Senin, 23 Desember 2013

Try With Me 10

JAMES

"Lila ada apa dengan Hanna? Dia baik-baik saja, kan?" Aku langsung mengulangi pertanyaanku kembali, namun Lila hanya terisak di seberang sana. Lalu tiba-tiba saja sambungan telepon terputus.

Aku langsung panik dan mencoba menghubungi Lila, namun tidak tersambung. Lalu dengan keadaan yang panik aku segera menghampiri Zac, Gale dan Mark.

"Zac, kita harus bicara." Panggilku dengan tergesa-gesa.

"Ada masalah apa, James? Kau terlihat kacau." Timpalnya sambil memicingkan matanya menatapku.

"Kau tidak sedang membuat kekacauan kan, James?" Tanya Gale penuh kecurigaan.

"Tidak Gale, aku tidak sedang membuat kekacauan." Jawabku cepat sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Lalu ada masalah apa?" Mark yang sedari tadi diam akhirnya ikut angkat bicara.

"Bisakah salah satu dari kalian menghubungi Lila?" Pintaku sambil menatap mereka satu persatu.

"Ada apa dengan istriku, James? Kau jangan macam-macam." Zac mengeluarkan ancamannya ketika aku membicarakan Lila.

"Aku berharap dia tidak apa-apa, Zac. Dengar, beberapa menit yang lalu Lila menghubungiku, dari suaranya ia terdengar ketakutan." Aku mulai menjelaskan kepada mereka bertiga, "Dan ia mengatakan sesuatu tentang Hanna, istriku. Namun tiba-tiba saja sambungan teleponnya terputus dan aku tidak bisa menghubungi Lila sama sekali." Aku mengakhiri penjelasanku dengan hembusan nafas yang cukup keras.

"Biar aku coba untuk menghubunginya. Sebentar." Zac pamit meninggalkan kami untuk menghubungi Lila.

Beberapa menit kemudian Zac kembali. Namun kini wajahnya terlihat kusut, tidak seperti tadi.

"Bagaimana, Zac? Kau bisa menghubungi istrimu?" Tanyaku dengan perasaan yang tak menentu dan campur aduk.

"Aku tidak bisa menghubungi Lila. Mom juga bilang bahwa Lila belum pulang." Jawab Zac, bisa terdengar ke khawatiran dari suaranya.

"Apakah kau sudah mencoba untuk menghubungi ponsel istrimu, James?" Tanya Gale.

"Aku tak bisa menghubunginya, Gale. Bahkan aku juga tak bisa melacaknya menggunakan GPS." Jawabku dengan lemas.

"Jangan panik, percaya bahwa semuanya baik-baik saja, oke. Meskipun aku sangat mengkhawatirkan adikku, tapi jika bersikap tenang kita pasti akan menemukan cara untuk menghubungi Lila dan Hanna." Mark menengahi sambil mencoba untuk mencairkan suasana yang mulai menegang.

"Mark benar, kita harus bisa tenang agar bisa berpikir jernih." Gale menambahkan.

Akhirnya kami berempat terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai tiba-tiba ponselku kembali berdering, ternyata Lila yang mengerimiku pesan singkat. Mataku langsung membulat sempurna karena terkejut membaca pesannya.

"James, Hanna di bawa oleh seorang pria. Maaf, aku tidak bisa mengejarnya. Mobilku kehilangan jejak mobil pria itu    :("

Astaga Hanna. Siapa pria yang di maksud oleh Lila? Ah, jangan-jangan pria yang di maksud oleh Lila adalah Alex. Ya, aku yakin sekali bahwa pria itu adalah Alex. Tapi mengapa ia melakukan hal ini? Aku pikir Alex sudah mundur. Karena sejak pertemuan kami di hotel Alex tak pernah muncul sama sekali.

"Zac, sepertinya kau sudah bisa menghubungi Lila sekarang. Baru saja ia mengirimiku pesan." Ucapku sambil memperlihatkan isi pesan Lila.

Kedua alis Zac langsung bertaut, "Astaga, apa yang sebenarnya ada di pikiran Lila? Bukankah saat ini kehamilannya sudah besar?" Zac mengerang frustasi karena kelakuan Lila.

"Aku sudah mengirimkan orang-orang kepercayaanku untuk melacak keberadaan Hanna saat ini. Jadi kau bisa membujuk Lila untuk segera pulang ke rumah. Atau kau mau ikut pulang ke Miami bersamaku?" Tawarku kepada Zac. 

"Sebaiknya kau pulang saja, Zac. Ada aku dan Mark yang akan menangani semuanya di sini." Tawar Gale.

"Baiklah kalau begitu aku ikut pulang ke Miami bersamamu, James." Jawab Zac, "Lalu kapan kita akan berangkat?" Tanyanya lagi.

"Sekarang, Zac." Jawabku mantap. Aku ingin segera sampai di Miami lalu mencari Hanna dengan usahaku sendiri. Demi Tuhan aku sangat mengkhawatirkannya, apalagi saat ini ia tengah hamil buah cinta kami. Aku takkan membiarkan Alex atau siapapun menyentuh mereka berdua. Takkan pernah kubiarkan.

Akhirnya hari itu kembali ke Miami bersama Zac. Selama perjalanan kami membicarakan banyak hal. Aku semakin tahu bahwa Zac memang pantas untuk Lila. Aku jadi merasa bersalah atas perbuatanku yang berambisi untuk memisahkan mereka berdua. Maafkan aku Tuhan.

Beberapa jam kemudian kami sampai di Miami. Aku dan Zac berpisah di bandara. Dari situ aku langsung pergi untuk menemui orang kepercayaanku yang sudah menunggu di penthouse untuk melaporkan informasi tentang istriku.

Namun aku harus menelan kekecewaan karena belum ada satupun dari mereka yang mendapatkan informasi tentang Hanna meskipun sedikit. Keberadaan Hanna saat ini masih belum di ketahui.

Aku mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutku. Entah sudah berapa banyak alkohol yang masuk ke dalam tubuku. Namun rasa cemas itu semakin mencekikku. Alkohol tidak berhasil membuatku menghilangkan perasaan takut, cemas, khawatir dan kehilangan yang menggerogoti relung hatiku.

Hanna... Hanna... Hanna... Kau ada dimana, sayang? Semoga kau dan bayi kita baik-baik saja. Aku berjanji akan segera menemukanmu, bahkan mencari sampai ke ujung dunia pun akan aku lakukan asalkan aku bisa melihatmu kembali.

***

Seminggu telah berlalu, namun aku tak kunjung mendapatkan kabar berita tentang keberadaan Hanna. Aku hampir tidak tidak aku benar-benar merasa sangat putus asa sekali.

Aku tak lagi pergi ke kantor seperti biasanya, yang aku lakukan setelah mencari Hanna adalah menghabiskan waktu berjam-jam di ruang kerjaku dan akan berakhir dengan kondisiku yang mabuk berat. Semua urusan perkerjaan aku serahkan kepada tangan kananku. Karena aku takkan bisa fokus mengerjakan semua pekerjaan-pekerjaan itu dalam kondisi seperti ini.

Alex, jika aku berhasil menemukanmu aku bersumpah akan membunuhmu. Sebuah kesalahan besar karena kau telah bermain api denganku. Lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan kepadamu dan keluargamu. Aku tidak takut meskipun keluargamu adalah salah satu keluarga mafia terkuat. Karena aku akan menghancurkan semuanya.

Maka aku mulai menjalankan berbagai rencana untuk menghancurkan keluarga Grey secara. Kali ini benar-benar takkan aku beri ampun sedikipun. Akan aku jebloskan mereka sekeluarga ke dalam penjara. Tentu saja setelah aku berhasil mengacaukan dan menghancurkan semua perusahaan yang sedang mereka kelola. Akan kubuat mereka bangkrut.

"Bagaimana Andreas? Apakah rencana yang kita jalankan berjalan dengan lancar?" Siang itu aku yang sedang berada di penthouse menghubungi Andreas kaki tanganku.

"Semua berjalan sesuai dengan rencana, Sir. Anda memiliki hampir tujuh puluh lima persen saham di setiap perusahaan milik keluarga Grey. Saya tinggal menunggu perintah anda selanjutnya." Jelas Andreas di seberang sana.

"Bagus sekali, aku tak peduli dengan kerugian yang akan kuterima nanti. Karena aku sudah mempersiapkan semuanya agar perusahaan kita tidak mengalami kerugian. Tunggu perintah selanjutnya dariku." Jawabku.

"Baik Sir, selamat siang." Jawab Andreas singkat.

Lalu aku menutup telepon. Sebuah senyuman langsung menghiasi bibirku. Keluarga Grey tidak cukup cerdik ternyata. Sedikit lagi kalian semua akan hancur. Dan Alex kau akan mati, aku bersumpah akan membunuhmu.

Aku langsung menghubungi Zac, karena Zac mau membantuku. Meskipun sebelumnya Gale melarang karena Galr belum sepenuhnya percaya jika aku sudah berubah dan tidak akan mengganggu Lila lagi. Ternyata meyakinkan Gale cukup sulit.

"Hai James, bagaimana?" Sapa Zac di seberang sana.

"Bagaimana jika bertemu untuk membicarakannya?" Tanyaku.

"Baiklah, kau ingin kita bertemu dimana? Bagaimana jika di kantorku saja." Tawarnya.

"Oke, aku akan segera menuju ketempatmu. Zac, sekali lagi terima kasih. Kau masih mau membantuku meskipun dulu aku selalu berniat untuk memisahkanmu dari Lila." Tukasku.

"Sudahlah James, kita lupakan saja. Lagipula saat ini kau sudah berubah, bukan. Dan Lila senang melihat perubahanmu sekarang. Aku tak punya alasan untuk terus menerus membencimu." Ucap Zac panjang lebar, "Lila saja mau berteman denganmu, mengapa aku tidak." Lanjutnya.

"Terima kasih untuk semuanya, Zac. Sampai bertemu nanti." Gumamku, hatiku merasakan kembali kelegaa. Semua perasaan persalahku pada Lila dan Zac semakin berkurang saat ini. Hanna benar, Zac memang yang terbaik untuk Lila.

Setelah menutup telepon aku langsung pergi menuju ke perusahaan milik Zac.

***

HANNA

Entah sudah berapa lama  Alex mengurungku. Entah sedang berada di mana aku saat ini. Ketika mengintip dari balik jendela aku bisa melihat suasana di luar seperti sebuah peternakan.

Beberapa hari terakhir ini Alex jarang berada di tempat ini. Entah apa yang sedang di kerjakannya di luar sana. Karena tak jarang aku mendapatinya sedang marah-marah di ponsel miliknya. Benda yang harus segera aku dapatkan bagaimanapun caranya. Karena itu satu-satunya benda yang bisa membantuku untuk menghubungi James.

Di rumah ini tak ada satupun alat komunikasi. Aku benar-benar merasa terasing di tempat ini, meskipun Alex memenuhi semua kebutuhanku disini, tapi aku tetap tidak senang.

"Bagaimana bisa perusahaan kita mengalami kebangkrutan tiga kali berturut-turut." Suara teriakan Alex yang begitu nyaring membuatku langsung bergegas untuk keluar dari kamar.

Aku melihat sosok Alex yang di kuasai oleh emosi. Amarah benar-benar telah menguasainya. Benar-benar bukan Alex yang aku kenal selama ini. Daripada aku menjadi sasaran kemarahannya yang akan berakibat fatal pada kehamilanku sebaiknya aku diam saja di kamar. Semoga saja aku memiliki kesempatan untuk mendapatkan ponsel milik Alex.

Bloody Love (When I was a little girl, I'm just a little girl then suddenly...)

Copyright©2013 by MayaKyla. All right reserved.

Di mohon dengan sangat tidak menyadur sebagian atau keseluruhan isi dari cerita ini tanpa izin dari Penulis. Say NO to PLAGIATSM!!!

Kalau banyak kejanggalan di cerita ini mohon maaf. Karena seperti itulah adanya yang ada di kepala saya.

Ini juga pertama kalinya saya menulis cerita seperti ini. Genre dan setting waktu yang saya pakai di cerita yang ini benar-benar baru sekali. Jadi kalau gak nyambung atau aneh mohon maaf.

---------------------------------------------------

Aku terlahir dengan nama Emerald Rain Rossetti, kau boleh Emerald. Tapi aku lebih suka jika kau memanggilku Emer, entah mengapa aku sangat senang dengan nama kecilku yang itu. Usiaku kini menginjak usia sepuluh tahun. Keluargaku merupakan salah satu keluarga terpandang di kota kami.

Mom dan Dad selalu memenuhi semua keinginan anak-anaknya. Kakakperempuanku Giovanna selalu meminta berbagai macam benda. Dari pakaian mewah, topi, sepatu dan berbagai aksesoris pelengkapnya. Bertolak belakang denganku, bagiku semua itu tidaklah penting. Apapun yang di berikan oleh Mom dan Dad aku akan menerimanya dengan senang hati.

Dan berbagai keanehan muncul sehari setelah usiaku genap berusia sepuluh tahun. Saat itu aku pergi ke sebuah taman hiburan bersama kedua orang tuaku. Karena aku hanya minta di temani ke tempat ini sebagai hadiah ulang tahunku. Namun sebelum berangkat Dad menemukan dua ekor kucing di dalam bagasi mobilnya dalam keadaan termutilasi menjadi beberapa bagian. Sangat mengerikan.

Sesampainya di sana aku langsung berlari menuju ke tempat bianglala. Sedangkan Mom dan Dad mengikuti dari belakang. Setelah mengantri cukup lama akhirnya tibalah giliranku masuk ke salah satu bilik di bianglala itu bersama seorang anak perempuan seusiaku yang entah siapa namanya. Aku terlalu kikuk jika bertemu dengan orang baru.

Roda pun mulai berputar, aku yang hanya seorang anak kecil mulai berteriak-teriak senang dengan penuh kegembiraan. Melihat pemandangan dari ketinggian benar-benar sangat indah. Semburat jingga yang menghiasi langit senja ini begitu indahnya. Dan akhirnya aku berada di puncak. Pemandangan yang di sajikan benar-benar lebih indah.

"Hei, pemandangannya benar-benar sangat indah sekali, bukan." Tanpa sadar aku berkata pada anak perempuan yang naik bersamaku itu.

Namun anak perempuan itu hanya menatapku sambil tersenyum aneh yang membuatku tiba-tiba merasa ketakutan. Penampilannya sangat aneh dengan gaun berwarna hitam pekat dengan detail yang tidak biasa, dan rambut panjangnya yang berwarna merah marun. Tatapannya terlihat kosong tapi... entahlah aku seperti melihat sesuatu di dalam sana.

Sesuatu yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Rasa takut yang semakin mencekam diriku, ingin aku berlari dan menjauh dari tatapan aneh anak perempuan itu. Namun tak mungkin, karena saat ini kami tengah berada di posisi paling puncak.

"Saatnya sudah tiba, Emer." Ucapnya dengan suara serak yang aneh dan seringaian menyeramkan tersungging di wajahnya.

Aku hanya bisa terpekik tertahan karena tiba-tiba saja aku mendengar suara sesuatu yang patah. Ya, tiang-tiang penyangga bianglala yang aku tumpangi mulai patah di ikuti oleh suara berdebam dari sebuah benda yang jatuh dari ketinggian yang saling bersahutan. Suara jeritan pun mulai terdengar di sana sini. Kepanikan langsung pecah dimana-mana dan suasanya

Anak perempuan aneh yang berada bersamaku hanya tersenyum. Sebuah senyum penuh kemenangan, entahlah aku tidak bisa mengartikannya. Yang aku lakukan hanya menjerit-jerit memanggil Mom dan Dad sampai suaraku parau dan hampir habis.

Hingga akhirnya bilik yang aku tumpangi terlepas dari tempatnya. Ketakutanku semakin menjadi, mataku terpejam berharap rasa takut yang semakin mencekikku ini berkurang meskipun hanya sedikit saja.

"Mommy......" teriakku sekencangnya dengan suara yang serak dan mulai habis karena menangis dan berteriak-teriak histeris. Hanya satu yang aku ingat dengan begitu jelas sebelum semuanya menjadi gelap.

"Kita akan bertemu lagi, Emer." Ucapnya di iringi dengan suara tawa yang menakutkan. Suara berdebam keras terdengar dan semuanya menjadi gelap.

***

Mataku terbuka perlahan, aku langsung menutup rapat kedua mataku kembali ketika sinar lampu mengenai mataku, rasanya sakit dan menyengat. Setelah beberapa saat mataku sudah bisa menyesuaikan dengan keadaan sekitar.

Aku mengenali ruangan ini, kamar tidurku. Tapi tunggu dulu mengapa tubuhku tak bisa di gerakan. Rasanya ada sesuatu yang mengikatku di tempat tidur ini. Berkali-kali aku mencoba menggerakkan badanku namun tetap saja. Tertahan. Aku di ikat, tapi mengapa?

"Akhirnya kau bangun juga, pembunuh." Suara khas kakak perempuanku langsung mengalihkan perhatianku yang sedari tadi sibuk untuk melepaskan diri.

"Apa maksudmu, Kak?" Tanyaku tak mengerti.

"Kaulah yang menyebabkan insiden mengerikan itu. Kau juga yang membunuh Bruno anjing kita. Itulah mengapa Dan menyuruh pelayan untuk mengikatmu di tempat tidur." Jelasnya panjang lebar.

Namun semua penjelasannya itu semakin memperbanyak dan memperdalan kerutan di keningku. Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang di katakan oleh kakakku. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa Giovanna kakakku mengatakan hal yang aneh dan mengerikan seperti itu?

"Sungguh aku benar-benar tak mengerti dengan semua yang kakak katakan." Suaraku terdengar aneh.

"Kau iblis Emer, kau pembawa maut dan kutukan." Teriak Giovanna kepadaku sebelum meninggalkan kamarku.

Lagi-lagi aku hanya terpekur, berusaha untuk memahami semua kata-kata kakakku. Namun aku tetap mengerti. Hingga berhari-hari aku tetap dalam posisi terikat seperti itu. Hanya Mom dan nenek Rossemary yang selalu datang untuk menemuiku.

Tubuhku terasa sakit dan kaku akibat tali-tali yang mengikatku. Namun Mom hanya terdiam pilu ketika aku memohon sambil menangis agar ikatanku di lepas. Sedangkan Dad, hanya sekali ia menemuiku ia memandangku dengan tatapan penuh kebencian. Sama seperti tatapan yang di berikan oleh Giovanna kakakku.

***

Kondisi tubuhku semakin lemah, hingga pada suatu hari Dad melepaskan semua tali yang mengikat seluruh tubuhku.

"Kau kulepaskan, tapi jangan sekali-kali kau menampakkan dirimu di depan banyak orang. Jika kau melanggarnya kau akan mendapatkan hukuman yang lebih parah dari ini." Acam Dad dengan suara sedingin es.

Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil menangis terisak. Aku memang hanya anak kecil, tapi mengapa Dad memperlakukan aku seperti itu? Mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan.

Sepertinya Dad sudah sangat membenciku. Dad tidak sayang lagi padaku. Itu terbukti sejak ia melepaskan ikatan yang mengikatku Dad tidak mengijinkan aku untuk ikut makan bersama di ruang makan seperti biasanya. Dad juga tidak lagi membelikanku mainan atau pakaian seperti biasanya.

Sosok Dad yang dulu sangat menyayangiku sudah tak ada lagi. Aku merasa sendirian di rumahku. Bahkan yang terparah Dad melarangku untuk mendekati Mom. Hingga detik ini aku masih tidak mengerti mengapa Dad memperlakukan aku seperti ini.

Hari ini aku memberanikan diri untuk keluar dari kamarku. Aku berani keluar karena kedua orangtua dan kakakku sedang pergi bersama nenek Rossemary menemui salah satu kerabatnya.

Bisa keluar dari kamar rasanya sangat menyenangkan sekali. Membuatku tak henti-hentinya tersenyum sambil berjalan perlahan mengitari setiap ruangan yang ada di sini. Rasanya aku sudah bertahun-tahun tidak keluar dari kamar.
Dan ketika mendekati area dapur aku mendengar suara dari beberapa orang pelayan yang sedang bercakap-cakap. Ternyata mereka sedang membicarakan aku. Ya, aku yang sedang membicarakannya.

Entah mengapa emosiku memuncak ketika mereka menyebutku sebagai pembunuh. Emosi yang sebenarnya tak aku kehendaki. Namun semua terlambat, kemarahan itu kini menguasaiku. Sambil menantap nyalang aku mendekati para pelayan itu sambil memainkan sebuah pisau yang entah darimana asalnya. Karena pisau yang kupegang memiliki pegangan dengan motif yang sangat rumit dan tidak biasa.

Aku langsung menerjang para pelayan itu. Tanpa mempedulikan rintihan dan permohonan maaf mereka.

"Maafkan kami, Nona." Salah seorang pelayan merintih kesakitan akibat sabetan pisau di tangannya sambil memohon-mohon.

Namun aku tak menggubrisnya, aku malah semakin menggila. Aku langsung menerjang salah seorang pelayan yang berada dekat denganku. Lalu aku langsung menghujamkan pisau tepat di jantungnya. Dengan perlahan aku mencabut pisaunya dan menyayat beberapa bagian tubuhnya. Lalu menusuk-nusuknya dengan pisau.

Jeritan kesakitan yang mengiringi pekerjaanku terasa begitu indah. Terlebih lagi ketika pisauku menyayat bagian lehernya. Aku melakukannya dengan sangat perlahan. Ketika sudah setengahnya aku tersenyum puas melihat hasil karyaku kali ini.

Bau amis darah langsung memenuhi ruang dapur. Aku tertawa, sedangkan beberapa pelayan yang lain berteriak histeris melihatku bermain-main dengan tubuh rekan mereka.

Setelah puas aku langsung meninggalkan tubuh yang bersimbah darah itu. Aku tidak menuju ke kamarku, melainkan menuju keluar rumah. Melenyapkan apa saja yang menghalangi langkahku.

***

Aku membuka mataku ketika merasakan tubuhku berguncang dengan hebatnya. Suara teriakan Dad yang penuh amarah langsung membuatku terjaga.

"D-Dad, ada apa?" Tanyaku dengan suara yang bergetar karena ketakutan melihat kemarahan Dad.

"Jangan berlagak polos di depanku, Emer. Dengar, mulai detik ini namamu aku hapus dari daftar keluarga. Kau bukan lagi putriku. Pembunuh." Sentak Dad sambil melayangkan sebuah cambuk ke tubuhku.

Aku langsung mengerang kesakitan ketika Dad mencambukku dengan tiba-tiba. "Ampun Dad, tolong katakan ada apa sebenarnya ini? Aww..." cambuk itu kembali mendarat di tubuhku. Rasanya benar-benar sakit dan menyengat.

"Takkan pernah ada ampun untuk pembunuh sepertimu. Kau benar-benar sudah merusak nama baikku." Teriak Dad sambil melayangkan cambukannya untuk yang kesekian kalinya.

Lagi-lagi aku hanya bisa mengerang sambil menangis. Menahan rasa sakit di sekujur tubuhku, dengan kulit yang mulai mengelupas dan mengeluarkan darah. Namun Dad tetap tidak menghentikan perbuatannya. Ia malah semakin bernafsu untuk mencambukku.

Hampir setiap hari Dad menyiksaku. Memukuli tubuhku dengan berbagai benda. Ia hanya akan berhenti jika aku tidak sadarkan diri. Tak sanggup lagi menahan pukulan yang lebih banyak ini. Tapi Dad tak bergeming, ia akan langsung kembali memukulku jika tahu aku telah sadar dari pingsanku.

---------------------------------------------------

Yeaaahhh, akhirnya bisa menyelesaikan cerita ini. Ya ya saya tahu cerita ini tidak masuk akal dan banyak keganjilan di sana sini. Saya benar-benar awam di genre yang seperti ini.

Jadi mohon masukannya agar saya bisa memperbaiki semua kesalahan sata di chapter yang pertama ini.

Terima kasih sudah mau membaca...

.Adios ♡♡

Kamis, 19 Desember 2013

Love Under The Rain 4

CLARISS

Patah hati... Ya itulah yang saat ini sedang aku rasakan. Penolakan tak masuk akal yang Vanno utarakan kepadaku beberapa hari yang lalu benar-benar membuat hatiku hancur. Mengapa ia tidak memberiku alasan yang lebih masuk akal meskipun hanya sedikit.

Di saat aku baru saja merasakan perasaan berbeda pada seseorang tapi perasaanku tak berbalas. Meskipun Vanno telah mengungkapkan semua perasaannya kepadaku tapi dia tetap tak bisa membalas perasaanku, itu sama saja dengan bertepuk sebelah tangan, bukan?

"Sedang memikirkan apa?" Tanya Glad sahabatku yang baru saja tiba. Saat ini kami sedang berada di kantin kampus.

"Hai Glad." Sapaku dengan enggan. Rasanya semangat hidupku hilang entah kemana.

"Kau tidak biasanya seperti ini. Ada masalah apa?" Tanyanya lagi.

Aku menghela nafas, "Aku... patah hati, Glad." Gumamku.

"APA?" pekik Glad, "Kau patah hati? Sejak kapan seorang Clariss bisa patah hati? Lalu siapa pria yang telah berhasil membuatmu patah hati?" Ia langsung memberondongku dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

"Bertanyalah satu-satu, Glad. Kau membuat kepalaku jadi bertambah sakit." Tegurku sambil meminum minumanku. Beginilah Glad kalau sudah penasaran, sama seperti kakaknya Kak Leon. Ngomong-ngomong tentang Kak Leon sejak dia kembali kesini aku belum bertemu dengannya.

"Hey, ayo jawab pertanyaanku? Mengapa kau senyum-senyum tidak jelas seperti itu?" Glad menyikut pinggangku.

"Hey, aku sedang minum Glad. Bisakah kau bertanya padaku dengan cara yang normal?" Tegurku sambil memelototinya. Terkadang aku heran dengan Glad yang sangat tomboy, padahal saat ini ia sedang memimpin sebuah perusahaan yang cukup besar dan bonafid.

"Apa maksudmu mengatakan hal seperti itu, Clasrissa?" Ia malah balik bertanya kepadaku sambil memutar kedua bola matanya.

Yah beginilah kami, terkadang kami bisa bertengkar seperti ini. Tapi pertengkaran kami tidak lama, kami seperti ini hanya main-main. Aku dan Glad merupakan dua pribadi yang memiliki perbedaan dalam segala hal. Namun karena perbedaam itulah kami bisa menjadi sahabat karib dari kami masih kecil sampai saat ini.

"Lalu bagaimana dengan masalah hatimu dengan pria tak di kenal yang tiba-tiba saja menolakmu di bandara?" Tanyaku, wajah Glad langsung berubah menjadi memerah.

"Dia ternyata seorang CEO, kemarin kami bertemu dan membicarakan rencana kerja sama perusahaan kami. Dan sepertinya ia tidak ingat padaku." Jelasnya, aku bisa merasakan bahwa ada perasaan sedih dari setiap kata-kata yang terlontar dari bibir Glad.

Aku hanya bisa menepuk pelah bahunya. Aku bisa merasakan apa yang sedang di rasakan oleh Glad saat ini. Sejak pertemuannya dengan pria itu Glad terlihat seperti mayat hidup. Pria itu berhasil memporak porandakan hati  seorang Gladysta yang terkenal tomboy dan sangat cuek meskipun banyak pria yang mengejarnya.

"Aku mengerti apa yang kau rasakan, Glad." Gumamku, "Dan kau tahu Vanno mengungkapkan perasaannya kepadaku beberapa waktu yang lalu. Tapi tanpa alasan yang jelas dan masuk akal ia mengatakan bahwa kita tidak bisa bersama." Jelasku, dengan rasa sakit yang berdenyut-denyut di hatiku.

"Mengapa nasib percintaan kita sama-sama tidak mulus." Desahnya sambil menghembuskan nafas dengan frustasi beberapa kali.

"Setidaknya kau masih bisa mendapatkan cinta pria itu, Glad. Apalagi kalian akan lebih sering bertemu. Tidak sepertiku yang entah kapan bisa melihat Vanno lagi." Ucapku menghibur Glad. 

"Jangan berkata seperti itu, Clariss. Aku sangat yakin sekali bahwa kau dan Vanno akan di persatukan suatu hari nanti. Tetaplah percaya pada hatimu, Clariss." Glad berkata sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

See, beginilah kami berdua. Setelah saling ejek dan "bertengkar" yang terjadi selanjutnya adalah kami saling menguatkan satu sama lain. Ah, aku sangat menyayangi sahabatku ini. Entah apa yang akan terjadi jika aku tidak memiliki sahabat seperti Glad di sampingku saat ini.

Mungkin saja aku takkan pernah pergi ke kampus lagi. Yang aku lakukan hanya menangis dan termenung di dalam kamar apartemenku entah sampai kapan.

It's midnight and I'm awake in this empty room
Thinking of you
Alone it's just me and my heart and the truth
What do I do?

Should I?
Should I let you in?
Should I?
And let this thing begin
Cause I'm tired of hiding from you
I need to know if it's the right thing to do

Cause you got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinkin of you
No more wakin to a dream that is oh so true
And baby you do

You got me shaken shaken
My world's shaken shaken
Got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinking of you
My world's shaken

Tonight I am waiting on the kiss of life (and to look in your eyes)
But for now all that I can do is fantasize that you'll be mine

Should I?
Should I blame me so bad?
When I wish I hadn't gone back
Cause I'm tired of hiding from you
I need to know if it's the right thing to do

Cause you got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinkin of you
No more wakin to a dream that is oh so true
And baby you do

You got me shaken shaken
My world's shaken shaken
Got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinking of you
My world's shaken

I've been waiting (oh)
I'm, I'm so confused
I just wanna be close to you

(Oh) You got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinkin of you
No more wakin to a dream that is oh so true
And baby you do

You got me shaken shaken
My world's shaken shaken
Got me shaken
And I don't know what to do when I'm thinking of you

No more waking to a dream that is oh so true
And baby you do
You got me shaken shaken
My world's shaken shaken

(Said you got me) shaken
And I don't know what to do when I'm thinking of you
My world's shaken
Shaken
Shaken!
My world's shaken

(Samantha Jade - Shaken)

***

VANNO

"Apa yang kau lakukan disini, Ray?" Tanyaku sambil memberikan tatapan sengit.

"Easy adikku, apakah kau tidak merindukan kakakmu ini, huh?" Ucapnya sambil tersenyum.

Raymond memang kakakku, tapi kami tidak pernah aku sejak kami masih anak-anak. Aku sudah lama sekali meninggalkan keluargaku, mereka keluarga angkatku. Meskipun Mom menyayangiku tapi tidak dengan Dad. Semenjak Mom meninggal Dad kerap kali memukulku jika aku tak mau mengikuti kemauannya.

Karena dialah aku menjadi seperti ini. Menjerumuskanku ke lembah kenistaan yang penuh dengan kejahatan. Tanganku kotor oleh darah orang-orang yang tak bersalah. Dad kerap kali mengancamku jika aku tak mau melakukan perintahnya untuk membunuh orang-orang yang di kehendaki oleh para kliennya.

Keluarga angkatku memang akrab dengan dengan dunia hitam. Bahkan Dad memiliki banyak sekali teman mafia. Berurusan dengan mafia sama saja dengan mempertaruhkan nyawamu sendiri. Meskipun aku sudah melakukan tugas-tugas yang mereka berikan dengan baik, aku tetap saja mendapatkan siksaan dari mereka.

Mereka menempatkanku di sebuah ruangan yang kecil dan pengap. Seluruh tubuhku di lilit oleh rantai dan tergantung. Dalam posisi seperti itu mereka bisa dengan leluasa menghajarku. Mengoreskan pisau tajam ke lenganku berkali-kali, memukuliku dengan berbagai benda. Menjeritpun percuma, karena mereka takkan mau menggubris. Luka-luka di tubuhku mengeluarkan darah, tapi tak mereka hiraukan hingga akhirnya luka dan darah itu mengering dengan sendirinya. Bahkan ayah dan kakakku hanya tertawa ketika melihatku di siksa oleh mereka.

Hingga akhirnya aku bisa melepaskan diriku dari mereka dan mulai merintis perusahaanku sendiri. Dan inilah aku sekarang, orang-orang mengenalku sebagai seorang CEO muda yang sukses.
Tak seorang pun yang tahu bahwa aku "Black Shadow" pembunuh bayaran berdarah dingin yang terkenal di dunia hitam sana. Dan aku tak ingin orang-orang tahu tentang masa laluku yang teramat kelam itu. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu. Itulah mengapa aku tak ingin Clariss masuk ke dalam hidupku. Aku tak ingin dia terluka. Apalagi jika ayah dan kakakku tahu tentang Clariss yang sebenarnya.

"Apa yang kau inginkan?" Tukasku, aku tahu sekali jika kakakku datang kemari dia pasti menginginkan aku untuk melakukan sebuah pekerjaan.

"Bagaimana kabar kekasihmu itu?" Tanyanya sambil menuangkan whisky ke dalam gelas yang di pegangnya.

Tubuhku menegang, rasanya seluruh darah di dalam tubuhku berhenti mengalir, "Dia bukan kekasihku. Cepat katakan apa yang kau inginkan dariku?" Desakku sambil mengalihkan pembicaraannya agar tak membicarakan Clariss. Bagaimana bisa Ray tahu tentang Clariss?

"Oke oke, jika wanita itu bukan kekasihmu berarti dia boleh jafi mainanku." Gumamnya dengan nada yang menyebalkan.

Dengan gerakan yang spontan aku langsung mendorongnya merapat ke tembok dan mencengkram kuat kerah kemejanya dengan kedua tanganku. "Jangan sentuh dia, atau kau akan berurusan denganku." Desisku marah.

"Mengapa tak kau katakan saja jika perempuan itu kekasihmu, Vanno." Ucapnya masih dengan senyuman licik di wajahnya.

"Apa yang kau mau?" Aku mengulangi pertanyaanku entah untuk yang keberapa kali.

"Dad ingin kau melakukan sebuah pekerjaan." Ucapnya sambil merapikan pakaiannya setelah cengkramanku terlepas.

"Pekerjaan apa?" Tanyaku dengan datar.

"Dad menunggu kedatanganmu besok siang di tempat biasa untuk menjelaskan semuanya." Jelasnya singkat.

"Bagaimana jika aku tidak mau melakukannya?" Tantangku.

"Maka wanitamu itu akan terkena imbasnya. Kau pilih saja mau yang mana." Jawabnya sambil mengibaskan tangannya.

Selasa, 17 Desember 2013

Broken Hearted 2

GLADYS

"Glad, kakak boleh masuk?" Teriak Kak Leon dari balik pintu kamarku membuatku terpaksa beranjak dari lamunanku.

"Ah ya, masuk saja Kak. Pintunya tidak di kunci." Teriakku.

Kak Leon masuk lalu duduk di sampingku. "Kau sebenarnya kenapa?" Tanyanya sambil menagytapku.

"Aku hanya merasa kurang sehat saja, Kak." Jawabku dengan suara yang lemah.

"Kau bukan pembohong yang ulung, Glad. Kakak tahu bahwa kau sedang memikirkan pria yang tadi kita lihat di bandara, bukan?" Tebak Kak Leon sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran tempat tidurku.

Degh... bagaimana Kak Leon bisa tahu? Aku pikir tadi kakak tidak memperhatikan gerak gerikku. Ah, bagaimana aku bisa lupa jika Kak Leon itu termasuk salah satu orang yang selalu memperhatikan keadaan sekitarnya dengan begitu detail. "Bu-bukan... Kak Leon jangan sok tahu." Bantahku sambil menyenggol lengannya menggunakan lenganku.

"Semakin kau mengelak kakak semakin yakin pula bahwa kau memang sedang memikirkan pria itu, Glad." Tegurnya lagi sambil menatapku tajam. Tatapan yang langsung bisa menembus apa yang sedang aku risaukau dengan tatapannya itu.

Aku kembali menghembuskan nafasku dengan frustasi. Sepertinya aku memang tak bisa lagi mengelak dari kakakku, "Ya, semua yang kakak katakan itu benar." Jawabku dengan suara lemah. Akhirnya aku menceritakan semua kejadian yang baru saja aku alami saat di berada di bandara.

Dan ketika aku mengakhiri ceritaku itu Kak Leon langsung tertawa terbahak-bahak. Benar-benar menyebalkan sekali. Kak Leon pikir aku sedang melawak karena ia tertawa dengan begitu lepasnya.

"Astaga, kau benar-benar..." ia kembali tertawa tanpa menyelesaikan perkataannya.

"Ah, kakak selalu begitu. Memaksaku untuk bercerita tapi setelah aku menceritakan semuanya kakak malah menertawakanku. Kau benar-benar kakak yang menyebalkan. Keluar dari kamarku sekarang." Bentakku sambil mendorong-dorong tubuhnya dari atas tempat tidurku.

"Oke oke, kakak minta maaf. Kakak berhenti tertawa." Ucapnya sambil berusaha untuk menghentikan tawanya. Aku hanya mencebik kesal melihatnya. "Lalu apa yang akan kau lakukan?" Tanya Kak Leon setelah tawanya mereda.

"Entahlah, memangnya kakak pikir aku harus melakukan apa? Mencari tahu keberadaan pria aneh itu? No way, Kak." Tukasku sambil menggelengkan kepalaku kuat-kuat.

Kakak hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban yang keluar dari mulutku. Dan entah apa arti dari anggukannya itu. Terkadang kakakku ini selalu memiliki rencana yang mengejutkan di dalam kepalanya. Lagi-lagi aku hanya bisa mendengus kesal kepada kakakku.

***

Seminggu berlalu sejak pertemuanku dengan pria ajaib itu di airport. Dan jujur saja aku masih belum bisa benar-benar melupakannya. Terkadang pria itu selalu hadir dalam mimpiku.

Ada apa denganku sebenarnya? Argh, aku menggeram dalam hati. Dengan malas aku keluar dari ruang kelas, karena setelah ini aku tak memiliki mata kuliah lagi aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kampus. Aku ingat bahwa hari ini aku ada janji untuk bertemu dengan seorang CEO untuk membicarakan beberapa rencana kerja sama.

Sejak kakakku pergi meninggalkan Seattle akulah yang bertugas menggantikannya untuk menjalankan salah satu perusahaan milik Dad, padahal kuliahku tinggal sebentar lagi selesai. Jadi aku harus benar-benar bisa mengatur jadwalku dengan sebaik-baiknya. Di dalam mobilku selalu ada satu stel pakaian formal untuk ke kantor dan sepasang stiletto.

Sesampainya di perusahaan aku langsung bergegas masuk ke dalam ruanganku. Lalu mengganti pakaian casualku dengan pakaian formal. Setelah sedikit memoles wajah aku langsung keluar dari dalam toilet untuk menyiapkan beberapa berkas yang di perlukan untuk melakukan pertemuan ini.

Dan ketika aku sedang fokus menyiapkan berkas-berkas lagi-lagi aku teringat pria itu. Membuatku menghempaskan kembali tubuhku ke sandaran kursi. Yang aku lakukan hanya memandangi langit-langit ruanganku, padahal tadi Liz memberitahuku bahwa CEO itu sudah datang dan sedang menungguku di ruang pertemuan.

Aku mendengar suara pintu ruanganku terbuka. Namun aku masih tetap pada posisiku. Tak menghiraukan siapa yang telah masuk ke dalam ruanganku.

"Apa yang sedang kau lakukan disini, Glad?" Ternyata itu suara bariton milik kakakku. "Kami sudah menunggumu di ruang pertemuan." Lanjutnya.

Aku meliriknya sesaat dan kembali ke posisiku semula, "Mengapa tidak kakak saja yang memimpin pertemuan itu. Wakili aku saja, suasana hatiku sedang buruk, Kak." Jawabku malas.

"Tidak bisa seperti itu, Glad. Bagaimanapun juga jabatanmu di sini lebih tinggi daripada jabatanku." Jelasnya lagi.

Aku menghela nafas dengan keras, "Ya ya, baiklah aku akan menghadiri pertemuan itu." Ucapku sambil beranjak dari posisi dudukku.

"Kakak yakin kau akan betah selama pertemuan nanti." Ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Namun aku hanya menatap kakakku dengan kernyitan yang menghiasi keningku.

Selama perjalanan menuju ke ruang pertemuan yang terletak di ujung dari ruanganku. Kak Leon tak henti-hentinya tersenyum, membuatku merasa takut. Kakakku pasti sedang merencanakan sesuatu.

"Kau baik-baik saja, Kak?" Tanyaku dengan tatapan menyelidik sebelum masuk ke dalam ruangan pertemuan.

"Sangat baik, ayo kita masuk." Jawabnya bersemangat sambil memutar kenop pintu ruangan pertemuan.

Di dalam sudah ada beberapa dewan direksi. Namun ketika mataku tertuju ke arah kiri urangan tubuhku rasanya limbung, untung saja kakak menahan tubuhku.

"Kau baik-baik saja, Glad?" Tanya Kak Leon khawatir.

"Y-ya, a-ku baik-baik saja." Timpalku sambil menarik nafas dalam-dalam. Lalu aku berjalan menuju tempat dudukku.

"Miss Collin, senang akhirnya kita bisa bertemu." Ia berdiri dari tempat duduknya sambil mengulurkan tangannya kepadaku.

Dengan ragu aku menjabat tangannya, "Selamat pagi Mr. Alderman. Maaf sudah membuat anda menunggu lama." Sebisa mungkin aku membuat suaraku terdengar tenang dan tidak gugup.

"Baiklah, bisa kita mulai sekarang." Suara kakak membuatku tersadar dan buru-buru melepaskan jabatan tangannya. Benar-benar memalukan sekali, tunggu pembalasanku Kak, aku menggeram kesal di dalam hati.

Kecanggunganku lambat laun menghilang ketika berada di dekat William ah maksudku Mr. Alderman. Karena aku ingin bersikap profesional dan mengesampingkan perasaanku yang sebenarnya sedang berkecamuk saat ini.

Kata sepakat telah kami setujui. Kerja sama kami akan segera di mulai minggu depan. Itu artinya aku akan lebih sering bertemu dengannya. Bisa-bisa aku terkena serangan jantung mendadak karena kerja jantungku yang langsung tidak normal ketika berada di dekatnya.

Tapi ada satu hal yang mengganjal pikiranku ketika bertemu dengan Jake. Sudahkah aku menyebutkan bahwa nama pria aneh itu adalah Michael Jacob Alderman? Astaga bagaimana bisa aku tidak mengenalinya. Padahal ayahnya Bradford Alderman adalah seorang konglemerat dan seorang CEO yang tangguh, handal dan tersukses.

Setelah beberapa hari bertemu dan berbicara dengannya Jake masih tetap saja tidak ingat denganku. Wanita yang tiba-tiba saja ia tolak di bandara tanpa sebab. Kasihan sekali nasibmu, Glad. Setelah di tolak sekarang pria itu tak mengingat kejadian itu sedikitpun. Jadi jangan pernah berharap ia akan meminta maaf kepadaku.

Seperti hari ini, ia datang mengunjungiku untuk membicarakan perkembangan dari proyek yang sedang kami kerjakan bersama. Lagi-lagi ia menunjukan sikap yang sama.

Jake apakah kau benar-benar tidak ingat padaku? Kau tidak ingat pada wajah wanita yang kau tolak mentah-mentah di bandara beberapa waktu yang lalu tanpa sebab? Kau tahu sejak hari itu kau membuat hari-hariku menjadi tidak seperti biasanya. Karena setiap hari aku gunakan hanya untuk memikirkanmu.

Apa yang kau miliki hingga membuatku jadi seperti ini, Jake? Mengapa kau membuat hidupku menjadi berputar-putar tanpa kutahu arah tujuanku? Rasanya ingin sekali aku meneriakan semua kata-kata itu tepat di depan wajahmu, namun aku tak bisa. Kata-kata itu seolah tersangkut dan kembali kembali tertelan.

"Kau baik-baik saja, Glad?" Tanya Jake sambil menatapku.

Tidak, "Ya, aku baik-baik saja, Jake." Jawabku cepat. Sejak kapan aku merasa baik-baik saja ketika bertemu denganmu, Jake.

"Jangan membohongiku, Glad." Tegurnya halus sambil kembali menatapku. Namun tatapannya kali ini berbeda dari biasanya.

"Aku baik-baik saja Jake, sungguh." Jawabku sambil berusaha membuat suaraku tetap terdengar normal.

Ia tersenyum simpul, "Kau tipe orang yang tidak pandai berbohong, Glad." Tebaknya lagi dan itu benar.

"Oh baiklah, aku menyerah. Aku hanya sedang memikirkan tugas akhir kuliahku. Apa itu salah?" Jelasku sambil memandangnya dengan tatapan yang intents. Bisakah kau menemukan kebenaran di mataku, Jake? Bisakah kau melihat bahwa penyebab semua ini adalah dirimu.

Namun yang aku dapatkan adalah ekspresi wajahnya yang tak terbaca. Entahlah, rasa-rasanya aku mulai lelah menebak-nebak. Bahkan aku sendiri tak tahu caranya bagaimana untuk mengatakan semua hal tentangnya yang terus saja berputar-putar di dalam kepalaku.

"Kau sedang jatuh cinta, Glad?"

BLOODY LOVE

PROLOGUE

" The greater the love, the
greater the tragedy when its
over. Those two elements
always go together - Unknown"

Ketika semua orang di sekitarnya bahkan keluarganya mencaci dan memakinya karena di anggap pembawa sial dan pembawa kematian. Penderitaan datang bertubi-tubi menerpa tubuhnya yang lemah dan
begitu rentan, tanpa belas kasihan sedikitpun. Hingga akhirnya ia di buang dan di asingkan.

Entah apa yang salah dengan dirinya. Sebutan sebagai pembawa sial dan pembawa kematian mungkin memang benar adanya. Karena di mana pun ia berada tak lama kemudian akan terjadi sebuah kejadian atau peristiwa yang  tragis dan memilukan di tempat itu.

Ia sendiri tak mengerti mengapa hal seperti itu bisa terjadi.Kebetulankah? Entahlah, karen kebetulan itu sekarang tidak sesuai dengan logika, karena kejadian tragis itu sering sekali terjadi.

Di usianya yang mulai beranjak dewasa ia cenderung menutup diri dari dunia luar. Tak membiarkan seorang siapapun masuk ke dalam hidupnya. Ia berusaha untuk menghindari kontak dengan orang banyak.

Kutukankah semua ini? Entahlah, yang pasti tak jarang ia selalu berharap bisa menjalani kehidupan normal seperti kebanyakan orang. Memiliki kekasih seperti wanita seusianya. Namun semua itu hanya angan yang takkan pernah terwujud dan menjadi kenyataan.

Dan hingga suatu hari akhirnya ia merasakan apa itu yang di namakan cinta. Ya, akhirnya ia merasakan perasaan meskipun ia tak yakin dengan apa yang di rasakannya saat ini. Cintakah atau hanya sebatas kekaguman saja, entahlah. Yang ia tahu bahwa jantungnya sering kali berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya setiap kali melihatnya dari kejauhan.

Ia tak berani mendekat dan sebisa mungkin membuat dirinya tak terlihat oleh siapapun. Ia takut kejadian mengerikan itu akan kembali terulang.

Namun ketika ia mulai merasakan ketenangan dalam hari-harinya dan tak ada yang terjadi dengan seseorang yang berhasil mengusik ketentraman hatinya. Tiba-tiba teror itu kembali datang. Pemandangan
mengerikan dari kejadian itu kembali di lihatnya. Bahkan lebih buruk karena pada akhirnya ia mengetahui apa yang membuatnya di buang oleh keluarganya sendiri.

Bisakah ia terlepas dari semua
kejadian mengerikan itu atas bantuan dari orang-orang yang baru di kenalnya dan mau membantunya agar terlepas dari semua hal mengerikan itu?  Ataukah ia harus hidup dengan teror mengerikan itu selamanya??

Sabtu, 07 Desember 2013

Learn To Love Again 1

JUNIOR

"Junior... bangun mau sampai kapan kau tidur, sayang. Nanti kau terlambat masuk sekolah." Suara Mom yang rutin membangunkanku tiap pagi langsung membuatku membuka mata meskipun rasanya mataku masih ingin terpejam.

"Good morning my beautiful Mommy." Ucapku dengan mata yang masih setengah terpejam.

"Cepat bangun atau kau akan terlambat ke sekolah. Dad dan adik-adikmu sudah menunggu di ruang makan." Mom berkata sambil membuka tirai yang menutupi jendela kamarku.

"Pagi ini Mom terlihat sangat cantik sekali. Pasti Papa Zach semakin terpesona dengan kecantikan yang Mom miliki. Ah, betapa beruntungnya aku memiliki Mommy yang sangat cantik." Godaku sambil mengedipkan sebelah mataku kepada Mom.

Mom langsung menghampiri dan berdiri tepat di depanku sambil melipak kedua lengannya, "Berhenti menggoda Mom, Junior. Karena godaanmu itu takkan pernah mempan untuk Mom. Cepat bangun, jika dalam setengah jam kau belum siap Mom akan menyita semua fasilitas yang di berikan oleh Papamu." Ancam Mom.

"Apa Mom juga akan menyita gitar pemberian, Dad?" Tanyaku dan langsung di jawab oleh anggukan oleh ibuku yang memang pada kenyataannya semakin cantik saja setiap harinya.

Terkadang aku suka berpikir mengapa dulu Dad memilih untuk meninggalkan Mom. Tapi sudahlah, toh yang terpenting bagiku adalah bisa melihat Mom bahagia bersama Papa Zach, "Duh, rayuan yang di ajarkan oleh Uncle Eric ternyata tidak mempan." Gumamku sambil beranjak dari tempat tidur dengan kesal dan menuju ke kamar mandi.

Sebelum menutup pintu kamar mandi aku masih sempat mendengar suara tawa Mom. Ah I love you Mom, ucapku dalam hati. Aku tak peduli dengan teman-teman sekolahku yang selalu mengolok-olokku sebagai anak mami padahal umurku sudah menginjak tujuh belas tahun. Karena pada kenyataannya aku memang sangat menyayangi ibuku.

Setelah selesai mandi dan berpakaian aku segera bergegas turun ke bawah dan menuju ke ruang makan.

"Good morning Pa, morning my lovely twin sister." Sapaku sambil duduk di samping Mommy dan segera melahap makanan yang sudah di sediakan.

"Pelan-pelan Kak, kau tidak sedang berada dalam kontes makan." Tiba-tiba Kayna mengunterupsi kegiatan makanku.

"Aku harus buru-buru jika tidak ingin terlambat." Jawabku dengan mulut yang penuh dengan makanan.

"Apakah kakak mau menjeput Kak Angel?" Tanya Kylie yang hanya aku tanggapi dengan anggukan saja.

"Tak perlu terburu-buru seperti itu Kak. Tadi Kak Angel menelepon dan mengatakan bahwa hari ini kakak tidak usah menjemputnya." Aku langsung tersedak mendengar kata-kata Kayna.

"Pelan-pelan Junior." Tergur Mom sambil memberikan gelas yang berisi air putih kepadaku.

Dengan tergesa aku langsung mengambil gelas yang di berikan oleh Mom dan segera meminunnya. "Kau bilang apa tadi Kay? Jangan bercanda, jika ada apa-apa Angel pasti langsung menghubungiku." Jawabku sambil menghentikan kegiatan makanku, selera makanku langsung menghilang begitu saja.

"Angel tadi memang menelepon kemari. Papa sendiri tadi mengangkat teleponnya. Angel bilang bahwa ponselmu tidak aktif makanya ia menelepon langsung ke rumah." Jelas Papa Zach.

"Astaga, aku lupa mengaktifan kembali ponselku semalam." Ucapku sambil nemepuk dahiku. Dasar Junior bodoh. Pasti Angel marah lagi gara-gara hal ini. Bodoh. Bodoh. Bodoh, aku terus saja merutuki diriku sendiri.

Buru-buru aku mengeluarkan ponsel yang berada di dalam saku celanaku dan segera menyalakannya. Ternyata benar saja, banyak sekali panggilan dan pesan dari Angel. Lagi-lagi aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tidak gatal berkali-kali.

"Malang sekali nasibmu, Kak." Celetuk Lily sambil terkikik geli.

"Diam kau." Aku memelototinya dengan kesal.

"Jadi kau harus berangkat bersama kami berdua, Kak. Karena Papa tidak bisa mengantarkan kami ke sekolah." Ucap Kay di sela-sela kegiatannya mengunyah sandwich buatan Mom.

"Bilang saja kalau kalian berdua ini ingin pamer kepada teman-teman kalian bahwa kakak kalian ini sangat tampan." Ujarku penuh percaya diri.

Namun yang terjadi adalah Kylie dan Kayna terbatuk-batuk setelah itu tawa mereka berdua langsung meledak. Mereka berdua memang selalu menggodaku. Apalagi jika sudah menyangkut tentang Angel. Aku benar-benar di buat tak berkutik olehnya.

"Oh iya, bolehkah nanti Junior pergi menemui Daddy sepulang sekolah?" Tanyaku sambil menatap Mom dan Papa.

"Tentu saja boleh, Junior. Jangan lupa sampaikan salam dari Papa." Jawab Papa Zach.

"Terima kasih Pa, pasti Junior sampaikan." Timpalku bersemangat.

"Kakak, ayo kita berangkat sekarang. Aku tak mau datang terlambat karena menunggui kakak yang sedang melamun memikirkan Kak Angel." Celetuk Kay dengan manja.

"Iya iya, aku sudah selesai." Jawabku dengan malas. Angel. Nama itu yang membuatku pikiranku kacau.

Setelah berpamitan kami bertiga pun segera berangkat ke sekolah.

***
ANGEL

"Junior sudah menjemput, sayang?" Mom bertanya ketika aku hendak beranjak dari kursi.

"Ummm, tidak Mom. Hari ini Angel pergi ke sekolah bersama Ken." Jawabku sedikit takut karena takut Dad melarangku pergi ke sekolah bersama Ken.

"Ken?" Dad meletakkan koran yang sedang di bacanya di atas meja makan. Lalu memandangku sambil menyipitkan matanya.

"Iya Dad, tadi Kak Junior bilang bahwa ia tidak bisa menjemput dan berangkat bersama-sama ke sekolah." Jawabku berbohong, maafkan aku Mom, Dad.

"Mengapa Junior tidak bisa menjemput?" Astaga Dad mulai menginterogasiku. Ken pasti sudah lama menungguku.

"Dad, Kak Junior kan sebentar lagi lulus. Dia ada pelajaran tambahan pagi-pagi sekali." Lagi-lagi aku berbohong. Astaga, apa yang kau lakukan Angel, rutukku dalam hati.

"Ya sudah, cepatlah berangkat sayang. Kasihan Ken sudah terlalu lama menunggumu." Mom menengahi dan menyelamatkanku dari Dad yang posesif seperti Kak Junior.
"Angel berangkat dulu, ya. Bye Mom bye Dad." Pamitku sambil mengecup pipi kedua orang tuaku.

Dengan tergesa-gesa aku pergi menuju ke teras depan. Karena Ken sudah menunggu di sana. Aku benar-benar bingung, mengapa aku bisa dengan mudahnya menerima ajakan dari Ken untuk pergi ke sekolah bersama-sama.

Sudah bisa di pastikan bahwa Kak Junior akan marah jika mengetahui dan melihatku bersama dengan Ken. Terkadang aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran Kak Junior. Tahu dari mana jika Ken itu tidak baik?

Bukankah sekarang ini Kak Junior sedang sangat sibuk sekali mempersiapkan kelulusannya. Belum lagi persiapan untuk melanjutkan ke universitas nanti. Ah, aku benar-benar bingung dengan statusku bersama Kak Junior.

"Selamat pagi Angel." Ken langsung menyambutku dengan senyumannya yang mematikan ketika melihatku datang.

"Hai Ken, maaf membuatmu menunggu lama." Balasku.

"Tidak apa-apa Angel, bisakah kita berangkat sekarang?" Tanyanya sambil mengedikkan bahunya ke arah mobil miliknya. Namun aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya.

Lalu kami segera berangkat ke sekolah atau kami akan terlambat masuk. Tapi yang terpenting adalah semoga aku tidak berpapasan dengan Kak Junior ketika sedang bersama Ken.

Dalam perjalan menuju ke sekolah aku hanya terdiam. Entah mengada ada perasaan bersalah menelusup dalam hatiku. Apakah ini gara-gara aku pergi bersama Ken? Ah, kau benar-benar membuatku bingung Kak, aku mendesah frustasi.

"Kau baik-baik saja, Angel?" Tanya Ken di sela-sela kegiatannya mengemudi.

"Aku baik-baik saja, Ken. Sebaiknya kau fokus menyetir saja, karena jika sampai terjadi sesuatu denganku mungkin saja kau akan di bunuh oleh ayahku." Jelasku sambil terkikik geli.

"Ayahmu benar-benar menyeramkan, Angel." Timpal Ken sambil tersenyum miris.

"Itu karena kau tidak mengenalnya, Ken. Buktinya Dad sangat akbrab dengan Kak Junior." Jelasku sambil tertawa.

"Jadi ternyata rumor itu benar." Ada sedikit kekecewaan dalam suara Ken.

"Aku dan Kak Junior memang tumbuh besar bersama, Ken. Tapi kami tidak di jodohkan." Jelasku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.

"Tapi kau mencintainya, bukan?" Tanya Ken sambil menatapku tajam.

"Oh ayolah Ken, bisakah kita membicarakan hal yang lain saja. Aku tidak ingin membahas masalah ini." Jawabku dengan kesal.

"Oke, maafkan aku." Timpalnya sambil kembali menatap jalanan di depannya.

Sisa perjalan menuju sekolah kami habisnya dengan saling membisu. Tak banyak kata yang keluar dari mulutku ataupun Ken. Sampai akhirnya kami sampai di parkiran sekolah.

Ketika turun dari mobil aku melihat Kak Junior yang baru sampai juga. Wajahnya langsung berubah jadi tak terbaca ketika melihatku berjalan bersama Ken. Aku pikir Kak Junior akan menghampiriku, tapi ternyata aku salah. Ia berlalu begitu saja tanpa menolehku sedikitpun.

Aku yakin sekali bahwa Kak Junior marah. Meskipun ekspresi wajahnya sangat datar tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan perasaan yang sedang di rasakannya itu.

Kamis, 05 Desember 2013

Try With Me 9

JAMES

"A-aku... Aku..." Hanna tergugu menjawab pertanyaanku. Sepertinya ia masih syok dengan kata-kata yang terlontar dari mulutku.

"Apa kau takut aku akan menuduhmu telah menjebakku?" Hanna mengangguk pelan dengan gugup. Sedangkan aku tetap memandanginya dengan intens.

"Astaga Hanna... Aku tidak akan sekejam itu, mana mungkin aku menampik dan tidak mengakui darah dagingku sendiri, Hanna." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak percaya, seburuk itukah penilaian dan anggapan Hanna kepadaku? Sampai-sampai ia berniat menyembunyikan anakku, darah dagingku.

"Karena kau masih mencintai Lila, James. Meskipun Lila sudah menikah dengan pria yang di cintainya, tapi aku sadar jika di bandingkan dengan Lila aku bukan apa-apa." Gumam Hanna dengan suara tertahan.

"Kau bertemu dengan Lila?" Pekikku tertahan, cukup terkejut ketika mengetahui bahwa istriku bertemu dengan mantan kekasihku.

"Ya, aku bertemu dengannya tadi dan kami sedikit berbincang. Pantas saja kau begitu memujanya, James." Ucapnya sarkasme.

"Aku bisa melupakan Lila jika kau menginginkannya, Hanna. Jika kau berjanji kepadaku akan melakukan hal yang sama sepertiku dengan cara melupakan Alex. Kita bisa memulai semuanya dari awal, sebelum bayi kita terlahir ke dunia. Biarkan aku mencintaimu, Hanna." Jelasku sambil menggenggam tangannya.
"James..." Hanna masih terlihat meragukan kata-kata yang terlontar dari mulutku. Meskipun aku bisa melihat kelegaan yang terpancar dari matanya.

"Jadi maukah kau belajar mencintai dan menerimaku sebagai suamimu? Kita sama-sama menata kehidupan yang baru dan meninggalkan semua kenangan masa lalu kita?" Tanyaku sambil menatap tajam kedua manik matanya.

Hanna langsung memelukku dengan begitu erat. Perasaan asing yang menghangatkan dan menyamankan itu kembali terasa menelusup di relung sanubariku. Perasaan yang benar-benar melenakanku, membuatku enggan melepaskan pelukanku.

"Jadi berapa usia kehamilanmu saat ini, sayang?" Bisikku tepat di telinganya.

"Tiga minggu James, maaf aku tidak menceritakan semuanya kepadamu. Kau tahu aku benar-benat kalut dan takut, tak tahu apa yang harus aku katakan dan apa yang harus aku perbuat." Jelasnya sambil terus membenamkan wajahnya di dadaku.

Sepanjang sisa perjalanan kami habiskan dalam posisi seperti itu. Tanpa banyak kata yang keluar hanya saling merasakan dan mempererat pelukan masing-masing hingga mobil berhenti di pelataran parkir di basement sedangkan Hanna terlelap dalam pelukanku. Sepertinya aku harus pindah ke sebuah rumah. Tidak mungkin Hanna dan bayiku nanti terus-terusan tinggal di penthouse ini.

Sudah di putuskan langkah pertama yang akan aku lakukan adalah membeli sebuah rumah yang sesuai dengan keinginan Hanna. Selain itu aku harus benar-benar merubah perasaan yang aku rasakan terhadap Lila. Mungkin jika seperti itu Gale mau kembali berteman lagi denganku. Karena jujur saja aku sangat merindukan sahabatku yang satu itu, yang tak lain adalah kakak dari Lila. Semoga saja hubunganku dengan Gale kembali membaik seperti dulu.

"Sayang, bangun kita sudah sampai." Panggilku sambil menepuk pelan pipinya yang mulai berisi. Mengapa aku tak menyadari perubahan fisiknya.

Hanna menggeliat perlahan dalam pelukanku dan matanya perlahan terbuka. "Maaf aku tertidur." Ucapnya dengan suara serak khas orang yang bangun tidur.

"Tidak apa-apa sayang, kau bisa melanjutkan tidurmu nanti." Gumamku sambil tertawa geli, Hanna ternyata sangat lucu ketika bangun tidur. Dan lagi-lagi aku baru menyadarinya.

Aku membantunya turun dari mobil dan menghelanya masuk ke dalam lift. Tangan kami masih tetap bertautan hingga sampai di penthouse.

"Beristirahatlah, aku harus melakukan beberapa panggilan." Ucapku sambil melepaskan jas dan menyampirkannya di sandaran sebuah kursi.

Sedangkan Hanna hanya mengangguk sambil tersenyum. Sebelum meninggalkan kamar aku mengecum lembut keningnya. Dan rasanya begitu menenangkan hati.

Aku menuju ke ruangan kerja dengan senyuman yang tak hilang dari bibirku. Aku merasa seperti remaja yang sedang jatuh cinta saja. Benar-benar menggelikan, tapi memang seperti itulah yang aku rasakan saat ini. Membiarkanku jatuh dan terjerat dalam pesona Hanna, istriku.

***

HANNA

Hari yang panjang dan melelahkan namun menyenangkan. Kata-kata James berhasil membuatku yakin. Yakin untuk belajar mencintainya dan melupakan Alex. Kalau di pikir-pikir sepertinya Alex tidak benar-benar serius dengan kata-katanya yang mengatakan sangat mencintaiku. Sekarang aku hanya tertawa masam jika mengingatnya.

Jujur saja dengan seiring berjalannya waktu kebersamaan yang aku lalui bersama James lambat laun mulai menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku. Meskipun aku sempat berusaha mematikan perasaan cinta yang mulai tumbuh di hatiku ini ketika mengtahui James masih mencintai Lila.

Tapi sekarang aku tak perlu mengkhawatirkan hal itu lagi. Karena James mau belajar mencintaiku dan membuka hatinya untukku. Aku tak perlu merasa takut Lila akan mengambil James dari sisiku, karena Lila sangat mencintai suaminya. Ah, Lila benar-benar wanita yang baik.

Sepeninggalan James, aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhku. Setelah selesai aku memilih untuk mempelajari kembali materi untuk sidang besok. Pengungkapan James hampir saja membuatku lupa dengan sidang besok.

Semua ini rasanya seperti mimpi, membuatku takut untuk bangun dan membuka mataku. Karena jika semua ini hanya mimpi maka yang akan aku dapati adalah James yang dingin dan susah di tebak. Maka aku akan lebih memilih untuk tetap bermimpi, namun semua ini nyata bukan mimpi. Dan aku tak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkan semua ini. Bahagia? Tentu saja meskipun ada sedikit perasaan mengganjal di hatiku. Yang sampai saat ini aku masih mencarinya.

"Hey, mengapa kau bukannya pergi tidur?" Suara James tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

"Ah, kau mengagetkanku. Aku hanya sedang membaca kembali materi untuk sidang besok pagi." Jawabku sambil menutup malakah yang sedang aku baca.

"Tapi kau harus beristirahat, Hanna." Ucap James sambil merangkak naik ke atas tempat tidur dan duduk di sampingku. Ia melingkarkan tangannya memeluk pinggangku.

"Aku hanya membaca saja, James." Tubuhku meremang ketika aku rasakan terpaan nafasnya yang mendekati lekukan leherku dan membenamkan wajahnya di sana.

"Kau harus istrirahat, aku tak mau di bantah, sayang." Perintahnya lagi sambil terus mengendusi lekukan leherku. Membuatku tak tenang karena gairah yang mulai terbangun di dalam diriku.

"Ya, aku akan tidur. Mengapa kau jadi cerewet sekali, James." Tegurku sambil membaringkan tubuhku dan James mengikuti  berbaring.

"Hmmm, entahlah mungkin saja sebenarnya aku sudah merasa bahwa kau sedang hamil hanya saja aku tak berani untuk menyakinkan diriku atas pemikiran itu." Jawabnya sambil mempererat pelukannya di tubuhku. "Tutup matamu, sayang." Ucapnya sambil mengecup kepalaku. Dan tak lama kemudian kami berdua langsung terlelap.

***

Seminggu berlalu, dan sekarang aku sudah lulus dari fakultas kedokteran. Sebenarnya aku ingin melanjutkan jenjang pendidikanku lagi tapi James melarang. Dengan alasan bahwa aku sedang hamil. Sudah aku bilang berkali-kali bukan bahwa James jadi sangat cerewet sekali. Dan semakin hari tingkat kecerewetannya itu semakin menjadi.

"Sayang, apakah kau sudah meminum susunya?" Teriak James sambil menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi dengan rambut yang penuh dan tertutupi oleh busa.

"Sudah James, cepat selesaikan mandimu." Tegurku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. See, dia jadi cerewet sekali bukan? Aku tak habis pikir pria sedingin James bisa berubah menjadi pria yang penuh kehangatan ketika mendengar bahwa ia akan menjadi seorang ayah.

Tadinya aku pikir bahwa James akan menolak bayi ini dan mengusirku. Tapi ternyata tidak, justru James berubah menjadi seorang suami yang siaga yang sangat posesif dan overprotective. Aku senang dengan semua perhatiannya itu, meskipun terkadang membuatku kesal. Namun aku mensyukuri semua perubahan yang baik ini.

Dan perlu di ketahui saat ini aku dan Lila berteman baik. Ternyata Lila wanita yang sangat menyenangkan sekali. Karena kami sama-sama sedang mengandung kami juga sering sekali sharing. Kami sering menghabiskan waktu untuk pergi berjalan-jalan meskipun kami lebih banyak menghabiskan waktu di rumah orang tua Lila, mengingat kehamilannya sudah besar.

Melihat kemesraan Lila bersama Zac terkadang membuatku tersenyum. Semoga aku dan James bisa seperti mereka. Aku tahu bahwa Lila harus berjuang mati-matian untuk bisa bahagia bersama Zac. Banyak rintangan yang harus di laluinya sebelum akhirnya Lila dan Zac benar-benar bersatu seperti sekarang.

Siang itu aku dan Lila pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Kami pergi ke sebuah toko yang menyediakan perlengkapan untuk bayi. Lila mulai membeli berbagai perlengkapan untuk bayi kembarnya. Astaga, mereka pasti sangat lucu sekali, karena Lila akan melahirkan sepasang bayi kembar. Ahh, aku tak sabar untuk melihat bayi-bayi mungil itu terlahir ke dunia ini. Aku juga tak sabar menanti bayiku lahir.

Setelah selesai berbelanja dan makan siang kami memutuskan untuk pulang. Karena baik Zac maupun James sudah berkali-kali menghubungi kami dan menyuruh untuk segera pulang. Padahal saat ini mereka berdua dengan menghadiri sebuah pertemuan di kota New York.

Ketika akan masuk ke dalam mobil tiba-tiba saja Alex muncul dan menghampiriku yang sedang berbincang bersama Lila. Tanpa sepatah kata tiba-tiba saja Alex menarik dan membawaku dengan paksa masuk ke dalam mobilnya. Bisa kudengar dengan jelas suara Lila yang berteriak-teriak memanggil namaku. Ketika supir pribadi Lila mendekat mobil Alex melaju menjauhi area parkir pusat perbelanjaan tersebut.

"Apa yang kau lakukan, Alex?" Tanyaku dengan penuh emosi.

"Menyelamatkanmu dari pria itu, sayang. Kenapa? Sepertinya kau tidak suka, huh?" Jawabnya dengan santai.

"Ya, aku tidak suka. Mengapa kau muncul kembali dalam kehidupanku?" Desisku sambil memberikan tatapan tajam kepadanya.

"Mengapa kau tidak suka? Bukankah kau masih mencintaiku dan tidak mencintai pria itu. Seharusnya kau senang dan berterima kasih kepadaku Hanna sayang." Tukasnya dengan suara yang menyebalkan.

"Dulu aku memang mencintaimu Alex, sangat mencintaimu bahkan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu aku sadar bahwa kau tidak benar-benar mencintaiku. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku mencintaiku suamiku, dan aku tak ingin kehilangannya." Jawabku jujur dengan mata yang menerawang. Meskipun aku sempat melihat sekilas wajah Alex yang berubah menjadi tegang.

"Tidak mungkin, kau mecintaiku Hanna." Hardiknya dengan suara lirih yang sarat akan ketidak percayaan.

"Maafkan aku Alex, sekarang aku benar-benar mencintai suamiku. Jadi aku mohon lepaskan aku dan biarkan aku berbahagia bersama James." Ucapku sambil menatap lekat matanya.

"Tidak. Kau tidak boleh mencintai pria itu, kau hanya boleh mencintaiku, Hanna. Hanya aku!" Dengan gusar ia memukul kemudinya dengan tatapan yang membuatku sempat merasa takut.

"Aku tidak bisa mencintaimu lagi, Alex. Semuanya sudah berakhir." Tegasku, "Biarkan aku pulang untuk bertemu suamiku." Lanjutku dengan perasaan yang mulai takut.

"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu kembali ke pelukan pria itu, Hanna. Kau milikku dan kau tinggal bersamaku. Aku ingin melihat suamimu itu mati secara perlahan-lahan." Ancamnya dengan suara yang dingin.

Mendengar ancamannya itu aku langsung ketakutkan. Mengapa Alex berubah jadi pria yang menyeramkan seperti ini? Semuanya bisa di selesaikan dengan baik dan memang aku sudah menganggap hubunganku dan Alex berakhir karena ketidak pastiannya kepadaku. Tapi mengapa sekarang ia seperti ini?

Akhirnya tangisku pun pecah, tak kuasa kutahan lagi. Tuhan mengapa tiba-tiba harus seperti ini? Baru saja aku merasakan kebahagian bersama suamiku. Aku dan James baru saja memutuskan untuk belajar saling terbuka dan saling mencintai satu sama lain. Dan ketika benih-benih cinta itu muncul dan mulai bersemi di tengah-tengah kami berdua. Tiba-tiba saja Alex muncul dan merusak semuanya.

***

JAMES

Saat ini aku tengah berada di tengah-tengah pertemuan para CEO yang berasal dari berbagai negara. Gale, Mark dan Zac pun hadir dalam acara ini. Namun entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa khawatir dan resah. Aku terus-terusan memikirkan Hanna, meskipun tadi ketika aku hubungi Hanna sedang bersama Lila, tapi tetap saja perasaan khawatir itu tak mau hilang.

Hingga tiba-tiba ponselku berdering. Keningku mengernyit ketika melihat nama Lila di layar ponsel. Hati dan pikiranku langsung di penuhi oleh berbagai pertanyaan, dengan ragu akhirnya aku jawab panggilan itu " Hallo..." sapaku.

"Ja-mes... Han-na Ja-mes..." ucap Lila terbata-bata dengan suara sesenggukkan.

Mendengar itu detak jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat dari sebelumnyaa. Entah mengapa hatiku begitu yakin bahwa Lila akan menyampaikan kabar yang tidak aku inginkan untuk di dengar. Ya Tuhan, semoga istriku baik-baik saja Tuhan, doaku dalam hati. "Ada apa dengan Hanna, Lila?" Tanyaku, namun Lila terdiam di seberang sana. Sepertinya Lila merasa kesulitan untuk berkata-kata.