Kamis, 03 April 2014

Jodoh Pasti Bertemu (Diary 2)

Hai semuanya, lama tak menyapa kalian semua. Maafkan karena begitu lama menghilang. Bukan bermaksud untuk menghindari kalian namun saat ini aku memang sedang menghindari seseorang. Hey, aku tahu bahwa kalian penasaran bukan?

Sabar-sabar aku pasti akan menceritakannya. Kalian tahu bahwa banyak sekali kejadian yang aku alami akhir-akhir ini. Kejadian yang cukup menguras tenaga dan pikiranku. Rasanya aku benar-benar lelah dengan semua ini. Tapi hey aku tida se'desperate itu kok.

Otakku masih cukup waras untuk tidak melakukan tindakan yang konyol dan bodoh atau bahkan melukai diriku sendiri. Semua kejadian yang bertubi-tubi datang menghampiriku saat ini gara-gara Rifky.

Kalian masih ingat dia bukan? Pria yang paling menyebalkan yang aku kenal ketika masih SMA dulu. Satu-satunya pria yang dengan terang-terangan menunjukkan ketidak sukaan dan ketidak setujuannya saat aku dan Abi memutuskan untuk berpacaran.

Dan ketika Abi mematahkan hatiku di hadapan orang banyak Rifky-lah yang menyelamatkanku dari tindakan bodoh yanh mungkin saja akan aku lakukan pada malam itu. Ia pulalah yang menghibur dan menenangkanku pada malam itu.

Malam yang benar-benar menyakitkan dan akan menjadi satu-satunya malam yang menjadi malam terburuk sepanjang hidupku. Malam yang sangat ingin aku lupakan. Malam dimana Abi mengumumkan bahwa ia akan bertunangan. Namun bukan aku yang menjadi pasangannya melainkan wanita lain. Sakit? Tentu saja, wanita mana yang tidak merasa sakit dan hancur jika berada di posisiku saat itu.

Oke, cukup sepertinya aku mulai melantur kemana-kemana. Kembali lagi ke masalah Rifky, kalin benar-benar ingin tahu apa yang di lakukannya kepadaku, bukan? Baiklah baiklah aku akan menceritakannya kepada kalian semua.

***

Semua ini berawal ketika Rifky tiba-tiba muncul setelah pertemuan terakhir kami dua tahun yang lalu. Tepatnya saat pertemuan kami di acara ulangtahun dan acara pertunangan Abi. Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk pergi ke Singapura dan mengejar karirku sebagai seorang model.

Menjadi seorang model memang sudah menjadi impianku sejak kecil. Namun baru saat ini aku berhasil mewujudkannya. Apalagi ketika masih bersama dengan Abi ia tak pernah mengijinkanku untuk mendalami dan mengejar impianku untuk menjadi seorang model.

Menurut Abi menjadi seorang model tidak ada gunanya. Jadi lebih baik aku bekerja di salah satu perusaan swata yang bonafid di Jakarta. Dan dengan bodohnya aku menuruti semua perkataannya. Kemudian meninggalkan impianku dengan perlahan. Namun sejak kejadian menyakitkan itu aku memutuskan untuk kembali mengejar impianku. Impian menjadi seorang top model di kawasan Asia.

Saat ini aku sedang berada di Jakarta. Selain untuk menemui kedua orang tuaku aku juga ingin menghabisman waktu liburanku di kota kelahiranku. Hari itu aku sedang asyik mengobrol bersama Mama dan Papa setelah selsai makan malam bersama di sebuah restoran. Tiba-tiba saja Rifky muncul dan menghampiri mejaku.

"Lama tidak bertemu Andin, apa kabar?" Sapa Rifky lembut sambil mengulurkan tangannya.

Dengan ragu aku pun menerima uluran tangannya, "Baik, terima kasih. Lalu bagaimana mana kabarmu?" Tanyaku balik, tentu saja Mama dan Papa mengenal Rifky karena dulu Rifky sering sekali mendatangiku di rumah.

"Aku baik-baik saja, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ada yang ingin saya sampaikan kepada Om dan Tante." Ungkap Rifky dengan pandangan yang terfokus kepada Mama dan Papa.

"Ada apa?" Tanya Papa singkat namun suaranya terdengar penasaran.

"Om, Tante bolehkah saya melamar Andin untuk menjadi pendamping hidup saya?" Tuturnya dengan mantap.

Selama beberapa menit otakku mencerna kata-katanya aku langsung menatap kedua orang tuaku dengan tatapan horror. Rifky melamarku? Permainan apalagi ini? Semoga Mama dan Papa tidak menanggapi ucapan Rifky dengan serius.

Ya ampun, apa sebenarnya yang sedang di rencakan oleh pria menyebalkan ini? Setelah sekian lama tidak bertemu tiba-tiba saja ia muncul dan melamarku. Ini benar-benar gila, sangat gila. Bagaimana mungkin ia melamarku dengan cara seperti ini.

Maksudku ah entahlah pikiranku kini langsunh kacau setelah mendengar kata-kata Rifky. Belum lagi aku di paksa harus menebak-nebak jawaban apa yang kira-kira akan di berikan oleh Papa. Semoga saja Papa menolak dan tidak menerima lamaran pria menyebalkan itu.

"Om tunggu kedatanganmu di rumah untuk melamar Andin secara resmi bersama kedua orang tuamu." Jawab Papa dengan lancar dan mantap.

"Ap-apa? Mengapa Papa malah menyuruhnya untuk datang ke rumah?" Cecarku dengan suara yang terdengar frustasi.

"Dengar sayang, kita tidak boleh menolak niat baik dari seseorang. Karena pernikahan itu bertujuan baik maka Mama dan Papa menerimanya." Jelas Mama sambil tersenyum.

"Mamamu benar Andin, lagipula umurmu sudah cukup untuk berkeluarga. Papa dam Mama sudah tidak sabar ingin segera menimang cucu darimu. Apalagi kau anak tunggal." Tutur Papa dengan tatapan penuh harap.

Astaga, apa yang sebenarnya terjadi dengan Mama dan Papa? Mengapa mereka berdua begitu mudahnya menerima lamaran dari Rifky? Bahkan mereka tidak menanyakan terlebih dahulu pendapatku seperti apa. Sepertinya kepulanganku kali ini benar-benar membawa petaka.

"Om, Tante, bagaimana kalau saya akan datang ke rumah pada hari Sabtu malam saja?" Celetuk Rifky dengan wajahnya yang berbinar-binar.

"Tentu saja, dengan senang hati Om dan Tante akan menerima kedatanganmu beserta keluarga." Jawab Papa dengan bersemangat.

"Tapi Pa, Andin belum mau menikah. Andin masih ingin mengejar karir modeling Andin." Aku merajuk seperti anak kecil, berharap Papa akan merubah kembali keputusannya. Kalau bisa membatalkan lamaran ini.

"Kau ingin mengejar apalagi, Andin? Bukankah kau sudah mendapatkan impianmu untuk menjadi seorang supermodel di seantero Asia?" Todong Papa, "Sebenarnya Papa agak khawatir melepasmu di Singapura seorang diri. Yah, meskipun Papan yakin kau tidak akan berbuat macam-macam. Tapi Papa akan lebij tenang jika kau tinggal di sana bersama suamimu." Jelas Papa panjang lebar.

Aku hanya bisa memberengut sambil mengatupkan bibirku. Mimpi apa aku sebenarnya? Sampai-sampai aku di lamar oleh pria menyebalkan ini? Argh, benar-benar menyebalkan. Jika Mama dan Papa tidak ada disini sudah sejak tadi aku mencekik pria yang kini tengah duduk di sampingku.

"Om, Tante, bolehkah saya mengajak Andin keluar?" Rifky meminta ijin, aku takkan sudi pergi bersamanya.

"Tentu saja, kalian berdua pergilah. Hati-hati di jalan." Tutup Papa memberikan ijinnya kepada Rifky untuk menculikku, oke ini berlebihan.

Papa memberikan aku tatapan agar tidak membantah ataupun menolak. Dengan wajah yang di tekuk aku hanya bisa mengikuti keinginan Papa dan Mama. Dengan terpaksa. Selama perjalanan menuju ke tempat parkir aku tak menanggapi sedikitpun kata-kata yang keluar dari mulut Rifky.

Bahkan aksi diamku masih terus berlanjut ketika kami sudah berada di dalam mobil. Ia menjalankan mobilnya dengan sedikit kesal? Entahlah ekspresinya wajahnya benar-benar tidak bisa terbaca. Atau jangan-jangan ia akan membunuhku? Singkirkan pikiran bodohmu itu Andid, cibir kata hatiku.

Sibuk dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Sampai-sampai aku tidak sadar bahwa mobil yang aku tumpangi kini sudah berhenti. Dengan sedikit bingung aku mengedarkan pandangan kesekitar. Ini kan di pantai, untuk apa pria menyebalkan ini mengajakku ke pantai malam-malam seperti ini?

"Sudah puas melamunnya?" Aku mengalihkan pandanganku ke arah pria pria yang ada di sampingku dengan kesal.

"Untuk apa kau membawaku kesini?" Tanyaku datar.

"Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepadamu. Ayo kita turun." Jawabnya dengan bersemangat.

Ia keluar dari mobil kemudian berlari memutar untuk membukakan pintu mobil untukku. Dengan setengah hati aku keluar tanpa menghiraukan uluran tangan darinya. Sempat terlihat kekecewaan di wajahnya namun dengan cepat Rifky kembali memasang ekspresi wajah yang ceria. Rifky menghelaku menuju kesebuah dermaga yang terlihat lebih terang dari biasanya.

Keningku menghenyit semakin dalam ketika kami mendekati cahaya yang ada di dermaga itu. Kedua mataku membulat sempurna ketika mendapati ada sebuah meja dan dua buah kursi di sana. Di sekelilingnya di terangi oleh cahaya lilin. Terdapat beberapa tangkai bunga di dalam vas kecil yang ada di atas meja. Sebotol champagne dan dua buah gelas terdapat di atasnya juga.

Aku menatap semua itu dengan bingung. Apa maksudnya semua ini? Lalu sejak kapan Rifky menyiapkannya? Bukankah i ni pertama kalinya kami bertemu kembali setelah sekian lama tidak bertemu. Bahkan selama berbincang bersama kedua orang tuaku Rifky tidak mengeluarkan ponselnya. Aneh. Hanya satu kata itu yang cukup menggambarkan peristiwa yang terjadi hari ini.

"Duduklah, ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu." Suara bariton Rifky yang sedikit serak langsung menyadarkanku.

"Ah ya, aku akan duduk." Jawanku singkat dan masih sedikit bingung.

Tak lama kemudian Rifky membuka botol champagne, menuangkannya ke dalam gelas yang ada di atas meja. Setelah itu memberikan salah satu gelas tersebut kepad. Ia duduk di kursi kosong yang ada di depanku.

Aku mengalihkan pandanganku menatap lautan luas yang ada di depanku. Tatapan Rifky yang hanya terfokus kepadaku membuatku risih saja. Ah, entah sudah berapa lama aku tidak mendatangi pantai di malam hari. Angin laut menerpa wajahku dan menerbangkan rambutku. Aku memang menyukai lautan namun di saat yang bersamaan aku juga membencinya. Terlalu banyak kenangan manis bersama Abi di tempat yang bernama pantai dan lautan.

"Andin..." panggil Rifky.

Aku mengalihkan pandanganku menatapnya, "Ada apa?" Tanyaku dengan kening yang berkerut.

"Aku benar-benar serius ingin menikahimu, Andin." Jawabnya cepat.

"Pernikahan bukan untuk main-main, Rifky. Dan bagiku pernikahan itu hanya terjadi pada dua orang yang saling mencintai saja..." aku diam sejenak untuk menghela nafas, "Dan itu bukan untuk kita,  Rifky. Maksudku aku dan kau tidak saling mencintai. Jadi pernikahan tidak akan berhasil." Lanjutku.

"Tapi aku mencintaimu Andin, sudah sejak lama. Bahkan sebelum kau mengenal Abi." Tuturnya yang menatapku dengan lembut.

"Jika kau menyukaiku sudah sejak lama mengapa kau membiarkan aku bersama Abi? Mengapa kau tidak mencoba untuk mempertahankan atau mencoba untuk mendapatkanku, Rifky?" Cecarku dengan suara yang mulai bergetar.

"Karena Abi sahabat karibku, Andin." Jawabnya singkat.

"Dan sahabat karibmu itu telah mempermainkan dan membohongiku selama bertahun-tahun, Rifky." Akhirnya pertahananku runtuh, tangisku pecah.

"Tidak Andin tidak, kumohon jangan menangis." ia panik melihatku menangis dan berusaha untuk menenangkanku.

"Apa tujuanmu menikahiku, Rifky? Kenapa begitu tiba-tiba dan baru sekarang?" desisku di antara isakan tangisku.

"Karena aku mencintaimu, apa itu belum cukup untuk meyakinkanmu, Andin?" tanyanya dengan tatapan yang sedih.

"Kau ingin aku menjawabnya lagi, Rifky? Aku rasa kau sudah tahu dengan jelas apa jawabanku." desisku sambil meletakan gelas yang kupegang di atas meja.

Aku berdiri dari posisi dudukku kemudian bergegas untuk pergi meninggalkan Rifky. Aku sudah muak mendengarkan omong kosongnya, sangat muak. Bagiku semua pria sama saja, makhluk yang tidak memiliki perasaan yang sangat senang mempermainkan perasaan kami para wanita seenaknya.

Baru saja melangkahkan kakiku tiba-tiba Rifky mencengkram pergelangan tanganku. Menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Hangat, itulah yang pertama kali aku rasakan. Tapi semua itu takkan bisa mematahkan prinsip yang selama ini aku pegang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar