Senin, 23 Desember 2013

Try With Me 10

JAMES

"Lila ada apa dengan Hanna? Dia baik-baik saja, kan?" Aku langsung mengulangi pertanyaanku kembali, namun Lila hanya terisak di seberang sana. Lalu tiba-tiba saja sambungan telepon terputus.

Aku langsung panik dan mencoba menghubungi Lila, namun tidak tersambung. Lalu dengan keadaan yang panik aku segera menghampiri Zac, Gale dan Mark.

"Zac, kita harus bicara." Panggilku dengan tergesa-gesa.

"Ada masalah apa, James? Kau terlihat kacau." Timpalnya sambil memicingkan matanya menatapku.

"Kau tidak sedang membuat kekacauan kan, James?" Tanya Gale penuh kecurigaan.

"Tidak Gale, aku tidak sedang membuat kekacauan." Jawabku cepat sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Lalu ada masalah apa?" Mark yang sedari tadi diam akhirnya ikut angkat bicara.

"Bisakah salah satu dari kalian menghubungi Lila?" Pintaku sambil menatap mereka satu persatu.

"Ada apa dengan istriku, James? Kau jangan macam-macam." Zac mengeluarkan ancamannya ketika aku membicarakan Lila.

"Aku berharap dia tidak apa-apa, Zac. Dengar, beberapa menit yang lalu Lila menghubungiku, dari suaranya ia terdengar ketakutan." Aku mulai menjelaskan kepada mereka bertiga, "Dan ia mengatakan sesuatu tentang Hanna, istriku. Namun tiba-tiba saja sambungan teleponnya terputus dan aku tidak bisa menghubungi Lila sama sekali." Aku mengakhiri penjelasanku dengan hembusan nafas yang cukup keras.

"Biar aku coba untuk menghubunginya. Sebentar." Zac pamit meninggalkan kami untuk menghubungi Lila.

Beberapa menit kemudian Zac kembali. Namun kini wajahnya terlihat kusut, tidak seperti tadi.

"Bagaimana, Zac? Kau bisa menghubungi istrimu?" Tanyaku dengan perasaan yang tak menentu dan campur aduk.

"Aku tidak bisa menghubungi Lila. Mom juga bilang bahwa Lila belum pulang." Jawab Zac, bisa terdengar ke khawatiran dari suaranya.

"Apakah kau sudah mencoba untuk menghubungi ponsel istrimu, James?" Tanya Gale.

"Aku tak bisa menghubunginya, Gale. Bahkan aku juga tak bisa melacaknya menggunakan GPS." Jawabku dengan lemas.

"Jangan panik, percaya bahwa semuanya baik-baik saja, oke. Meskipun aku sangat mengkhawatirkan adikku, tapi jika bersikap tenang kita pasti akan menemukan cara untuk menghubungi Lila dan Hanna." Mark menengahi sambil mencoba untuk mencairkan suasana yang mulai menegang.

"Mark benar, kita harus bisa tenang agar bisa berpikir jernih." Gale menambahkan.

Akhirnya kami berempat terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai tiba-tiba ponselku kembali berdering, ternyata Lila yang mengerimiku pesan singkat. Mataku langsung membulat sempurna karena terkejut membaca pesannya.

"James, Hanna di bawa oleh seorang pria. Maaf, aku tidak bisa mengejarnya. Mobilku kehilangan jejak mobil pria itu    :("

Astaga Hanna. Siapa pria yang di maksud oleh Lila? Ah, jangan-jangan pria yang di maksud oleh Lila adalah Alex. Ya, aku yakin sekali bahwa pria itu adalah Alex. Tapi mengapa ia melakukan hal ini? Aku pikir Alex sudah mundur. Karena sejak pertemuan kami di hotel Alex tak pernah muncul sama sekali.

"Zac, sepertinya kau sudah bisa menghubungi Lila sekarang. Baru saja ia mengirimiku pesan." Ucapku sambil memperlihatkan isi pesan Lila.

Kedua alis Zac langsung bertaut, "Astaga, apa yang sebenarnya ada di pikiran Lila? Bukankah saat ini kehamilannya sudah besar?" Zac mengerang frustasi karena kelakuan Lila.

"Aku sudah mengirimkan orang-orang kepercayaanku untuk melacak keberadaan Hanna saat ini. Jadi kau bisa membujuk Lila untuk segera pulang ke rumah. Atau kau mau ikut pulang ke Miami bersamaku?" Tawarku kepada Zac. 

"Sebaiknya kau pulang saja, Zac. Ada aku dan Mark yang akan menangani semuanya di sini." Tawar Gale.

"Baiklah kalau begitu aku ikut pulang ke Miami bersamamu, James." Jawab Zac, "Lalu kapan kita akan berangkat?" Tanyanya lagi.

"Sekarang, Zac." Jawabku mantap. Aku ingin segera sampai di Miami lalu mencari Hanna dengan usahaku sendiri. Demi Tuhan aku sangat mengkhawatirkannya, apalagi saat ini ia tengah hamil buah cinta kami. Aku takkan membiarkan Alex atau siapapun menyentuh mereka berdua. Takkan pernah kubiarkan.

Akhirnya hari itu kembali ke Miami bersama Zac. Selama perjalanan kami membicarakan banyak hal. Aku semakin tahu bahwa Zac memang pantas untuk Lila. Aku jadi merasa bersalah atas perbuatanku yang berambisi untuk memisahkan mereka berdua. Maafkan aku Tuhan.

Beberapa jam kemudian kami sampai di Miami. Aku dan Zac berpisah di bandara. Dari situ aku langsung pergi untuk menemui orang kepercayaanku yang sudah menunggu di penthouse untuk melaporkan informasi tentang istriku.

Namun aku harus menelan kekecewaan karena belum ada satupun dari mereka yang mendapatkan informasi tentang Hanna meskipun sedikit. Keberadaan Hanna saat ini masih belum di ketahui.

Aku mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutku. Entah sudah berapa banyak alkohol yang masuk ke dalam tubuku. Namun rasa cemas itu semakin mencekikku. Alkohol tidak berhasil membuatku menghilangkan perasaan takut, cemas, khawatir dan kehilangan yang menggerogoti relung hatiku.

Hanna... Hanna... Hanna... Kau ada dimana, sayang? Semoga kau dan bayi kita baik-baik saja. Aku berjanji akan segera menemukanmu, bahkan mencari sampai ke ujung dunia pun akan aku lakukan asalkan aku bisa melihatmu kembali.

***

Seminggu telah berlalu, namun aku tak kunjung mendapatkan kabar berita tentang keberadaan Hanna. Aku hampir tidak tidak aku benar-benar merasa sangat putus asa sekali.

Aku tak lagi pergi ke kantor seperti biasanya, yang aku lakukan setelah mencari Hanna adalah menghabiskan waktu berjam-jam di ruang kerjaku dan akan berakhir dengan kondisiku yang mabuk berat. Semua urusan perkerjaan aku serahkan kepada tangan kananku. Karena aku takkan bisa fokus mengerjakan semua pekerjaan-pekerjaan itu dalam kondisi seperti ini.

Alex, jika aku berhasil menemukanmu aku bersumpah akan membunuhmu. Sebuah kesalahan besar karena kau telah bermain api denganku. Lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan kepadamu dan keluargamu. Aku tidak takut meskipun keluargamu adalah salah satu keluarga mafia terkuat. Karena aku akan menghancurkan semuanya.

Maka aku mulai menjalankan berbagai rencana untuk menghancurkan keluarga Grey secara. Kali ini benar-benar takkan aku beri ampun sedikipun. Akan aku jebloskan mereka sekeluarga ke dalam penjara. Tentu saja setelah aku berhasil mengacaukan dan menghancurkan semua perusahaan yang sedang mereka kelola. Akan kubuat mereka bangkrut.

"Bagaimana Andreas? Apakah rencana yang kita jalankan berjalan dengan lancar?" Siang itu aku yang sedang berada di penthouse menghubungi Andreas kaki tanganku.

"Semua berjalan sesuai dengan rencana, Sir. Anda memiliki hampir tujuh puluh lima persen saham di setiap perusahaan milik keluarga Grey. Saya tinggal menunggu perintah anda selanjutnya." Jelas Andreas di seberang sana.

"Bagus sekali, aku tak peduli dengan kerugian yang akan kuterima nanti. Karena aku sudah mempersiapkan semuanya agar perusahaan kita tidak mengalami kerugian. Tunggu perintah selanjutnya dariku." Jawabku.

"Baik Sir, selamat siang." Jawab Andreas singkat.

Lalu aku menutup telepon. Sebuah senyuman langsung menghiasi bibirku. Keluarga Grey tidak cukup cerdik ternyata. Sedikit lagi kalian semua akan hancur. Dan Alex kau akan mati, aku bersumpah akan membunuhmu.

Aku langsung menghubungi Zac, karena Zac mau membantuku. Meskipun sebelumnya Gale melarang karena Galr belum sepenuhnya percaya jika aku sudah berubah dan tidak akan mengganggu Lila lagi. Ternyata meyakinkan Gale cukup sulit.

"Hai James, bagaimana?" Sapa Zac di seberang sana.

"Bagaimana jika bertemu untuk membicarakannya?" Tanyaku.

"Baiklah, kau ingin kita bertemu dimana? Bagaimana jika di kantorku saja." Tawarnya.

"Oke, aku akan segera menuju ketempatmu. Zac, sekali lagi terima kasih. Kau masih mau membantuku meskipun dulu aku selalu berniat untuk memisahkanmu dari Lila." Tukasku.

"Sudahlah James, kita lupakan saja. Lagipula saat ini kau sudah berubah, bukan. Dan Lila senang melihat perubahanmu sekarang. Aku tak punya alasan untuk terus menerus membencimu." Ucap Zac panjang lebar, "Lila saja mau berteman denganmu, mengapa aku tidak." Lanjutnya.

"Terima kasih untuk semuanya, Zac. Sampai bertemu nanti." Gumamku, hatiku merasakan kembali kelegaa. Semua perasaan persalahku pada Lila dan Zac semakin berkurang saat ini. Hanna benar, Zac memang yang terbaik untuk Lila.

Setelah menutup telepon aku langsung pergi menuju ke perusahaan milik Zac.

***

HANNA

Entah sudah berapa lama  Alex mengurungku. Entah sedang berada di mana aku saat ini. Ketika mengintip dari balik jendela aku bisa melihat suasana di luar seperti sebuah peternakan.

Beberapa hari terakhir ini Alex jarang berada di tempat ini. Entah apa yang sedang di kerjakannya di luar sana. Karena tak jarang aku mendapatinya sedang marah-marah di ponsel miliknya. Benda yang harus segera aku dapatkan bagaimanapun caranya. Karena itu satu-satunya benda yang bisa membantuku untuk menghubungi James.

Di rumah ini tak ada satupun alat komunikasi. Aku benar-benar merasa terasing di tempat ini, meskipun Alex memenuhi semua kebutuhanku disini, tapi aku tetap tidak senang.

"Bagaimana bisa perusahaan kita mengalami kebangkrutan tiga kali berturut-turut." Suara teriakan Alex yang begitu nyaring membuatku langsung bergegas untuk keluar dari kamar.

Aku melihat sosok Alex yang di kuasai oleh emosi. Amarah benar-benar telah menguasainya. Benar-benar bukan Alex yang aku kenal selama ini. Daripada aku menjadi sasaran kemarahannya yang akan berakibat fatal pada kehamilanku sebaiknya aku diam saja di kamar. Semoga saja aku memiliki kesempatan untuk mendapatkan ponsel milik Alex.

Bloody Love (When I was a little girl, I'm just a little girl then suddenly...)

Copyright©2013 by MayaKyla. All right reserved.

Di mohon dengan sangat tidak menyadur sebagian atau keseluruhan isi dari cerita ini tanpa izin dari Penulis. Say NO to PLAGIATSM!!!

Kalau banyak kejanggalan di cerita ini mohon maaf. Karena seperti itulah adanya yang ada di kepala saya.

Ini juga pertama kalinya saya menulis cerita seperti ini. Genre dan setting waktu yang saya pakai di cerita yang ini benar-benar baru sekali. Jadi kalau gak nyambung atau aneh mohon maaf.

---------------------------------------------------

Aku terlahir dengan nama Emerald Rain Rossetti, kau boleh Emerald. Tapi aku lebih suka jika kau memanggilku Emer, entah mengapa aku sangat senang dengan nama kecilku yang itu. Usiaku kini menginjak usia sepuluh tahun. Keluargaku merupakan salah satu keluarga terpandang di kota kami.

Mom dan Dad selalu memenuhi semua keinginan anak-anaknya. Kakakperempuanku Giovanna selalu meminta berbagai macam benda. Dari pakaian mewah, topi, sepatu dan berbagai aksesoris pelengkapnya. Bertolak belakang denganku, bagiku semua itu tidaklah penting. Apapun yang di berikan oleh Mom dan Dad aku akan menerimanya dengan senang hati.

Dan berbagai keanehan muncul sehari setelah usiaku genap berusia sepuluh tahun. Saat itu aku pergi ke sebuah taman hiburan bersama kedua orang tuaku. Karena aku hanya minta di temani ke tempat ini sebagai hadiah ulang tahunku. Namun sebelum berangkat Dad menemukan dua ekor kucing di dalam bagasi mobilnya dalam keadaan termutilasi menjadi beberapa bagian. Sangat mengerikan.

Sesampainya di sana aku langsung berlari menuju ke tempat bianglala. Sedangkan Mom dan Dad mengikuti dari belakang. Setelah mengantri cukup lama akhirnya tibalah giliranku masuk ke salah satu bilik di bianglala itu bersama seorang anak perempuan seusiaku yang entah siapa namanya. Aku terlalu kikuk jika bertemu dengan orang baru.

Roda pun mulai berputar, aku yang hanya seorang anak kecil mulai berteriak-teriak senang dengan penuh kegembiraan. Melihat pemandangan dari ketinggian benar-benar sangat indah. Semburat jingga yang menghiasi langit senja ini begitu indahnya. Dan akhirnya aku berada di puncak. Pemandangan yang di sajikan benar-benar lebih indah.

"Hei, pemandangannya benar-benar sangat indah sekali, bukan." Tanpa sadar aku berkata pada anak perempuan yang naik bersamaku itu.

Namun anak perempuan itu hanya menatapku sambil tersenyum aneh yang membuatku tiba-tiba merasa ketakutan. Penampilannya sangat aneh dengan gaun berwarna hitam pekat dengan detail yang tidak biasa, dan rambut panjangnya yang berwarna merah marun. Tatapannya terlihat kosong tapi... entahlah aku seperti melihat sesuatu di dalam sana.

Sesuatu yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Rasa takut yang semakin mencekam diriku, ingin aku berlari dan menjauh dari tatapan aneh anak perempuan itu. Namun tak mungkin, karena saat ini kami tengah berada di posisi paling puncak.

"Saatnya sudah tiba, Emer." Ucapnya dengan suara serak yang aneh dan seringaian menyeramkan tersungging di wajahnya.

Aku hanya bisa terpekik tertahan karena tiba-tiba saja aku mendengar suara sesuatu yang patah. Ya, tiang-tiang penyangga bianglala yang aku tumpangi mulai patah di ikuti oleh suara berdebam dari sebuah benda yang jatuh dari ketinggian yang saling bersahutan. Suara jeritan pun mulai terdengar di sana sini. Kepanikan langsung pecah dimana-mana dan suasanya

Anak perempuan aneh yang berada bersamaku hanya tersenyum. Sebuah senyum penuh kemenangan, entahlah aku tidak bisa mengartikannya. Yang aku lakukan hanya menjerit-jerit memanggil Mom dan Dad sampai suaraku parau dan hampir habis.

Hingga akhirnya bilik yang aku tumpangi terlepas dari tempatnya. Ketakutanku semakin menjadi, mataku terpejam berharap rasa takut yang semakin mencekikku ini berkurang meskipun hanya sedikit saja.

"Mommy......" teriakku sekencangnya dengan suara yang serak dan mulai habis karena menangis dan berteriak-teriak histeris. Hanya satu yang aku ingat dengan begitu jelas sebelum semuanya menjadi gelap.

"Kita akan bertemu lagi, Emer." Ucapnya di iringi dengan suara tawa yang menakutkan. Suara berdebam keras terdengar dan semuanya menjadi gelap.

***

Mataku terbuka perlahan, aku langsung menutup rapat kedua mataku kembali ketika sinar lampu mengenai mataku, rasanya sakit dan menyengat. Setelah beberapa saat mataku sudah bisa menyesuaikan dengan keadaan sekitar.

Aku mengenali ruangan ini, kamar tidurku. Tapi tunggu dulu mengapa tubuhku tak bisa di gerakan. Rasanya ada sesuatu yang mengikatku di tempat tidur ini. Berkali-kali aku mencoba menggerakkan badanku namun tetap saja. Tertahan. Aku di ikat, tapi mengapa?

"Akhirnya kau bangun juga, pembunuh." Suara khas kakak perempuanku langsung mengalihkan perhatianku yang sedari tadi sibuk untuk melepaskan diri.

"Apa maksudmu, Kak?" Tanyaku tak mengerti.

"Kaulah yang menyebabkan insiden mengerikan itu. Kau juga yang membunuh Bruno anjing kita. Itulah mengapa Dan menyuruh pelayan untuk mengikatmu di tempat tidur." Jelasnya panjang lebar.

Namun semua penjelasannya itu semakin memperbanyak dan memperdalan kerutan di keningku. Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang di katakan oleh kakakku. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa Giovanna kakakku mengatakan hal yang aneh dan mengerikan seperti itu?

"Sungguh aku benar-benar tak mengerti dengan semua yang kakak katakan." Suaraku terdengar aneh.

"Kau iblis Emer, kau pembawa maut dan kutukan." Teriak Giovanna kepadaku sebelum meninggalkan kamarku.

Lagi-lagi aku hanya terpekur, berusaha untuk memahami semua kata-kata kakakku. Namun aku tetap mengerti. Hingga berhari-hari aku tetap dalam posisi terikat seperti itu. Hanya Mom dan nenek Rossemary yang selalu datang untuk menemuiku.

Tubuhku terasa sakit dan kaku akibat tali-tali yang mengikatku. Namun Mom hanya terdiam pilu ketika aku memohon sambil menangis agar ikatanku di lepas. Sedangkan Dad, hanya sekali ia menemuiku ia memandangku dengan tatapan penuh kebencian. Sama seperti tatapan yang di berikan oleh Giovanna kakakku.

***

Kondisi tubuhku semakin lemah, hingga pada suatu hari Dad melepaskan semua tali yang mengikat seluruh tubuhku.

"Kau kulepaskan, tapi jangan sekali-kali kau menampakkan dirimu di depan banyak orang. Jika kau melanggarnya kau akan mendapatkan hukuman yang lebih parah dari ini." Acam Dad dengan suara sedingin es.

Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil menangis terisak. Aku memang hanya anak kecil, tapi mengapa Dad memperlakukan aku seperti itu? Mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan.

Sepertinya Dad sudah sangat membenciku. Dad tidak sayang lagi padaku. Itu terbukti sejak ia melepaskan ikatan yang mengikatku Dad tidak mengijinkan aku untuk ikut makan bersama di ruang makan seperti biasanya. Dad juga tidak lagi membelikanku mainan atau pakaian seperti biasanya.

Sosok Dad yang dulu sangat menyayangiku sudah tak ada lagi. Aku merasa sendirian di rumahku. Bahkan yang terparah Dad melarangku untuk mendekati Mom. Hingga detik ini aku masih tidak mengerti mengapa Dad memperlakukan aku seperti ini.

Hari ini aku memberanikan diri untuk keluar dari kamarku. Aku berani keluar karena kedua orangtua dan kakakku sedang pergi bersama nenek Rossemary menemui salah satu kerabatnya.

Bisa keluar dari kamar rasanya sangat menyenangkan sekali. Membuatku tak henti-hentinya tersenyum sambil berjalan perlahan mengitari setiap ruangan yang ada di sini. Rasanya aku sudah bertahun-tahun tidak keluar dari kamar.
Dan ketika mendekati area dapur aku mendengar suara dari beberapa orang pelayan yang sedang bercakap-cakap. Ternyata mereka sedang membicarakan aku. Ya, aku yang sedang membicarakannya.

Entah mengapa emosiku memuncak ketika mereka menyebutku sebagai pembunuh. Emosi yang sebenarnya tak aku kehendaki. Namun semua terlambat, kemarahan itu kini menguasaiku. Sambil menantap nyalang aku mendekati para pelayan itu sambil memainkan sebuah pisau yang entah darimana asalnya. Karena pisau yang kupegang memiliki pegangan dengan motif yang sangat rumit dan tidak biasa.

Aku langsung menerjang para pelayan itu. Tanpa mempedulikan rintihan dan permohonan maaf mereka.

"Maafkan kami, Nona." Salah seorang pelayan merintih kesakitan akibat sabetan pisau di tangannya sambil memohon-mohon.

Namun aku tak menggubrisnya, aku malah semakin menggila. Aku langsung menerjang salah seorang pelayan yang berada dekat denganku. Lalu aku langsung menghujamkan pisau tepat di jantungnya. Dengan perlahan aku mencabut pisaunya dan menyayat beberapa bagian tubuhnya. Lalu menusuk-nusuknya dengan pisau.

Jeritan kesakitan yang mengiringi pekerjaanku terasa begitu indah. Terlebih lagi ketika pisauku menyayat bagian lehernya. Aku melakukannya dengan sangat perlahan. Ketika sudah setengahnya aku tersenyum puas melihat hasil karyaku kali ini.

Bau amis darah langsung memenuhi ruang dapur. Aku tertawa, sedangkan beberapa pelayan yang lain berteriak histeris melihatku bermain-main dengan tubuh rekan mereka.

Setelah puas aku langsung meninggalkan tubuh yang bersimbah darah itu. Aku tidak menuju ke kamarku, melainkan menuju keluar rumah. Melenyapkan apa saja yang menghalangi langkahku.

***

Aku membuka mataku ketika merasakan tubuhku berguncang dengan hebatnya. Suara teriakan Dad yang penuh amarah langsung membuatku terjaga.

"D-Dad, ada apa?" Tanyaku dengan suara yang bergetar karena ketakutan melihat kemarahan Dad.

"Jangan berlagak polos di depanku, Emer. Dengar, mulai detik ini namamu aku hapus dari daftar keluarga. Kau bukan lagi putriku. Pembunuh." Sentak Dad sambil melayangkan sebuah cambuk ke tubuhku.

Aku langsung mengerang kesakitan ketika Dad mencambukku dengan tiba-tiba. "Ampun Dad, tolong katakan ada apa sebenarnya ini? Aww..." cambuk itu kembali mendarat di tubuhku. Rasanya benar-benar sakit dan menyengat.

"Takkan pernah ada ampun untuk pembunuh sepertimu. Kau benar-benar sudah merusak nama baikku." Teriak Dad sambil melayangkan cambukannya untuk yang kesekian kalinya.

Lagi-lagi aku hanya bisa mengerang sambil menangis. Menahan rasa sakit di sekujur tubuhku, dengan kulit yang mulai mengelupas dan mengeluarkan darah. Namun Dad tetap tidak menghentikan perbuatannya. Ia malah semakin bernafsu untuk mencambukku.

Hampir setiap hari Dad menyiksaku. Memukuli tubuhku dengan berbagai benda. Ia hanya akan berhenti jika aku tidak sadarkan diri. Tak sanggup lagi menahan pukulan yang lebih banyak ini. Tapi Dad tak bergeming, ia akan langsung kembali memukulku jika tahu aku telah sadar dari pingsanku.

---------------------------------------------------

Yeaaahhh, akhirnya bisa menyelesaikan cerita ini. Ya ya saya tahu cerita ini tidak masuk akal dan banyak keganjilan di sana sini. Saya benar-benar awam di genre yang seperti ini.

Jadi mohon masukannya agar saya bisa memperbaiki semua kesalahan sata di chapter yang pertama ini.

Terima kasih sudah mau membaca...

.Adios ♡♡

Kamis, 19 Desember 2013

Love Under The Rain 4

CLARISS

Patah hati... Ya itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Penolakan tak masuk akal yang Vanno utarakan kepadaku beberapa hari yang lalu benar-benar membuat hatiku hancur. Mengapa ia tidak memberiku alasan yang lebih masuk akal meskipun hanya sedikit.

Di saat aku baru saja merasakan perasaan berbeda pada seseorang tapi perasaanku tak berbalas. Meskipun Vanno telah mengungkapkan semua perasaannya kepadaku tapi dia tetap tak bisa membalas perasaanku, itu sama saja dengan bertepuk sebelah tangan, bukan?

"Sedang memikirkan apa?" Tanya Glad sahabatku yang baru saja tiba. Saat ini kami sedang berada di kantin kampus.

"Hai Glad." Sapaku dengan enggan. Rasanya semangat hidupku hilang entah kemana.

"Kau tidak biasanya seperti ini. Ada masalah apa?" Tanyanya lagi.

Aku menghela nafas, "Aku... patah hati, Glad." Gumamku.

"APA?" pekik Glad, "Kau patah hati? Sejak kapan seorang Clariss bisa patah hati? Lalu siapa pria yang telah berhasil membuatmu patah hati?" Ia langsung memberondongku dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

"Bertanyalah satu-satu, Glad. Kau membuat kepalaku jadi bertambah sakit." Tegurku sambil meminum minumanku. Beginilah Glad kalau sudah penasaran, sama seperti kakaknya Kak Leon. Ngomong-ngomong tentang Kak Leon sejak dia kembali kesini aku belum bertemu dengannya.

"Hey, ayo jawab pertanyaanku? Mengapa kau senyum-senyum tidak jelas seperti itu?" Glad menyikut pinggangku.

"Hey, aku sedang minum Glad. Bisakah kau bertanya padaku dengan cara yang normal?" Tegurku sambil memelototinya. Terkadang aku heran dengan Glad yang sangat tomboy, padahal saat ini ia sedang memimpin sebuah perusahaan yang cukup besar dan bonafid.

"Apa maksudmu mengatakan hal seperti itu, Clasrissa?" Ia malah balik bertanya kepadaku sambil memutar kedua bola matanya.

Yah beginilah kami, terkadang kami bisa bertengkar seperti ini. Tapi pertengkaran kami tidak lama, kami seperti ini hanya main-main. Aku dan Glad merupakan dua pribadi yang memiliki perbedaan dalam segala hal. Namun karena perbedaam itulah kami bisa menjadi sahabat karib dari kami masih kecil sampai saat ini.

"Lalu bagaimana dengan masalah hatimu dengan pria tak di kenal yang tiba-tiba saja menolakmu di bandara?" Tanyaku, wajah Glad langsung berubah menjadi memerah.

"Dia ternyata seorang CEO, kemarin kami bertemu dan membicarakan rencana kerja sama perusahaan kami. Dan sepertinya ia tidak ingat padaku." Jelasnya, aku bisa merasakan bahwa ada perasaan sedih dari setiap kata-kata yang terlontar dari bibir Glad.

Aku hanya bisa menepuk pelah bahunya. Aku bisa merasakan apa yang sedang di rasakan oleh Glad saat ini. Sejak pertemuannya dengan pria itu Glad terlihat seperti mayat hidup. Pria itu berhasil memporak porandakan hati  seorang Gladysta yang terkenal tomboy dan sangat cuek meskipun banyak pria yang mengejarnya.

"Aku mengerti apa yang kau rasakan, Glad." Gumamku, "Dan kau tahu Vanno mengungkapkan perasaannya kepadaku beberapa waktu yang lalu. Tapi tanpa alasan yang jelas dan masuk akal ia mengatakan bahwa kita tidak bisa bersama." Jelasku, dengan rasa sakit yang berdenyut-denyut di hatiku.

"Mengapa nasib percintaan kita sama-sama tidak mulus." Desahnya sambil menghembuskan nafas dengan frustasi beberapa kali.

"Setidaknya kau masih bisa mendapatkan cinta pria itu, Glad. Apalagi kalian akan lebih sering bertemu. Tidak sepertiku yang entah kapan bisa melihat Vanno lagi." Ucapku menghibur Glad. 

"Jangan berkata seperti itu, Clariss. Aku sangat yakin sekali bahwa kau dan Vanno akan di persatukan suatu hari nanti. Tetaplah percaya pada hatimu, Clariss." Glad berkata sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

See, beginilah kami berdua. Setelah saling ejek dan "bertengkar" yang terjadi selanjutnya adalah kami saling menguatkan satu sama lain. Ah, aku sangat menyayangi sahabatku ini. Entah apa yang akan terjadi jika aku tidak memiliki sahabat seperti Glad di sampingku saat ini.

Mungkin saja aku takkan pernah pergi ke kampus lagi. Yang aku lakukan hanya menangis dan termenung di dalam kamar apartemenku entah sampai kapan.

It's midnight and I'm awake in this empty room
Thinking of you
Alone it's just me and my heart and the truth
What do I do?

Should I?
Should I let you in?
Should I?
And let this thing begin
Cause I'm tired of hiding from you
I need to know if it's the right thing to do

Cause you got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinkin of you
No more wakin to a dream that is oh so true
And baby you do

You got me shaken shaken
My world's shaken shaken
Got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinking of you
My world's shaken

Tonight I am waiting on the kiss of life (and to look in your eyes)
But for now all that I can do is fantasize that you'll be mine

Should I?
Should I blame me so bad?
When I wish I hadn't gone back
Cause I'm tired of hiding from you
I need to know if it's the right thing to do

Cause you got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinkin of you
No more wakin to a dream that is oh so true
And baby you do

You got me shaken shaken
My world's shaken shaken
Got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinking of you
My world's shaken

I've been waiting (oh)
I'm, I'm so confused
I just wanna be close to you

(Oh) You got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinkin of you
No more wakin to a dream that is oh so true
And baby you do

You got me shaken shaken
My world's shaken shaken
Got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinking of you

No more waking to a dream that is oh so true
And baby you do
You got me shaken shaken
My world's shaken shaken

(Said you got me) shaken
And I don't know what to do when I'm thinking of you
My world's shaken
Shaken
Shaken!
My world's shaken

(Samantha Jade - Shaken)

***

VANNO

"Apa yang kau lakukan disini, Ray?" Tanyaku sambil memberikan tatapan sengit.

"Easy adikku, apakah kau tidak merindukan kakakmu ini, huh?" Ucapnya sambil tersenyum.

Raymond memang kakakku, tapi kami tidak pernah aku sejak kami masih anak-anak. Aku sudah lama sekali meninggalkan keluargaku, mereka keluarga angkatku. Meskipun Mom menyayangiku tapi tidak dengan Dad. Semenjak Mom meninggal Dad kerap kali memukulku jika aku tak mau mengikuti kemauannya.

Karena dialah aku menjadi seperti ini. Menjerumuskanku ke lembah kenistaan yang penuh dengan kejahatan. Tanganku kotor oleh darah orang-orang yang tak bersalah. Dad kerap kali mengancamku jika aku tak mau melakukan perintahnya untuk membunuh orang-orang yang di kehendaki oleh para kliennya.

Keluarga angkatku memang akrab dengan dengan dunia hitam. Bahkan Dad memiliki banyak sekali teman mafia. Berurusan dengan mafia sama saja dengan mempertaruhkan nyawamu sendiri. Meskipun aku sudah melakukan tugas-tugas yang mereka berikan dengan baik, aku tetap saja mendapatkan siksaan dari mereka.

Mereka menempatkanku di sebuah ruangan yang kecil dan pengap. Seluruh tubuhku di lilit oleh rantai dan tergantung. Dalam posisi seperti itu mereka bisa dengan leluasa menghajarku. Mengoreskan pisau tajam ke lenganku berkali-kali, memukuliku dengan berbagai benda. Menjeritpun percuma, karena mereka takkan mau menggubris. Luka-luka di tubuhku mengeluarkan darah, tapi tak mereka hiraukan hingga akhirnya luka dan darah itu mengering dengan sendirinya. Bahkan ayah dan kakakku hanya tertawa ketika melihatku di siksa oleh mereka.

Hingga akhirnya aku bisa melepaskan diriku dari mereka dan mulai merintis perusahaanku sendiri. Dan inilah aku sekarang, orang-orang mengenalku sebagai seorang CEO muda yang sukses.
Tak seorang pun yang tahu bahwa aku "Black Shadow" pembunuh bayaran berdarah dingin yang terkenal di dunia hitam sana. Dan aku tak ingin orang-orang tahu tentang masa laluku yang teramat kelam itu. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu. Itulah mengapa aku tak ingin Clariss masuk ke dalam hidupku. Aku tak ingin dia terluka. Apalagi jika ayah dan kakakku tahu tentang Clariss yang sebenarnya.

"Apa yang kau inginkan?" Tukasku, aku tahu sekali jika kakakku datang kemari dia pasti menginginkan aku untuk melakukan sebuah pekerjaan.

"Bagaimana kabar kekasihmu itu?" Tanyanya sambil menuangkan whisky ke dalam gelas yang di pegangnya.

Tubuhku menegang, rasanya seluruh darah di dalam tubuhku berhenti mengalir, "Dia bukan kekasihku. Cepat katakan apa yang kau inginkan dariku?" Desakku sambil mengalihkan pembicaraannya agar tak membicarakan Clariss. Bagaimana bisa Ray tahu tentang Clariss?

"Oke oke, jika wanita itu bukan kekasihmu berarti dia boleh jafi mainanku." Gumamnya dengan nada yang menyebalkan.

Dengan gerakan yang spontan aku langsung mendorongnya merapat ke tembok dan mencengkram kuat kerah kemejanya dengan kedua tanganku. "Jangan sentuh dia, atau kau akan berurusan denganku." Desisku marah.

"Mengapa tak kau katakan saja jika perempuan itu kekasihmu, Vanno." Ucapnya masih dengan senyuman licik di wajahnya.

"Apa yang kau mau?" Aku mengulangi pertanyaanku entah untuk yang keberapa kali.

"Dad ingin kau melakukan sebuah pekerjaan." Ucapnya sambil merapikan pakaiannya setelah cengkramanku terlepas.

"Pekerjaan apa?" Tanyaku dengan datar.

"Dad menunggu kedatanganmu besok siang di tempat biasa untuk menjelaskan semuanya." Jelasnya singkat.

"Bagaimana jika aku tidak mau melakukannya?" Tantangku.

"Maka wanitamu itu akan terkena imbasnya. Kau pilih saja mau yang mana." Jawabnya sambil mengibaskan tangannya.

Selasa, 17 Desember 2013

Broken Hearted 2

GLADYS

"Glad, kakak boleh masuk?" Teriak Kak Leon dari balik pintu kamarku membuatku terpaksa beranjak dari lamunanku.

"Ah ya, masuk saja Kak. Pintunya tidak di kunci." Teriakku.

Kak Leon masuk lalu duduk di sampingku. "Kau sebenarnya kenapa?" Tanyanya sambil menagytapku.

"Aku hanya merasa kurang sehat saja, Kak." Jawabku dengan suara yang lemah.

"Kau bukan pembohong yang ulung, Glad. Kakak tahu bahwa kau sedang memikirkan pria yang tadi kita lihat di bandara, bukan?" Tebak Kak Leon sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidurku.

Degh... bagaimana Kak Leon bisa tahu? Aku pikir tadi kakak tidak memperhatikan gerak gerikku. Ah, bagaimana aku bisa lupa jika Kak Leon itu termasuk salah satu orang yang selalu memperhatikan keadaan sekitarnya dengan begitu detail. "Bu-bukan... Kak Leon jangan sok tahu." Bantahku sambil menyenggol lengannya menggunakan lenganku.

"Semakin kau mengelak kakak semakin yakin pula bahwa kau memang sedang memikirkan pria itu, Glad." Tegurnya lagi sambil menatapku tajam. Tatapan yang langsung bisa menembus apa yang sedang aku risaukau dengan tatapannya itu.

Aku kembali menghembuskan nafasku dengan frustasi. Sepertinya aku memang tak bisa lagi mengelak dari kakakku, "Ya, semua yang kakak katakan itu benar." Jawabku dengan suara lemah. Akhirnya aku menceritakan semua kejadian yang baru saja aku alami saat di berada di bandara.

Dan ketika aku mengakhiri ceritaku itu Kak Leon langsung tertawa terbahak-bahak. Benar-benar menyebalkan sekali. Kak Leon pikir aku sedang melawak karena ia tertawa dengan begitu lepasnya.

"Astaga, kau benar-benar..." ia kembali tertawa tanpa menyelesaikan perkataannya.

"Ah, kakak selalu begitu. Memaksaku untuk bercerita tapi setelah aku menceritakan semuanya kakak malah menertawakanku. Kau benar-benar kakak yang menyebalkan. Keluar dari kamarku sekarang." Bentakku sambil mendorong-dorong tubuhnya dari atas tempat tidurku.

"Oke oke, kakak minta maaf. Kakak berhenti tertawa." Ucapnya sambil berusaha untuk menghentikan tawanya. Aku hanya mencebik kesal melihatnya. "Lalu apa yang akan kau lakukan?" Tanya Kak Leon setelah tawanya mereda.

"Entahlah, memangnya kakak pikir aku harus melakukan apa? Mencari tahu keberadaan pria aneh itu? No way, Kak." Tukasku sambil menggelengkan kepalaku kuat-kuat.

Kakak hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. Dan entah apa arti dari anggukannya itu. Terkadang kakakku ini selalu memiliki rencana yang mengejutkan di dalam kepalanya. Lagi-lagi aku hanya bisa mendengus kesal kepada kakakku.

***

Seminggu berlalu sejak pertemuanku dengan pria ajaib itu di airport. Dan jujur saja aku masih belum bisa benar-benar melupakannya. Terkadang pria itu selalu hadir dalam mimpiku.

Ada apa denganku sebenarnya? Argh, aku menggeram dalam hati. Dengan malas aku keluar dari ruang kelas, karena setelah ini aku tak memiliki mata kuliah lagi aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kampus. Aku ingat bahwa hari ini aku ada janji untuk bertemu dengan seorang CEO untuk membicarakan beberapa rencana kerja sama.

Sejak kakakku pergi meninggalkan Seattle akulah yang bertugas menggantikannya untuk menjalankan salah satu perusahaan milik Dad, padahal kuliahku tinggal sebentar lagi selesai. Jadi aku harus benar-benar bisa mengatur jadwalku dengan sebaik-baiknya. Di dalam mobilku selalu ada satu stel pakaian formal untuk ke kantor dan sepasang stiletto.

Sesampainya di perusahaan aku langsung bergegas masuk ke dalam ruanganku. Lalu mengganti pakaian casualku dengan pakaian formal. Setelah sedikit memoles wajah aku langsung keluar dari dalam toilet untuk menyiapkan beberapa berkas yang di perlukan untuk melakukan pertemuan ini.

Dan ketika aku sedang fokus menyiapkan berkas-berkas lagi-lagi aku teringat pria itu. Membuatku menghempaskan kembali tubuhku ke sandaran kursi. Yang aku lakukan hanya memandangi langit-langit ruanganku, padahal tadi Liz memberitahuku bahwa CEO itu sudah datang dan sedang menungguku di ruang pertemuan.

Aku mendengar suara pintu ruanganku terbuka. Namun aku masih tetap pada posisiku. Tak menghiraukan siapa yang telah masuk ke dalam ruanganku.

"Apa yang sedang kau lakukan disini, Glad?" Ternyata itu suara bariton milik kakakku. "Kami sudah menunggumu di ruang pertemuan." Lanjutnya.

Aku meliriknya sesaat dan kembali ke posisiku semula, "Mengapa tidak kakak saja yang memimpin pertemuan itu. Wakili aku saja, suasana hatiku sedang buruk, Kak." Jawabku malas.

"Tidak bisa seperti itu, Glad. Bagaimanapun juga jabatanmu di sini lebih tinggi daripada jabatanku." Jelasnya lagi.

Aku menghela nafas dengan keras, "Ya ya, baiklah aku akan menghadiri pertemuan itu." Ucapku sambil beranjak dari posisi dudukku.

"Kakak yakin kau akan betah selama pertemuan nanti." Ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Namun aku hanya menatap kakakku dengan kernyitan yang menghiasi keningku.

Selama perjalanan menuju ke ruang pertemuan yang terletak di ujung dari ruanganku. Kak Leon tak henti-hentinya tersenyum, membuatku merasa takut. Kakakku pasti sedang merencanakan sesuatu.

"Kau baik-baik saja, Kak?" Tanyaku dengan tatapan menyelidik sebelum masuk ke dalam ruangan pertemuan.

"Sangat baik, ayo kita masuk." Jawabnya bersemangat sambil memutar kenop pintu ruangan pertemuan.

Di dalam sudah ada beberapa dewan direksi. Namun ketika mataku tertuju ke arah kiri urangan tubuhku rasanya limbung, untung saja kakak menahan tubuhku.

"Kau baik-baik saja, Glad?" Tanya Kak Leon khawatir.

"Y-ya, a-ku baik-baik saja." Timpalku sambil menarik nafas dalam-dalam. Lalu aku berjalan menuju tempat dudukku.

"Miss Collin, senang akhirnya kita bisa bertemu." Ia berdiri dari tempat duduknya sambil mengulurkan tangannya kepadaku.

Dengan ragu aku menjabat tangannya, "Selamat pagi Mr. Alderman. Maaf sudah membuat anda menunggu lama." Sebisa mungkin aku membuat suaraku terdengar tenang dan tidak gugup.

"Baiklah, bisa kita mulai sekarang." Suara kakak membuatku tersadar dan buru-buru melepaskan jabatan tangannya. Benar-benar memalukan sekali, tunggu pembalasanku Kak, aku menggeram kesal di dalam hati.

Kecanggunganku lambat laun menghilang ketika berada di dekat William ah maksudku Mr. Alderman. Karena aku ingin bersikap profesional dan mengesampingkan perasaanku yang sebenarnya sedang berkecamuk saat ini.

Kata sepakat telah kami setujui. Kerja sama kami akan segera di mulai minggu depan. Itu artinya aku akan lebih sering bertemu dengannya. Bisa-bisa aku terkena serangan jantung mendadak karena kerja jantungku yang langsung tidak normal ketika berada di dekatnya.

Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku ketika bertemu dengan Jake. Sudahkah aku menyebutkan bahwa nama pria aneh itu adalah Michael Jacob Alderman? Astaga bagaimana bisa aku tidak mengenalinya. Padahal ayahnya Bradford Alderman adalah seorang konglemerat dan seorang CEO yang tangguh, handal dan tersukses.

Setelah beberapa hari bertemu dan berbicara dengannya Jake masih tetap saja tidak ingat denganku. Wanita yang tiba-tiba saja ia tolak di bandara tanpa sebab. Kasihan sekali nasibmu, Glad. Setelah di tolak sekarang pria itu tak mengingat kejadian itu sedikitpun. Jadi jangan pernah berharap ia akan meminta maaf kepadaku.

Seperti hari ini, ia datang mengunjungiku untuk membicarakan perkembangan dari proyek yang sedang kami kerjakan bersama. Lagi-lagi ia menunjukan sikap yang sama.

Jake apakah kau benar-benar tidak ingat padaku? Kau tidak ingat pada wajah wanita yang kau tolak mentah-mentah di bandara beberapa waktu yang lalu tanpa sebab? Kau tahu sejak hari itu kau membuat hari-hariku menjadi tidak seperti biasanya. Karena setiap hari aku gunakan hanya untuk memikirkanmu.

Apa yang kau miliki hingga membuatku jadi seperti ini, Jake? Mengapa kau membuat hidupku menjadi berputar-putar tanpa kutahu arah tujuanku? Rasanya ingin sekali aku meneriakan semua kata-kata itu tepat di depan wajahmu, namun aku tak bisa. Kata-kata itu seolah tersangkut dan kembali kembali tertelan.

"Kau baik-baik saja, Glad?" Tanya Jake sambil menatapku.

Tidak, "Ya, aku baik-baik saja, Jake." Jawabku cepat. Sejak kapan aku merasa baik-baik saja ketika bertemu denganmu, Jake.

"Jangan membohongiku, Glad." Tegurnya halus sambil kembali menatapku. Namun tatapannya kali ini berbeda dari biasanya.

"Aku baik-baik saja Jake, sungguh." Jawabku sambil berusaha membuat suaraku tetap terdengar normal.

Ia tersenyum simpul, "Kau tipe orang yang tidak pandai berbohong, Glad." Tebaknya lagi dan itu benar.

"Oh baiklah, aku menyerah. Aku hanya sedang memikirkan tugas akhir kuliahku. Apa itu salah?" Jelasku sambil memandangnya dengan tatapan yang intents. Bisakah kau menemukan kebenaran di mataku, Jake? Bisakah kau melihat bahwa penyebab semua ini adalah dirimu.

Namun yang aku dapatkan adalah ekspresi wajahnya yang tak terbaca. Entahlah, rasa-rasanya aku mulai lelah menebak-nebak. Bahkan aku sendiri tak tahu caranya bagaimana untuk mengatakan semua hal tentangnya yang terus saja berputar-putar di dalam kepalaku.

"Kau sedang jatuh cinta, Glad?"

BLOODY LOVE

PROLOGUE

" The greater the love, the
greater the tragedy when its
over. Those two elements
always go together - Unknown"

Ketika semua orang di sekitarnya bahkan keluarganya mencaci dan memakinya karena di anggap pembawa sial dan pembawa kematian. Penderitaan datang bertubi-tubi menerpa tubuhnya yang lemah dan
begitu rentan, tanpa belas kasihan sedikitpun. Hingga akhirnya ia di buang dan di asingkan.

Entah apa yang salah dengan dirinya. Sebutan sebagai pembawa sial dan pembawa kematian mungkin memang benar adanya. Karena di mana pun ia berada tak lama kemudian akan terjadi sebuah kejadian atau peristiwa yang  tragis dan memilukan di tempat itu.

Ia sendiri tak mengerti mengapa hal seperti itu bisa terjadi.Kebetulankah? Entahlah, karen kebetulan itu sekarang tidak sesuai dengan logika, karena kejadian tragis itu sering sekali terjadi.

Di usianya yang mulai beranjak dewasa ia cenderung menutup diri dari dunia luar. Tak membiarkan seorang siapapun masuk ke dalam hidupnya. Ia berusaha untuk menghindari kontak dengan orang banyak.

Kutukankah semua ini? Entahlah, yang pasti tak jarang ia selalu berharap bisa menjalani kehidupan normal seperti kebanyakan orang. Memiliki kekasih seperti wanita seusianya. Namun semua itu hanya angan yang takkan pernah terwujud dan menjadi kenyataan.

Dan hingga suatu hari akhirnya ia merasakan apa itu yang di namakan cinta. Ya, akhirnya ia merasakan perasaan meskipun ia tak yakin dengan apa yang di rasakannya saat ini. Cintakah atau hanya sebatas kekaguman saja, entahlah. Yang ia tahu bahwa jantungnya sering kali berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya setiap kali melihatnya dari kejauhan.

Ia tak berani mendekat dan sebisa mungkin membuat dirinya tak terlihat oleh siapapun. Ia takut kejadian mengerikan itu akan kembali terulang.

Namun ketika ia mulai merasakan ketenangan dalam hari-harinya dan tak ada yang terjadi dengan seseorang yang berhasil mengusik ketentraman hatinya. Tiba-tiba teror itu kembali datang. Pemandangan
mengerikan dari kejadian itu kembali di lihatnya. Bahkan lebih buruk karena pada akhirnya ia mengetahui apa yang membuatnya di buang oleh keluarganya sendiri.

Bisakah ia terlepas dari semua
kejadian mengerikan itu atas bantuan dari orang-orang yang baru di kenalnya dan mau membantunya agar terlepas dari semua hal mengerikan itu?  Ataukah ia harus hidup dengan teror mengerikan itu selamanya??

Sabtu, 07 Desember 2013

Learn To Love Again 1

JUNIOR

"Junior... bangun mau sampai kapan kau tidur, sayang. Nanti kau terlambat masuk sekolah." Suara Mom yang rutin membangunkanku tiap pagi langsung membuatku membuka mata meskipun rasanya mataku masih ingin terpejam.

"Good morning my beautiful Mommy." Ucapku dengan mata yang masih setengah terpejam.

"Cepat bangun atau kau akan terlambat ke sekolah. Dad dan adik-adikmu sudah menunggu di ruang makan." Mom berkata sambil membuka tirai yang menutupi jendela kamarku.

"Pagi ini Mom terlihat sangat cantik sekali. Pasti Papa Zach semakin terpesona dengan kecantikan yang Mom miliki. Ah, betapa beruntungnya aku memiliki Mommy yang sangat cantik." Godaku sambil mengedipkan sebelah mataku kepada Mom.

Mom langsung menghampiri dan berdiri tepat di depanku sambil melipak kedua lengannya, "Berhenti menggoda Mom, Junior. Karena godaanmu itu takkan pernah mempan untuk Mom. Cepat bangun, jika dalam setengah jam kau belum siap Mom akan menyita semua fasilitas yang di berikan oleh Papamu." Ancam Mom.

"Apa Mom juga akan menyita gitar pemberian, Dad?" Tanyaku dan langsung di jawab oleh anggukan oleh ibuku yang memang pada kenyataannya semakin cantik saja setiap harinya.

Terkadang aku suka berpikir mengapa dulu Dad memilih untuk meninggalkan Mom. Tapi sudahlah, toh yang terpenting bagiku adalah bisa melihat Mom bahagia bersama Papa Zach, "Duh, rayuan yang di ajarkan oleh Uncle Eric ternyata tidak mempan." Gumamku sambil beranjak dari tempat tidur dengan kesal dan menuju ke kamar mandi.

Sebelum menutup pintu kamar mandi aku masih sempat mendengar suara tawa Mom. Ah I love you Mom, ucapku dalam hati. Aku tak peduli dengan teman-teman sekolahku yang selalu mengolok-olokku sebagai anak mami padahal umurku sudah menginjak tujuh belas tahun. Karena pada kenyataannya aku memang sangat menyayangi ibuku.

Setelah selesai mandi dan berpakaian aku segera bergegas turun ke bawah dan menuju ke ruang makan.

"Good morning Pa, morning my lovely twin sister." Sapaku sambil duduk di samping Mommy dan segera melahap makanan yang sudah di sediakan.

"Pelan-pelan Kak, kau tidak sedang berada dalam kontes makan." Tiba-tiba Kayna mengunterupsi kegiatan makanku.

"Aku harus buru-buru jika tidak ingin terlambat." Jawabku dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Apakah kakak mau menjeput Kak Angel?" Tanya Kylie yang hanya aku tanggapi dengan anggukan saja.

"Tak perlu terburu-buru seperti itu Kak. Tadi Kak Angel menelepon dan mengatakan bahwa hari ini kakak tidak usah menjemputnya." Aku langsung tersedak mendengar kata-kata Kayna.

"Pelan-pelan Junior." Tergur Mom sambil memberikan gelas yang berisi air putih kepadaku.

Dengan tergesa aku langsung mengambil gelas yang di berikan oleh Mom dan segera meminunnya. "Kau bilang apa tadi Kay? Jangan bercanda, jika ada apa-apa Angel pasti langsung menghubungiku." Jawabku sambil menghentikan kegiatan makanku, selera makanku langsung menghilang begitu saja.

"Angel tadi memang menelepon kemari. Papa sendiri tadi mengangkat teleponnya. Angel bilang bahwa ponselmu tidak aktif makanya ia menelepon langsung ke rumah." Jelas Papa Zach.

"Astaga, aku lupa mengaktifan kembali ponselku semalam." Ucapku sambil nemepuk dahiku. Dasar Junior bodoh. Pasti Angel marah lagi gara-gara hal ini. Bodoh. Bodoh. Bodoh, aku terus saja merutuki diriku sendiri.

Buru-buru aku mengeluarkan ponsel yang berada di dalam saku celanaku dan segera menyalakannya. Ternyata benar saja, banyak sekali panggilan dan pesan dari Angel. Lagi-lagi aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal berkali-kali.

"Malang sekali nasibmu, Kak." Celetuk Lily sambil terkikik geli.

"Diam kau." Aku memelototinya dengan kesal.

"Jadi kau harus berangkat bersama kami berdua, Kak. Karena Papa tidak bisa mengantarkan kami ke sekolah." Ucap Kay di sela-sela kegiatannya mengunyah sandwich buatan Mom.

"Bilang saja kalau kalian berdua ini ingin pamer kepada teman-teman kalian bahwa kakak kalian ini sangat tampan." Ujarku penuh percaya diri.

Namun yang terjadi adalah Kylie dan Kayna terbatuk-batuk setelah itu tawa mereka berdua langsung meledak. Mereka berdua memang selalu menggodaku. Apalagi jika sudah menyangkut tentang Angel. Aku benar-benar di buat tak berkutik olehnya.

"Oh iya, bolehkah nanti Junior pergi menemui Daddy sepulang sekolah?" Tanyaku sambil menatap Mom dan Papa.

"Tentu saja boleh, Junior. Jangan lupa sampaikan salam dari Papa." Jawab Papa Zach.

"Terima kasih Pa, pasti Junior sampaikan." Timpalku bersemangat.

"Kakak, ayo kita berangkat sekarang. Aku tak mau datang terlambat karena menunggui kakak yang sedang melamun memikirkan Kak Angel." Celetuk Kay dengan manja.

"Iya iya, aku sudah selesai." Jawabku dengan malas. Angel. Nama itu yang membuatku pikiranku kacau.

Setelah berpamitan kami bertiga pun segera berangkat ke sekolah.

***
ANGEL

"Junior sudah menjemput, sayang?" Mom bertanya ketika aku hendak beranjak dari kursi.

"Ummm, tidak Mom. Hari ini Angel pergi ke sekolah bersama Ken." Jawabku sedikit takut karena takut Dad melarangku pergi ke sekolah bersama Ken.

"Ken?" Dad meletakkan koran yang sedang di bacanya di atas meja makan. Lalu memandangku sambil menyipitkan matanya.

"Iya Dad, tadi Kak Junior bilang bahwa ia tidak bisa menjemput dan berangkat bersama-sama ke sekolah." Jawabku berbohong, maafkan aku Mom, Dad.

"Mengapa Junior tidak bisa menjemput?" Astaga Dad mulai menginterogasiku. Ken pasti sudah lama menungguku.

"Dad, Kak Junior kan sebentar lagi lulus. Dia ada pelajaran tambahan pagi-pagi sekali." Lagi-lagi aku berbohong. Astaga, apa yang kau lakukan Angel, rutukku dalam hati.

"Ya sudah, cepatlah berangkat sayang. Kasihan Ken sudah terlalu lama menunggumu." Mom menengahi dan menyelamatkanku dari Dad yang posesif seperti Kak Junior.
"Angel berangkat dulu, ya. Bye Mom bye Dad." Pamitku sambil mengecup pipi kedua orang tuaku.

Dengan tergesa-gesa aku pergi menuju ke teras depan. Karena Ken sudah menunggu di sana. Aku benar-benar bingung, mengapa aku bisa dengan mudahnya menerima ajakan dari Ken untuk pergi ke sekolah bersama-sama.

Sudah bisa di pastikan bahwa Kak Junior akan marah jika mengetahui dan melihatku bersama dengan Ken. Terkadang aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Kak Junior. Tahu dari mana jika Ken itu tidak baik?

Bukankah sekarang ini Kak Junior sedang sangat sibuk sekali mempersiapkan kelulusannya. Belum lagi persiapan untuk melanjutkan ke universitas nanti. Ah, aku benar-benar bingung dengan statusku bersama Kak Junior.

"Selamat pagi Angel." Ken langsung menyambutku dengan senyumannya yang mematikan ketika melihatku datang.

"Hai Ken, maaf membuatmu menunggu lama." Balasku.

"Tidak apa-apa Angel, bisakah kita berangkat sekarang?" Tanyanya sambil mengedikkan bahunya ke arah mobil miliknya. Namun aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya.

Lalu kami segera berangkat ke sekolah atau kami akan terlambat masuk. Tapi yang terpenting adalah semoga aku tidak berpapasan dengan Kak Junior ketika sedang bersama Ken.

Dalam perjalan menuju ke sekolah aku hanya terdiam. Entah mengada ada perasaan bersalah menelusup dalam hatiku. Apakah ini gara-gara aku pergi bersama Ken? Ah, kau benar-benar membuatku bingung Kak, aku mendesah frustasi.

"Kau baik-baik saja, Angel?" Tanya Ken di sela-sela kegiatannya mengemudi.

"Aku baik-baik saja, Ken. Sebaiknya kau fokus menyetir saja, karena jika sampai terjadi sesuatu denganku mungkin saja kau akan di bunuh oleh ayahku." Jelasku sambil terkikik geli.

"Ayahmu benar-benar menyeramkan, Angel." Timpal Ken sambil tersenyum miris.

"Itu karena kau tidak mengenalnya, Ken. Buktinya Dad sangat akbrab dengan Kak Junior." Jelasku sambil tertawa.

"Jadi ternyata rumor itu benar." Ada sedikit kekecewaan dalam suara Ken.

"Aku dan Kak Junior memang tumbuh besar bersama, Ken. Tapi kami tidak di jodohkan." Jelasku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Tapi kau mencintainya, bukan?" Tanya Ken sambil menatapku tajam.

"Oh ayolah Ken, bisakah kita membicarakan hal yang lain saja. Aku tidak ingin membahas masalah ini." Jawabku dengan kesal.

"Oke, maafkan aku." Timpalnya sambil kembali menatap jalanan di depannya.

Sisa perjalan menuju sekolah kami habisnya dengan saling membisu. Tak banyak kata yang keluar dari mulutku ataupun Ken. Sampai akhirnya kami sampai di parkiran sekolah.

Ketika turun dari mobil aku melihat Kak Junior yang baru sampai juga. Wajahnya langsung berubah jadi tak terbaca ketika melihatku berjalan bersama Ken. Aku pikir Kak Junior akan menghampiriku, tapi ternyata aku salah. Ia berlalu begitu saja tanpa menolehku sedikitpun.

Aku yakin sekali bahwa Kak Junior marah. Meskipun ekspresi wajahnya sangat datar tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan perasaan yang sedang di rasakannya itu.

Kamis, 05 Desember 2013

Try With Me 9

JAMES

"A-aku... Aku..." Hanna tergugu menjawab pertanyaanku. Sepertinya ia masih syok dengan kata-kata yang terlontar dari mulutku.

"Apa kau takut aku akan menuduhmu telah menjebakku?" Hanna mengangguk pelan dengan gugup. Sedangkan aku tetap memandanginya dengan intens.

"Astaga Hanna... Aku tidak akan sekejam itu, mana mungkin aku menampik dan tidak mengakui darah dagingku sendiri, Hanna." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak percaya, seburuk itukah penilaian dan anggapan Hanna kepadaku? Sampai-sampai ia berniat menyembunyikan anakku, darah dagingku.

"Karena kau masih mencintai Lila, James. Meskipun Lila sudah menikah dengan pria yang di cintainya, tapi aku sadar jika di bandingkan dengan Lila aku bukan apa-apa." Gumam Hanna dengan suara tertahan.

"Kau bertemu dengan Lila?" Pekikku tertahan, cukup terkejut ketika mengetahui bahwa istriku bertemu dengan mantan kekasihku.

"Ya, aku bertemu dengannya tadi dan kami sedikit berbincang. Pantas saja kau begitu memujanya, James." Ucapnya sarkasme.

"Aku bisa melupakan Lila jika kau menginginkannya, Hanna. Jika kau berjanji kepadaku akan melakukan hal yang sama sepertiku dengan cara melupakan Alex. Kita bisa memulai semuanya dari awal, sebelum bayi kita terlahir ke dunia. Biarkan aku mencintaimu, Hanna." Jelasku sambil menggenggam tangannya.
"James..." Hanna masih terlihat meragukan kata-kata yang terlontar dari mulutku. Meskipun aku bisa melihat kelegaan yang terpancar dari matanya.

"Jadi maukah kau belajar mencintai dan menerimaku sebagai suamimu? Kita sama-sama menata kehidupan yang baru dan meninggalkan semua kenangan masa lalu kita?" Tanyaku sambil menatap tajam kedua manik matanya.

Hanna langsung memelukku dengan begitu erat. Perasaan asing yang menghangatkan dan menyamankan itu kembali terasa menelusup di relung sanubariku. Perasaan yang benar-benar melenakanku, membuatku enggan melepaskan pelukanku.

"Jadi berapa usia kehamilanmu saat ini, sayang?" Bisikku tepat di telinganya.

"Tiga minggu James, maaf aku tidak menceritakan semuanya kepadamu. Kau tahu aku benar-benat kalut dan takut, tak tahu apa yang harus aku katakan dan apa yang harus aku perbuat." Jelasnya sambil terus membenamkan wajahnya di dadaku.

Sepanjang sisa perjalanan kami habiskan dalam posisi seperti itu. Tanpa banyak kata yang keluar hanya saling merasakan dan mempererat pelukan masing-masing hingga mobil berhenti di pelataran parkir di basement sedangkan Hanna terlelap dalam pelukanku. Sepertinya aku harus pindah ke sebuah rumah. Tidak mungkin Hanna dan bayiku nanti terus-terusan tinggal di penthouse ini.

Sudah di putuskan langkah pertama yang akan aku lakukan adalah membeli sebuah rumah yang sesuai dengan keinginan Hanna. Selain itu aku harus benar-benar merubah perasaan yang aku rasakan terhadap Lila. Mungkin jika seperti itu Gale mau kembali berteman lagi denganku. Karena jujur saja aku sangat merindukan sahabatku yang satu itu, yang tak lain adalah kakak dari Lila. Semoga saja hubunganku dengan Gale kembali membaik seperti dulu.

"Sayang, bangun kita sudah sampai." Panggilku sambil menepuk pelan pipinya yang mulai berisi. Mengapa aku tak menyadari perubahan fisiknya.

Hanna menggeliat perlahan dalam pelukanku dan matanya perlahan terbuka. "Maaf aku tertidur." Ucapnya dengan suara serak khas orang yang bangun tidur.

"Tidak apa-apa sayang, kau bisa melanjutkan tidurmu nanti." Gumamku sambil tertawa geli, Hanna ternyata sangat lucu ketika bangun tidur. Dan lagi-lagi aku baru menyadarinya.

Aku membantunya turun dari mobil dan menghelanya masuk ke dalam lift. Tangan kami masih tetap bertautan hingga sampai di penthouse.

"Beristirahatlah, aku harus melakukan beberapa panggilan." Ucapku sambil melepaskan jas dan menyampirkannya di sandaran sebuah kursi.

Sedangkan Hanna hanya mengangguk sambil tersenyum. Sebelum meninggalkan kamar aku mengecum lembut keningnya. Dan rasanya begitu menenangkan hati.

Aku menuju ke ruangan kerja dengan senyuman yang tak hilang dari bibirku. Aku merasa seperti remaja yang sedang jatuh cinta saja. Benar-benar menggelikan, tapi memang seperti itulah yang aku rasakan saat ini. Membiarkanku jatuh dan terjerat dalam pesona Hanna, istriku.

***

HANNA

Hari yang panjang dan melelahkan namun menyenangkan. Kata-kata James berhasil membuatku yakin. Yakin untuk belajar mencintainya dan melupakan Alex. Kalau di pikir-pikir sepertinya Alex tidak benar-benar serius dengan kata-katanya yang mengatakan sangat mencintaiku. Sekarang aku hanya tertawa masam jika mengingatnya.

Jujur saja dengan seiring berjalannya waktu kebersamaan yang aku lalui bersama James lambat laun mulai menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku. Meskipun aku sempat berusaha mematikan perasaan cinta yang mulai tumbuh di hatiku ini ketika mengtahui James masih mencintai Lila.

Tapi sekarang aku tak perlu mengkhawatirkan hal itu lagi. Karena James mau belajar mencintaiku dan membuka hatinya untukku. Aku tak perlu merasa takut Lila akan mengambil James dari sisiku, karena Lila sangat mencintai suaminya. Ah, Lila benar-benar wanita yang baik.

Sepeninggalan James, aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Setelah selesai aku memilih untuk mempelajari kembali materi untuk sidang besok. Pengungkapan James hampir saja membuatku lupa dengan sidang besok.

Semua ini rasanya seperti mimpi, membuatku takut untuk bangun dan membuka mataku. Karena jika semua ini hanya mimpi maka yang akan aku dapati adalah James yang dingin dan susah di tebak. Maka aku akan lebih memilih untuk tetap bermimpi, namun semua ini nyata bukan mimpi. Dan aku tak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkan semua ini. Bahagia? Tentu saja meskipun ada sedikit perasaan mengganjal di hatiku. Yang sampai saat ini aku masih mencarinya.

"Hey, mengapa kau bukannya pergi tidur?" Suara James tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

"Ah, kau mengagetkanku. Aku hanya sedang membaca kembali materi untuk sidang besok pagi." Jawabku sambil menutup malakah yang sedang aku baca.

"Tapi kau harus beristirahat, Hanna." Ucap James sambil merangkak naik ke atas tempat tidur dan duduk di sampingku. Ia melingkarkan tangannya memeluk pinggangku.

"Aku hanya membaca saja, James." Tubuhku meremang ketika aku rasakan terpaan nafasnya yang mendekati lekukan leherku dan membenamkan wajahnya di sana.

"Kau harus istrirahat, aku tak mau di bantah, sayang." Perintahnya lagi sambil terus mengendusi lekukan leherku. Membuatku tak tenang karena gairah yang mulai terbangun di dalam diriku.

"Ya, aku akan tidur. Mengapa kau jadi cerewet sekali, James." Tegurku sambil membaringkan tubuhku dan James mengikuti  berbaring.

"Hmmm, entahlah mungkin saja sebenarnya aku sudah merasa bahwa kau sedang hamil hanya saja aku tak berani untuk menyakinkan diriku atas pemikiran itu." Jawabnya sambil mempererat pelukannya di tubuhku. "Tutup matamu, sayang." Ucapnya sambil mengecup kepalaku. Dan tak lama kemudian kami berdua langsung terlelap.

***

Seminggu berlalu, dan sekarang aku sudah lulus dari fakultas kedokteran. Sebenarnya aku ingin melanjutkan jenjang pendidikanku lagi tapi James melarang. Dengan alasan bahwa aku sedang hamil. Sudah aku bilang berkali-kali bukan bahwa James jadi sangat cerewet sekali. Dan semakin hari tingkat kecerewetannya itu semakin menjadi.

"Sayang, apakah kau sudah meminum susunya?" Teriak James sambil menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi dengan rambut yang penuh dan tertutupi oleh busa.

"Sudah James, cepat selesaikan mandimu." Tegurku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. See, dia jadi cerewet sekali bukan? Aku tak habis pikir pria sedingin James bisa berubah menjadi pria yang penuh kehangatan ketika mendengar bahwa ia akan menjadi seorang ayah.

Tadinya aku pikir bahwa James akan menolak bayi ini dan mengusirku. Tapi ternyata tidak, justru James berubah menjadi seorang suami yang siaga yang sangat posesif dan overprotective. Aku senang dengan semua perhatiannya itu, meskipun terkadang membuatku kesal. Namun aku mensyukuri semua perubahan yang baik ini.

Dan perlu di ketahui saat ini aku dan Lila berteman baik. Ternyata Lila wanita yang sangat menyenangkan sekali. Karena kami sama-sama sedang mengandung kami juga sering sekali sharing. Kami sering menghabiskan waktu untuk pergi berjalan-jalan meskipun kami lebih banyak menghabiskan waktu di rumah orang tua Lila, mengingat kehamilannya sudah besar.

Melihat kemesraan Lila bersama Zac terkadang membuatku tersenyum. Semoga aku dan James bisa seperti mereka. Aku tahu bahwa Lila harus berjuang mati-matian untuk bisa bahagia bersama Zac. Banyak rintangan yang harus di laluinya sebelum akhirnya Lila dan Zac benar-benar bersatu seperti sekarang.

Siang itu aku dan Lila pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Kami pergi ke sebuah toko yang menyediakan perlengkapan untuk bayi. Lila mulai membeli berbagai perlengkapan untuk bayi kembarnya. Astaga, mereka pasti sangat lucu sekali, karena Lila akan melahirkan sepasang bayi kembar. Ahh, aku tak sabar untuk melihat bayi-bayi mungil itu terlahir ke dunia ini. Aku juga tak sabar menanti bayiku lahir.

Setelah selesai berbelanja dan makan siang kami memutuskan untuk pulang. Karena baik Zac maupun James sudah berkali-kali menghubungi kami dan menyuruh untuk segera pulang. Padahal saat ini mereka berdua dengan menghadiri sebuah pertemuan di kota New York.

Ketika akan masuk ke dalam mobil tiba-tiba saja Alex muncul dan menghampiriku yang sedang berbincang bersama Lila. Tanpa sepatah kata tiba-tiba saja Alex menarik dan membawaku dengan paksa masuk ke dalam mobilnya. Bisa kudengar dengan jelas suara Lila yang berteriak-teriak memanggil namaku. Ketika supir pribadi Lila mendekat mobil Alex melaju menjauhi area parkir pusat perbelanjaan tersebut.

"Apa yang kau lakukan, Alex?" Tanyaku dengan penuh emosi.

"Menyelamatkanmu dari pria itu, sayang. Kenapa? Sepertinya kau tidak suka, huh?" Jawabnya dengan santai.

"Ya, aku tidak suka. Mengapa kau muncul kembali dalam kehidupanku?" Desisku sambil memberikan tatapan tajam kepadanya.

"Mengapa kau tidak suka? Bukankah kau masih mencintaiku dan tidak mencintai pria itu. Seharusnya kau senang dan berterima kasih kepadaku Hanna sayang." Tukasnya dengan suara yang menyebalkan.

"Dulu aku memang mencintaimu Alex, sangat mencintaimu bahkan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu aku sadar bahwa kau tidak benar-benar mencintaiku. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku mencintaiku suamiku, dan aku tak ingin kehilangannya." Jawabku jujur dengan mata yang menerawang. Meskipun aku sempat melihat sekilas wajah Alex yang berubah menjadi tegang.

"Tidak mungkin, kau mecintaiku Hanna." Hardiknya dengan suara lirih yang sarat akan ketidak percayaan.

"Maafkan aku Alex, sekarang aku benar-benar mencintai suamiku. Jadi aku mohon lepaskan aku dan biarkan aku berbahagia bersama James." Ucapku sambil menatap lekat matanya.

"Tidak. Kau tidak boleh mencintai pria itu, kau hanya boleh mencintaiku, Hanna. Hanya aku!" Dengan gusar ia memukul kemudinya dengan tatapan yang membuatku sempat merasa takut.

"Aku tidak bisa mencintaimu lagi, Alex. Semuanya sudah berakhir." Tegasku, "Biarkan aku pulang untuk bertemu suamiku." Lanjutku dengan perasaan yang mulai takut.

"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu kembali ke pelukan pria itu, Hanna. Kau milikku dan kau tinggal bersamaku. Aku ingin melihat suamimu itu mati secara perlahan-lahan." Ancamnya dengan suara yang dingin.

Mendengar ancamannya itu aku langsung ketakutkan. Mengapa Alex berubah jadi pria yang menyeramkan seperti ini? Semuanya bisa di selesaikan dengan baik dan memang aku sudah menganggap hubunganku dan Alex berakhir karena ketidak pastiannya kepadaku. Tapi mengapa sekarang ia seperti ini?

Akhirnya tangisku pun pecah, tak kuasa kutahan lagi. Tuhan mengapa tiba-tiba harus seperti ini? Baru saja aku merasakan kebahagian bersama suamiku. Aku dan James baru saja memutuskan untuk belajar saling terbuka dan saling mencintai satu sama lain. Dan ketika benih-benih cinta itu muncul dan mulai bersemi di tengah-tengah kami berdua. Tiba-tiba saja Alex muncul dan merusak semuanya.

***

JAMES

Saat ini aku tengah berada di tengah-tengah pertemuan para CEO yang berasal dari berbagai negara. Gale, Mark dan Zac pun hadir dalam acara ini. Namun entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa khawatir dan resah. Aku terus-terusan memikirkan Hanna, meskipun tadi ketika aku hubungi Hanna sedang bersama Lila, tapi tetap saja perasaan khawatir itu tak mau hilang.

Hingga tiba-tiba ponselku berdering. Keningku mengernyit ketika melihat nama Lila di layar ponsel. Hati dan pikiranku langsung di penuhi oleh berbagai pertanyaan, dengan ragu akhirnya aku jawab panggilan itu " Hallo..." sapaku.

"Ja-mes... Han-na Ja-mes..." ucap Lila terbata-bata dengan suara sesenggukkan.

Mendengar itu detak jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari sebelumnyaa. Entah mengapa hatiku begitu yakin bahwa Lila akan menyampaikan kabar yang tidak aku inginkan untuk di dengar. Ya Tuhan, semoga istriku baik-baik saja Tuhan, doaku dalam hati. "Ada apa dengan Hanna, Lila?" Tanyaku, namun Lila terdiam di seberang sana. Sepertinya Lila merasa kesulitan untuk berkata-kata.

Kamis, 28 November 2013

Love Doesn't Have To Hurt 10

GALE

"Ada apa, Angel? Ceritakan kepadaku?" Tanyaku sambil memegang kedua bahunya.

"Cukup Gale cukup. Aku sudah lelah dengan semua ini, aku lelah, Gale." Isaknya sambil memukul-mukul dadaku.

"Angel, kau harus tenang dulu. Tolong katakan kepadaku ada apa sebenarnya." Tukasku sambil membelai lembut punggungnya.

Namun Dhee semakin terisak, membuatku semakin bingung. Kepalaku berdenyut memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada Dhee.

"Angel, kumohon tenanglah. Ceritakan kepadaku ada apa sebenarnya ini?" Aku kembali mengulangi pertanyaanku.

Aku melihat Dhee menghela nafas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya, "Kita putus, Gale."

Rasanya seluruh darah yang ada di wajahku tersedot habis. Wajahku memucat mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir mungil kekasihku tercinta. "Ap-apa maksudmu, Angel?" Tanyaku tergugu.

"Aku mau kita putus Gale, PUTUS." Ulangnya sambil memberikan penekanan pada kata putus.

"Tidak Angel, aku tidak mau putus darimu. Tidak akan pernah." Jawabku lantang.

"Sudah cukup Gale, cukup. Aku lelah, aku tak mungkin terus-terusan menjadi sosok yang kuat. Aku lelah dengan semua ini, aku pikir kau sudah berubah setelah aku memergokimu bersama Sherin, tapi..." Dhee menghentikan kata-katanya dan mengembuskan nafas dengan berat, "Ternyata aku salah, kau tidak pernah berubah." Lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Demi Tuhan Angel, aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kau katakan." Aku mengguncang tubuhnya lembut. Namun Dhee tak bergeming, ia menghindari tatapanku.

Aku langsung mengacak rambutku dengan frustasi,  setelah akhirnya melepaskan cengkramanku pada kedua bahunya. Benar-benar membuatku stress, padahal aku ingin sekali memuaskan rasa rindu yang sudah cukup lama aku pendam. Bahkan rasa rindu ini membuatku begitu sakit dan sangat menyesakan hati.

Namun apa yang aku dapati ketika akhirnya aku kembali bertemu dengan orang yang bisa mengobati rasa ini? Tiba-tiba Dhee memutuskan hubungan kami begitu saja tanpa memberikan penjelasan sedikitpun. Dhee menunjukkan sikap bahwa aku telah melakukan sesuatu yang fatal. Sehingga pada akhirnya Dhee mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungannya denganku.

"Tak ada lagi hal yang perlu di jelaskan, Gale. Semua sudah berakhir, hubungan kita cukup sampai di sini saja. Kita putus." Ucapnya dengan penuh penekanan di setiap katanya.

Setelah mengatakan hal itu Dhee langsung pergi meninggalkanku yang terdiam terpaku menatap kepergiannya. Bahkan Dhee tak menoleh sedikitpun ke belakang. Seolah-olah ia ingin benar-benar meninggalkan dan melupakan masa lalunya.

I can't breathe easy
Can't sleep at night
Till you're by my side
No I can't breathe easy
I can't dream yet another dream
Without you lying next to me
There's no air

Curse me inside
For every word that caused you to cry
Curse me inside
I won't forget, no i won't baby,
I don't know why
I left the one i was looking to find
Ooh -- why...ooooh, why -- why...

Out of my mind
Nothing makes sense anymore
I want you back in my life
That's all I'm breathing for...

(Blue - Breathe Easy)

Entah berapa lama aku berada dalam posisi seperti itu. Berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi. Berharap bahwa Dhee akan berbalik dan memelukku. Lalu kami sama-sama saling mencurahkan perasaan rindu kami.

Detik demi detik terus berjalan. Namun tak ada tanda-tanda bahwa Dhee akan kembali dan berubah pikiran. Ternyata semua ini nyata, bukan mimpi.

Hujan yang turun dengan begitu derasanya seolah tahu suasana hatiku saat ini seperti apa. Tak kuhiraukan tubuhku yang mulai menggigil karena kedinginan. Rasa dingin yany di timbulkan oleh hujan pun rasanya tak mampu untuk mendinginkan hatiku yang bergejolak panas.

Malam semakin larut, namun aku tetap tak bergeming. Hujan yang terus menerus mengguyur tubuhku tetap tak membuatku beranjak dari posisiku saat ini. Duniaku runtuh, benar-benar runtuh tepat di bawah kakiku. Orang yang aku cintai kini telah pergi meninggalkanku tanpa penjelasan apapun. Hingga lama kelamaan pandanganku semakin kabur dan tiba-tiba menjadi gelap gulita.

Aku membuka mataku ketika mendengar suara Lila yang khawatir. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan yang serba putih ini. Bau disinfektan yang tajam langsung membuatku tahu bahwa saat ini aku sedang berada di rumah sakit.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku pada Lila dengan suara yang lemah.

"Kakak pingsan di taman di saat hujan sedang turun begitu derasnya." Suara Lila terdengar bergetar karena tidak bisa menutupi ke khawatirannya, "Apa yang kakak lakukan, huh?"

"Aku pikir aku sudah mati." Jawabku enteng, namun tanpa di duga tiba-tiba saja Lila menampar pipiku dengan begitu kerasnya, "Sakit, mengapa kau menamparku?" Tanyaku sambil mengelus sebelah pipiku yang terasa panas.

"Bodoh, kau benar-benar kakak yang bodoh. Aku malu memiliki kakak yang pengecut sepertimu." Cecarnya sambil menangis. "Jika kau seperti ini bagaimana kau bisa mendapatkan dan kembali meyakinkan Dhee jika kau seperti ini, Kak." Isakknya sambil memalingkan wajahnya dariku.

Aku langsung menarik tubuh adikku dan memeluknya, "Maafkan kakak Lila, maaf." Hanya itulah kata-kata yang bisa terlontar dari mulutku.

"Kau benar-benar bodoh, kau kakak yang bodoh. Mengapa kau jadi seperti ini, Kak?" Cecarnya sambil terus terisak dalam pelukanku.

"Maaf Lila..." kata itu lagi yang keluar dari mulutku, mungkin saja Lila sudah bosan mendengar kata maafku.

"Sudahlah, Kak..." ucapnya sambil melepaskan pelukannya, "Kau harus cepat sembuh. Agar kau bisa kembali menyakinkan Dhee, aku tahu kau sangat mencintainya, Kak. Maka cepatlah menjadi kakakku yang seperti biasanya." Ucapnya sambil mencoba tersenyum di tengah isakannya.

Lila benar, aku tak bisa terpuruk seperti ini terus. Aku harus kembali bangkit jika aku ingin kembali mendapatkan Dhee. Aku tak boleh mundur dan menyerah begitu saja pada keadaan. Tidak boleh.

Beberapa hari kemudian dokter sudah mengizinkanku untuk pulang. Hal pertama yang aku lakukan adalah mencari keberadaan Dhee. Karena menurut kabar yang aku terima dari Lila bahwa Dhee tidak terlihat di kampus. Bahkan Andara pun tidak tahu Dhee berada di mana saat ini.

Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Sampai kapan kau terus menguji kesungguhanku dan cintaku kepada wanita yang aku cintai.

Entah harus memulai dari mana aku melakukan pencarian. Aku tak tahu lagi harus mencari Dhee kemana. Dhee kembali menghilang tanpa jejak seperti di telan bumi.

Angel...
Kemana lagi aku harus mencarimu?

Minggu, 24 November 2013

Try With Me 8

HANNA

Aku tidak mempedulikan James yang selalu mengoceh menyuruhku untuk pergi memeriksakan kondisi tubuhku ke rumah sakit. Dan semakin hari James menjadi sangat cerewet sekali.

"Ayolah Hanna, mengapa kau tidak mau menuruti kata-kataku? Aku tak ingin menyeretmu ke rumah sakit." Omelnya sambil berkacak pinggang tepat di hadapanku.

Namun aku hanya menatapnya sesaat lalu mengalihkan pandanganku kembali pada buki yang sedang aku pegang. Aku tak perlu ke dokter atau ke rumah sakit, James. Karena aku tahu apa yang sedang terjadi dengan tubuhku saat ini, batinku dalam hati.

Andai saja keadaan kita tidak seperti ini James. Mungkin sejak awal kau mendapatiku muntah-muntah di toilet aku akaj langsung mengatakan bahwa aku hamil. Ya, saat ini aku sedang mengandung darah dagingmu James. Tapi aku tak bisa mengatakannya kepadamu. Karena aku yakin sekali bahwa kau pasti takkan mau menerima kehadiran bayi ini. Selain itu kau juga pasti menganggapku telah menjebakamu, sehingga kau tidak bisa bersatu dengan wanita pujaanmu itu.

"Hanna, kumohon." Suara James berhasil menarik perhatianku agar memandangnya kembali. .

Aku menghembuskan nafas dengan lelah, "Aku sudah tidak apa-apa, James. Kau tak perlu khawatir seperti itu, terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Jawabku sambil menarik bibirku menjadi sebuah senyuman, walaupun terlihat di paksakan.

"Aku takkan pernah bisa tenang sebelum mengetahui apa yang terjadi denganmu, Hanna." Tukasnya dengan lembut.

Jangan bersikap seperti itu James, karena kau hanya akan membuatku semakin mencintaimu, desahku dalam hati. "James, bukankah kau harus bersiap-siap untuk pergi ke pesta amal yang di adakan oleh salah satu rekan bisnismu." Ucapku mengingatkan, meskipun sebenarnya hanya untuk mengalihkan pembicaraan saja.

"Ah ya, aku hampir saja lupa dengan acara itu. Apakah kau sudah menerima gaun yang kupilihkan tadi siang?" Tanyanya sambil melepaskan ikatan dasinya.

"Sudah, gaunnya sangat indah terima kasih. Sebaiknya kau segera bersiap-siap." Jawabku sambil meletakan buku yang sedang aku baca tadi lalu berjalan menuju ke walk in closet. Sedangkan James pergi ke kamar lain untuk mandi, agar aku bisa menggunakan kamar mandi yang ada di kamar.

Setengah jam kemudian aku keluar dari kamar dan turun ke bawah untuk menemui James yang telah menungguku. James terlihat sangat tampan dalam balutan tuxedo berwarna hitam yang dengan pas memeluk tubuhnya. Menyembunyikan otot-otot tubuhnya. Tanpa sadar aku menelan ludahku sendiri, astaga apa yang sedang kau pikirkan Hanna. Apakah ini salah satu hormon yang di alami oleh wanita hamil? Kalau begitu aku harus mengurangi kontak fisik dengan James sejak saat ini.

"Kau cantik sekali, Hanna." Suara James langsung menyadarkanku dari pikiran yang mulai tidak benar. Aku hanya tersenyum menanggapi kata-katanya. .

James menghampiri lalu meraih salah satu tanganku dan menciumnya. Membuat tubuhku langsung tersengat aliran listrik. Lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludahku sendiri, "James, bisakah kita pergi sekarang?" Astaga mengapa suaraku tiba-tiba terdengar parau dan mendesah seperti itu.

"Kau baik-baik saja, sayang?" James menyipitkan matanya menatapku. Aku mengangguk dengan cepat untuk meyakinkannya, "Baiklah, ayo kita pergi sekarang. Tapi jika kau masih merasa belum sehat sebaiknya kita tidak usah pergi saja." Ucapnya lembut.

"Ayolah, jangan mulai lagi, James. Aku baik-baik saja, oke!" Timpalku sambil memutar mataku kesal. James menjadi sangat cerewet akhir-akhir ini.

Tanpa banyak kata akhirnya kami pergi menuju ke salah satu hotel mewah yang di jadikan sebagai tempat untuk menggelar acara penggalangan dana itu. Ini pertama kalinya aku menghadiri acara seperti ini, karena sebelumnya aku tak pernah mengira bahwa aku akan di nikahi oleh seorang CEO muda setenar James. Dan sekarang mau tak mau aku harus mulai bisa beradaptasi dengan gaya hidupnya karena aku tak mau mempermalukan diriku ataupun James. Mengapa aku jadi sering memikirkan James? Seharusnya aku membenci dia karena sudah menjebakku dalam pernikahan ini dan merenggut satu-satunya milikku yang paling berberharga ketika kami berlibur di Aspen.

Sepanjang perjalanan James terus saja menggenggam tanganku, meskipun tak ada sepatah katapun yang keluar daru mulut kami berdua. Kami terlalu asyik dan tenggengelam dalam pikiran masing-masing. Atau karena kami tidak tahu harus seperti apa karena suasana dengan tiba-tiba berubah menjadi canggung apalagi James tak kunjung melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.

Setengah jam kemudian kami samapai di tempat acara. Banyak sekali orang yang datang menghadiri acara ini rupanya. Aku tak mengira bahwa akan seramai ini. Semoga saja aku tidak melakukan sesuatu yang bodoh dan mempermalukan diriku.

James menggenggam tanganku dan membawaku ke dalam. Banyak sekali pria dan wanita yang berpakaian mahal, mewah dan elegan. Dekorasi ruangannya pun tidak di ragukan lagi benar-benar mewah. Wajar saja karena acara ini di hadiri oleh para pengusaha dan konglomerat seantero negeri ini.

"Ayo, aku akan mengenalkanmu kepada beberapa relasi bisnisku." Gumam James tepat di telingaku. Aku hanya tersenyum ketika James membawaku untuk mengenalkan beberapa relasi bisnisnya. Yang kulakukan hanya tersenyum dan menjawab seperlunya saja. Bisnis bukan topik yang menarik untukku.

Sampai tiba-tiba aku merasakan ganggaman tangan James di tanganku mengerat. Tubuhnya terdiam kaku, dengan pandangan yang terpaku pada satu titik. Dengan rasa penasaran aku melihat ke arah James memandang. Di sana ada seorang wanita yang sangat cantik dalam balutan gaun berwarna hitam. Meskipun perutnya sudah terlihat besar tetap tidak mengurangi pesonanya.

Membuatku bertanya-tanya dalam hati. Namun hati kecilku langsung meneriakkan satu nama LILA. Nama itulah yang pertama kali muncul dalam benakku. Pantas saja James masih tetap mengingtnya, karena ternyata Lila sangat cantik. Seketika itu pula perasaan yang menyesakan dadaku itu langsung menyeruak.

Aku tidak tahan melihat suamiku memandangi mantan kekasihnya yang sudah bersuami dan bahkan saat ini sedang hamil dengan tatapan yang begitu memuja dan penuh damba.

"James, aku ke toilet dulu." Gumamku, aku tak peduli James bisa mendengarku atau tidak. Karena setelah aku mengatakan itu ia masih tak bergeming.

Aku langsung menuju ke arah toilet setelah bertanya kepada salah satu pelayan yang bertugas di sini. Sesampainya di sana aku langsung membungkukkan tubuhku di washtafel. Mengeluarkan semua makanan yang sudah masuk ke dalam perutku.

Setelah beberapa menit akhirnya aku berhenti dari kegiatan yang akhir-akhir ini sering aku lakukan di toilet. Tiba-tiba saja aku mendengar suara seseorang yang masuk ke dalam toilet. Perlahan aku menegakkan tubuhku agar bisa melihat wajah orang yang baru saja masuk ke dalam toilet ini. Ternyata wanita itu adalah Lila.

"Hei, kau tidak apa-apa, kan?" Tanyanya sambil menghampiriku, "Wajahmu terlihat pucat sekali. Tunggu dulu kau Hanna, bukan?" lanjutnya.

"Ya, namaku Hanna." Jawabku sambil berusaha menyunggingkan senyum.

"Senang sekali akhirnya aku bisa  bertemu denganmu." Timpalnya dengan riang. Aku tak tahu harus senang atau kesal bertemu denganmu Lila, kesahku dalam hati.

"Kau yakin tidak apa-apa, Hanna? Aku mendengar kau muntah-muntah tadi. Oh, jangan-jangan kau sedang hamil." Tebaknya. Astaga bagaimana dia tahu bahwa aku sedang hamil. Tentu saja dia tahu Hanna, apakah kau tidak melihat bahwa ia juga sedang hamil.

"Bagaimana kau tahu?" Ckk benar-benar Hanna bodoh. Aku merutuki pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku.

"Aku melihat dari tubuhmu dan gejala yang kau alami. Meskipun itu bisa saja terjadi jika kau terkena masuk angin atau gangguan lambung. Tapi entah mengapa aku yakin sekali bahwa kau sedang hamil. James pasti senang sekali." Ucapnya panjang lebar, "Ah, aku harus memberikan selamat kepada James."

"Tunggu... Jangan..." dengan refleks aku langsung mencengkram pergelangan tangan Lila. Mencegahnya agar tidak menemui James. Terlihat jelas tatapan bingungnya melihat reaksiku, tapi untunglah Lila tidak jadi pergi menemui James. "Jangan bilang bahwa James tidak mengetahui kehamilanmu." Tebaknya sambil menyipitkan mata dan menatapku dengan penuh selidik.

"Aku tak ingin James mengetahui kehamilanku ini. Kumohon kau tidak akan mengatakan hal ini kepadanya, Lila." Entah mengapa aku merasa nyaman mengatakan hal ini kepada Lila. Bahkan dengan mudahnya aku percaya kepada Lila.

"Baiklah, jika itu yang kau minta aku takkan mengatakan hal ini kepada siapapun termasuk kepada suamiku. Aku tidak akan bertanya apa yang sedang terjadi dengan hubungan kalian. Hanya saja jika alasanmu menyembunyikan berita baik ini karena aku. Aku benar-benar minta maaf, perlu kau tahu aku tidak memiliki perasaan apapun kepada James. Aku sangat mencintai suamiku, mungkin kau bisa melihat seperti apa perasaan cintaku kepada suamiku." Jelasnya panjang lebar.

"Lila, maafkan aku jika ada perkataanku yang menyinggung perasaanmu. Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu." Tukasku.

"Aku tidak tersinggung Hanna, sungguh." Ia tersenyum tulus kepadaku, ternyata Lila benar-benar wanita baik dan terhormat. "Aku hanya ingin melihat James bahagia bersamamu dan melupakanku. Aku yakin kau bisa mendapatkan hatinya. Apalagi saat ini kau sedang mengandung darah dagingnya. Ingan Hanna, semakin hari kehamilanmu akan semakin membesar." Ucapnya sambil menggenggam tanganku.

"Tidak semudah itu Lila, hubunganku dengan James benar-benar rumit." Jelasku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Tak ada masalah yang tak bisa di selesaikan, Hanna. Sekusut apapun benang itu suatu saat pasti akan kembali lurus. Asalkan kau mau lebih bersabar dan berusaha." Timpalnya bijaksana, "Jika suatu saat kau membutuhkan teman untuk berbicara dengan senang hati aku akan menjadi temanmu. Aku harus pergi, suamiku sudah panik. Ah iya, ini kartu namaku. Sampai bertemu lagi." Lanjutnya sambil tertawa dengan geli.

Setelah Lila pergi tinggalah aku sendiri. Termenung memikirkan kata-kata yang di ucapkan oleh Lila. Aku merasa bukan apa-apa jika bersanding dengan Lila pantas saja James bisa sampai mrngejarnya srperti itu. Semua yang di katakan olehnya memang benar. Tidak mungkin aku terus-terusan menyembunyikan kehamilanku, karena semakin hari perutku akan semakin membesar.

Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana aku mengatakan tentang kehamilanku kepada James? Meninggalkannya benar-benar tak mungkin, karena James pasti akan menemukanku.

Aku menghela nafas dengan keras, berharap rasa sesak yang aku rasakan dalam dada sedikit berkurang. Namun rasa sesak itu tak kunjung berkurang.

***

JAMES

Kabar yang aku dengar dari Rick benar-benar membuatku sangat terkejut. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Rick menghampiriku lalu mengucapkan selamat. Rick mengucapkan selamat bahwa aku akan segera menjadi seorang ayah.

Ya Tuhan, jadi saat ini Hanna sedang hamil. Ia mengandung anakku, darah dagingku. Tapi yang membuatku marah dan kecewa adalah mengapa ia malah menyembunyikan hal ini dariku? Apa ia takut jika aku takkan mau mengakui bayi yang sedang di kandungnya? Aku tak mungkin sekejam itu, mengingat aku adalah pria pertamanya.

Demi Tuhan, mana mungkin aku akan mengacuhkan Hanna dan bayi kami? Aku takkan mungkin melakukannya, karena bagaimana pun juga bayi itu adalah darah dagingku. Apapun yang terjadi aku harus menjaga mereka berdua.

Aku menggertakan gigi-gigiku menahan amarah yang mulai muncul mengusai diriku. Namun untung saja semua amarah itu langsung hilang ketika aku melihat Hanna. Rasa amarah itu menghilang dan langsung berubah ketika melihat wajahnya yang pucat pasi.

Yang ada di otakku saat itu adalah langsung menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku benar-benar harus melupakan Lila dan mulai belajar untuk mencintai Hanna. Aku tak ingin jika bayi kami lahir tapi kedua orang tuanya tidak saling mencintai satu sama lain. Hanna... Hanna... Hanna... Apa yang sudah kau lakukan kepadaku?

"James, lepaskan pelukanmu." Protesnya sambil berusaha untuk melepaskan diri dari pelukanku.

"Tidak akan, aku tidak akan melepaskanmu, Hanna." Gumamku sambil mempererat pelukanku, "Ayo kita pulang."

"Pulang? Tapi acaranya belum selesai." Aku bisa merasakan tangannya melingkar di pinggangku dan balas memelukku.

"Aku tak peduli. Saat ini yang aku inginkan adalah membawamu pulang, Hanna. Wajahmu pucat sekali." Cecarku sambil membelai lembut rambutnya yang terurai. "Dan jangan membantahku." Ucapku dengan tegas.

Lalu aku melepaskan pelukanku dan beranjak pergi meninggalkan tempat acara. Kami memasuki mobil dalam keheningan.

"Jadi sudah berapa minggukah tepatnya kehamilanmu saat ini, Hanna?" Mendengar kata-kata yang terlontar dari mulutku tubuh Hanna langsung menegang kaku.

Karena terkejut aku bisa melihat dengan sangat jelas bibirnya yang mendadak sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Berkali-kali ia membuka mulutnya namun menutupnya lagi tanpa berhasil mengeluarkan sepatah kata pun.

"Katakan kepadaku mengapa kau menyembunyikan semua ini dariku, Hanna?"

Jumat, 15 November 2013

Love Under The Rain 3

CLARISS

Di sinilah aku saat ini, di bawah sebuah pohon namun hujan tetap membasahi tubuhku yang sekarang ini sudah basah kuyup. Dalam hati aku terus berharap bahwa sosok Vanno akan muncul. Tubuhku mulai menggigil karena kedinginan, gigiku bergemeletuk menahan dingin. Tuhan, aku mohon pertemukan aku kembali dengan Vanno, kumohon Tuhan pertemukanlah kami, doaku dalam hati.

Tubuhku semakin bergetar hebat di bawah terpaan air hujan yang terus-menerus turun mengguyur kota yang entah kapan akan reda. Kepalaku mulai terasa sakit, pandangan mataku mulai berkunang-kunang dan tidak fokus. Hingga akhirnya aku merasakan tubuhku oleng dan kegelapan langsung menyergapku.

***

VANNO

Seminggu sudah aku tidak bertemu lagi dengan Clariss. Meskipun pada kenyataannya aku tidak benar-benar menjauh darunya. Karena tanpa sepengtahuannya aku selalu mengawasinya dari jauh. Aku masih belum tahu perasaanku pada Clariss, yang aku tahu bahwa aku tak bisa benar-benar menjauh dari Clariss.

Meskipun pertemuan dan pekenalan kami sangat singkat. Clariss berhasil menorehkan kesan yang mendalam di hatiku. Hanya melihat wajahnya saja langsung membuat hatiku di penuhi oleh perasaan yang hangat. Perasaan yang tidak pernah menghinggapi perasaanku selama bertahun-tahun.

Clariss berhasil menyentuh dasar hatiku yang paling kelam dan mulai menyinarinya. Padahal Clariss tidak melakukan apapun. Hanya perasaan nyaman yang aku rasakan ketika berada di dekatnya. Aku belum pernah tidur senyenyak itu sebelumnya.

Mimpi menyeramkan itu selalu saja muncul. Membuatku ketakutan di malam hari dan membuatku terjaga hingga keesokan harinya. Tapi mimpi itu tidak terjadi ketika Clariss berada di sampingku.

Namun aku tak ingin mengambil resiko. Membiarkan Clariss masuk ke dalam kehidupanku hanya akan membuat jiwanya terancam. Orang-orang itu pasti akan berusaha untuk menyakiti Clariss. Aku tidak ingin satu orangpun tahu bahwa Clariss telah menjadi kelemahanku yang terbesar.

Berusaha menjauh, menghindar dan menghilangkan sosoknya dari pikiranku ternyata sangat sulit. Yang aku inginkan adalah melihat wajahnya. Namun semua itu  membuatku ketakutan, ketakutan karena akan terjadi sesuatu jika aku membuka hatiku dan membiarkannya masuk.

Dan saat ini aku hanya bisa berharap bahwa salah satu dari mereka tidak ada yang membuntutiku dan melihatku membawa Clariss. Karena jika mereka sampai melihat Clariss aku takkan pernah membiarkan Clariss pergi dengan bebas berkeliaran di luar sana. Aku takkan membiarkan ia menghilang dari pandanganku. Mungkin aku akan mengurungnya di penthouse milikku. Entahlah, pikiranku saat ini benar-benar kalut.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh akhirnya aku sampai di penthouse ketika hari mulai memasuki petang. Setelah merasa keadaan sekitar aman dan sepi aku langsung membawa Clariss yang tidak sadarkan diri. Aku buru-buru masuk ke dalam lift khusus yang memberikan akses menuju ke penthouse milikku. Tak sembarangan orang yang bisa memasuki lift khusus ini.

Sesampainya di atas aku langsung membaringkan tubuh Clariss di atas tempat tidur. Tubuhnya menggigil karena kedinginan meskipun dalam keadaan tidak sadarkan diri. Aku langsung mengrluarkan beberapa pakaian wanita yang tadi sudah di beli oleh Travis.

Aku langsung mengganti semua pakaian Clariss dengan pakaian yang kering. Aku harus menahan gejolak gairahku dengan begitu kuat ketika melihat tubuh polos Clariss yang terpampang di depanku. Namun aku menekan kuat-kuat gejolak gairahku dan kembali fokus untuk membersihkan tubuh Clariss dan memakaikannya pakaian kering. Dan semua kegiatan yang menyiksa itu berakhir.

Beberapa saat kemudian dokter pribadi kepercayaanku datang dan memeriksa keadaan Clariss. Setelah memberikan obat penurun demam dan antibiotik dokter langsung pamit. Selama Clariss belum sadar aku memutuskan untuk pergi membersihkan tubuhku dan menyiapkan makanan untuk Clariss jika ia sudah sadar nanti meskipun tak ada tanda-tanda Clariss akan bangun. Selebihnya aku habiskan hanya untuk memandangi wajah cantiknya yany terlihat damai.

"Clariss, tahukah kau bahwa aku jatuh cinta kepadaku sejak pertama kali kita bertemu di bawah guyuran hujan beberapa saat yang lalu. Kau tahu sejak pertemuan itu kehidupanku jadi tidak seperti biasanya. Kau telah berhasil menjungkir balikan kehidupanku..." gumamanku terhenti, "Entah apa yang sudah kau lakukan hingga membuatku seperti ini, Clariss. Aku mencoba untuk menjauh dan melupakannu tapi tidak bisa." Lanjutku sambil membelai lembut wajahnya dan mengecup ringan bibirnya yang merah.

"Aku mencintaimu Clariss, sangat mencintaimu." Lalu aku berbaring hingga akhirnya terlelap di sampingnya.

***

Sebuah gerakan gelisah yang berasal dari seseorang yang berada di sampingku mau tak mau membuatku langsung terjaga, aku melirik jam yang ada di nakas baru menunjukkan pukul dua dini hari.  Clariss terlihat gelisah dalam tidurnya. Bulir-bulir keringat telah membasahi wajahnya.

"Va-Va-Vanno..." suaranya terdengar seperti sebuah bisikan namun aku bisa dengan jelas mendengar kata-katany. "Va-Va-Vanno..." gumamnya lagi menyebut namaku.

Aku langsung memutar tubuhku menghadapnya, "Aku disini sayang, aku disini." Ucapku sambil menyeka bulir-bulis keringat yang membasahi wajahnya.

Tiba-tiba saja kedua mata Clariss terbuka dengan lebar dan iris matanya langsung bertatapan dengan mataku. "Va-Va-Vanno..." panggilnya lirih.

"Ya, ini aku Vanno." Tegasku sambil merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya, "Bagaimana keadanmu sekarang? Apakah sudah jauh lebih baik?" Tanyaku.

"Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu, Vanno." Ucapnya lirih dengan suara yang lemah dan parau. Tangannya yang lemah menggapai dan membelai pipiku dengan begitu lembut. Tanpa sadar mataku terpejam merasakan belaiannya pada wajahku.

Selama beberapa menit yang kami lakukan hanya saling berpandangan. Menyelami isi hati masing-masing. Kami berdua memang saling tertarik satu sama lain. Wanita yang telah berhasil membuat tempat tergelap dalam hatiku kini berada tepat di depanku.

Hanya saja kami tidak boleh bersatu. Tidak dengan keadaanku yang seperti ini. Andai saja aku bisa terbebas dan terlepas dari mereka. Aku pasti akan lebih memilih untuk menghabiskan hidupku bersama Clariss. Namun sayangnya keinginan itu hanya sebuah impian. Sebuah impian yang entah kapan bisa terwujud.

Semakin lama wajah kami semakin mendekat. Hingga akhirnya bibir kami saling bertemu dan berpagutan. Aku mencecap bibirnya dengan penuh damba. Merasakan manisnya dari setiap inchi bibirnya. Lenganku mengangkat dan menahan tubuhnya yang masih lemah berada dalam posisi duduk. Entah hanya perasaanku saja atau bukan rasanya kami berdua seperti memiliki koneksi yang kuat satu sama lain. Perasaan-perasaan yang membuatku berasa nyaman itu semakin kuat aku rasakan.

Cukup lama kami saling berpagutan seperti itu. Aku menarik diri dan menghentikan kegiatan kami itu ketika aku mendengar deru nafas Clariss yang mulai terengah. Aku langsung memeluk erat tubuhnya yang terkulai lemas.

Dengan perlahan-lahan aku kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Beristirahatlah, aku akan membawakanmu sesuatu." Gumamku sambil membelai wajahnya.

Namun Clariss menahan lenganku, "Jangan pergi Vanno, kumohon." Pintanya sambil mencengkram erat lengan bajuku. Aku pun langsung kembali menyandarkan tubuhku di sandaran tempat tidur. Lalu menarik tubuh Clariss ke dalam pelukanku.

"Bagaimana bisa aku berada di sini, Vann? Apa yang sebenarnya terjadi? Seingatku bukannya aku sedang berada di depan kafe." Tanyanya sambil bersandar di dadaku.

"Apa yang kau lakukan, Clariss? Membuat tubuhmu basah hingga kedinginan seperti itu dan berakhir dengan kau yang jatuh pingsan di tengah guyuran hujan?" Tegurku lembut.

"Aku menunggumu, Vanno." Jawabnya dengan lirih sambil memandangku dengan lembut.

Kernyitku langsung berkerut mendengar jawaban yang keluar dari bibirnya, "Menungguku?"

Ia mengangguk lemah, "Ya, aku menunggumu. Kau tahu sebelumnya aku tidak begitu menyukai hujan. Namun semua itu berubah ketika aku bertemu denganmu. Aku jadi menyukai hujan bahkan sangat menantikan hujan turun." Ia berhenti dan menghela nafasnya pelan, "Aku merindukanmu Vanno, aku selalu beharap bahwa kita akan bertemu lagi. Tapi kau menghilang seperti di telan bumi. Aku putus asa, sampai pada akhirnya hujan turun hari ini. Lalu aku memutuskan untuk melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan saat pertama kali aku melihatmu." Clariss kembali terdiam, ia terlihat lelah namun tetap bersikeras untuk melanjutkan kata-katanya, "Aku berharap jika aku melakukan hal itu kau akan datang. Dan ternyata kau benar-benar muncul." Clariss mengakhiri perkataannya sambil tersenyum lembut.

"Clariss..." ucapku sambil mempererat pelukanku. Perasaan hangat itu langsung memenuhi dadaku. Ternyata perasaan yang aku rasakan tidak bertepuk sebelah tangan. Clariss ternyata mencintaiku juga. "Aku mencintaimu Clariss, aku mencintaimu sejak pertama kali bertemu. Hanya saja kita takkan pernah bisa bersatu dan bersama." Gumamku dengan suara yang berat.

Mendengar kata-kata terakhir yang aku ucapkan Clariss langsung melepaskan pelukanku. Ia memandangku dengan tatapan bingungnya, "Apa maksudmu mengatakan itu? Kau bilang bahwa kau mencintaiku namun kemudia kau bilang bahwa kita tak bisa bersatu dan tak akan bisa bersama? Mengapa kau berkata seperti itu?" Suaranya terisak dan bergetar.

"Maafkan aku Clariss, aku ingin bersamamu tapi itu semua takkan mungkin terjadi." Jelasku dengan menyesal.

"Kenapa kita tidak bersama, Vann?" Tanyanya yang masih berusaha untuk tidak menangis.

"Aku tidak bisa mengatakan ataupun menjelaskannya kepadamu, Clariss. Aku mohon maaf." Ungkapku sambil menundukkan wajah. Aku takkan sanggup jika harus melihatnya menangis di depanku. Karena itu semua akan meruntuhkan semua pertahanan dan membuatku merubah pendirianku.

Akhirnya aku mendengar suara isakan yang berasal dari Clariss. Hatiku sakit seperti di tusuk oleh ribuan jarum. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Bersama denganku hanya akan membahayakan jiwanya. Apalagi setelah aku mengetahui sesuatu tentang diri Clariss. Mana mungkin aku mengambil resiko membiarkan Clariss berada di sampingku dengan bahaya yang selalu mengancam jiwanya setiap saat. Tidak akan pernah.

Biarlah Clariss membenciku asalkan ia aman. Dengan begitu aku bisa terus mengawasinya dari jauh. Takkan ada bahaya yang mengancam nyawanya.