Selasa, 22 April 2014

Night Passion Of A Grey Eyed Man 4

ANNABELLA

Hari pertamaku bekerja di perusahaan ini. Untung saja Mr. Alan sudah memperingatkan aku sebelumnya tentang adiknya yang sekarang menjadi atasanku. Ternyata Mr. Maximilliano sangat menyebalkan, memerintah seenaknya seperti itu. Dia pikir aku ini robot apa, gerutuku dalam hati.

Baiklah tuan yang arogan kita seberapa menyebalkannya dirimu itu. Aku akan membuatmu bertekuk lutut dan menghilangkan semua sifat aroganmu itu. Jika sudah seperti itu aku bisa leluasa menguasaimu, Max.

Dengan penuh konsentrasi aku segera mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh atasanku yang menyebalkan itu. Lima menit sebelum jam makan siang aku sudah menyelesaikan semua tugas yang diberikan olehnya. Setelah selesai memeriksa kembali dokumen-dokumen yang sudah kukerjakan, aku segera bergegas menuju ke ruangan Mr. Max.

Aku segera melangkah masuk dengan penuh percaya diri setelah mendengar suara dari Mr. Max.

"Ada apa, Anna?" Tanyanya dengan datar.

"Saya hanya ingin menyerahkan dokumen-dokumen ini, Sir." Jawabku sambil meletakkan map-map itu di atas mejanya.

Ia menatapku dengan tatapan yang meremehkan, sebelah alisnya yang terangkat semakin memepertegas kearogannya, "Kau sudah menyelesaikannya?" Tanyanya tak percaya.

"Ya Sir, saya sudah menyelesaikan semuanya dan sesuai dengan permintaan anda." Balasku penuh percaya diri.

"Apakah kau yakin, bahwa pekerjaanmu ini tidak memiliki kesalahan sedikit pun?" Tanyanya menyangsikan hasil pekerjaanku.

"Tentu saja saya sangat yakin sekali, Sir. Anda bisa memeriksa pekerjaan saya sekarang juga untuk membuktikannya." Tantangku.

Max menatapku dengan tatapan yang datar. Kemudian ia mulai memeriksa map-map berisi hasil kerjaku yang ada diatas mejanya. Sesekali ia melirikku dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. Entah apa arti tatapannya itu.

Namun yang membuatku gelisah adalah tatapannya itu seolah membakarku. Tubuhku terasa panas karena gelenyar-gelenyar aneh yang mengaliri setiap sel-sel darahku. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku saat ini. Tapi yang jelas aku merasa gelisah dengan perasaanku ini.

Tuhan, mengapa pria menyebalkan dihadapanku ini memiliki daya tarik seksual yang begitu... entahlah aku tak bisa mendeskripsikannya dengan kata-kata. Ini masih membingungkanku. Sangat membingungkan. Aku tidak boleh tertarik dengan pria yang ada dihadapanku ini. Tidak boleh, tekadku dalam hati."

"Apakah kau mendengarkan ucapanku, Anna?" Suara Mr. Max yang sedingin es langsung menyadarkanku dari lamunanku.

"Ah, maafkan saya Sir." Aku langsung merasa bersalah karena tidak memperhatikan apa yang telah disampaikan oleh atasanku ini.

"Aku tidak suka jika ada bawahanku yang tidak berkonsentrasi atau melamun dihadapanku. Tapi aku masih memaafkanmu, jika hal seperti ini terjadi untuk yang kedua kalinya aku tidak segan untuk memberikan teguran yang lebih keras." Tuturnya dengan ekspresi yang membuatku merenggut ketakutan.

"Maafkan saya Sir, saya tidak akan mengulanginya lagi." Suaraku terdengan bergetar karena sangat gugup. Sialan.

"Sekarang kau boleh kembali ke tempatmu. Jangan lupa untuk mempersiapkan keperluan meeting setelah jam siang." Perintahnya.

"Baik Sir, saya akan segera menyiapkan semuanya. Kalau begitu saya permisi dulu." Setelah itu aku langsung pamit undur diri dan keluar dari ruangan itu.

Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. Entah sampai kapan aku bisa terus bertahan menghadapi intimidasi dan tekanan-tekanan dari atasanku ini. Tenang Annabell tenang, kau bisa mengatasinya. Yakinlah bahwa kau bisa menaklukan tuan berhati es itu. Setelah menghela nafas beberapa kali dan merasa tenang aku kembali fokus pada pekerjaanku hari itu.

Aku melewatkan jam makan siang di hari pertamaku bekerja. Jam makan siang aku pergunakan untuk menyiapkan ruang rapat dan keperluan lainnya. Aku tidak ingin mendapatkan teguran untuk yang kedua kalinya.

Jika aku sampai dipecat dari pekerjaan ini aku tak tahu harus mencari pekerjaan yang menjanjikan seperti ini lagi dimana. Aku membutuhkan uang untuk menghidupi keluargaku, Mom membutuhkan uang yang tidak sedikit untuk menjalani kemoterapi yang sedang dijalaninya saat ini. Itulah kenapa aku sangat bertekad untuk mendapatkan pekerjaan ini. Namun tujuan utamaku adalah menaklukkan Mr. Max, aku membutuhkan kekayaannya untuk memenuhi kebutuhan hidupku.

Terserah kalian akan menyebutku apa, tapi aku memang telah menyusun semuanya sebelum aku bergabung dengan perusahaan ini. Dari informasi yang aku dapatkan Mr. Max belum pernah terlihat serius dengan seorang wanita. Mr. Max ini adalah seorang cassanova yang sering mematahkan dan menghancurkan hati para wanita yang mengejarnya. Hal itulah yang akan menjadi penghambat bagiku namun aku takkan mundur sebelum semua tujuanku tercapai.

***

Tidak terasa satu bulan sudah aku bekerja di perusahaan ini dan menjadi sekretaris dari Mr. Max yang dingin dan sangat senang sekali mengintinidasi. Selama sebulan ini aku belum bisa mendapatkan celah untuk menyelinap masuk ke dalam kehidupannya yang paling pribadi.

Sudah beberapa hari ini kami berdua di lingkupi oleh suasana yang tegang. Entah mengapa suasana di antara kami menjadi seperti ini. Meskipun aku sudah berusaha keras untuk tetap bersikap profesional seperti biasa ketegangan itu selalu saja muncul jika aku sedang berhadapan dengannya.

Seperti hari ini sudah tiga kali aku di panggil oleh Mr. Max ke ruangannya. Banyak sekali hal yang ia perintahkan kepadaku, sampai-sampai aku tidak memiliki waktu untuk pergi makan siang meskipun hanya lima belas menit. Dan ini adalah kali ketiga aku di panggilnya.

Sudah hampir sepuluh menit aku hanya berdiri di hapadannya. Sedangkan ia hanya menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Berkali-kali ia melakukan hal seperti itu, dan ekspresi wajahnya benar-benar tak bisa terbaca. Entah apa yang sedang di pikirkan olehnya.

"Siang ini kau akan pergi menemaniku untuk menghadiri beberapa pertemuan di Portland." Ia berhenti dan kembali memandangiku, "Tapi aku tidak mau melihatmu dengan pakaian seperti ini." Lanjutnya dan kata-katanya itu langsung menusuk tepat di reluh hatiku.

"Ma-maaf Sir, apa maksud anda?" Tanyaku kebingungan.

"Penampilanmu sangat kuno. Aku tidak ingin dipermalukan oleh rekan-rekan bisnisku karena penampilanmu yang mengerikan seperti ini." Jelasnya dengam santai.

Ap-apa? Penampilanku mengerikan? Astaga, jangan-jangan ia memang ingin melihatku menggunakan pakaian yang seksi dan kekurangan bahan seperti sekretaris-sekretaris para CEO muda yang beberapa kali ditemuinya. Tidak. Tidak. Tidak. Aku tidak akan mengubah penampilanku.

"Apa yang salah dengan penampilan saya, Sir? Sepertinya saya tidak melanggar kode etik perusahaan, bukan?" Timpalku dengan suara yang cukup lantang.

"Kau harus mengubah cara berpakaianmu, Anna. Aku tidak ingin di permalukan karena penampilanmu itu." Mr. Max menimpali dengan suara yang tak kalah lantangnya.

"Maaf Sir, tapi saya tidak akan mengubah penampilan saya sampai kapanpun juga." Aku tetap bersikeras.

"Aku tidak suka dibantah, Anna. Ikuti semua keinginanku atau kau akan kehilangan pekerjaanmu. Aku tahu bahwa kau sangat membutuhkan pekerjaan ini, bukan?" Tebakknya langsung membuatku membeku.

Seperti dalam permainan catur ia lansung membuatku skak mat oleh kata-katanya. Aku sangat membutukan pekerjaan ini, meskipun aku tidak berhasil menaklukkan Mr. Max. Bagaimanapun juga aku harus membiayai keluargaku. Hatiku berkecamuk. Tuhan, apakah aku harus menuruti semua perintahnya itu? Tentu saja kau harus menurutinya Anna, karena dengan begitu kau bisa menarik perhatian Mr. Max dengan mudah, bisik kata hatiku.

"Kau bisa memgganti pakaianmu dengan pakaian yang ada di dalam koper itu." Perintahnya sambil mengarahkan telunjuknya ke arah sofa yang ada dibelakangku. "Cepatlah bersiap-siap lalu temui aku dilobi." Perintahnya lagi kemudian ia pergi meninggalkan aku sendiri diruangannya.

Selama beberapa menit aku hanya berdiri mematung di tengah ruangan. Berusaha untuk memahami keadaan dan kejadian yang baru saja terjadi. Aku segera mengambil sebuah koper yang ada diatas sofa dan membawanya ke dalam toilet yang ada di ruangan Mr. Max.

Dengan cepat aku segera mengganti pakaian kerjaku dengan pakaian yang telah diberikan oleh Mr. Max. Aku hampir berteriak saat melihat pakaian-pakain formal dan beberapa pakaian casual serta beberapa gaun cocktail yang telah disediakan oleh Mr. Max.

Pilihanku jatuh pada sebuah rok pensil selutut warna abu-abu, blouse tanpa lengan berwarna putih serta blazer berwarna abu-abu yang dengan pas membalut tubuhku. Pakaiannya benar-benar memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhku yang selama ini aku sembunyikan.

Aku menggerai rambut coklatku yang panjang serta melepaskan kacamata yang selama ini membingkai wajahku. Setelah selesai aku segera bergegas meninggalkan ruangan Mr. Max. Sebelum turun ke bawah aku mengambil tas dan barang-barang milikku di meja.

Selama perjalanan menuju ke lobi banyak para staf yang tak henti-hentinya memandangiku dengan tatapan yang... entahlah aku tak tahu. Namun aku tidak mempedulikannya. Keluar dari lift aku langsung menghampiri Mr. Max yang sedang duduk di sofa sambil menyesap kopinya.

"Saya sudah siap, Sir." Ia menatapku dengan tatapan sulit ditebak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar