku tak peduli. Tak peduli jika aku semakin dalam mencintainya, tidak peduli jika semakin menderita karena begitu mendambanya, dan begitu menginginkannya.

Dengan langkah lebar aku keluar dari dalam ruanganku. Sesampai di parkiran mobil aku lansung memacu mobilku menuju ke tempat tinggal Clariss. Aku begitu ingin melihat sosoknya meskipun hanya dari jauh.

Setelah setengah jam berkendara akhirnya aku sampai di tempat tinggal Clariss. Aku memarkirkan mobilku di parkiran sebuah restoran yang tertutup oleh pohon. Dari sini aku bisa mengawasi orang-orang yang berlalu lalang tanpa takut akan terlihat. Tak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depan pintu masuk tempat tinggal Clariss.

Mobil yang masih aku ingat dengan begitu jelas siapa pemiliknya. Leon. Karena tak lama kemudian Clariss keluar dari dalam mobil tersebut di ikuti oleh Leon. Mereka terlihat semakin akrab, entah sudah memasuki tahap apa hubungan mereka berdua karena aku tak ingin tahu sama sekali.

Hingga tiba-tiba saja pemandangan di depanku begitu menyakitkan. Jangan tanya apa yang terjadi dengan hatiku saat ini. Hancur tak cukup untuk menggambarkannya. Sakitnya begitu tak terperi. Ya, saat ini aku sedang melihat Clariss berciuman dengan Leon. Ya Tuhan, rasanya aku seperti sedang berada di ambang kematian. Menunggu sang malaikat pencabut nyawa datang dan mecabut nyawaku.

Cengkramanku pada kemudi mobil semakin mengerat. Mati-matian aku meredam emosi yang kini sudah menyelimuti seluruh tubuhku. Aku harus segera pergi dari sini, aku harus pergi. Akan terjadi sesuatu yang mengerikan jika aku tetap berada di tempat ini. Naluriku sebagai seorang pembunuh berdarah dingin mulai menampakkan dirinya.

Dengan nafas yang tersengal dan tangan yang gemetaran aku berusaha untuk tetap menjalankan mobilku dengan tenang. Berharap aku takkan membuat kekacauan atau menabrak sesuatu ketika mengendarai mobil ini.

So the rumor's true
That you are with someone new
And he's standin' right where I used to
It won't be long, 'til they recognize
how you're gonna mess with their life
and just like me, thrown to the side

I'll admit that I had it bad,
thought you were the best I ever had
I had you on a pedestal
now I'm ready to let you fall
Thinking you were right for me
was a case of mistaken identity
You're not the person I thought I knew
You were just a wasted I love you
You were just a wasted I love you
(Wasted I love you)
You were just a wasted I love you

Now you can take our memories
something I no longer need
call it a souvenir from me
I'll be moving on to something new
now that my heart is finally through
and it's waving goodbye to you

I'll admit that I had it bad
thought you were the best I ever had
I had you on a pedestal
now I'm ready to let you fall
Thinking you were right for me
was a case of mistaken identity
You're not the person I thought I knew
You were just a wasted I love you
You were just a wasted I love you
(Wasted I love you)
You were just a wasted I love you

For what it's worth
I'll take some good from this hurt
and use it as a lesson learned

I'll admit that I had it bad
thought you were the best I ever had
I had you on a pedestal
now I'm ready to let you fall
Thinking you were right for me
was a case of mistaken identity
You're not the person I thought I knew
You were just a wasted I love you
You were just a wasted I love you
(Wasted I love you)
You were just a wasted I love you
You were just a wasted I love you

Now that my heart is, finally through
it's waving goodbye to you
Just a wasted I love you
Now that my heart is, finally through
it's waving goodbye to you
Just a wasted I love you
Now that my heart is, finally through
it's waving goodbye to you

(Britroyal - Wasted I Love You)

Sial. Sial. Sial. Bukankah tadi sebelum pergi kemari aku mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku siap dengan semua resiko yang akan aku terima jika menemuinya. Mengapa kau jadi pria yang menyedihkan seperti ini Vanno? Kau benar-benar pria yang menjijikan.

Aku semakin membenci diriku ketika rasa panas yang menyengat menyerang mataku. Sial. Sekarang apa? Haruskah aku menangis meraung-raung karena melihat wanita yang kucintai berciuman dengan pria lain? Demi Tuhan, aku benar-benar membenci diriku saat ini, benci karena aku baru menyadari bahwa aku menjadi pria yang sangat lemah. Dan semua itu terjadi karena Clariss. Dia yang membuatku seperti ini, membuatku merasakan kembali detak jantungku yang sebelumnya aku kira detakan jantung itu sudah tidak ada.

Clariss mengembalikan hatiku yang dulu hilang tertelan oleh kegelapan. Membuatku kembali bisa merasakan rasa sakit, berdebar-debar, dan bahagia. Hidupku yang dulu hanya di lingkupi oleh kegelapan, menjadi berwarna dan mulai terang sejak Clariss masuk ke dalam kehidupanku. Namun sekarang bisakah aku tetap bertahan di dunia terang tanpa harus kembali terseret dan terjerumus ke dalam kegelapan yang tiada berujung itu?

Karena satu-satunya orang yang menjadi penuntunku menuju cahaya kini telah bersama orang lain. Ia telah berbahagia dengan pria pilihannya. Andai saja waktu dapat kuputar kembali, namun semua itu mustahil.

Dan di sinilah aku sekarang, berdiri di balkon salah satu vila milikku yang berada di pinggir pantai. Aku membiarkan angin yang berhembus kencang menerpa tubuhku. Rasa dingin pun tak terasa di tubuhku. Aku menatap nanar ke arah lautan yang terbentang luas di depan sana.

Entah sudah berapa banyak botol whisky yang tergeletak sembarangan di sekelilingku. Belum lagi gelas yang pecah karena terlalu kuat ku genggam. Darah yang menetes dari luka yang di sebabkan oleh pecahan-pecahan kaca itu tak membuatku bergeming dari posisiku.

Semua ini terjadi karena salahku, keteledoranku yang membiarkan Clariss masuk ke dalam hidupku. Seharusnya hari di mana kami bertemu aku langsung menolaknya saja. Dan semua kekacauan ini takkan pernah terjadi. Aku bisa melanjutkan hidupku, serta melakukan apa yang kumau tanpa harus melibatkan perasaan. Pengaruh Clariss memang sangat luar biasa, ia seperti memiliki magis yang mampu membuatku memusatkan perhatian kepadanya. Memporak porandakan semua keyakinan yang selama ini menjadi peganganku.

Membuatku diriku merasakan apa yang namanya cinta. Satu kata dengan beribu makna. Cinta yang mengubah cara pandangku dalam menjalani hidup ini. Namun aku tak begitu pahan dengan arti cinta itu sendiri. Terlebih ketika melihat orang yang telah menumbuhkan benih-benih cinta itu di hatiku tengah bercumbu dengan orang lain.

Cinta begitu rumit. Wanita pun begitu rumit. Dua hal itulah yang kini menjebakku, memerangkap jiwa dan ragaku. Aku yang dulu begitu menikmati pekerjaanku sebagai malaikat pencabut nyawa.

Minggu, 16 Februari 2014

Let's Make Tonight Special

Jika kau merindukanku tataplah bintang yang bertebaran di langit saat malam tiba. Karena pada saat yang sama aku juga melakukan hal yang sama. Memandangi langit malam yang di hiasi oleh pendaran sinar dari bintang-bintang. Karena aku yakin dengan cara seperti itu rasa rindu kita akan saling terhubung, meskipun jarang memisahkan kita.

Kata-kata itulah yang terngiang di kepalaku setiap malam sejak satu tahun yang lalu. Gale mengatakan hal itu kepadaku di sesaat sebelum kami berpisah. Setiap hari kami selalu berkomunikasi namun tetap saja, semua itu belum cukup untuk mengobati rasa rindu yang kerap kali menggerogoti relung hatiku.

Akan lebih menyenangkan jika setiap hari bisa melihatnya seperti dulu. Memeluknya, menyentuh wajahnya, mendengar suaranya. Semua terasa lebih menyenangkan. Tidak seperti sekarang ini. Entah kapan Gale akan kembali ke kota ini, aku benar-benar merindukannya.

Bahkan sudah tiga hari Gale tak kunjung menghubungiku. Perasaan khawatir terus menghantuiku selama tiga hari terakhir ini karena aku juga tak bisa menghubunginya. Gale tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Gale, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa kau tak kunjung menghubungiku? Aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu, Gale.

Hembusan angin yang semakin dingin dan menusuk tulang-tulangku memaksaku untuk tersadar dari semua lamunanku. Tak kusadari tubuhku mulai menggigil karena kedinginan, dengan terpaksa aku beranjak dari balkon dan masuk ke dalam kamar. Setelah menutup pintu kaca, aku langsung naik ke atas tempat tidur dan bergelung di balik selimutku yang tebal. Berharap tubuhku yang tadi kedinginan akan segera mendapatkan kehangatan.

Aku kembali terhanyut dalam lamunanku yang sempat terputus tadi. Kepalaku langsung di penuhi oleh Gale. Dengan sekuat tenaga aku paksakan kedua mataku untuk tertutup, tapi rasanya sulit. Setelah setengah jam berusaha keras untuk tidur akhirnya aku menyerah dan memilih untuk meminum obat tidur. Usaha itu berhasil karena lima menit kemudian mataku sudah terasa berat dan akhirnya aku tertidur. Tenggelam dalam kegelapan yang biasa menemaniku.

***

Satu minggu berlalu dan masih belum ada kabar dari Gale. Membuatku tidak bisa berkonsentrasi dalam mengerjakan setiap pekerjaanku di kantor. Apapun yang aku lakukan dan aku pikirkan selalu berubah menjadi Gale.

Gale, mengapa kau belum juga menghubungiku? Aku hampir putus asa mencari tahu keberadaanmu. Kau menghilang bagai di telan bumi. Apakah yang sebenarnya terjadi padamu Gale? Cepatlah memberi kabar agar aku bisa merasa tenang menjalani semua rutinitasku.

Sepulang dari kantor aku memutuskan untuk pergi ke pantai sebelum pulang ke apartemen. aku benar-benar membutuhkan tempat yang sangat tenang. Dan pantai adalah pilihanku meskipun aku lebih memilih untuk pergi mendaki ke gunung. Tapi mendaki ke gunung butuh persiapan yang matang sedangkan ke pantai tidak perlu.

Maka di sinilah aku saat ini, di salah satu pantai yang sering aku jadikan tempat pelarianku. Pantai adalah tempat kedua yang selalu aku jadikan tempat bersembunyi. Bersembunyi bukan untuk menghindar atau lari, tapi untuk mendapatkan ketenangan. Aku sangat membutuhkan ketenangan itu sebelum aku menyelesaikan permasalahan yang sedang aku hadapi.

Duduk di atas hamparan pasir putih sambil memandang lurus ke arah lautan yang luas dan tak berujung di depanku. Membiarkan angin laut menerpa dan memainkan setiap helaian rambutku. Suasana seperti inilah yang akan membuat suasana hatiku berangsur-angsur membaik. Meskipun jujur hanya Gale-lah yang mampu membuatku kembali tersenyum.

Mataku menutup secara otomatis ketika angin laut dan suara deburan ombak yang saling berkejaran. Menciptakan sebuah simfoni yang membuaiku, menghantarkan perasaan damai di hatiku meskipun hanya sedikit.

***

Seorang pria yang memiliki wajah tampan bak Adonis sedari tadi memperhatikan seorang wanita yang sedang terduduk di pasir pantai dari kejauhan. Dengan perlahan si pria mulai berjalan ke arah si wanita, namun sepertinya si wanita terlalu asyik dengan lamunan dan dunianya sendiri. Sehingga ia tak menyadari kedatangan si pria. Wanitu itu adalah Dhee, wanita yang selama ini amat di rindukannya.

Gale pun langsung memeluk Dhee dari belakang dan berbisik tepat di telinganya,"Aku benar-benar merindukanmu, baby." bisiknya.

Tubuh Dhee yang berada dalam pelukannya menegang, "Gale..." ucap Dhee dengan lirih.

"Ya, ini aku sayang. Aku sangat merindukanmu." jawab Gale yang semakin mempererat pelukannya di tubuh kekasih tercintanya itu.

"Kau... Apa yang kau lakukan? Ba-bagaimana kau bisa berada di sini?" Cecar Dhee sambil membalikkan tubuhnya menghadap dan langsung menatap mata kekasihnya itu.

"Sudah satu minggu aku berada di sini, sayang." Jawab Gale dengan santai.

Dhee membelalakan matanya terkejut, seketika itu pula amarah langsung menguasainya, "Kau berada di sini dan tidak menemui atau menghubungiku sama sekali?" Pekik Dhee dengan nada suara yang naik satu oktaf. "Tak tahukah kau bahwa aku benar-benar mengkhawatirkanmu, Gale!" Tukas Dhee penuh amarah.

"Maafkan aku, baby. Aku tak bermaksud seperti itu, sungguh. Banyak hal yang harus aku kerjakan di sini sehingga aku tidak sempat untuk menghubungimu." Jelas Gale sambil menangkup wajah kekasihnya itu.

"Jadi pekerjaanmu itu lebih penting daripada aku. Begitu?" Teriak Dhee sambil menyingkirkam kedua tangam Gale yang berada di wajahnya. Dhee langsung berdiri dari posisinya dan betgegas untuk pergi meninggalkan tempat itu. Kemarahan terpancar dengan jelas di dirinya.

Namun dengan sigap Gale menahan pergelangan tangannya dan menarik tubuh kekasihnya itu ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, baby. Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu, hanya saja aku ingin segera menyelesaikan semuanya. Agar aku bisa bersamamu dalam waktu yang lama." Jelas Gale sambil membelai rambut wanita yang sebentar lagi menjadi istrinya. Tapi hanya suara terisak yang Dhee keluarkan. "Menikahlah denganku, Dhee." Ucap Gale dengan mantap.

Dhee mendongkakkan wajahnya menatap tepat ke manik mata Gale. Mencari kebohongan atau semacamnya, namun yang di temukannya hanyalah ketulusan di sana. "Tidak." Jawaban singat yang keluar dari mulut kekasihnya itu membuat Gale terkejut dan melepaskan pelukannya.

"Ap-apa? K-kau... tidak tidak kau tidak mungkin menolak lamaranku, kan?" Ucap Gale tergugu, rasanya dadanya begitu sakit ketika mendengar kata penolakan yang keluar dari mulut kekasihnya itu.

Namun Dhee hanya memberikan tatapan acuh tak acuh sambil melipat kedua tangannya. Sikap yang di tunjukkan oleh kekasihnya itu membuat Gale semakin gusar dan resah. Karena hari ini adalah hari yang telah d tunggu-tunggu olehnya.

Hari yang akan menjadi hari besar untuknya dan Dhee. Karena hati ini adalah hari pernikahan mereka berdua. Itulah mengapa Gale tiba-tiba menghilang tanpa memberi kabar sedikitpun pada sang kekasih. Karena Gale ingin memberikan kejutan kepada Dhee, namun ternyata semuanya tidak sesuai dengan apa yang di harapkan.

Ia malah mendapati Dhee yang marah besar kepadanya. Bahkan yang terparah adalah Dhee menolak lamarannya tanpa memberikan alasan sedikitpun. Padahal semuanya sudah siap, hanya menunggu pengantin wanitanya saja.

"Angel please, don't deny me. You know how much I love you, I wanna marry you, Angel." Tanpa sadar Gale merengek kepada kekasihnya itu namun Dhee masih tak bergeming. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, dengan malas Gale menjawab telepon itu tanpa melihat siapa si penelepon.

"Halo." Jawab Gale malas.

"Kakak kau di mana? Mengapa lama sekali, huh. Semua orang sudah menunggu kedatanganmu dan Dhee. Mom dan Dad mulai gelisah." Cerocos si penelepon yang ternyata adalah Lila adik Gale.

"Tunggu sebentar lagi, aku sedang berbicara dengan Dhee." Jawab Gale dengan gusar.

"Aku tidak mau tahu, yang jelas kau harus cepat datang kemari. Jangan sampai kedua orang tua Dhee membatalkan pernikahan ini karena perbuatanmu." Teriak Lila yang langsung memutus hubungan teleponnya.

Kegusaran dan ketakutan terpancar semakin jelas di wajah tampan Gale. Terang saja ia merasa ketakutan, karena butuh perjuangan yang sangat panjang untuk bisa sampai ke tahap ini. Kesuksesannya sebagai seorang CEO tanpa memakai nama sang ayah telah berhasil di dapatkannya. Namun semua itu tak cukup, karena keinginan terbesarnya adalah bisa menjadikan Dhee sebagai istrinya, miliknya selamanya.

"Angel, menikahlah denganku." Ucap Gale sambil memegang kedua bahu Dhee namun Dhee menampiknya.

"Tidak semudah itu Gale, kau benar-benar membuatku marah. Aku kecewa kepadamu." Tukas Dhee sambil memperlihatkan kembali kemarahan dan kekecewaannya.

"Aku tahu bahwa aku salah, Angel. Aku hanya ingin memberikan kejutan padamu, kau tahu bahwa aku menghilang untuk mempersiapkan pernikahan kita. Hari ini adalah hari pernikahan kita." Tubuh Dhee tersentak ketika mendengar penuturan kekasihnya itu.

"Tetap... tidak Gale, jawabanku adalah tidak." Namun Dhee seperti menutup matanya, kejujuran yang telah di ungkapkan oleh kekasihnya seolah masih belum cukup untuk meyakinkannya. Ia tak menampik bahwa hatinya menghangat ketika mengetahui bahwa hari ini adalah hari pernikahannya. Hari yang sangat di tunggu-tunggu olehnya. Tapi entah mengapa ia masih merasa ragu.

"Angel, apa yang harus aku lakukan agar kau mau mempercayaiku kembali? Jika melompat dari tebing bisa membuatmu memaafkanku, maka akan aku lakukan hal itu." Ucap Gale penuh keyakinan dan mulai berjalan ke arah tebing-tebing terjal yang tinggi.

Dhee hanya menatap kepergian Gale dengan acuh tak acuh. Ia yakin bahwa Gale takkan berani melakukan hal bodoh seperti itu, karena Gale hanya menggertaknya saja. Namun keringat dingin mulai muncul di sekujur tubuhnya ketika Gale semakin mendekati tebing itu, ketakutan mulai menyergapnya.

"Gale...." Dhee berteriak memanggil Gale namun pria itu terus saja berjalan tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. "Gale... kembali..." Dhee kembali berteriak namun usahanya sia-sia, kekasih itu tak mendengarnya sama sekali.

Dhee mulai berlari untuk mengejar Gale yang kino sudah berada di puncak dan mulai berjalan ke arah pinggiran tebing. Ia semakin mempercepat larinya, mengrahkan seluruh tenaganya. Ia memang marah dan kesal, tapi membuat Gale terjun ke laut dari tebing yang tinggi bukanlah hal di harapkannya. Karena sejujurnya Dhee sangat ingin sekali menjadi istri Gale, itu adalah impiannya sejak lama.

Dengan nafas yang terengah-engah akhirnya Dhee berhasil mengejar Gale. Angin di atas tebing yang begitu kencang.

"Gale... Kembalilah." Dhee berteriak sambil berjalan perlahan mendekati kekasihnya.

"Tidak Angel, akan aku buktikan bahwa aku benar-benar mencintaimu, Angel." Balas Gale.

"Aku mau menikah denganmu Gale, aku mencintaimu Gale. Kemarilah." Dhee kembali berteriak, dan teriakkannya kali ini berhasil membuat Gale mengalihkan perhatiannya kepada Dhee.

"Apa kau serius? Kau mau menikah denganku?" Kini Gale balik bertanya yang langsung di tanggapi dengan sebuah anggukkan oleh Dhee.

Gale langsung menghilangkan jarak di antara mereka berdua. Tanpa aba-aba dan banyak bicara Gale langsung menggendong tubuh Dhee dan segera membawanya pergi dari tempat itu tanpa menghiraukan teriakan Dhee.

Setelah acara pernikahan selesai Gale dan Dhee langsung pergi menuju ke Swiss untuk bulan madu mereka. Saat ini pasangan pengantin baru ini sedang dalam perjalanan menuju ke bandara.

"I love you, Angel." Entah sudah berapa kali Gale mengucapkan kata-kata itu kepasa Dhee yang kini telah resmi menjadi istrinya.

"Gale, berhenti memelukku seperti itu." Ucap Dhee sambil mendorong tubuh suaminya itu yang terus saja memeluknya dengan manja.

"Tidak sayang, aku takkan melepaskanmu." Timpal Gale dengan manja.

Dhee memutar matanya dengan gemas, "Gale, aku takkan lari. Jangan membuatku kesal." Suara Dhee tegas. Dengan berat hati akhirnya Gale melepaskan pelukannya, sedangkan Dhee langsung meregangkan tubuhnya yang pegal-pegal karena sedari tadi Gale terus saja bergelayutan di tubuhnya dengan manja.

***

Setelah pesawat lepas landas aku memutuskan untuk beristirahat di dalam kamar yang tersedia dalam pesawat jet milik Gale. Tubuhku rasanya remuk, aku tidak pernah tahu bahwa menjalani rangkaian acara pernikahan akan membuatku selelah ini.

Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur, tempat tidur ini sangat nyaman. Sedangkan Gale, sepertinya ia masih tertidur di kursi penumpang. Biar sajalah dia tidur di sana jika dia bangun yang ada hanya akan mengganggu acara istirahatku saja.

Ketika sedang berusaha memejamkan mata, tiba-tiba aku merasa sangat haus sekali. Dengan malas aku bangun dari posisiku dan berjalan ke sebuah mini bar yang ada di dalam kamar. Aku menuangkan air putih ke dalam gelas, dengan mata yang mengantuk aku langsung saja memasukkan satu tablet suplemen vitamin C ke dalam air. Setelah menunggu beberapa saat aku langsung meminumnya hingga tandas. Kemudian aku kembali berbaring di tempat tidur tanpa melepas gaun pengantin yang aku pakai.

Baru sepuluh menit berbaring sekujur tubuhku tiba-tiba terasa panas. Nafasku terdengar putus-putus, dengan tertatih aku berjalan menuju ke mini bar dan langsung meminum air putih hingga dua gelas. Namun tubuhku semakin memanas. Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi dengan tubuhku.

Tubuhku menggeliat tidak tenang di atas tempat tidur, membuat kusut seprai satin yang berada di bawahku. Semakin lama rasa panas itu semakin menyiksaku, demi apapun juga aku belum pernah merasakan panas yang seperti itu. Dengan gusar aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan sambil tertatih menuju ke luar kamar.

Dengan susah payah akhirnya aku sampai di tempat Gale sedang terlelap saat ini. Melihat Gale yang sedang terlelap membuat tubuhku bergetar, aku sangat menginginkan Gale sekaranh juga. Dengan tidak sabaran aku langsung mengguncang tubuhnya.

"Gale..." astaga mengapa suaraku terdengar mengerikan seperti itu? "Gale, bangun..." lagi-lagi suaraku terdengar seperti suara desahan. Namun Gale hanya menggeliat sambil menggumam tidak jelas dan kembali tidur.

Gale benar-benar membuatku frustasi, tanpa pikir panjang aku langsung mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Sedangkan tanganku yang bebas berusaha untuk terus membuka kancing kemeja Gale.

Akhirnya Gale membuka kedua matanya dan terkejut melihat wanita yang baru saja resmi menjadi istrinya itu kini tengan menciumnya dengan penuh nafsu. Wajah Dhee memerah, matanya sayu dan berkabut oleh gairah yang teramat besar. Gale kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini, namun akhirnya Gale mulai membalas ciuman dan cumbuan yang kini tengah di lancarkan oleh Dhee.

Tangan Gale mulai menggerayangi setiap jengkal tubuh istrinya yang masih terbalut oleh gaun pengantin. Tangan Gale bergerak dan menyelinap ke bagian depan tubuh Dhee dan meremas payudaranya dengan gemas. Sedangkan Dhee meresponnya dengan sebuah erangan erotis. Gale mendekap tubuh istri tercintanya lalu bangun dan berjalan ke arah kamar sambil menggendong tubuh Dhee yang masih asyik menciumnya.

Ia langsung membaringkan tubuh Dhee di atas tempat tidur, melupakan semua rasa penasarannya karena ia tak menyangka sekali bahwa Dhee begitu bernafsu dan bergairah kepada dirinya, padahal tadi Dhee mengacuhkannya. Gale terus menerus mencium Dhee tanpa ampun, mencecap setiap sudut bibirnya yang merah. Menciumi lehernya yang jenjang dan memberikan tanda kepemilikannya di sana.

Kemudian ia menyelipkan tangannya untuk membuka gaun yang sedari tadi menempel di tubuhnya, mendorong gaun itu hingga terlepas dan melemparnya ke sembarang arah. Tubuh polos sang istri yang terpampang di depannya benar-benar membuatnya semakin bergairah, Gale langsung mendaratkan bibirnya di salah satu payudara yang menggoda itu. Menghisapnya dengan kuat menbuat putingnya menjadi keras dan semakin sensitif. Kegiatan yang di lakukan oleh Gale di kedua benda kenyal itu membuat Dhee tak henti-hentinya mendesah dan mengerang penuh kenikmatan sambil melengkungkan tubuhnya. Sedangkan kedua tangannya menekan kepala Gale agar terus menghisap kedua payudaranya secara bergantian.

Dhee menyusupkan jemarinya di antara helaian rambut kecoklatan Gale. Terkadang ia meremasnya seiring dengan setiap sensasi kenikmatan yang menjalari tubuhnya. Rasa tak nyaman begitu terasa di bagian tubuh bagian bahwanya. Ia begitu resah dan gelisah karena ingin segera di puaskan oleh Gale. Tangan Dhee menyusup ke tubuh bagian bawah Gale dan membuka gesper ikat pinggangnya dengan terburu-buru.

Gale menghentikan kegiatannya itu untuk membuka celana panjangnya dan menyisakan boxer saja. Dengan ragu Dhee menyentuh bagian paling sensitif tubuh suaminya itu. Bukti gairah terhadap dirinya, dan itu membuat Dhee semakin bergairah. Dengan perlahan ia mengusap-usap penisnya yang semakin lama semakin membesar dan mengeras.

Gale mengerang ketika Dhee mulai melakukan gerakan mengurut secara perlahan pada penisnya itu. Membuatnya semakin tenggelan dalam pusaran gairah yang sangat memabukkan. Dengan tidak sabaran Gale menarik thong yang di pakai oleh Dhee, sehingga tubuhnya kini benar-benar polos tanpa selesai kainpun yang menutupi keindahan tubuhnya.

Kemudian ia mengarahkan kepalanya tepat ke vagina sang istri yang telah sangat basah itu. Dengan gerakan mendadak Gale langsung mendaratkan lidahnya ya g kasar dan panas di sana. Membuat Dhee tersentak dan semakin menggeliat tak karuan akibat sapuan-sapuan lidah Gale yang kasar. Semakin membangkitkan sesuatu di dalam dirinya dan siap untuk meledak.

"Ugh... Gale..." rintihnya penuh kenikmatan dengan suara yang terdengar sangat erotis. Membuat Gale semakin gila bereksplorasi di vaginanya. "Gale... ya Tuhan... ah..." Dhee terus meracau sambil berkali-kali menyebut nama suaminya. Bahkan kini Dhee menempatkan kedua tangannya di kepala Gale dan menekan kepalanya semakin dalam. "Ya, ya, ya.... ah...."

Gale terus menusuk-nusukkan lidahnya di lubang vagina sang istri, sedangkan tangannya sibuk memaikan bagian klirotisnya yang kini telah membengkak. Gale menarik kepalanya dana menggantikan lidahnya dengan jarinya. Dhee merintih ketika Gale memasukkan jarinya dengan perlahan ke dalam vaginanya. Erangan kembali terdengar ketika Gale menggerakkan jarinya dengan gerakan keluar masuk.

Ketika tubuh Dhee mulai mengejang Gale langsung menghentikan kegiatannya, membuat Dhee mengerang frustasi. Gale melepaskan boxernya lalu membuka lebar-lebar kedua kaki Dhee, memposisikan dirinya untuk melakukan penyatuan dengan sang istri. Dhee bergerak-gerak gelisah di bawah kungkungan tubuh Gale, terlebih lagi ketika penis Gale yang keras menyentuh lipatan vaginanya.

Nafas Dhee tertahan ketika Gale mulai mendesakkan penisnya masuk ke dalam vaginanya. Perasaan asing dan tidak nyaman yang kini tengah di rasakannya, namun tubuhnya mulai bergetar di sela-sela rasa sakit yang mulai di rasakannya ketika penisnya semakin dalam dan berhenti karena terhalang oleh sesuatu di dalam sana.

"Buka kedua matamu, Angel." Pinta Gale dengan suara yang serak.

Dengan perlahahan Dhee membuka kedua matanya dan mendapati pandangan Gale yang hanya terpusat kepada dirinya. Pada saat itulah Gale langsung menghentak masuk dengan keras, menerobos penghalang itu dan membuat Dhee menjerit kesakitan, "Ah..." Dhee menjerit kesakitan namun Gale langsung menciumnya agar teriakannya teredam.

Selama beberapa menit Gale hanya membiarkan penisnya tertanam begitu saja di dalam vagina istrinya. Setelah Dhee mulai tenang dan mulai terbiasa barulah Gale melepaskan ciumannya. "Apakah masih terasa sakit? Maaf membuatmu kesakitan, Angel." Ucap Gale sambil mencium air mata yang sempat keluar dari mata Dhee.

Dhee menggeleng lemah sambil menangkup wajah Gale, "Lakukan dengan lembut, Gale." Pinta Dhee dengan mata yang sayu.

"Aku akan melakukannya dengan lembut, Angel." Jawab Gale.

Kemudian Gale mulai menggerakan tubuhnya secara perlahan, awalnya Dhee masih meringis kesakitan namun lama kelamaan hanya desahan kenikmatan yang keluar dari bibir mungilnya itu. Sesuai janjinya Gale memasuk dan mengeluarkan penisnya secara perlahan-lahan. Mereka berdua menikmati percintaan ini dengan saling menyentuh dan berciuman dengan panas dan dalam.

"Faster... please..." ucap Dhee terbata-bata dengan nafas yang terengah.

"Apa... kau yakin?" Tanya Gale dengan nafas yang tak kalah terengahnya.

"Ya, faster... please." Timpal Dhee.

Gale langsung mempercepat gerakannya, hujaman penisnya membuat Dhee semakin sering meracau karena kenikmatan yang kini tengah melingkupinya. Otot-otot di sekitar perutnya mengencang, ribuan kupu-kupu mulai berterbangan di perutnya. Mengirimkan geleyar-geleyar kenikmatan ke vaginanya yang mulai berdenyut. Ketika Dhee hampir mendapatkan pelepasannya, tiba-tiba terdengar suara dari pramugari yang memberitahukan bahwa pesawat akan segera mendarat dalam waktu beberapa menit.

Dengan terpaksa Gale mencabut penisnya yang sedang tertanam di dalam vagina sang istri. Tentu saja itu membuat Dhee memekik frustasi, namun Gale tak menghiraukannya. Ia segera memakai pakaiannya kemudian memberikan sebuah mini dress untuk di pakai oleh Dhee.

"Cepat pakai pakaianmu, Angel. Kita akan segera mendarat." Perintah Gale sambil mengancingkan kemejanya.

Dengan kesal Dhee memakai dress yang tadi di berikan oleh suaminya tanpa memakai pakaian dalamnya. Gale hanya menggelengkan kepala melihat Dhee tak memakai apapun di balik pakaiannya yang kini sedang uring-uringan. Bukan hanya dia tapi ia sendiri pun merasa frustasi karena harus menghentikan kegiatan bercinta mereka yang hampir saja mendapatkan pelepasan mereka masing-masing.

Setelah pesawat mendarat Dhee terus menerus menekuk wajahnya. Masih terlihat jelas matanya yang masih berkabut oleh gairah yang begitu besar karena belum tertuntaskan. Kemudian Gale menekan sebuah tombol yang berada di sampingnya, sebuah kaca pembatas keluar dari balik kursi supir. Kaca berwarna gelap pekat itu membuat ruang di bagian kursi penumpang menjadi kedap suara. Jadi apapun yang akan di lakukan di belakang sang supir takkan mengetahuinya.

"Kemarilah." Panggil Gale sambil menarik tubuh Dhee ke atas pangkuannya dan mengangkanginya.

Setelah di berada di atas tubuhnya Gale langsung melahap bibir Dhee yang masih terlihat agak bengkak. Dengan penuh nafsu Gale terus menciuminya, membelai lidah Dhee dengan lidahnya. Mencecap setiap sudut rongga mulutnya dengan kelaparan.

Tangannya yang bebas mulai membelai kedua paha bagian dalam Dhee dan langsung menemukan vaginanya yang tak tertutupi oleh apapun. Gale membelai vagina Dhee yang sudah basah, sehingga jarinya dengan mudah masuk ke dalam vagina sang istri. Dhee mengerang di mulutnya karena kenikmatan karena jari-jarinya yang kini telah keluar masuk di vaginanya.

Dhee melepaskan ciumannya ketika Gale semakin cepat menggerakkan jari-jarinya. "Gale..." erangnya.

Nafasnya terengah dengan hebat ketika Gale menarik jarinya dari dalam sana. Dengan cepat Gale menurunkan restleting celananya, kemudian membebaskan penisnya yang sudah mengeras. Gale mengangkat tubuh Dhee dan menurunkan tubuhnya dengan perlahan ke arah penisnya. Dhee mulai menggerakkan tubuhnya naik turun ketika penis Gale sudah berada di dalam vaginanya. Dhee menggoyangkan tubuhnya dengan cepat, sementara Gale sedang asyik menghisap dan meremas kedua payudaranya.

Gale menghentikan kegiatannya bereksplorasi di kedua payudaranya. Gale menarik kepala Dhee kemudian menciumnya, "I love you, Angel." Ucapnya terengah.

Gale menempatkan kedua tangannya di pinggang Dhee, membantu Dhee untuk bergerak naik turun. Dan ketika mereka berdua hampir mendapatkan kembali pelepasannya yang sempat tertunda. Tiba-tiba mobil mereka berhenti, pertanda mereka sudah sampai di tujuan.

Lagi-lagi mereka berdua tidak bisa menuntaskan percintaan mereka untuk yang kedua kalinya. Setelah merapikan pakaian, mereka berdua turun dari dalam mobil dan memasuki sebuah rumah besar bergaya victorian dengan sentuhan moderen. Ya, itu adalah rumah yang telah di sedian oleh Gale. Rumah yang akan menjadi tempatnya membangun keluarga kecilnya persama Dhee wanita yang sangat di cintainya.

Mengapa harus Swiss, karena seluruh bisnis yang di bangun oleh Gales berbasis di negara kecil yang indah itu. Mau tak mau Dhee pun mengikuti Gale untuk tinggal dan bermukim di sana. Setelah berada di dalam rumah, Gale langsung menggendong tubuh Dhee menuju ke kamar mereka. Sebuah kamar yang begitu luas dengan design yang indah.

Gale membaringkan tubuh Dhee di atas tempat tidur yang berukuran besar itu dan mencium keningnya dengan penuh kasih sayang, "Ayo kita selesaikan kegiatan kita yang tertunda tadi, Angel. Kali ini takkan ada yang berani mengganggu kita." Bisik Gale lembut.

Gale langsung menarik dress yang di kenakan oleh Dhee dan melemparnya. Kemudian ia mulai menciumi istrinya itu mulai dari bibir, turun ke leher, menghisap dan meremas kedua payudaranya dengan begitu lembut, menciumi setiap jengkal kulit tubuhnya dan berakhir di vaginanya, tempat favoritnya. Semua itu langsung menyulut kembali gairah Dhee yang tadi sempat padam.

Kali ini Dhee mendorong tubuh Gale, hingga posisi mereka tertukar. Dhee merangkak di atas tubuh Gale dan mulai melucuti seluruh pakaiannya. Dhee terdiam beberapa saat untuk menganggumi pemandangan yang tersaji di depannya, tubuh suaminya yang sangat menggoda dan menggiurkan. Entah mengapa ia tiba-tiba saja menjadi wanita yang sangat agresif seperti ini. Semua ini karena panas yang melingkupi seluruh tubuhnya yang tak kunjung hilang, dan begitu sangat mendamba untuk di sentuh oleh suaminya.

Kemudian Dhee kembali merangkak di tubuh Gale, menggoda penisnya dengan menggesek-gesekkan vaginanya yang sudah basah, membuat Gale mengerang karena Dhee hanya menggodanya. Kemudian Dhee turun dari atas tubuhnya, meraih penis Gale ke dalam genggamannya dan mulai mengurutnya dengan gerakan yang lembut. Gale menatap takjub ketika penisnya ya g telah membesar dan keras masuk ke dalam mulut mungil istrinya.

"Ugh..." Gale mengerang hebat ketika Dhee mulai menghisap dan menjilati penisnya. Sedangkan tangannya memepermainkan bolanya dengan lembut.

Mata Gale berulang kali terpejam dan terbuka dengan sensasi yang kini tengah melingkupinya. Terlebih lagi ketika Dhee semakin memepercepat gerakan dan hisapan di penisnya. Membuat Gale dengan mati-matian menahan agar tidak keluar di mulut istrinya.

"Ya Tuhan, kau bisa membuatku mati, Angel." Racau Gale sambil menarik Dhee dan membimbingnya memasukan penisnya ke dalam vagina Dhee.

Mereka berdua terkesiap secara bersamaan karena dengan posisi seperti ini penis Gale seluruhnya tenggelam di dalam vagina Dhee. Kemudian Dhee mulai bergerak naik turun, dengan Gale memegangi pinggangnya dan melakukan gerakan menusuk ketika Dhee melakukan gerakan menurun. Membuat Dhee memekik. Gerakan yang awalnya pelan semakin lama semakin cepat. Dhee menggoyangkan pinggulnya dan membuat penis Gale terpelintir dengan nikmat.

Ketika sudah merasa hampir mendekati orgasme Gale membalik posisi mereka. Gale menepatkan kedua kaki Dhee melingkari pinggangnya dan langsung menghujamkan penisnya dengan keras membuat tubuhh Dhee tersentak.

"Gale...." erang Dhee karena ia hampir mendapatkan pelepasannya. Ia memeluk erat tubuh Gale ketika orgasme yang hebat menyerangnya, tubuhnya mengejang karena orgasme yang hebat itu.

Gale semakin memepercepat penisnya bergerak keluar masuk, karena vagina Dhee yang berdenyut menghisap penisnya semakin gila-gilaan. Beberapa tusukan yang dalam akhirnya Gale mendapatkan pelepasannya sambil meneriakkan nama Dhee dan menyemburkan seluruh benihnya di dalam rahim sang istri kemudian ambruk.

"I love you, I love you, I love you." Bisik Gale tepat di telinga Dhee yang masih di lingkupi oleh sensasi orgasme yang di dapatnya.

Setelah itu mereka berdua langsung tertidur sambil saling berpelukan karena kelelahan.

***  

Cahaya temaram adalah hal yang pertama kali kulihat. Keningku berkerut ketika melihat ruangan asing yang aku tempati. Ah, aku lupa bahwa saat ini aku berada di rumah Gale ah rumah kami maksudku, yang berada di Swiss. Dengan malas aku mengalihkan pandanganku ke samping tempat tidur, namun ternyata Gale tidak berada di sana.

Dengan perlahan aku bangkit dari posisi tidurku. Demi Tuhan, seluruh tubuhku rasanya sakit sekali. Tubuhku terasa remuk seperti habis melakukan pekerjaan mengangkat beban berkilo-kilo. Aku membelitkan selimut untuk menutupi seluruh tubuh polosku, dan mulai berjalan ke arah kamar mandi. Tubuhku sangat lengket, berendam di air panas sepertinya akan membuat tubuhku jauh lebih enak.

Setelah bathtub penuh dan suhu airnya sesuai, aku mulai masuk ke dalam. Aku menghela nafasku dengan penuh kelegaan karena perasaan yang sangat nyaman ini. Melirik ke sebuah jendela berukuran besar yang terletak tepat di samping bathtub. Langit malam kini telah menggantikan siang. Langit malam ini benar-benar indah karena bertabur bintang, membuatku terpesona dan terbuai oleh keindahannya.

"Sayang, apa kau sudah selesai?" Sebuah ketukan di pintu dan suara Gale langsung menarikku keluar dari lamunanku.

"Ya, aku sudah selesai." Teriakku dari dalam sambil beranjak keluar dari dalam bathtub. Kemudian memakai bathrobe dan melilit rambutku dengan handuk.

Ketika aku membuka pintu, Gale tidak ada di sana. Mataku menangkap sesuatu di atas tempat tidur. Sebuah kotak dengan pita berwarna merah menghiasi bagian atasnya. Dengan penasaran aku membuka penutup kotak itu dan menemukan sebuah gaun berwarna hitam dari sutra dengan model backless yang sederhana namun terlihat sangat indah dan elegan.

Aku segera memakai gaun itu dengan pakaian dalam yang berwarna senada, selain itu aku memakai sebuah garter di salah satu pahaku hanya sebagai pelengkap saja. Setelah selesai menyapukan riasan tipis di wajahku, aku langsung bergegas untuk turun dan mencari Gale.

Aku keluar dari kamar dan mulai menuruni tangga dengan perlahan. Rumah yang indah dan semuanya sesuai dengan keinginanku, tak ada satu pun detail yang terlewat. Sesampainya di bawah aku mulai berjalan menunu ke bagian sayap kanan rumah ini. Ketika melewati sebuah ruangan yang ternyata adalah ruang makan aku berhenti dan langsung masuk ke sana. Karena Gale berada di sana tengah duduk menungguku.

Aku berjalan menghampirinya sambil tersenyum, berdiri dan menyambutku. "Kau terlihat sangat mengagumkan, sayang." Ucapnya sambil memandangi tubuhku seperti serigarala yang kelaparan.

"Gaunnya memang indah, Gale. Terima kasih." Timpalku sambil tersenyum simpul. Gale membantuku untuk duduk, kemudian kami mulai menyantap makan malam kami. Makanan ini benar-benar lezat, entah karena aku saja yang sedang kelaparan. Gale hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat cara makanku.

Malam makan yang begitu romantis, karena alunan musik yang mengalun dengan lembut membahana si seluruh ruang makan. Setelah selesai dan diam beberapa saat Gale bangkit dari kursinya dan menghampiriku.

"Maukah menemaniku berdansa, sayang?" Pintanyan sambil mengulurkan tangannya dan sedikit membungkuk.

"Dengan senang hati." Jawabku sambil meraih uluran tangannya. Musik yang lembut itu kembali mengalun, dan kami mulai menggerakkan tubuh kami mengikuti alunan musik. Tubuh kami saling menempel, tak ada jarak sedikitpun di antara kami saat ini.

I'll give the world to make you mine 

'Cause I can't go on without you this time, this time

What are you doing tonight, baby? 

Let's make tonight special 

All I'm asking for is a little love

I look in your eyes (and) baby, I see 

You are the only one I ever need 

Right from the start you were there 

In my heart and my soul

'Cause, baby, tonight 

We'll make it right 

We'll light some candle light 

Make it all night 

Oh, how I prayed for someone like you 

To make me feel like you do

I'll give the world to make you mine 

'Cause I can't go on without 

You this time, this time

So let's make tonight special 

Something beautiful that 

We'll always treasure 

Let's make tonight so right 

We will make it a night to remember 

All of our lives

Baby all of our lives

Baby, tonight 

I'll hold you tight 

We will be close by the fireside 

Baby, I know 

That our love will grow 

So strong, baby strong

The stars shine so bright 

The moon and the sky 

Just being here 

With you means more than life 

(and) since I met you 

My heart has been true to you (to you)

So let's make tonight special 

Something beautiful that 

We'll always treasure 

Let's make tonight so right 

We will make it a night to remember 

All of our lives

Now that I've found you I'll never let go 

You are my everything I need you so

Loving you baby is all that I know 

I'll never break you heart

Please let me show

Please let me show that I...

So let's make tonight special  

(love you baby) 

Something beautiful that 

We'll always treasure 

So let's make tonight so right 

We will make it a night to remember (make it a night to remember) 

All of our lives (We will make it a night to remember)

So let's make tonight special 

Something beautiful that 

We'll always treasure 

(Something beautiful that we'll always treasure) 

Let's make tonight so right (so right) 

We will make it a night to remember 

All of our lives

Cos all of our lives

So let's make tonight special 

Something beautiful that we'll always treasure 

(Something beautiful that we'll always treasure)

(Westlife - Let's Make Tonight Special)

"Apakah tidak ada makanan penutup untuk kita?" Tanyaku di sela-sela acara berdansa kami.

"Tentu saja ada, Angel. Aku punya makan penutup yang sangat istimewa dan membuat air liur menetes." Jawab Gale sambil mengedipkan matanya dengan menggoda.

"Oh, benarkah? Aku jadi ingin segera menikmati makan penutup yang istimewa itu, sayang." Timpalku penasaran.

"Apakah kau mau makanan penutupnya sekarang?" Tanya Gale sambil menggerakkan tangannya naik turun di punggungku yang terbuka. Membuatku tergelitik.

Kemudian Gale menghentikan gerakan berdansanya dan menarikku menuju ke sisi lain dari ruang makan. Ia mengangkat tubuhku dan mendudukanku di atas meja yang kosong dan mulai menciumku dengan menggebu-gebu. Sehingga membuatku kewalahan menghadapinya.

"Bukankah kita akan menikmati hidangan pencuci mulut?" Tanyaku dengan nafas terengah setelah Gale melepaskan ciumannya.

"Aku sedang menikmati hidangan penutupku, sayang." Bisiknya dengan suara yang serak.

Aku menghenyitkan dahi mendengar jawabannya, "Apa maksudmu, Gale?" Tanyaku sambil berusaha menjaga kewarasanku karena saat ini Gale sedang asyik meremas payudaraku secara bersamaan, "Ahh... Gale..." erangku.

"Ya sayang, karena kau adalah hidangan penutupku." Jelasnya kemudian kembali menciumku, namun kali ini dengan lembut. Aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya dan mengaitkan kakiku di pinggangnya sambil membalas setiap ciumannya.

Sementara tangan Gale yang bebas sibuk melepaskan gaunku. Hingga kini kedua payudaraku yang masih tertutupi oleh bra berenda berwarna hitam terpampang. Gale menyelipkan tangannya dan mulai membebaskan kedua payudaraku.

Sentuhan tangannya di payudaraku membuat tubuhku bergetar. Tangannya memelintir putingku yang mengeras dan menjetikkannya dengan cukup keras.

Menghentikan kegiatan ciuman kami, Gale menurunkan tubuhnya hingga posisi kepalanya tepat dan sejajar dengan payudaraku. Kemudian mulai menjilatinya dan menghisapnya dengan penuh damba. Tanganku secara spontan mengacak rambut Gale di iringi oleh erangan yang tak henti-hentinya keluar dari mulutku.

Setelah puas dengan kedua payudaraku Gale merobek celana dalamku tanpa menyingkirkan gaun yang kini berkumpul di sekitar perutku. Kemudian Gale menurunkan resleting celananya dan membebaskan penisnya yang sudah mengeras dan langsung menghujamkannya ke dalam vaginaku.

"Ugh..." erang keras kembali lolos dari tenggorokanku.

Gale menghujamkan penisnya terus menerus, sedangkan aku mengeratkan pelukanku, menahan tubuhku tetap seimbang dalam posisi duduk karena Gale terus menghujamkan penisnya dengan begitu keras.

"Faster... Faster... Faster..." racauku ketika orgasmeku hampir sampai dan kami mendapatkan pelepasan secara bersamaan sambil meneriakkan nama masing-masing.

Selama beberapa menit kami tetap saling berpelukan. Setelah pernafasan kami kembali normal barulah Gale menarik keluar penisnya.

"Wow, tadi cukup hebat." Ucapnya sambil memperbaiki pakaiannya. Kemudian membantuku untuk berpakaian kembali, "Mengapa kau tidak seagresif saat seperti di pesawat tadi, Angel?" Tanya Gale sambil menggendong tubuhku dan membawaku menuju ke ruang tengah dan duduk di sofa. Namun tetap membiarkanku berada di dalam pangkuannya.

"Entahlah Gale, aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Saat di pesawat tiba-tiba tubuhku terasa panas. Minum bergelas-gelas air putih pun tetap tak bisa menghilangkan rasa panas di tubuhku." Jelasku.sambil memainkan jari-jariku menyusuri wajahnya yang tampan.

"Lalu apakah sekarang kau masih merasa kepanasan?" Tanya Gale sambil menghenyitkan keningnya.

Wajahku merona dengan sendirinya, karena aku malu harus mengungkapkan bahwa rasa panas itu hilang setelah kami bercinta.

"Hey, mengapa kau tidak menjawabku?" Tanya Gale sambil meraih daguku agar aku menatap wajahnya.

"Umm, karena rasa panas itu hilang setelah... setela kita bercinta." Jawabku dengan suara mencicit dan wajahku semakin memanas.

Gale membulatkan matanya terkejut saat mendengarkan penuturanku, "Apa kau meminum sesuatu saat di pesawat?" Tanyanya masih dengan ekspresi terkejut.

Aku berpikir mengingat-ingat apa saja yang sudah aku makan dan minum selama berada di pesawat dalam perjalanan menuju kemari. "Ah, aku ingat. Ketika di kamar aku meminum vitamin C yang di larutkan dalam air, tapi setelah meminumnya tubuhku langsung kepanasan, Gale." Jelasku panjang lebar.

"Ya Tuhan Angel, yang kau minum itu bukan vitamin C." Timpal Gale.

"Bukan vitamin C? Tapi rasanya seperti vitamin C yang sering aku minum. Lalu apa yang aku minum itu?" Tanyaku sambil menyipitkan mataku penuh selidik kepada Gale.

"Umm, jika seseorang meminum obat itu akan membuat orang yang meminumnya merasa kepanasan karena terangsang. Dan rasa panas itu akan hilang dengan cara bercinta." Jelas Gale dengan ekspresi wajah yang bersalah.

"APA?" Aku memekik terkejut mendengar penjelasannya dari Gale. "Untuk apa kau memiliki obat seperti itu, Gale?" Cercarku kesal.

"Karena... karena..." aku langsung mencubiti tubuh Gale sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya. "Ampun sayang, awww... Hentikan." Pekiknya kesakitan.

"Aku tidak akan berhenti, Gale." Ucapku sambil terus mencubiti pipi dan perutnya.

♡THE END♡

Broken Hearted 3

Aku langsung membeku ketika mendengar kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Jake. Bagaimana bisa ia tahu bahwa aku sedang jatuh cinta? Tapi aku yakin bahwa ia tidak tahu jika aku saat ini sedang jatuh cinta kepadanya.

"Dengarkan saya baik-baik Mr. Alderman yang terhormat, kehidupan pribadi saya tidak ada hubungannya dengan anda. Mau saya sedang jatuh cinta atau tidak kau tak berhak untuk mencampurinya. Dan ya, saya memang sedang jatuh cinta kepada seseorang." Tukasku dengan lantang. Tak tahukah kau bahwa penyebab semua ini adalah kau Jake. Kaulah pria yang telah membuatku jatuh hati.

Aku melihat pendaran kemarahan di matanya, rahangnya terkatup dan mengeras. Terlihat jelas sekali bahwa sedang terjadi pergolakan emosi di dalam dirinya. Tapi aku lebih memilih untuk tetap mempertahankan sikapku saat ini. Aku tidak ingin lemah di hadapannya.

"Dengar miss Collin, apapun yang sedang terjadi padamu menjadi urusanku. Tanggung jawabku." Jelasnya sambil menatap tajam kepadaku.

Belum sempat aku menyadari maksud dari kata-kata yang terucap dari mulutnya Jake pergi begitu saja. Meninggalkanku yang mematung dan terpekur tanpa bisa memahami ucapannya. Astaga, apa maksud kata-katanya itu? Benar-benar pria yang aneh.

Ia masih saja belum ingat dengan perlakuannya kepadaku ketika di bandara. Sangat menyebalkan, bagaimana bisa aku bertemu denga pria aneh seperti dia? Pria aneh yang membuat hidupku jadi tak pernah sama lagi dan jungkir balik.

Penuh warna, penuh kebingungan dan penuh tanda tanya. Sosok Jake masih tetap terpatri dengan begitu kuat di dalam hati dan pikiranku. Tak pernah aku merasakan perasaan yang seperti ini, aku masih sangat ingat pertemuan kami yang terbilang sangat aneh dan menyebalkan. Namun begitu terkesan dan begitu berbekas di dalam ingatan dan hatiku.

Di saat orang yang kini selalu menghiasi mimpiku setiap malam berada dekat di sampingku namun rasanya begitu jauh. Karena Jake tak mengingat kejadian itu sama sekali. Entah harus kulakukan apa agar Jake mengingatnya.

Mengatakan yang sebenarnya tak mungkin kulakukan. Tapi di lain sisi aku tak tahu harus berapa lama menyimpan dan memendam semua perasaan ini sendiri terus menerus. Lama-lama aku bisa gila. Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Geramku dalam hati.

Dengan perasaan yang masih campur aduk, aku memutuskan untuk pergi. Aku tak bisa mengerjakan semua pekerjaanku dengan suasana hati yang seperti ini. Dan pergi dari tempat ini adalah pilihan yang tepat.

Memacu mobil kesayanganku, aku memilih untuk pergi ke sebuah kafe yang ada di dekat sebuah pantai. Suasana kafe itu tidak terlalu ramai, salah satu tempat yang sering aku datangi ketika aku sedang membutuhkan waktu untuk diriku sendiri.

Kafe ini begitu damai, suara deburan ombak di kejauhan benar-benar membuat hati menjadi tentram dan damai. Angin laut yang berhembus melalu jendela yang berada di sampingku menerpa wajahku dengan lembut. Mataku terpejam menikmati sensasi itu.

Lautan terhampar luas di depan sana. Terkadang aku selalu berpikir ada apa di sebrang lautan sana. Apakah ada suatu tempat yang benar-benar indah dan begitu tenang? Rasanya aku ingin sekali pergi dan menghilang dari semua ini untuk sementara waktu. Memikirkan Jake membuatku mulai merasa lelah.

Haruskah aku berhenti untuk memperjuangkan cintaku? Haruskah aku membunuh semua perasaanku pada Jake? Oh Tuhan, mengapa jatuh cinta sangat membingungkan dan begitu rumit seperti ini. Jika aku tahu rasanya seperti ini aku tidak mau jatuh cinta kepada siapapun.

Setelah menghembuskan nafas beberapa kali, aku kembali menyesap cappucino ice di hadapanku. Rasanya yang dingin, manis dan sedikit pahit bersatu padu di lidahku. Namun tak kurasakan rasa manis di sana, hanya rasa pahit yang mendominasi. Sepahit hatiku saat ini.

***

JAKE

Aku tahu siapa Glad sebenarnya. Ia adalah wanita yang menjadi korban pelampiasan kemarahanku beberapa waktu yang lalu. Bukannya tidak ingat dengan kejadian itu, hanya saja aku tidak mau terperosok ke lubang yang sama untuk yang kesekian kalinya.

Bagiku wanita adalah wanita yang paling kejam dan tak berperasaan. Senang mempermainkan perasaan setiap pria dengan tampilan fisik yang rapuh. Seolah-olah mereka adalah makhluk paling lemah di muka bumi ini.

Tapi apa yang mereka lakukan ketika sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan? Dengan begitu mudahnya ia menendang dan membuang kita seenaknya. Seolah kita ini adalah sampah dan barang yang tak berharga sama sekali.

Siapa bilang pria tak bisa di sakiti? Siapa bilang kami para pria tak boleh menangis? Kami para pria juga memiliki perasaan. Begitu pula denganku, berusaha tegar menghadapi semuanya. Namun pada satu waktu aku akan berada di titik terendah. Aku hanya manusia biasa yang bisa merasakan sakit di khianati, menangis karena tersakiti secara batin.

Pada saat itu aku pergi ke bandara. Teringat akan janjinya lima tahun yang lalu, bahwa setiap satu tahun sekali ia akan datang menemuiku. Namun sosoknya tak kunjung muncul.

Di tahun kelima tanpa sengaja aku melihat sosok Glad di bandara. Ia terlihat seperti sedang mencari-cari seseorang. Sosoknya memingingatkan aku pada dirinya yang tak kunjung muncul. Menghilang bagaikan di telan bumi. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, tiba-tiba saja aku membentaknya.

Sedangkan Glad hanya menatapku dengan pandangan terkejut. Sempat pula aku melihat tatapan terluka dari sorot matanya meskipun sedikit. Wajar saja jika Glad merasa terluka karena secara tidak langsung aku telah melukai harga diri dan egonya sebagai seorang wanita. Walaupun kami tidak saling mengenal satu sama lain.

Tak bisa kupungkiri bahwa sejak pertemuan yang tidak sengaja itu wajah Glad selalu terbayang. Karena hati kecilku terus berteriak-teriak mengatakan bahwa Glad berbeda dengan dia. Sangat berbeda bahkan.

Meskipun begitu jauh di dasar hatiku aku masih mengharapkan dia kembali. Itulah mengapa aku lebih memilih untuk bersikap acuh tak acuh kepada Glad ketika mengetahui bahwa dialah yang akan menjadi rekan bisnisku.

Aku kembali teringat oleh perkataannya tadi. Ia mengatakan dan bahkan membenarkan bahwa saat ini ia memang sedang jatuh cinta pada seseorang. Mendengar kata-kata itu entah mengapa dadaku terasa sakit, tanganku secara spontan menekan dadaku. Ada perasaan tidak rela jika Glad bersama pria lain. Bahkan emosiku tiba-tiba memuncak ketika membayangan Glad dengan pria lain. Aku tidak akan membiarkan Glad di dekati oleh pria manapun, dengan atau tanpa persetujuannya aku akan menjauhkannya dari para pria yang sedang mendekatinya.

Sepertinya aku sudah tidak bisa lagi mengelak atau berpura-pura lagi. Mengingkari semua perasaan yang aku rasakan kepada Glad semakin lama semakin membuat dadaku sesak. Yang harus aku lakukan adalah mengubur dalam-dalam sosoknya dengan semua kenangannya.

Aku harus bisa terlepas dari belenggunya, belenggu tak kasat mata yang selama ini mengikatku pada sosoknya. Namun semua belenggu itu mulai rapuh ketika aku bertemu dengan Glad. Ya, hanya Glad-lah yang mampu membebaskanku dari semua ini. Aku harus mencoba membuka pintu hatiku untuk Glad.

***

Malam itu tengah di selenggarakan sebuah pesta yang di hadiri oleh para CEO dari berbagai kota. Glad dan Jake menghadiri pesta tersebut dan tanpa seseorang yang menemani. Baik Glad maupun Jake memiliki kesamaan tidak menyukai pesta, jika tidak terpaksa mereka berdua enggam untuk pergi. Terlebih lagi Glad yang agak tomboy.

Selama ini jika pergi ke kampus atau ke kantor Glad selalu memakai celana panjang dan dengan terpaksa memakai riasan tipis di wajahnya. Glad mengenal berbagai macam perlengkapan make up dari Clariss sahabatnya. Meskipun Clariss senang sekali berdandan namun riasan yang di pakai oleh Clariss terlihat natural. Itu pula yang menjadi alasan Glad ketika Clariss mendadaninya dan mengajarinya berdandan.

Malam itu Glad mengenakan gaun backless panjang menjutai berwarna putih. Warna yang netral dengan sedikit ornamen tetapi tetap terlihat elegan. Dengan rambut berwarna coklat gelapnya yang di biarkan tergerai serta riasan natural Glad berhasil menjadi pusat perhatian di pesta itu.

Tak sedikit para CEO muda yang berusaha mendekatinyan, tapi tanpa Glad sadari Jake selalu membayanginya dan membuat para CEO muda itu mundur secara teratur. Mereka segan karena tatapan setajam pisau yang di tunjukkan oleh Jake ketika ada pria yang berjalan mendekati Glad.

Sedangkan Glad asyik menyesap minumannya sambil sesekali menyahuti sapaan dari orang-orang yang menyapanya. Tapi setelah itu Glad lebih memilih untuk menyendiri, mencari tempat yang sepi dan jauh dari hingar bingar pesta. Maka dari itu Glad lebih memilih untuk pergi ke area balkon yang sepi sambil menikmati pemandangan langit yang kebetulan sedang di hiasi oleh bintang-bintang.

Jika bukan jabatan yang di berikan oleh ayahnya kini Glad takkan pernah mau menghadiri pesta semacam ini. Dan sang ayah tidak mau memberikan jabatannya kepada sang kakak, Leon. Semua orang tahu bagaimana kakaknya itu dalam menangani sebuah bisnis, bahkan sang kakak berhasil mendirikan kerajaan bisnisnya sendiri tanpa campur tangan sang ayah. Itulah mengapa Leon hanya mendapatkan jabatan di bawah Glad.

Karena tugas Leon sebenarnya adalah mengawasi setiap kinerja Glad. Serta memberikan bimbingan kepada Glad, agar Glad benar-benar mampu berdiri sendiri.

Dalam diam Jake memperhatikan Glad yang sedang tenggelam dalam pikirannya di tepian balkon sambil memandangi bintang-bintang di langit dengan sebuah gelas berada dalam genggamannya. Ia terpesona melihat sosok Glad dalam balutan gaun berwarna putih yang pas memeluk tubuhnya. Sosoknya yang berada di dalam keremangan cahaya dan hanya terkena sedikit cahaya bintang terlihat sangat mengagumkan.

Glad terlihat seperti seorang dewi yang sangat rapuh. Berdiri di tepian balkon seolah-olah seperti sedang menunggu kedatangan seseorang. Akhirnya Jake memberanikan diri untuk menghampiri Glad yang masih tenggelam dalam dunianya sendiri. Entah apa yang sedang di pikirkan olehnya, apalagi sejak kejadian beberapa hari itu Glad menghindarinya.

Bahkan ketika ada hal yang mengharuskannya berbicara dan membahasnya bersama, Glad tidak datang menemuinya dan Leon-lah yang datang menggantikannya. Leon juga sempat bercerita tentang perubahan sikap adiknya itu. Dan Jake sangat yakin bahwa ia yang menjadi penyebab perubahan sikap Glad. Hanya saja Jake tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua.

Jake berhenti tepat di belakang tubuh Glad, wanita itu terlihat begitu ringkih. Keinginan untuk merengkuh tubuh mungil Glad begitu besar, namun ia berusaha keras menahan keinginannya itu. Tapi tiba-tiba tubuh Glad menggigil kedingingan, Jake pun dengan sigap langsung melepaskan jas yang di kenakannya dan menyampirkannya di tubuh Glad.

Tubuh wanita itu langsung menegang ketika ada sesuatu yang tersampir di pundaknya. Glad langsung memutar tubuhnya, ekspresi terkejut langsung terlihat jelas di wajah cantiknya.

"Kau... Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya sambil hendak melepaskan jas milik Jake yang kini tersambil di tubuhnya.

"Pakai saja, angin malam tidak baik untuk kesehatanmu, Glad." Tutur Jake sambil menatap Glad dengan begitu intens.

"Ah, terima kasih." Jawab Glad singkat, kemudian ia kembali ke posisinya semula.

"Bolehkah aku menemanimu disini?" Tanya Jake.

"Terserah kau saja, Jake." Jawab Glad sambil menyesap minumannya. Akhirnya Jake mengikuti hal yang sama dengan Glad. Memandangi keindahan langit malam dalam diam.

"Langitnya sangat indah, ya." Celetuk Jake.

"Ya, malam ini langitnya memang indah. Akan semakin indah jika ada rembulan yang ikut muncul juga." Jawab Glad dengan pandangan menerawang menatap langit.

"Aku mau minta maaf, Glad." Ucapan Jake yang tiba-tiba itu langsung menarik perhatian Glad.

"Maaf untuk apa, Jake?" Glad menghenyitkan keningnya tak mengerti.

"Aku minta maaf untuk semuanya, Glad. Maaf atas perkataanku beberapa hari yang lalu dan maaf karena selama ini aku berpura-pura tidak mengingatmu atas kejadian di bandara beberapa waktu yang lalu." Tutur Jake.

"Jadi... Jadi selama ini kau berpura-pura tidak mengingat kejadian di bandara waktu itu, Jake?" Pekik Glad. "Kau benar-benar keterlaluan, Jake. Kau... sudahlah." Tukas Glad lelah.

"Aku kacau Glad, benar-benar kacau. Pertemuan denganmu saat itu membuatkj kacau." Tutur Jake.

"Aku... Aku tak tahu apa namanya perasaan yang aku rasakan kini sejak pertama kali bertemu denganmu, Glad. Berusaha menjauhimu hanya mebuatku semakin tersiksa." Jake kembali menjelaskan.

"Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang kau ucapkan, Jake." Timpal Glad sambil menghela nafas dengan kasar.

"Aku ingin mencoba membuka hatiku, Glad. Aku tak ingin terus menerus terpuruk pada masa lalu." Ungkapan jujur Jake membuat kerutan di kening Glad semakin dalam.

"Aku semakin tak mengerti apa yang sedang kau bicarakan, Jake." Glad menatap Jake tepat di iris matanya.

"Bantu aku agar keluar dari gelembung masa laluku, Glad. Sudah terlalu lama aku terperangkap dengan masa laluku." Tutur Jake.

"Aku tak tahu bagaimana harus menolongmu, Jake. Mengapa tak kau cari saja wanita lain." Glad menimpali.

"Tidak bisa Glad, hanya kaulah yang bisa menolongku. Gladysta, maukah kau menjadi kekasihku?"

Between Love And Speed 1

Sirkuit Laguna merupakan sebuah sirkuit balap mobil sekaligus juga balap motor yang terletak di Monterey, California, Amerika Serikat. Sirkuit ini dibangun pada tahun 1957. Panjang sirkuit saat ini adalah 2,3 mil (3,6 km) dengan layout yang berbukit-bukit dan memiliki sebelas tikungan, salah satu di antaranya adalah "Corkscrew" di tikungan 8 dan 8A, yang banyak disebut merupakan kebalikan dari "Eau Rouge" yang ada di Spa-Francorchamps.

Sedari pagi keadaan di sekitar sirkuit ini tengah sibuk. Paddock-paddock yang berada di sana di penuhi oleh para pembalap dan team-nya. Mereka sedang mempersiapkan berbagai persiapan untuk balapan yang akan di laksanakan pada hari Minggu nanti. Saat ini para pembalap MotoGP dari kelas Moto3, Moto2 dan MotoGP sedang sibuk melakukan sesi kualifikasi hari pertama.

Seorang wanita cantik berambut coklat terlihat berjalan menuju ke salah satu paddock yang ada di sana. Kehadirannya di tempat yang di dominasi oleh para pria ini menjadi pusat perhatian. Karena wanita ini memang memiliki paras yang cantik. Wanita itu adalah Naima Alexandra Marques, kini ia tengah berada di sirkuit Laguna Seca untuk menemui Marc Marqeus, yang tak lain adalah adik laki-lakinya yang kini telah bergabung dengan team Repsol Honda di kelas MotoGP. Tak banyak tahu tentang Naima, karena Naima jarang sekali terlihat menghadiri balapan sang adik. Naima saat ini tinggal di benua Paman Sam dan meniti karir sebagai seorang pembalap Nascar. 

Dalam perjalanan menuju ke paddock sang adik Naima bertabrakan dengan seorang pria yang sedang memegang segelas kopi di tangannya. Sontak saja seluruh kopi itu tumpah dan mengotori pakaian Naima.

"Argh, menyebalkan sekali. Hei kau pakai matamu jika berjalan." Bentak Naima kesal sambil berusaha untuk membersihkan pakaiannya yang terkena tumpahan kopi.

"Hei nona, jangan menyalahkan aku seenaknya. Kau sendiri berjalan terburu-buru tanpa memperhatikan jalan." Kilah pria itu tak kalah sengit.

Mendengar perkataan pria yang telah menabraknya itu Naima langsung menatap tajam pria yang telah menabraknya itu. Aura permusuhan langsung Naima tunjukkan. "Kau...." pekik Naima sambil menunjuk pria itu tepat di wajahnya.

"Kau apa, huh? Lagipula apa yang sedang kau lakukan disini? Ini bukan tempat untuk wanita." Ucap pria itu dengan sinis.

"Apa kau bilang? Jadi menurutmu sirkuit hanya cocok untuk para pria dan tidak untuk wanita, begitu?" Sergah Naima dengan emosi yang mulai memuncak. Demi apapun juga pria ini benar-benar menyebalkan, dia pikir siapa dirinya bisa berbicara seenaknya seperti itu, Naima menggerutu dalam hati.

"Ya, balapan dan sirkuit hanya cocok untuk kami para pria. Bukan untuk wanita manja sepertimu, nona." Timpal pria itu dengan nada bicara yang semakin membuat Naima kesal.

"Salah besar jika kau katakan bahwa dunia balap hanya untuk kalian para pria. Aku bisa membuktikan bahwa semua ucapanmu itu salah besar." Jelas Naima sambil memberikan penekanan kepada dua kata terakhir yang diucapkan.

"Oh ya?" Tanyanya meremehkan sambil mengangkat sebelah alisnya, "Lalu apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan semua ucapan itu nona?" Pria itu melipat kedua tangannya sambil menatap Naima dengan tatapan yang meremehkan.

"Memang kau saja yang bisa menaiki motor sport 1000cc, huh. Aku juga bisa mengendarainya, bahkan aku bisa mengejarmu di lintasan apapun. Aku bisa lebih cepat darimu."Sembur Naima dengan perasaan yang kesal, kemarahannya kini sudah memuncak dan mencapai ubun-ubun.

"Haruskah aku mempercayai semua ucapanmu itu, nona?" Tukas pria menyebalkan itu sambil tertawa mengejek. "Kau pikir kau siapa, huh?"

"Kau ingin tahu siapa aku? Datanglah ke Daytona International Speedway. Maka kau akan tahu siapa aku, dasar kau pria menyebalkan." Pekik Naima sambil berkacak pinggang. Kemudian Naima pergi dari hadapan pria menyebalkan itu sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Naima sempat mendengar suara tawa yang berasal dari pria menyebalkan itu. Lihat saja nanti, jika ia tidak datang berarti ia tak lebih dari seorang pria pengecut. Tapi tunggu untuk apa aku mengharapkan kedatangan pria menyebalkan seperti itu. Sebaiknya pria itu tidak usah datang, jadi aku bisa berkonsentrasi untuk balapanku.

Naima terus menggerutu sepanjang jalan sampai-sampai tidak sadar bahwa ia sudah sampai di paddock adik tersayangnya.

"Hei Kak, apa yang terjadi? Mengapa kau menekuk wajahmu sambil menggerutu seperti itu? Dan apa yang terjadi dengan pakaianmu?" Teguran Marc langsung menghentikan gerutuannya.

"Aku sedang sangat kesal, rasanya aku ingin menjabak dan mencakar wajahnya." Jelasnya dengan gemas.

"Woo, sabar-sabar sebaiknya tenangkan dirimu, Kak. Kau tahu bahwa kau terlihat menyeramkan saat ini." Celetuknya sambil berpura-pura ketakutan.

"Jangan membuatku semakin kesal, Marc." Naima memberikan tatapan lelahnya kepada Marc.

"Ups, maaf kakakku yang cantik. Tapi aku benar-benar jujur Kak, wajahmu yang cantik itu terlihat sangat kusut." Goda Marc.

"Kau tidak akan bisa menggodaku, Marc. Sampai kapanpun juga rayuanmu itu takkan mempan kepadaku." Tukas Naima tegas.

"Hanya kau dan Maa wanita yang tidak mempan dengan rayuanku, Kak. Tapi mengapa Paa selalu berhasil merayu kalian berdua?" Paparnya sambil mengelus dagunya dan memasang ekspresi berpikir.

Naima hanya mencibir melihat kelakuan adiknya yang selalu berusaha untuk menggodanya. Tapi sayangnya Naima tidak pernah terpengaruh oleh semua jurus-jurus rayuan yang sering di lancarkan oleh sang adik.

"Ah, aku ingat ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, Marc." Celetuk Naima yang membuat Marc langsung mengalihkan perhatiannya kepada sang kakak.

"Memangnya ada apa, Kak?" Marc menghenyitkan keningnya mendengar nada bicara kakaknya yang tiba-tiba berubah menjadi serius.

Naima menatap lekat wajah sang adik dengan tatapan yang datar sambil menangkupkan kedua tangannya di wajah sang adik, "APA YANG SEBENARNYA KAU LAKUKAN, HUH? MELAKUKAN OVERTAKE YANG BERBAHAYA SEPERTI ITU MARC MARQUES?" Teriak Naima tepat di depan wajah Marc, membuat sang adik terlonjak kaget mendengar teriakan tiba-tiba dari sang kakak.

"Astaga, jangan berteriak seperti itu, Kak. Kau benar-benar mengagetkanku." Timpal Marc sambil menutup kedua telinganya.

"Karena apa yang kau lakukan sangat bodoh, Marc. Yang kau lakukan tadi di lintasan tidak hanya mengancam keselamatan riders lain, tapi keselamatanmu juga, Marc." Jelas Naima panjang lebar dengan gemas.

"Aku tahu kalau aku salah, Kak. Tapi, kakak bisa lihat aku baik-baik saja, kan." Jawab Marc santai, meskipun sebenarnya ia tahu bahwa sang kakak sangat mengkhawatirkannya.

"Untung saja Maa dan Paa baru akan datang kemari pada hari Minggu nanti. Kau tahu Dad akan habis-habisan menceramahimu, Marc." Jelas Naima.

"Aku tahu Kak, aku minta maaf." Ucap Marc.

Namun ternyata perdebatan kakak beradik itu terus berlanjut. Begitulah Naima dan Marc jika bertemu, ada saja hal yang membuat mereka berdebat. Tapi kebanyakan hal yang membuat mereka berdebat adalah seputaran dunia balap. Apalagi mereka jarang sekali bertemu.

Hingga tiba-tiba, "Astaga, aku lupa." pekik Naima sambil berdiri duduknya.

"Ada apa, Kak?" tanya Marc penasaran.

"Indisa-chan, astaga aku lupa bahwa dia masih ada di tempat parkir." tukas Naima sambil menepuk keningnya.

"Yang mau menjadi mekanis terbaru aku itu?" tebak Marc.

"Ya." Naima menggangguk dengan cepat dan bergegas keluar dari paddock. "Temani aku mencari Indisan-chan, Marc." Pinta Naima sambil menarik tangan adiknya itu.

"Woooo, jangan tarik-tarik Kak. Aku bisa jalan sendiri, ada apa denganmu sebenarnya? Lihat aku saja belum mengganti pakaian balapku." Marc menggerutu di sepanjang jalan.

"Sudah, nanti saja ganti baju. Ya terpenting sekarang kita harus menemukan Indisa-chan secepatnya." Tukas Naima sambil terus menarik tangan Marc.

***

Sementara itu di paddock yang berbeda. Salah seorang pembalap kelas MotoGP sedang menggerutu kesal. Karena ia tidak bisa menikmati kopi kesukaannya karena di tengah jalan ia bertabrakan dengan seorang wanita.

Ya pria itu adala Dani Pedrosa, siapa yang tak kenal dengan pembalap yang satu ini. Selain tampan Dani juga di kenal sebagai salah satu pembalap yang paling pendiam di antara semua pembalap yang mengikuti ajang balapan ini. Sudah hampir delapan tahun Dani bergabung dengan team Repsol Honda.

"Hai Dani, ada apa? Mengapa wajahmu terlihat kesal sekali." Tanya Alberto yang merupakan asisten Dani.

"Kau rupanya, aku pikir siapa." Celetuk Dani dengan malas.

"Kau kenapa?." Alberto mengulangi kembali pertanyaan sambil duduk di samping Dani. "Ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu." Tutur Alberto.

"Entah mimpi apa aku semalam, karena tadi aku bertabrakan dengan seorang wanita yang sangat menyebalkan." Dani mulai bercerita.

"Seorang wanita, eh? Setahuku biasanya jika sedang sesi kualifikasi seperti ini jarang sekali ada seorang Umbrella Girl yang berkeliaran di sekitar sini." Ucap Alberto.

"Sepertinya dia bukan seorang Umbrella Girl, Alberto. Wanita itu cantik, sangat cantik bahkan. Wajahnya seperti seorang model. Hanya saja ia sangat galak dan angkuh. Like Ice Princess." Tutur Dani sambil menggelengkan kepalanya.

Alberto menegakkan tubuhnya, "Apakah wanita itu memiliki rambut berwarna coklat yang panjang dan memiliki mata berwarna biru laut?" Tebakan Alberto membuat Dani terkejut.

"Ya, bagaimana kau bisa tahu?" Tegur Dani.

"Itu kakaknya Marc,  Dani. Namanya Naima dan dia memang terlihat angkuh, tapi jika sudah kenal ia sangat baik sekali, tadi aku bertemu dengannya di paddock Marc. Selain itu Naima memang sudah lama tinggal di Amerika." Tutur Alberto sambil tersenyum.

"Bagiku dia itu tetap wanita yang sangat menyebalkan. Baru saja bertemu sudah memberikan tatapan permusuhan kepadaku. Kau tahu bahwa aku takkan berbaik hati kepada orang yang mencari perkara kepadaku." Tegas Dani.

"Jangan seperti itu, bisa-bisa kau jatuh cinta padanya nanti." Celetuk Alberto sambil menggoda Dani.

Dani hanya mencibir dengan kesal menanggapi godaan Alberto, "Berhentilah menggodaku, Alberto. Karena apapun yang terjadi aku takkan melunak atau mengubah sikapku kepada wanita menyebalkan itu." Gerutu Dani dengan sebal.

"Namanya Naima, Dani." Koreksi Alberto.

"Ah ya, Naima maksudku., timpal Dani malas.

Alberto terkekeh melihat Dani uring-uringan, terlebih lagi saat mengetahui bahwa yang membuatnya uring-uringan adalah seorang wanita Naima. Kakak dari teman satu team-nya Marc Marques.

***

Sementara itu seorang wanita cantik berparas Asia sedang berjalan tak tentu arah di tengah hiruk pikuk di sirkuit sambil menggendong tas punggung kesayangannya. Dia adalah Indisa-chan, wanita berdarah Jepang yang akan bergabung dengan team Repsol Honda. Indisa-chan akan menjadi salah satu team mekanik di team Marc.

"Astaga, ramai sekali tempat ini. Naima benar-benar keterlaluan meninggalkanku begitu saja di tempat parkir." Gerutunya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Duh, aku benar-benar lupa nama teamnya apa? Naima kau dimana, aku tersesat. Hiks." Keluhnya sambil terus berjalan.

Indisan-chan semakin salah tingkah karena kehadirannya di tempat itu menarik perhatian beberapa pembalap dan krunya. Karena jarang sekali ada wanita cantik yang berkeliaran ketika sesi kualifikasi.

Indisa-chan terus sama berjalan sambil memperhatikan setiap paddock yang di lewatinya, berharap ia menemukan sosok Naima di antara orang-orang itu. Setelah cukup lama berjalan dan berkeliling akhirnya Indisa-chan berhenti di depan sebuah paddock. Dengan penuh percaya diri Indisa-chan melangkahkan kakinya ke dalam paddock itu.

"Naimaaaa..." teriak Indisa-cha bersemangat ketika sudah berada di dalam paddock tersebut.

Wajah Indisa-chan langsung berubah menjadi merah seperti buah tomat. Karena semua orang yang ada di dalam paddock tersebut tengah menatapnya dengan tatapan bingung.

"Astaga, sepertinya aku salah masuk paddock." Gumam Indisa-chan pada dirinya sendiri.

"Sepertinya kau tersesat, nona." Tegur seorang pria. Wajah Indisa-chan yang sudah merah kini semakin memerah ketika melihat siapa yang telah menegurnya itu.

Senin, 03 Februari 2014

Love Doesn't Have To Hurt 11

DHEE

Sudah satu minggu sejak aku memutuskan untuk mengambil cuti kuliahku selama tiga bulan. Dan saat ini aku sedang berada di Paris, di salah satu mansion milik Dad. Aku juga sudah berpesan kepada Mom dan Dad agar tidak menggangguku. Karena saat ini yang aku butuhkan adalah waktu untuk diriku sendiri.

Banyak hal yang ingin aku lupakan dan yang ingin aku perbaiki. Termasuk tentang Gale, karena sampai detik ini aku masih belum benar-benar bisa untuk melupakan Gale.

Terlalu besar perasaan cinta dan sayangku kepadanya. Meskipun mulutku berkata bahwa hubungan kami sudah selesai, tapi tidak dengan hati kecilku.

Hati kecilku menangis meraung-raung, menolak keputusan sepihakku untuk mengakhiri hubungan ini dengan Gale. Gale benar-benar membuat emosiku menjadi labil serta naik turun dengan begitu cepat seperti sebuah roller coaster.

Namun justru karena hal-hal itulah yang membuat hidupku jadi pernuh warna, tidak monoton. Karena efek dari kerikil-kerikil itulah yang membuat perasaanku kepada Gale menjadi semakin kuat dengan sadar ataupun tidak. Tapi ya, aku mengakui bahwa perasaanku kepada Gale semakin kuat. Meskipun saat ini aku sedang berusaha keras untuk menampiknya.

Tapi apa yang aku lakukan saat ini? Pergi hanya untuk menghindarinya, melihat sosoknya membuatku sakit. Gale... aku sangat merindukanmu. Sedang apa kau saat ini? Aku ingin bertemu denganmu Gale, gumamku dalam hati.

Dengan gusar aku pergi meninggalkan mansion dan memutuskan untuk berjalan-jalan. Berharap pikiranku akan semakin tenang dan bisa mengalihkan pikiranku dari Gale. Dengan perlahan aku menyusuri jalan yang menuju ke menara Eiffel, karena mansion milik Dad berada tak jauh dari salah satu dari tujuh keajaiban dunia itu.

Udara sore ini cukup dingin, membuatku harus mengetatkan mantel yang aku gunakan. Mataku menyusuri berbagai macam objek yang ada di sepanjang jalan. Semua itu bisa sedikit membuatku merasa lebih baik.

Akhirnya aku memutuskan untuk naik ke puncak menara Eiffel. Aku ingin sekali melihat pemandangan matahari terbenam dari sana. Pasti akan sangat indah sekali, dari sana pula aku bisa menikmati keindahan kota Paris dari ketinggian.

Sesampainya di puncak aku langsung menghela nafas dalam-dalam, memenuhi rongga paru-paruku dengan banyak udara. Berharap dengan cara seperti itu seluruh beban yang selama ini menyesakkan dadaku terangkat semuanya.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Paris memang selalu indah dari atas sini. Andai saja Gale juga ada di sini, pasti akan sangat menyenangkan sekali. Tidak, tidak, apa yang kau pikirkan Dhee. Berhenti memikirkan pria itu, geramku dalam hati.

Tuhan, mengapa nama itu lagi yang terlintas di dalam kepalaku? Sepertinya otakku memang bermasalah, rutukku dalam hati. Untuk apa aku terus menerus memikirkan pria yang sudah tidak mencintaiku dan menginginkanku lagi? Ingin sekali rasanya aku hilang ingatan saja, agar perasaan ini tidak menyesakkan dadaku.

Tuhan, mengapa kau tidak membuatku hilang ingatan saja saat kecelakaan itu? Mungkin dengan begitu hidupku saat ini akan jauh lebih tenang. Karena aku bisa menghilangkan dirinya dari pikiranku.

Jika kami memang tak ditakdirkan untuk bersatu, maka jauhkanlah dia dari hidup dan pikiranku. Namun jika ia memang ditakdirkan untukku, pertemukanlah kami kembali. Berilah kami petunjuk untuk menyelesaikan semua permasalahan kami yang semakin pelik ini, doaku dalam hati.

Kemudian aku kembali menikmati pemandangan di sekitar. Hari ini tidak begitu ramai seperti biasanya, hanya ada beberapa pasangan saja disini dan beberapa orang yang datang untuk menyendiri seperti yang tengah aku lakukan saat ini.

Sampai akhirnya mataku menatap sosok yang sangat familiar dan sangat aku rindukan selama ini. Gale. Apa yang sedang ia lakukan disini? Sangat tidak mungkin Mom dan Dad memberitakukan keberadaanku kepada Gale. Mengingat kedua orang tuaku begitu menentang hubungan kami berdua.

Gale tengah menengadahkan kepalanya menghadap langit sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali bahwa ia sedang melakukan hal yang sama sepertiku. Mencari ketenangan. Ingin sekali aku berlari ke arahnya dan memeluknya dengan begitu erat. Namun entah mengapa kakiku menjadi kaku, membuatku terpaku di tempatku berdiri saat ini.

***

GALE

Saat ini aku sedang berada di Paris, aku memutuskan untuk menghilang dan rehat sejenak dari rutinitasku. Tapi kali ini aku memberitahu Lila kemana aku akan pergi, aku tak mau membuat Lila khawatir seperti waktu itu.

Banyak yang bilang bahwa Paris adalah kota yang romantis. Cocok bagi orang-orang yang memiliki pasangan, tapi bagi orang-orang yang sedang memiliki permasalahan sepertiku Paris adalah kota yang cocok untuk menyendiri.

Entah mengapa Paris terlintas begitu saja dipikiranku. Aku sangat ingin sekali mendatangi kota ini tanpa alasan yang begitu jelas. Berandai-andai aku akan bertemu dengan wanita yang paling kucintai di kota ini, Dhee. Meskipun aku tahu bahwa itu tidak mungkin.

Dhee tidak mungkin berada di sini, keberadaannya saat ini pun masih belum diketahui. Aku tak ingin menyerah dan putus asa dalam mencari keberadaannya. Namun Dhee benar-benar menghilang seperti ditelan bumi.

Tuhan, jika Dhee memang jodohku, kumohon pertemukan kami kembali. Namun jika ia bukan jodohku maka jauhkanlah kami. Jangan pertemukan kami lagi di manapun. Biarlah waktu yang menjawab semuanya, ketidak pastian ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu.

Mataku perlahan terbuka, semburat jingga kini telah menghiasi langit kota Paris. Sangat indah, andai saja Dhee ada di sini pasti akan lebih indah, gumamku dalam hati sambil menikmati indahnya senja membuat bibirku menyunggingkan senyum dengan sendirinya.

Ketika memutar tubuhku tiba-tiba saja aku melihat seseorang yang sangat aku rindukan sedang menatapku. Sosoknya begitu indah diterpa oleh sinar mentari berwarna jingga. Ingin aku menghampiri namun yang aku lakukan hanya terdiam mematung. Berharap bahwa yang aku liat kini bukanlah ilusi semata.

Setelah beberapa menit hanya saling berpandangan, akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya. Berjalan perlahan sembari melihat setiap pergerakan yang dilakukan oleh Dhee. Aku tak ingin membuatnya berlari menjauhiku. Saat ini juga aku harus menyelesaikan semua permasalahan kami berdua. Atau takkan ada kesempatan lagi untuk memperbaiki semuanya.

"Dhee..." panggilku perlahan setelah berada tepat dihadapannya. Di luar dugaan Dhee langsung memeluk tubuhku dengan begitu erat.

"Gale, maafkan aku." Isaknya dalam pelukanku.

"Stt, sudahlah Angel kau tak perlu meminta maaf. Ini semua salahku." Ucapku sambil berusaha menenangkannya.

Dhee menengadahkan wajahnya menatapku, matanya yang indah kini telah basah oleh air matanya. Hatiku kembali berdenyut sakit melihatnya, "Tidak Gale, aku yang salah. Seharusnya aku mau mendengarkan semua penjelasanmu, bukannya langsung memutuskan hubungan kita begitu saja. Aku benar-benar pengecut Gale, karena yang aku lakukan adalah lari darimu." Jelasnya sambil terisak.

"Sudah Angel, berhentilah menangis. Setelah kau merasa jauh lebih tenang kita bisa membicarakan semua ini dengan kepala dingin." Tuturku sambil menangkup wajahnya. "Tapi untuk saat ini biarkanlah aku memelukmu." Lanjutku sambil menarik kembali tubuh mungilnya kedalam pelukanku.

Rasa syukur berulang kali kuucapkan. Perasaan bahagia membuncah tak terbendung di dalam dadaku. Tuhan benar-benar telah mendengarkan doaku. Aku takkan melepaskan Dhee untuk yang kedua kalinya. Apapun rintangan yang menunggu di depan sana aku akan melewatinya. Aku takkan menyerah lagi.

It's late at night and I can't sleep
Missing you just runs too deep
Oh I can't breathe thinking of your smile
Every kiss I can't forget
This aching heart ain't broken yet
Oh God I wish I could make you see
Cause I know this flame isn't dying
So nothing can stop me from trying

Baby you know that
Maybe it's time for miracles
Cause I ain't giving up on love
You know that
Maybe it's time for miracles
Cause I ain't giving up on love
No I ain't giving up on us

I just wanna be with you
Cuz living is so hard to do
When all I know is trapped inside your eyes

The future I cannot forget
This aching heart ain't broken yet
Oh God I wish I could make you see
Cuz I know this flame isn't dying
So nothing can stop me from trying

Baby can you feel it coming
You know I can hear it, hear it in your soul
Baby when you feel me feeling you
You know it's time...

(Adam Lambert - Times For Miracle)

Senja kali ini akan menjadi salah satu senja terbaik dan terindah dalam hidupku. Karena senja kali ini wanita yang sangat aku cintai ada didalam pelukanku, senja yang penuh keajaiban. Demi Tuhan, aku takkan melepaskannya. Biar hujan badai menerjang aku takkan gentar menghadapinya.

Tak henti-hentinya aku menciumi pucak kepalanya. Kerinduan yang kurasakan tak terbendung lagi, maka yang kulakukan hanya seperti ini. Cukup saling berpelukan, dengan begini aku berharap Dhee akan merasakan kerinduan yang selama ini kupendam.

"Bagaimana jika kita mencari sebuah restoran. Udara disini sudah mulai dingin, aku tak mau kau sakit." Bisikku. Dhee hanya mengangguk dalam pelukanku.

Langit telah berubah gelap ketika pelukan kami terlepas. Bintang-bintang kini telah menghiasi langit yang berwarna gelap. Sangat indah. Sebenarnya aku ingin lebih lama berada di sini, namun aku takut Dhee sakit jika kami terlalu lama berada di ketinggian.

Sambil bergandengan tangan kami pergi meninggalkan puncak menara Eiffel. Rasanya sangat bahagia karena akhirnya aku bisa menggenggam kembali tangan Dhee yang begitu hangat, halus dan lembut. Hanya dengan menggenggamnya seperti ini hatiku merasa begitu tentram, tak ada hal yang membahagiakan dari ini.

Kami berjalan menyusuri jalanan yang ramai sambil bergandengan tangan. Mencari kafe yang cocok untuk kami berdua. Aku tak henti-hentinya memandangi wajah Dhee yang kini berada di depanku. Terlihat agak tirus namun tak mengurangi kecantikan alami yang di milikinya.

"Mengapa terus memandangiku seperti itu, Gale?" Dhee bertanya sambil memandangku.

"Tidak ada apa-apa, bukankah sejak dulu aku memang senang memandangi wajahmu seperti." Jawabku sambil tersenyum.

"Rupanya kau masih belum berubah, Gale." Timpalnya sambil terkekeh.

"Aku tidak akan berubah, Angel. Kau tahu bagaimama perasaanku padamu seperti apa." Tuturku sambil meraih tangannya, kemudian kukecup. "Mari kita mulai semuanya dari awal, Angel. Biarkan aku memperbaiki semua kesalahanku." Lanjutku.

"Tentu, Gale." Jawabnya tulus.

Malam itu kami menghabiskan waktu bersama. Membicarakan berbagai hal. Setidaknya malam ini akan menjadi awal hubungan kami yang baru. Apapun yang terjadi kami sekarang sudah jauh lebih siap untuk menghadapinya.